Wednesday, November 8, 2017

Pengertian Tradisi dan Mee Bu (Mengantar Makanan) dalam Masyarakat Aceh

 1.  Pengertian Tradisi
Menurut Kamisa (1997:556) tradisi berarti adat kebiasaan yang turun temurun yang masih dijalankan di masyarakat. Adat dalam pandangan hukum positif adalah kebiasaan manusia atas perilaku tertentu dalam salah satu sisi kehidupan sosial mereka sehingga muncul darinya kaidah yang diyakini secara umum dan harus dihormati sebagai norma yang melanggarnya berakibat pada dijatuhkannya materi. Sedangkan dalam pandangan pakar Islam, adat adalah apa yang biasa dilakukan mayoritas manusia baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan, secara berulang-ulang sehingga meresap dalam jiwa mereka dan diterima dalam pemikiran mereka (Umar, 2006:77).
Menurut M. Junus Malalatoa (dalam Nurhalimah, 2014:2) tradisi adalah kebiasaan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara turun-temurun. Kebiasaan ini mencakup berbagai nilai budaya yang meliputi adat istiadat, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian dan sistem kepercayaan. Dimana seorang individu dalam suatu masyarakat mengalami proses belajar dan bertindak sesuai nilai-nilai budaya yang terdapat dalam masyarakatnya. Tradisi juga diartikan sebagai penilaian atau tanggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan hal paling baik dan benar.
Tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu kemasa kini (Shils, dalam Piotr Sztompka, 2011:70). Dengan kata lain adat dalam masyarakat Aceh merupakan aturan hidup yang lahir dari proses kesepakatan antara kaum cendekiawan dan aparat penguasa yang disebut dengan Poteu Meureuhom. Aturan yang mengatur kehidupan dan sosial kemasyarakatan tersebut mencakup segala bidang kehidupan, misalnya berhubungan dengan tata krama pergaulan, sopan santun, aturan-aturan yang berkaitan dengan pertanian atau bercocok tanam, aturan kelautan dan aturan kehutanan. Konsep kehidupan bermasyarakat dalam kehidupan dan pergaulan. Misalnya, jika ada yang melanggarnya akan dikenakan sanksi, sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Namun demikian ada juga yang tidak terlepas dengan kebiasaan-kebiasaan lainnya seperti reusam. Antara adat dan reusam tidak bertentangan dan berjalan dalam masyarakat seirama dan seiring dengan syari’at. Hubungan antara adat reusam dan hukum Islam atau syari’at menjadi landasan dalam bermasyarakat di Aceh, Salam Asnawi Muhammad (dalam Resi Andriani 2011:9).
Menurut A.G. Pringgodigdo (1997), adat ialah aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah tertentu di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakat. Di Indonesia, aturan mengenai kehidupan manusia tersebut dipertahankan oleh masyarakat karena dianggap patut. Oleh karena itu, aturan dan tindakan yang dianggap patut itu mengikat para penduduk, dan konsekuensinya aturan itu dipertahankan oleh Kepala Adat dan petugas hukum lainnya (diakses melalui http://repository.usu.ac.id/bitstream/1234).

2. Pengertian Mee Bu (Mengantar Makanan)
Menurut Chalidjah Hasan (1974:8-11) masyarakat mengenal beberapa upacara adat pada masa hamil seperti boh kayee (membawa buah-buahan), jak mee bu (membawa nasi), mandi tujuh bulan. Mee bu suatu upacara mengantar nasi untuk menantu yang sedang hamil, ini diutamakan  untuk anak pertama,tetapi bagi keluarga yang mampu pada kehamilan berikutnya juga diadakan upacara lagi.
Menurut adat dara baro (pengantin perempuan) yang telah hamil tiga bulan dikunjungi oleh mak tuan (mertua) dengan membawa buah-buahan dan tangkai (tangkal) untuk pageu droe (pagar diri). Pada masa ini umumnya wanita suka makan rujak, leu that peu hawa (ingin makanan yang aneh-aneh). Dahulu pelaksanaan upacara bideun (dukun bayi) atau tengku ineung (guru mengaji wanita) tetapi sekarang boleh juga dilakukan oleh nenek atau orang tua di kampung. Pada golongan terpelajar adat ini sudah sangat berkurang, kemudian setelah dara baro hamil lima bulan mak tuan diiringi sanak famili keluarga linto baro datang membawa nasi lengkap dengan lauk pauknya, aneka ragam kue dan buleukat (nasi ketan), juga para pengiring masing-masing membawa makanan sebagai buah tangan. Besar kecilnya iringan famili pihak linto baro menunjukkan tinggi rendahnya derajat keluarga, pada upacara ini famili pihak dara baro serta jiran sekelilingnya turut diundang. Tujuan dari mengundang famili dari kedua belah pihak dan tetangga untuk memberitahukan bahwa anak menantu telah hamil. Pada waktu diadakan makan bersama pihak keluarga linto baro duduk di seuramoe keue (serambi muka), dan pihak keluarga dara baro di seuramoe likeuet (serambi belakang). Dari perbedaan tempat ini menunjukkan bahwa pihak laki-laki merupakan tamu yang lebih dihormati.
