Wednesday, November 8, 2017

Peranan Suami-Istri dalam Membina Rumah Tangga Mawaddah

Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum terhadap akad tersebut, dengan demikian akan menimbulkan juga hak dan kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga, yang meliputi: hak suami istri secara bersama, hak suami terhadap istri, dan hak istri terhadap suami.[1]
Untuk mewujudkan rumah tangga yang mawaddah, haruslah bersama-sama antara suami dan istri untuk mengekalkan cinta yang merupakan anugerah dari Allah Swt, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas hubungan suami dan istri dalam rumah tangga sangat mempengaruhi keluarga menjadi sakinah, mawaddah wa rahmah.[2] Kehidupan harmonis suami-istri itu adalah  rumus dari kebahagiaan dunia. Maka ciptakanlah keluarga yang bahagia agar hidup di dunia juga bahagia.[3]
Oleh sebab itu, suami-istri harus sama-sama menjaga dan menghormati ikatan perkawinan yang telah dibuat sebagai sebuah  ikatan yang suci. Agar perkawinan itu menjadi kuat, diperlukan pengikat yang kuat pula. Adapun  pengikat perkawinan adalah sebagai berikut:
1.      Sakinah
Kata sakinah berasal dari susunan kata, “sakana, yaskunu, sakinatan” yang berarti rasa tentram, aman, dan damai. Sakinah yang bermula dari akar kata sakan, berarti menjadi tenang, mereda, hening, tinggal.[4] sakinah adalah adanya ketentraman dalam hati pada saat datangnya sesuatu yang tidak diduga, dibarengi satu nur (cahaya) dalam hati yang member ketenangan dan ketentraman pada yang menyaksikannya, dan merupakan keyakinan berdasarkan (ain al-yaqin).[5] Kata sakinah diartikan oleh Cyril Glasse dengan ketenangan, dan kedamaian.[6] Seseorang akan merasakan sakinah apabila terpenuhi unsur-unsur hajat hidup spiritual dan material secara layak dan seimbang dalam rumah tangga.[7]
2.      Mawaddah
Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Quraish Shihab mengatakan: “mawaddah” adalah “cinta plus”. Orang yang di dalam hatinya ada mawaddah tidak akan  memutuskan  hubungan,  seperti  apa  yang  terjadi  pada  orang bercinta.  Ini  disebabkan  hatinya  begitu  lapang  dan  kosong  dari keburukan,  sehingga  pintu-pintunyapun tertutup untuk dimasuki keburukan.[8]
3.      Rahmah
Quraish Shihab mengatakan: “rahmah” kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan. Rahmah menghasilkan kesabaran, murah hati, tidak cemburu  buta,  tidak  mencari  keuntungan  sendiri,  tidak  menjadi pemarah apalagi pendendam.[9]
Kualitas mawaddah wa  rahmah  di  dalam  rumah  tangga,  yang  dipupuk  oleh suami  dan  istri  sangat  menentukan  bagaimana  kondisi  rumah  tangga  tersebut, apakah  bahagia  atau  tidak. 
Jadi, tidak bisa di sangkal lagi, bahwa istri tidak hanya membutuhkan  makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan segala  kebutuhan  material  belaka,  namun  istri  juga  sangat mengharapkan dari suami perhatian yang tulus, perkataan yang halus, wajah yang cerah, senyum yang ceria, senda gurau yang  menyenangkan, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra serta berbagai perilaku mulia yang menyejukkan hati dan  mendinginkan  gundahnya,  bahkan  itu  semua  melebihi  dari pada  kebutuhan material.[10]
Pernikahan dalam Islam menawarkan ketenangan jiwa dan kedamaian pikiran, sehingga laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama dalam cinta, kasih sayang, harmonis, kerjasama, saling menasehati, menghargai dan toleran meletakkan pondasi mengangkat keluarga Islam dalam suatu lingkungan yang lestari dan sehat.[11]
Untuk mewujudkan itu, tidak hanya perempuan yang harus dipilih oleh  laki-laki, tetapi perempuanpun diberi hak untuk memilih laki-laki yang akan dijadikannya suami. Dan yang terbaik dalam pemilihan criteria calon pendamping hidup adalah yang bagus agamanya.
Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda:
عن ابى هريرة رضي الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : تنكح المرأة لاربع : لمالها, ولحسبها, ولجمالها, ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك (متفق عليه) 
Artinya: “Dari Abi Hurairah ra, dari Nabi Saw, Beliau bersabda: “Seorang wanita dinikahi karena empat sebab: Karena hartanya, karena kedudukannya, sebab kecantikannya, dan sebab agamanya; maka hendaklah kamu memilih sebab agamanya, engkau pasti akan bahagia” (HR. Bukhari-Muslim).[12]

Selama ini, orang yang selalu di sorot dalam kehidupan rumah tangga adalah seorang istri, karena dia memang dianggap sebagai yang paling  bertanggung jawab  tentang  kehidupan  di  dalam  rumah, mulai  dari melayani  suami, merawat dan mendidik  anak,  ini berakibat  ketika  ada  sesuatu kesalahan di  rumah  tangga itu, istri lah yang sering disalahkan.
Sebenarnya tidaklah pantas untuk  selalu menyalahkan istri, karena suami pun ikut  bertanggung  jawab. Tidak becusnya seorang istri dalam melayani suami, tidak berhasil dalam mendidik anak dan lain sebagainya, juga menggambarkan bahwa suami tidak bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga tersebut, sehingga ia tidak bisa membimbing istrinya.
Dalam kehidupan rumah tangga, adakalanya laki-laki menjadi pemimpin bagi keluarganya, menjadi bapak bagi anak-anaknya, menjadi teman hidup serta sebagai saudara bagi istrinya. Dengan demikian, istri bukanlah menjadi  saingan bagi suami, apalagi sebagai musuh. Tetapi suami dan istri akan jalan bersama, saling melengkapi dan membutuhkan untuk tercapainya cita-cita menjadi keluarga yang sakinah.
Suami istri adalah pondasi dasar bagi sebuah bangunan rumah tangga, karena itulah Islam menetapkan kriteria khusus baginya, hingga menimbulkan rasa cinta, sayang, menasehati dalam  kebenaran  dan  kesabaran dan  serta  saling keterikatan.[13]
Jadi, peranan suami-istri dalam membina keluarga sakinah adalah bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh sama-sama (laki-laki yang menjadi pasangan  hidup resmi seorang perempuan) untuk mewujudkan keluarga yang penuh dengan kedamaian, ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan.
Pada diri manusia mempunyai kelebihan dan juga kekurangan, kelebihan. Dan kekurangan itu membuktikan bahwa manusia  tidak ada yang sempurna dan  sifat yang sempurna itu hanyalah ada pada Allah Swt untuk  itulah manusia hidup di dunia ini harus saling tolong menolong dan lengkap melengkapi.
Allah Swt juga telah menciptakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dalam susunan badannya, bentuk dan sifatnya, kulit dan dagingnya, tulang dan darahnya, kepala dan rambutnya, akal dan pikirannya, kekuatan tubuh dan anggotanya, jenis kelamin dan seterusnya.
Perbedaan-perbedaan itu tentu mempunyai hikmah yang banyak dan laki-laki maupun perempuan tidak akan dapat membantah dan menyangkalnya, sehingga dengan perbedaan itu,  mereka  dapat  saling  mengerti,  cinta  mencintai,  sayang menyayangi dan selanjutnya mereka juga dapat saling kuasa menguasai. Maka dari itu, pendamping istri yang baik adalah suami yang bertanggung jawab.

Menurut Al-Qur’an, seorang suami yang bertanggung jawab adalah suami yang bergaul dengan istrinya secara baik dan penuh kesabaran terhadap apa yang tidak disukai darinya.[14] Hal tersebut sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat  an-Nisa ayat 19, yaitu:
ياأيها الذين امنوا لا يحل لكم أن ترثوا النساء كرها ولا تعضلوهن لتذهبوا ببعض ما اتيتموهن إلا أن يأتين بفاحشة مبينة وعاشروهن بالمعروف  فإن كرهتموهن فعسي أن تكرهوا شيأ ويجعل الله فيه خيرا كثيرا (النساء: ١٩)                      
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan  jalan  paksa  dan  janganlah  kamu  menyusahkan  mereka  karena hendak  mengambil  kembali  sebagian  dari  apa  yang  telah  kamu  berikan kepadanya,  terkecuali  bila  mereka  melakukan  pekerjaan  keji  yang  nyata. Dan  bergaullah  dengan  mereka  secara  patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (Q.S. An-Nisa: 19).

