1. Pengertian
Tradisi
Menurut Kamisa (1997:556) tradisi berarti adat kebiasaan yang turun
temurun yang masih dijalankan di masyarakat. Adat dalam pandangan hukum positif
adalah kebiasaan manusia atas perilaku tertentu dalam salah satu sisi kehidupan
sosial mereka sehingga muncul darinya kaidah yang diyakini secara umum dan
harus dihormati sebagai norma yang melanggarnya berakibat pada dijatuhkannya
materi. Sedangkan dalam pandangan pakar Islam, adat adalah apa yang biasa
dilakukan mayoritas manusia baik dalam bentuk ucapan atau perbuatan, secara
berulang-ulang sehingga meresap dalam jiwa mereka dan diterima dalam pemikiran
mereka (Umar, 2006:77).
Menurut M. Junus Malalatoa (dalam Nurhalimah, 2014:2) tradisi
adalah kebiasaan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya
secara turun-temurun. Kebiasaan ini mencakup berbagai nilai budaya yang
meliputi adat istiadat, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,
kesenian dan sistem kepercayaan. Dimana seorang individu dalam suatu masyarakat
mengalami proses belajar dan bertindak sesuai nilai-nilai budaya yang terdapat dalam
masyarakatnya. Tradisi juga diartikan sebagai penilaian atau tanggapan bahwa
cara-cara yang telah ada merupakan hal paling baik dan benar.
Tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari
masa lalu kemasa kini (Shils, dalam Piotr Sztompka, 2011:70). Dengan kata lain
adat dalam masyarakat Aceh merupakan aturan hidup yang lahir dari proses
kesepakatan antara kaum cendekiawan dan aparat penguasa yang disebut dengan Poteu
Meureuhom. Aturan yang mengatur kehidupan dan sosial kemasyarakatan
tersebut mencakup segala bidang kehidupan, misalnya berhubungan dengan tata
krama pergaulan, sopan santun, aturan-aturan yang berkaitan dengan pertanian
atau bercocok tanam, aturan kelautan dan aturan kehutanan. Konsep kehidupan
bermasyarakat dalam kehidupan dan pergaulan. Misalnya, jika ada yang melanggarnya
akan dikenakan sanksi, sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang
bersangkutan. Namun demikian ada juga yang tidak terlepas dengan
kebiasaan-kebiasaan lainnya seperti reusam. Antara adat dan reusam tidak
bertentangan dan berjalan dalam masyarakat seirama dan seiring dengan syari’at.
Hubungan antara adat reusam dan hukum Islam atau syari’at menjadi
landasan dalam bermasyarakat di Aceh, Salam Asnawi Muhammad (dalam Resi
Andriani 2011:9).
Menurut A.G. Pringgodigdo (1997), adat ialah aturan-aturan tentang
beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah
tertentu di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib
tingkah laku anggota masyarakat. Di Indonesia, aturan mengenai kehidupan
manusia tersebut dipertahankan oleh masyarakat karena dianggap patut. Oleh
karena itu, aturan dan tindakan yang dianggap patut itu mengikat para penduduk,
dan konsekuensinya aturan itu dipertahankan oleh Kepala Adat dan petugas hukum
lainnya (diakses melalui http://repository.usu.ac.id/bitstream/1234).
2. Pengertian Mee Bu (Mengantar Makanan)
Menurut Chalidjah Hasan (1974:8-11) masyarakat
mengenal beberapa upacara adat pada masa hamil seperti boh kayee
(membawa buah-buahan), jak mee bu (membawa nasi), mandi tujuh bulan. Mee
bu suatu upacara mengantar nasi untuk menantu yang sedang hamil, ini diutamakan
untuk anak pertama,tetapi bagi keluarga
yang mampu pada kehamilan berikutnya juga diadakan upacara lagi.
Menurut adat dara baro (pengantin
perempuan) yang telah hamil tiga bulan dikunjungi oleh mak tuan (mertua) dengan
membawa buah-buahan dan tangkai (tangkal) untuk pageu droe (pagar diri).