Setelah makan bersama selesai dara baro memohon maaf dan mohon doa restu dengan bersalaman kepada setiap orang yang hadir dengan berkeliling. Pertama bersalaman dengan ibu kandung, mertua, kemudian saudara lainnya. Dari tingkah laku ini menunjukkan bahwa upacara ini merupakan upacara untuk keselamatan orang sakit, karena orang hamil diumpamakan dengan orang sakit. Dimana ia harus ditolong dengan doa bersama. Karena anggapan masyarakat bahwa melahirkan itu menyambung nyawa, yang dikenal dengan ucapan “ureueng madeueng nyawong bak ujong oek” (orang yang melahirkan nyawanya seperti diujung rambut). Kemudian disusul pula dengan manoe tujoeh buleun, wanita yang telah hamil tujuh bulan dimandikan oleh bideun didepan rumah dengan air rebusan sembilan puluh sembilan macam daun-daunan, cara ini juga dilakukan pada gadis yang lama dapat jodoh untuk membuang sial yang mungkin ada didalam badan, pemanggil semangat yang mungkin telah terbang. Masyarakat ini mempercayai bahwa jiwa manusia ada tujuh yang dinamakan semangat. Apabila salah satu dari semangat ini meninggalkan badan akan lemah dan mudah diganggu oleh setan dan roh jahat. Melihat tingkah laku mereka yang sangat teliti dan pelaksana harus orang-orang yang dianggap benar-benar mengetahui seperti ma bideun (bidan kampung), yang bertujuan agar ibu dan anak selamat, dan ketidak berhasilan selalu dihubungkan dengan kurang sempurnanya adat dilakukan.
Kemudian pantangan, pantangan ini perlu mendapat perhatian karena bila terlanggar akan mengakibatkan bayi sukar lahir atau cacat. Agar terhindar dari bahaya wanita hamil dilarang duduk di tangga, karena akan mendapat kesukaran pada waktu melahirkan, melihat monyet, karena anak yang lahir akan serupa monyet. Keluar disenja hari (menjelang magrib), karena pada waktu itu setan, buroeng berkeliaran. Tabu juga berlaku untuk si bapak, ia dilarang membunuh binatang, berpergian di malam hari, jika terpaksa pulang malam tidak boleh langsung naik kerumah, harus berhenti sebentar diluar atau di Menasah, tetapi ada pula yang harus mengelilingi rumah tiga kali atau memutar tumit kaki kanan di atas tanah tujuh kali. Adanya pembatasan tingkah laku dari si bapak menunjukkan bahwa antara bapak dan anak mempunyai hubungan mistis, karena tingkah laku si bapak akan mempengaruhi anaknya. Pantangan-pantangan ini sebenarnya mempunyai nilai kesehatan, akan tetapi karena rendahnya daya pikir, akibat kurangnya ilmu pengetahuan maka mereka lebih banyak mengikuti saja tingkah laku orang tuanya yang telah diwariskan nenek moyangnya.
Ada kepercayaan bahwa wanita hamil suka diganggu oleh roh jahat atau mahkluk halus yang menunjukkan bahwa ia berada dalam bahaya maka dicari usaha pencegahnya yaitu benda-benda atau ayat suci yang dianggap mempunyai kekuatan magis, dan dipakai sebagai tangkal atau azimat.
Ayat Qur’an yang dipakai sebagai azimat, yang adanya saja sudah dianggap melindungi, maka jika dilekatkan di badan si pemakai akan terus-menerus dianggap menghindar dari bahaya. Sikap ini merupakan sikap rohani yang magis. Alat lain untuk pencegah bahaya adalah lidi, besi, bambu diletakkan pada tangga depan rumah, pintu, tiang rumah. Selain dari ayat Qur’an juga ada yang menggunakan benang tujuh warna sebagai azimat, benang ini simbol dari semangat yang berjumlah tujuh pula, dan berfungsi penjaga semangat jangan sampai terbang.