Pandangan  al-Quran di atas tentang suami yang bertanggung jawab, sama dengan pandangan hadis dari Rasulullah Saw, yaitu:
أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا,وخياركم لنسائهم خلقا (رواه الترميزى)        
Artinya: “Sesungguhnya mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah kalian yang baik terhadap istri-istri kalian” (HR. Tirmidzi).[15]
Sejalan dengan al-Qur’an dan hadis di  atas,  Syaikh  Hafizh  Ali  Syuaisyi mengatakan bahwa suami akan menjaga istrinya dan memperlakukannya dengan patut seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt.[16] Ahmad Kusyairi menyebut suami dengan istilah suami yang shalih mengatakan: “Yang selalu menunaikan kewajiban-kewajiban Allah Swt, keluarga dan semua orang yang ada dalam tanggungannya, dengan ikhlas penuh semangat dan lapang dada, yang selalu berusaha membahagiakan istrinya”.[17]
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat penulis simpulkan bahwa ada peranan yang harus dilakukan oleh suami-istri dalam membina rumah tangga yang sakinah. Ketika peranan itu dilakukan, maka hadirlah di tengah-tengah keluarga kebaikan dan keberkahan.
Jadi menciptakan rumah tangga mawaddah yaitu menciptakan rumah tangga (sesuatu yang berkenaan dengan keluarga) yang penuh dengan rasa cinta, kedamaian,  ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan.
Pada dasarnya, membangun rumah tangga itu membutuhkan perjuangan yang luar biasa beratnya, dimulai dari pemancangan pondasi aqidah dan pilar-pilar akhlak. Sebelum menciptakan rumah tangga yang sakinah, seorang suami harus memiliki kepribadian suami yang shaleh, agar suami sukses membentuk keluarga sakinah.  Berhubungan dengan  itu,  Kasmuri Selamat mengemukakan beberapa kepribadian suami shaleh, yaitu:
1.      Berpegang Teguh Kepada Syariat Allah Swt
Laki-laki yang shaleh adalah seorang laki-laki yang senantiasa berpegang teguh kepada syariat Allah Swt dalam segala urusan kehidupannya. Ia tunaikan kewajiban-kewajiban yang Allah Swt telah tentukan keduanya. Jika ia menjadi seorang suami, ia akan melaksanakan kewajiban terhadap keluarganya penuh  tanggung  jawab,  bersemangat,  penuh  perhatian  serta berlapang dada.[18]
2.      Seimbang antara Hak dan Kewajiban
Seimbang antara hak dan kewajiban maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan sehari-hari sikapnya tidak tamak, tidak menuntut lebih banyak dari yang semestinya, bahkan ia menerima dengan rela terhadap kekurangan-kekurangan yang ada. Ia tidak pernah menyia-nyiakan kewajibannya, kewajiban tersebut ia tunaikan sebelum menuntut haknya.
3.      Berpedoman Kepada Petunjuk Rasulullah Saw
Laki-laki yang shaleh tentu akan membahagiakan istrinya. Dalam kehidupan berumah tangga ia senantiasa berpedoman kepada petunjuk Rasulullah Saw dalam segala perbuatannya sehari-hari termasuk dalam hal berumah tangga. Karena apa-apa yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw baik berupa perkataan maupun perbuatan, merupakan sesuatu yang patut untuk dipedomani oleh umat Islam agar memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
وحقهن عليكم أن تحسنوا إليهن فى كسوتهن وطعامهن (رواه الترميزى)          
Artinya: “Dan hak meraka (istri) kepada kalian adalah; kalian harus berbuat baik kepada mereka dalam masalah sandang dan pangan (pakaian dan makanan) (HR. Tirmizdi).[19]
Itulah kesaksian agung Rasulullah Saw bagi suami yang shaleh, kesaksian kebajikan yang diiringi dengan kesempurnaan iman serta akhlak yang mulia. Disamping  itu  ciri-ciri  dari  laki-laki  shaleh  yang  membahagiakan kehidupan rumah tangga sebagaimana Kasmuri Selamat menyebutkan antara lain sebagai berikut:
a.       Mendirikan rumah tangga semata-mata karena Allah Swt.
