Wednesday, November 8, 2017

Upaya Membina Keluarga Mawaddah; Menciptakan Kedamaian dan Ketentraman dalam Rumah Tangga

Household is the smallest institution in society that has function as a vehicle to realize a peaceful life, safe, peaceful and prosperous in an atmosphere of love and affection among its members. [1]
According to Mudjab Mahalli, the contract in marriage is eternal. That is, it is not limited to a certain time and it will not be exhausted at any given time. Thus, the householder should be continuous, whose goal is to achieve the peace and serenity of each party (husband and wife). [2]
Explanation of the matter as contained in the words of Allah Swt surat ar-Ruum verse 21, namely:
ومن ءايته أن خلق لكم من أنفسكم أزوجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن فى ذلك لأيت لقوم يتفكرون (الروم: ٢١)                                            
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Ruum: 21)

Dengan demikian jelas, bahwa maksud dari pernikahan adalah untuk mencapai kedamaian dan ketetangan jiwa. Sekalipun ketenangan merupakan suatu tujuan dalam satu segi, tetapi dalam segi yang lain ketenangan merupakan sarana untuk mendapatkan kebahagiaan. Sebab tujuan mencari keturunan yang mulia tidak mungkin terwujud tanpa adanya kasih sayang, kedamaian dan ketenangan diantara suami-istri. Dan kehidupan masa depan tidak mungkin cemerlang tanpa adanya kedamaian dan ketenteraman tersebut.[3]
Oleh sebab itu, untuk memupuk rasa kedamaian dan ketenteraman dalam rumah tangga, suami-istri harus selalu menjaga dan terus melestarikan kebahagiaan yang telah ada dengan cara saling menjaga dan merawat kedamaian dan ketenteraman tersebut.
Menurut pendapat Alvin Toffler, menjelaskan bahwa dalam kehidupan rumah tangga harus tercipta suasana yang merasa saling kasih, saling asih, saling cinta, saling melindungi dan saling sayang. Semua anggota keluarga harus menciptakan suasana bahwa rumah adalah tempat yang nyaman bagi mereka. Keluarga menurut Toffler, dapat berfungsi laksana raksasa peredam kejutan yakni tempat kembali berteduh setiap individu (anggota keluarga) yang babak belur dan kalah dalam pertaruhan hidup diluar rumah.[4]
Dalam bahasa Islam, rumah tangga berfungsi sebagai surga atau taman indah, yaitu tempat bagi setiap anggota keluarga untuk menikmati kebahagiaan hidupnya dan menjadi penangkal gelombang kehidupan yang keras. Jika suasana kehidupan rumah tangga berantakan dan terpecah, tidak aman dan tentram maka kehidupan rumah tangga akan mengalami ketidak harmonisan. Aman dan tentram yang dimaksudkan disini bukan hanya terbatas pada aspek fisik semata, tetapi juga dalam aspek kehidupan kejiwaan (psikis).

1.        Menghindari adanya kekerasan baik fisik maupun psikis
Dalam kehidupan berkeluarga, jangan sampai ada anggota keluarga yang merasa berhak memukul atau melakukan tindak kekerasan fisik dalam bentuk apapun, dengan dalih atau alasan apapun, termasuk alasan atau dalih agama terhadap sesama anggota keluarga. Begitu juga setiap anggota keluarga harus terhindar dari kekerasan psikologi.
Setiap anggota keluarga harus mampu menciptakan suasana kejiwaan yang aman, merdeka, tentram dan bebas dari segala bentuk ancaman yang bersifat kejiwaan, baik dalam bentuk kata atau kalimat sehari-hari yang digunakan maupun panggilan antar anggota keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan ketakutan bahkan sekedar ketersinggungan.[5]
Menghindari kekerasan pisik merupakan suatu hal mutlal yang harus dihindari oleh pasangan suami-istri, karena kekerasan pisik hanya akan membawa dampak atau masalah yang lebih besar lagi berupa pelanggaran etika berumah tangga (KDRT) yang hal tersebut akan berhadapan dengan hukum. Demikian juga kekerasan terhadap anak juga. Hal demikian bukan hanya melanggar aturan agam tetapi juga melanggar hukum Negara yang membuat seseorang dipenjara. Namun hal yang paling patal akibat KDRT adalah berujung pada perceraian.
Demikian juga halnya dengan kekerasan psikis, makanya dalam membina rumah tangga harus dibangun prinsip komunikasi yang baik atau dengan bermusyawarah. Prinsip tersebut merupakan suatu hal untuk menghindari keegoan masing-masing pihak dari kekerasan psikis. Dengan menghindari adanya kekerasan baik fisik maupun psikis, maka akan mampu menciptakan kedamaian dan ketentraman dalam rumah tangga.
2.        Menjadikan hubungan suami istri dan anggota keluarga lainnya adalah hubungan relasi
Relasi gender dalam hubungan suami dan istri dan anggota keluarga lainnya merupakan hubungan kemitrasejajaran. Meskipun pengertian kemitrasejajaran tidak bisa difahami dengan makna yang seragam, persis sama, tetapi pengertian kemitrasejajaran yang dimaksud disini adalah suatu relasi yang berdasarkan keadilan, saling membutuhkan dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya dalam membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.[6]
The implications of this principle will create a mutual understanding of personal background, acceptance of hobbies, advantages and disadvantages of each family member, mutual respect for words, feelings, talents and desires and appreciate the family, trust each other individually and the ability of each family member, love each other and stay away from selfishness in the home.
Based on the above explanation, it can be understood that by avoiding the existence of violence both physical and psychic and by making the relationship of husband and wife and other family members is relationship relations, it will create an atmosphere of peace and tranquility in the household, so the ideals of building a sakinah household , mawaddah wa rahmah can be achieved.






[1] Sri Mulyati,Husband Relations in Islam,(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004), p. 39.
[2] Mudjab Mahalli,Marry..., p. 45.

[3] Mudjab Mahalli,Marry..., p. 45.
[4] Alvin Toffler,Surprises and Waves, fall. Sri Kasdiyantinah, (Jakarta: Pantja Sympathy, 1987), p. 239.

[5] Khairuddin Nasution,Islam..., p. 58-59.

[6] Hamim Ilyas,Gender in Islam: Problems of Interpretation,(Jakarta: Azzam Library, 2001, p.

No comments:

Post a Comment