Azimat ini tidak dapat dibuat oleh setiap orang tetapi harus orang yang ahli seperti dukun, karena benda yang akan dipakai sebagai tangkal harus dirajah (diberi mentera). Tangkal dipakai pada pinggang atau di lengan kanan, dan harus dibawa kemana pergi. Terutama jika akan melalui kuburan, pohon besar atau tempat angker (menakutkan). Ketika melewati tempat ini harus memberi salam dengan mengucapkan kata-kata seperti berikut: Assalamualaikum, neupeumeuah ulon tuan, lon nyo ureung get-get kon maksud lon, lon peulaku droeneuh, tetapi lon keuneuk meusyedara (sejahtera atas kamu, maafkan saya, saya orang baik-baik bukan maksud mengganggu tetapi saya ingin bersaudara). Dari tingkah laku ini menunjukkan kepercayaan kepada roh-roh gaib belum hilang. 
Menurut Saniyah (Wawancara 28 April 2014) mee bu adalah suatu upacara adat mengantar makanan kerumah menantu yang sedang hamil tujuh bulan. Masyarakat Aceh memberi prioritas kepada kesehatan ibu hamil dan anak, bagi masyarakat Aceh yang mayoritas muslim, ibu hamil dan anak merupakan tumpuan harapan yang sangat menentukan pertumbuhan, perkembangan dan penerusan generasi Aceh kedepan. Karena itu, setiap ibu hamil disambut gembira oleh keluarga suami-istri dan diberikan semangat serta diciptakan kondisi yang menyenangkan. Masyarakat Aceh dapat memahami pengaruh besar psikologis ibu hamil terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dalam kandungan. Maka dari itu lahirlah pantangan-pantangan yang bertujuan menjaga kehamilan dan selamat sampai melahirkan.
Pantangan-pantangan tersebut yaitu dilarang duduk di tangga, melihat binatang yang menyeramkan, keluar dimalam hari dan bagi suami dilarang pulang malam, membunuh binatang. Wanita yang sedang hamil dianjurkan untuk banyak berzikir dan membaca Al-qur’an, supaya anaknya kelak lahir lancar. Seorang istri saat hamil pertama maka sudah menjadi adat bagi mertua dari pihak suami mempersiapkan untuk mengantar nasi hamil kepada menantunya. Upacara ini dilaksanakan dalam rangka menyambut cucu yang dilampiaskan dengan rasa suka cita sehingga terwujud upacara yang sesuai dengan kemampuan mertua. Nasi yang diantar biasanya dibungkus dengan daun pisang, terlebih dahulu daun pisang diasapi pada api yang merata kesemua penjuru daun. Di samping nasi juga dibawa lauk pauk daging dan buah-buahan, bahan ini dimasukkan dalam sebuah wadah dan diantarkan kerumah menantunya bersama dengan kaum kerabat dan jiran.acara ini dilaksanakan pada usia kandungan tujuh bulan. Ada juga dikalangan masyarakat acara mee bu dilaksanakan satu kali saja, ada yang mengantar satu idang kecil dan ada pula yang mengantar samapai tujuh lima atau tujuh idang besar. Semua itu tergantung dari kemampuan yang melaksanakannya. Nasi yang diantar oleh mertua ini dimakan bersama-sama dalam suasana kekeluargaan.
Menurut Ismail (2007:124) mee bu adalah seperangkat upacara adat dalam bentuk nasi beserta lauk pauknya dimasukkan dalam reubeing dan talam hidangan dari keluarga suami untuk diantar pada bulan-bulan tertentu kepada isteri beserta keluarganya karena kehamilan. Upacara ini berlangsung dua kali, ba bu pertama disertai boh kayee (buah-buahan), kira-kira usia kehamilan pada bulan keempat sampai bulan kelima. Acara yang kedua berlangsung dari bulan ketujuh sampai dengan bulan kedelapan. Bahan-bahan persiapan ba bu atau mengantar nasi terdiri dari bu kulah (nasi bungkus), dan lauk pauk yang terdiri dari ikan, daging ayam panggang, dan burung yang dipanggang. Nasi yang diantar oleh mertua ini dimakan bersama-sama dalam suasana kekeluargaan. Ini bermaksud bahwa perempuan yang lagi hamil adalah orang sakit, sehingga dibuat jamuan makan yang istimewa, menurut adat orang Aceh perempuan yang lagi hamil harus diberikan makanan yang enak-enak dan bermanfaat.