Pada masa ini umumnya wanita suka makan rujak, leu that peu hawa (ingin
makanan yang aneh-aneh). Dahulu pelaksanaan upacara bideun (dukun bayi)
atau tengku ineung (guru mengaji wanita) tetapi sekarang boleh juga
dilakukan oleh nenek atau orang tua di kampung. Pada golongan terpelajar adat
ini sudah sangat berkurang, kemudian setelah dara baro hamil lima bulan mak
tuan diiringi sanak famili keluarga linto baro datang membawa nasi
lengkap dengan lauk pauknya, aneka ragam kue dan buleukat (nasi ketan),
juga para pengiring masing-masing membawa makanan sebagai buah tangan. Besar
kecilnya iringan famili pihak linto baro menunjukkan tinggi rendahnya
derajat keluarga, pada upacara ini famili pihak dara baro serta jiran sekelilingnya
turut diundang. Tujuan dari mengundang famili dari kedua belah pihak dan
tetangga untuk memberitahukan bahwa anak menantu telah hamil. Pada waktu
diadakan makan bersama pihak keluarga linto baro duduk di seuramoe
keue (serambi muka), dan pihak keluarga dara baro di seuramoe likeuet (serambi
belakang). Dari perbedaan tempat ini menunjukkan bahwa pihak laki-laki
merupakan tamu yang lebih dihormati.
Setelah makan bersama selesai dara baro memohon
maaf dan mohon doa restu dengan bersalaman kepada setiap orang yang hadir
dengan berkeliling. Pertama bersalaman dengan ibu kandung, mertua, kemudian
saudara lainnya. Dari tingkah laku ini menunjukkan bahwa upacara ini merupakan
upacara untuk keselamatan orang sakit, karena orang hamil diumpamakan dengan orang
sakit. Dimana ia harus ditolong dengan doa bersama. Karena anggapan masyarakat
bahwa melahirkan itu menyambung nyawa, yang dikenal dengan ucapan “ureueng
madeueng nyawong bak ujong oek” (orang yang melahirkan nyawanya seperti
diujung rambut). Kemudian disusul pula dengan manoe tujoeh buleun,
wanita yang telah hamil tujuh bulan dimandikan oleh bideun didepan rumah
dengan air rebusan sembilan puluh sembilan macam daun-daunan, cara ini juga
dilakukan pada gadis yang lama dapat jodoh untuk membuang sial yang mungkin ada
didalam badan, pemanggil semangat yang mungkin telah terbang. Masyarakat ini
mempercayai bahwa jiwa manusia ada tujuh yang dinamakan semangat. Apabila salah
satu dari semangat ini meninggalkan badan akan lemah dan mudah diganggu oleh
setan dan roh jahat. Melihat tingkah laku mereka yang sangat teliti dan
pelaksana harus orang-orang yang dianggap benar-benar mengetahui seperti ma
bideun (bidan kampung), yang bertujuan agar ibu dan anak selamat, dan
ketidak berhasilan selalu dihubungkan dengan kurang sempurnanya adat dilakukan.
Kemudian pantangan, pantangan ini perlu
mendapat perhatian karena bila terlanggar akan mengakibatkan bayi sukar lahir
atau cacat. Agar terhindar dari bahaya wanita hamil dilarang duduk di tangga,
karena akan mendapat kesukaran pada waktu melahirkan, melihat monyet, karena
anak yang lahir akan serupa monyet. Keluar disenja hari (menjelang magrib),
karena pada waktu itu setan, buroeng berkeliaran. Tabu juga berlaku untuk si
bapak, ia dilarang membunuh binatang, berpergian di malam hari, jika terpaksa
pulang malam tidak boleh langsung naik kerumah, harus berhenti sebentar diluar
atau di Menasah, tetapi ada pula yang harus mengelilingi rumah tiga kali atau
memutar tumit kaki kanan di atas tanah tujuh kali. Adanya pembatasan tingkah
laku dari si bapak menunjukkan bahwa antara bapak dan anak mempunyai hubungan
mistis, karena tingkah laku si bapak akan mempengaruhi anaknya.
Pantangan-pantangan ini sebenarnya mempunyai nilai kesehatan, akan tetapi
karena rendahnya daya pikir, akibat kurangnya ilmu pengetahuan maka mereka
lebih banyak mengikuti saja tingkah laku orang tuanya yang telah diwariskan
nenek moyangnya.
Ada kepercayaan bahwa wanita hamil suka
diganggu oleh roh jahat atau mahkluk halus yang menunjukkan bahwa ia berada
dalam bahaya maka dicari usaha pencegahnya yaitu benda-benda atau ayat suci
yang dianggap mempunyai kekuatan magis, dan dipakai sebagai tangkal atau
azimat.
Ayat Qur’an yang dipakai sebagai azimat, yang
adanya saja sudah dianggap melindungi, maka jika dilekatkan di badan si pemakai
akan terus-menerus dianggap menghindar dari bahaya. Sikap ini merupakan sikap
rohani yang magis. Alat lain untuk pencegah bahaya adalah lidi, besi, bambu
diletakkan pada tangga depan rumah, pintu, tiang rumah. Selain dari ayat Qur’an
juga ada yang menggunakan benang tujuh warna sebagai azimat, benang ini simbol
dari semangat yang berjumlah tujuh pula, dan berfungsi penjaga semangat jangan
sampai terbang.
