Membina
rumah tangga bukanlah suatu perkara yang mudah, apalagi bagi pasangan
suami-istri yang masih dalam tahap-tahap awal pernikahannya. Tentunya ada
terjadi permasalahan-permasalahan yang dapat menimbulkan pertengkaran dan
perselisihan antara suami-istri. Hal ini wajar, karena untuk menyatukan paham
dan pemikiran dalam menuju satu tujuan, tentunya kadang-kadang terjadi
perselisihan pendapat. Selain itu, ekonomi rumah tangga yang tidak stabil juga
dapat menimbulkan keributan dalam rumah tangga.
Problem-problem
lainnya yang kemungkinan akan timbul seperti penghasilan suami yang belum
mencukupi kebutuhan rumah tangga atau bahkan sedang tidak mempunyai pekerjaan
untuk membiayai kebutuhan keluarga. Semua hal tersebut merupakan permasalahan
yang harus dicarikan solusinya agar terciptanya rumah tangga yang harmonis dan
selalu tenteram.
Berkaitan
dengan masalah di atas, Mudjib Mahalli menjelaskan bahwa berhiasnya seorang
dengan hiasan sikap sabar adalah salah satu hal yang dapat memberikan
kontribusi bagi peningkatan kebahagiaan hidup dalam rumah tangga. Dengan sabar,
seorang istri akan selalu mampu bertahan dalam menghadapi realita hidup, baik
berupa problem rumah tangga, cobaan maupun musibah yang menimpa dirinya, suami
mapun keluarga, demikian juga sebaliknya dengan seorang suami yang bersabar
terhadap segala cobaan yang datang, maka dengan mengedepankan sikap sabar, akan
mampu menghadapi semua cobaan tersebut.[1]
Dengan
demikian, kesabaran merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh
pasangan suami-istri untuk menempuh dan menghadapi setiap
permasalahan-permasalahan yang timbul. Bila kesabaran dimiliki oleh
masing-masing pihak, maka tidak terjadi keributan. Sebaliknya, bila semua
permasalahan dihadapi dengan ketidak sabaran maka akan terjadi
ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
Mengenai
permasalahan di atas, Ali Qaimi menjelaskan bahwa kehidupan bersama dalam rumah
tangga memerlukan kesatuan dan kebersamaan yang solid. Oleh sebab itu, setiap
pasangan suami-istri harus menyatukan pemikiran dan menghilangkan egoisme dalam
kehidupan rumah tangganya. Mereka harus merumus dan mengambil keputusan yang
tepat secara bersama-sama agar masing-masing pihak merasa puas dan saling
mendukung satu sama lain.[2]
Kehidupan
rumah tangga akan berjalan dengan baik dan bahagia manakala suami-istri dapat
menempuh perjalan rumah tangga dengan penuh kesabaran. Orang yang kehilangan
kesabaran, maka mereka pasti akan menemui ketidakharmonisan dalam membina
keluarga bahagia.[3]
Dari
penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa suami-istri hendaknya menghadapi
segala permasalahan yang timbul dalam rumah tangga dengan penuh kesabaran dan
mencarikan solusi terhadap masalah tersebut. Tanpa adanya kesabaran dari kedua
belah pihak (suami-istri) akan sulit terwujud kehidupan yang bahagia, bahkan
akan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru yang berkibat lebih membuat
kehancuran dan keretakan pasangan suami-istri, bahkan tidak tertutup
kemungkinan akan terjadi perceraian.
Sering
timbulnya permasalahan yang disebabkan suami tidak mencukupi nafkah istri.
Karena istri tidak sabar menghadapi problem tersebut, akhirnya terjadilah
perceraian. Demikian juga sebaliknya, seorang suami yang tidak sabar dalam
mendidik atau menghadapi sikap tidak baik menurut suami, akan terjadi
perceraian atau berbagai perselisihan-perselisihan lainnya yang timbul antara
kedua belah pihak. Intinya, ketika permasalahan tersebut tidak disikapi dengan
kesabaran, maka akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Adapun
berbagai masalah yang berpotensi memunculkan pandangan yang berbeda, seyogianya
ditangani bersama dengan selalu mengedepankan kebijakan, kejujuran, kesabaran,
bujukan dan ingatan bahwa pertengkaran hanya akan membahayakan kehidupan rumah
tangga mereka dan anak-anaknya.[4]
Karenanya,
dengan terjalinnya hubungan seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan
perkawinan yang suci dan sakral, maka tentunya harus dapat melatih diri untuk
bersabar terhadap permasalahan-permasalahan yang kemungkinan timbul nantinya.
Selain
melatih sikap sabar, bersikap jujur juga merupakan suatu hal yang sangat
penting dalam membina rumah tangga, karena bersikap jujur merupakan dasar pembinaan
kepribadian yang sangat penting dalam ajaran Islam. Bersikap jujur memerlukan
perjuangan yang tidak ringan, karena banyaknya godaan dari lingkungan sekitar
yang membuat untuk tidak bersikap jujur.[5]
Demikian
juga halnya dalam membina rumah tangga, perlu selalu dilatih kejujuran terhadap
pasangannya masing-masing. Karena dengan terbinanya kejujuran antara
suami-istri, maka akan timbul rasa saling percaya dan saling menjaga yang pada
hakikatnya akan tercipta sebuah rumah tangga yang penuh dengan kebahagiaan dan
kedamaian didalamnya.
Berkaitan
dengan penjelasan di atas, Muhammad Nur Abdul Hafizh menjelaskan bahwa bersikap
jujur merupakan dasar pembinaan kepribadian yang sangat penting dalam ajaran
Islam. Dan bersikap seperti ini memerlukan perjuangan yang tidak ringan, karena
banyaknya godaan dari lingkungan sekitar yang membuat untuk tidak bersikap
jujur.[6]
Untuk
mencapai kesuksesan dalam bidang apapun sebenarnya selain dengan kerja keras,
usaha, dan penuh dengan kesabaran, ada satu lagi yang paling penting demi
sebuah profesionalisme atau keberhasilan yaitu kejujuran. Karena hal ini adalah
komponen penting dalam setiap hal termasuk dalam membina rumah tangga. Tanpa
terciptanya sebuah prilaku jujur dalam membina rumah tangga, maka akan sukar
diharapkan terciptanya rumah tangga yang bahagia dan islami sebagaimana yang
diharapkan.
Pembinaan
kejujuran merupakan hal terpenting bagi individu dalam menjalani hidup berumah
tangga. Penanaman sikap jujur dimulai dari diri sendiri. Apa yang dikatakan
harus sesuai dengan kenyatannya. Jika semua yang dilakukan sesuai dengan
kenyataannya, maka akan tertanam sikap jujur dalam diri masing-masing pasangan
suami-istri dan akan terbina pula pada anak-anaknya.
Dengan
demikian, membina kesabaran dan kejujuran antara pasangan suami-istri merupakan
hal terpenting dalam membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
[1]A.
Mudjib Mahalli, Menikahlah…, hal.
468.
[2]Ali
Qaimi, Singgasana Para Pengantin, (Terj),
Abu Hamida, (Bogor: Cahaya, 2002), hal.
15.
[3]Ali
Qaimi, Singgasana Para…, hal. 122.
[4]Ali
Qaimi, Singgasana…, hal. 15.
[5]Muhammad
Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Jakarta:
Al-Bayan, 1988), hal. 187.
[6]Muhammad
Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak…, hal. 187.
No comments:
Post a Comment