Semua yang dihantarkan ke rumah dara barô oleh mertuanya itu mempunyai makna tertentu salah satunya supaya dari daging burung yang dipanggang mempunyai makna supaya anak yang dikandung menjadi cerdik dan lincah, secerdik dan selincah yang dimakan. Jenis burung yang biasa dipilih adalah burung merpati. Tujuan dari upacara ini agar dara baro mendapat makanan yang enak-enak sebagai penghormatan dari mertua untuk menghadapi masa kelahiran bayi.
Menurut Zainuddin (1961:351) upacara ba bu merupakan suatu upacara adat yang dilaksanakan pada saat wanita sedang hamil tujuh bulan, hanya pada hamil yang pertama, sedangkan yang lain tidak diadakan upacara lagi. Tetapi cukup dengan mengantar bu kulah atau nasi bungkus. Apabila telah hamil, maka pada bulan keempat atau kelima ibu dara baro harus meresmikan yang anaknya telah hamil, caranya meresmikan ibu dara baro dan keluarga atau kaum kerabatnya harus peusijuek (menepung tawari) linto baro. Pada hari pelaksanaannya tersebut, harus diundang ibu linto baro dan keluarga yang dirasa perlu datang kerumah orang tua dara baro dengan diperjamukan makan ala kadarnya.
Setelah diketahui dara baro telah hamil, maka pihak orang tua linto baro dan kaum kerabatnya memikirkan dan merancang untuk peusijuk dara baro, pekerjaan ini disebut peusijuk babah kuala artinya menepung tawarkan kuala (muara). Pada hari yang telah ditentukan, berkumpullah dirumah ibu linto baro sekalian wanita-wanita dan keluarga dari familinya atau saudara yang akrab, dengan masing-masing orang membawa sebuah hidangan yang berisi kue-kue yang tersusun berlapis-lapis. Setelah siap, maka rombongan itu berangkat menuju rumah dara baro dan hidangan-hidangan itu diupahkan kepada orang lain membawanya.
Dirumah dara baro ditunggu kedatangan tetamu itu, sepanjang jalan dan lorong dilihat dihitung berapa banyak hidangan itu, kalau hidangan itu 30 banyaknya maka ketahuilah orang bahwa sanak saudara dari linto baro itu ada 30 orang saudara. Disana telah menanti kaum wanita yang menyambut serta dipersilahkan tamu itu duduk di serambi muka yang telah dihiasi dengan semestinya. Sementara itu disuguhkan minuman dan makanan kue-kue yang telah disediakan, selesai upacara penyerahan hidangan-hidangan yang dibawa itu, baru diatur peusijuek dara baro.   
Tempat ini biasa diambil di serambi belakang yang telah disediakan air dalam gudci, maka disuruh dara baro dan linto baro duduk dilantai dengan kain mandi, dibawah rumah telah diletakkan sebuah kelapa yang telah tumbuh (berdaun). Di atas kelapa itulah kedua pengantin itu duduk dan terus disiramkan air oleh wanita tua yang biasa mengurus pekerjaan itu, terlebih dulu menaburkan beras padi, selesai dimandikan diberikan sebuah tombak kepada dara baro yang hamil untuk menusuk kelapa yang ada dibawah rumah dan kemudian kelapa itu harus ditanam, linto baro yang menggali lubang dan dara baro yang menanamnya. Setelah itu barulah kedua pengantin disuruh berpakaian bersih seperti biasa. Kemudian barulah tamu-tamu itu diberikan makan, setelah tamu tersebut pulang, maka kue-kue yang masih ada dibagikan kepada yang patut diberikan kepada saudara dan jiran-jirannya sekampung.
Setelah selesai mee bu oleh ibu linto baro kepada dara baro yang hamil, baru pihak dara baro menerima antaran nasi bungkus (bu kulah) dari orang lain atau rekan sahabat kedua belah pihak seperti resam yang biasa berlaku di setempat, ada yang diantar kerumah atau ada yang mengundang orang hamil itu kerumahnya atau ke pantai. Jadi semenjak itu hampir setiap hari atau sewaktu-waktu rumah orang hamil itu menerima antaran nasi dari luar. Baik secara kecil-kecilan atau besar-besaran, menurut taraf dan kemampuan pihak yang mengantar. Demikianlah adat, reusam dan kanun dari Putroe Pahang yang dipergunakan dalam peralatan (mee bu) secara sederhana.

No comments:

Post a Comment