Azimat ini tidak dapat dibuat oleh setiap orang
tetapi harus orang yang ahli seperti dukun, karena benda yang akan dipakai
sebagai tangkal harus dirajah (diberi mentera). Tangkal dipakai pada
pinggang atau di lengan kanan, dan harus dibawa kemana pergi. Terutama jika
akan melalui kuburan, pohon besar atau tempat angker (menakutkan). Ketika
melewati tempat ini harus memberi salam dengan mengucapkan kata-kata seperti
berikut: Assalamualaikum, neupeumeuah ulon tuan, lon nyo ureung get-get kon
maksud lon, lon peulaku droeneuh, tetapi lon keuneuk meusyedara (sejahtera
atas kamu, maafkan saya, saya orang baik-baik bukan maksud mengganggu tetapi
saya ingin bersaudara). Dari tingkah laku ini menunjukkan kepercayaan kepada
roh-roh gaib belum hilang.
Menurut Saniyah (Wawancara 28 April 2014) mee
bu adalah suatu upacara adat mengantar makanan kerumah menantu yang sedang
hamil tujuh bulan. Masyarakat Aceh memberi prioritas kepada kesehatan ibu hamil
dan anak, bagi masyarakat Aceh yang mayoritas muslim, ibu hamil dan anak
merupakan tumpuan harapan yang sangat menentukan pertumbuhan, perkembangan dan
penerusan generasi Aceh kedepan. Karena itu, setiap ibu hamil disambut gembira
oleh keluarga suami-istri dan diberikan semangat serta diciptakan kondisi yang
menyenangkan. Masyarakat Aceh dapat memahami pengaruh besar psikologis ibu
hamil terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak dalam kandungan. Maka dari itu
lahirlah pantangan-pantangan yang bertujuan menjaga kehamilan dan selamat
sampai melahirkan.
Pantangan-pantangan tersebut yaitu dilarang
duduk di tangga, melihat binatang yang menyeramkan, keluar dimalam hari dan
bagi suami dilarang pulang malam, membunuh binatang. Wanita yang sedang hamil
dianjurkan untuk banyak berzikir dan membaca Al-qur’an, supaya anaknya kelak
lahir lancar. Seorang istri saat hamil pertama maka sudah menjadi adat bagi
mertua dari pihak suami mempersiapkan untuk mengantar nasi hamil kepada
menantunya. Upacara ini dilaksanakan dalam rangka menyambut cucu yang
dilampiaskan dengan rasa suka cita sehingga terwujud upacara yang sesuai dengan
kemampuan mertua. Nasi yang diantar biasanya dibungkus dengan daun pisang,
terlebih dahulu daun pisang diasapi pada api yang merata kesemua penjuru daun.
Di samping nasi juga dibawa lauk pauk daging dan buah-buahan, bahan ini
dimasukkan dalam sebuah wadah dan diantarkan kerumah menantunya bersama dengan
kaum kerabat dan jiran.acara ini dilaksanakan pada usia kandungan tujuh bulan.
Ada juga dikalangan masyarakat acara mee bu dilaksanakan satu kali saja,
ada yang mengantar satu idang kecil dan ada pula yang mengantar samapai tujuh
lima atau tujuh idang besar. Semua itu tergantung dari kemampuan yang
melaksanakannya. Nasi yang diantar oleh mertua ini dimakan bersama-sama dalam
suasana kekeluargaan.
Menurut Ismail
(2007:124) mee bu adalah seperangkat
upacara adat dalam bentuk nasi beserta lauk pauknya dimasukkan dalam reubeing dan talam hidangan
dari keluarga suami untuk diantar pada bulan-bulan tertentu kepada isteri
beserta keluarganya karena kehamilan. Upacara
ini berlangsung dua kali, ba bu
pertama disertai boh kayee
(buah-buahan), kira-kira usia kehamilan pada bulan keempat sampai bulan kelima.
Acara yang kedua berlangsung dari bulan ketujuh sampai dengan bulan kedelapan.
Bahan-bahan persiapan ba bu atau
mengantar nasi terdiri dari bu kulah
(nasi bungkus), dan lauk pauk yang terdiri dari ikan, daging ayam panggang, dan
burung yang dipanggang. Nasi yang diantar oleh mertua ini dimakan bersama-sama
dalam suasana kekeluargaan. Ini bermaksud bahwa perempuan yang lagi hamil
adalah orang sakit, sehingga dibuat jamuan makan yang istimewa, menurut adat orang
Aceh perempuan yang lagi hamil harus diberikan makanan yang enak-enak dan
bermanfaat.
Semua yang dihantarkan
ke rumah dara barô oleh mertuanya itu
mempunyai makna tertentu salah satunya supaya dari daging burung yang
dipanggang mempunyai makna supaya anak yang dikandung menjadi cerdik dan
lincah, secerdik dan selincah yang dimakan. Jenis burung yang biasa dipilih
adalah burung merpati. Tujuan dari upacara ini agar dara baro mendapat makanan yang enak-enak sebagai penghormatan dari
mertua untuk menghadapi masa kelahiran bayi.
Menurut
Zainuddin (1961:351) upacara ba bu merupakan
suatu upacara adat yang dilaksanakan pada saat wanita sedang hamil tujuh bulan,
hanya pada hamil yang pertama, sedangkan yang lain tidak diadakan upacara lagi.
Tetapi cukup dengan mengantar bu kulah atau nasi bungkus. Apabila telah
hamil, maka pada bulan keempat atau kelima ibu dara baro harus meresmikan yang
anaknya telah hamil, caranya meresmikan ibu dara baro dan keluarga atau kaum
kerabatnya harus peusijuek (menepung tawari) linto baro. Pada hari
pelaksanaannya tersebut, harus diundang ibu linto baro dan keluarga yang dirasa
perlu datang kerumah orang tua dara baro dengan diperjamukan makan ala
kadarnya.
Setelah diketahui dara baro telah hamil, maka
pihak orang tua linto baro dan kaum kerabatnya memikirkan dan merancang untuk peusijuk
dara baro, pekerjaan ini disebut peusijuk babah kuala artinya
menepung tawarkan kuala (muara). Pada hari yang telah ditentukan, berkumpullah
dirumah ibu linto baro sekalian wanita-wanita dan keluarga dari familinya atau
saudara yang akrab, dengan masing-masing orang membawa sebuah hidangan yang
berisi kue-kue yang tersusun berlapis-lapis. Setelah siap, maka rombongan itu
berangkat menuju rumah dara baro dan hidangan-hidangan itu diupahkan kepada
orang lain membawanya.
Dirumah dara baro ditunggu kedatangan tetamu
itu, sepanjang jalan dan lorong dilihat dihitung berapa banyak hidangan itu,
kalau hidangan itu 30 banyaknya maka ketahuilah orang bahwa sanak saudara dari
linto baro itu ada 30 orang saudara. Disana telah menanti kaum wanita yang menyambut
serta dipersilahkan tamu itu duduk di serambi muka yang telah dihiasi dengan
semestinya. Sementara itu disuguhkan minuman dan makanan kue-kue yang telah
disediakan, selesai upacara penyerahan hidangan-hidangan yang dibawa itu, baru
diatur peusijuek dara baro.
Tempat ini biasa diambil di serambi belakang yang
telah disediakan air dalam gudci, maka disuruh dara baro dan linto baro
duduk dilantai dengan kain mandi, dibawah rumah telah diletakkan sebuah kelapa
yang telah tumbuh (berdaun). Di atas kelapa itulah kedua pengantin itu duduk
dan terus disiramkan air oleh wanita tua yang biasa mengurus pekerjaan itu,
terlebih dulu menaburkan beras padi, selesai dimandikan diberikan sebuah tombak
kepada dara baro yang hamil untuk menusuk kelapa yang ada dibawah rumah dan
kemudian kelapa itu harus ditanam, linto baro yang menggali lubang dan dara
baro yang menanamnya. Setelah itu barulah kedua pengantin disuruh berpakaian
bersih seperti biasa. Kemudian barulah tamu-tamu itu diberikan makan, setelah
tamu tersebut pulang, maka kue-kue yang masih ada dibagikan kepada yang patut
diberikan kepada saudara dan jiran-jirannya sekampung.
Setelah selesai mee bu oleh ibu linto
baro kepada dara baro yang hamil, baru pihak dara baro menerima antaran nasi
bungkus (bu kulah) dari orang lain atau rekan sahabat kedua belah pihak
seperti resam yang biasa berlaku di setempat, ada yang diantar kerumah atau ada
yang mengundang orang hamil itu kerumahnya atau ke pantai. Jadi semenjak itu
hampir setiap hari atau sewaktu-waktu rumah orang hamil itu menerima antaran
nasi dari luar. Baik secara kecil-kecilan atau besar-besaran, menurut taraf dan
kemampuan pihak yang mengantar. Demikianlah adat, reusam dan kanun dari
Putroe Pahang yang dipergunakan dalam peralatan (mee bu) secara
sederhana.
No comments:
Post a Comment