b.      Melayani dan menasehati Istri dengan sebaik-baiknya.
c.       Menjaga hati dan perasaan istri.
d.      Senantiasa bertenggang rasa dan tidak menuntut sesuatu di luar kemampuan istri.
e.       Bersabar dan menghindari memukul istri dengan pukulan yang memudaratkan.
f.       Tidak mencaci istri di hadapan orang lain dan tidak memuji wanita lain di hadapannya.
g.      Bersabar  dan  menerima  kelemahan  istri  dengan  hati  yang  terbuka, serta meyakini  bahwa  segala  sesuatu  yang  dijadikan Allah  swt  pasti terdapat hikmah yang tersembunyi di sebaliknya.
h.      Mengelakkan  agar  jangan  terlalu mengikuti  kemauan  istri,  karena  ia akan  melunturkan  nama  baik  dan  prestasi  suami  selaku  pemimpin rumah tangga.
i.        Memberi  nafkah  kepada  istri  dan  anak-anak  menurut  kadar kemampuan.
j.        Menyediakan keperluan dan tempat tinggal yang layak untuk mereka.
k.      Bertanggung  jawab menidik akhlak  istri dan anak-anak sesuai dengan kehendak Islam.
l.        Senantiasa menjaga tentang keselamatan mereka.
m.    Memberi  kasih  sayang  dan  rel  berkorban  apa  saja  demi  kepentingan dan kebahagiaan bersama.[20]

Menciptakan rumah tangga yang mawaddah tidak semudah membalikkan  telapak tangan. Membina sebuah rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa  rahmah, adalah dambaan dari setiap suami istri yang berikrar dalam cinta dan kasih sayang.
Semua orang Islam berharap dengan penuh perjuangan dan pengorbanan, agar mahligai  rumah  tangga  yang  dibangun  dengan  landasan  cinta  dan  kasih  sayang dalam rumah tangga menjadi teladan bagi penghuninya maupun generasi yang akan  lahirkan. Namun, ternyata ketika bahtera itu mulai mengarungi lautan yang  luas, seringkali kemudi menjadi  rebutan  antara suami  istri.  Mereka  berusaha  menjadi nakhoda handal, dan bersikeras menunjukkan arah tujuan yang diarungi.
Begitu banyak yang merindukan berumah tangga menjadi suatu yang teramat indah, bahagia, penuh dengan pesona cinta dan kasih sayang. Akan tetapi, kenyataan yang ada, di saksikan deretan antrian orang-orang yang gagal dalam  menciptakan  rumah  tangga  bahagia.  Hari  demi  harinya  hanya  diisi kecemasan,  ketakutan,  kekerasan,  kegelisahan  dan  penderitraan.  Bahkan  tidak jarang  diakhiri  dengan  kenistaan yang berujung dengan perceraian sehingga melahirkan penderitaan yang  berkepanjangan,  terutama  bagi  anak-anak  yang dilahirkan.
Ternyata merindukan rumah tangga yang mawaddah itu harus benar-benar disertai dengan kesungguhan, yakni mengerahkan segala daya dan upaya dalam pengertian yang sebenarnya. Ada  empat  kiat minimal menuju  keluarga  yang mawaddah yaitu sebagai berikut:
1.      Jadikan rumah tangga sebagai pusat ketentraman bathin dan ketenangan jiwa
Keluarga/rumah tangga adalah sebuah institusi terkecil  di dalam masyarakat yang berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang  tentram,  aman, damai, dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang diantara anggota-anggotanya.[21] Sesungguhnya  rumah  tangga  itu  bisa  dijadikan  pusat  ketenangan, ketentraman  dan  kenyamanan  bathin  para  penghuninya.  Sehingga  ketika sang suami sudah berlumuran keringat, bersimbah peluh, bekerja keras, ia akan selalu merindukan untuk pulang ke rumah.
Ketika  rumah  tangga mampu  di jadikan  sebagai  pusat  ketentraman  batin  dan ketenangan jiwa, maka anak-anak pun  akan  rindu  berkumpul  bersama dengan orang tuanya dalam lingkungan keluarga. Oleh sebab itu, suami-istri harus mampu menciptakan rumah sebagai pusat ketenangan batin dan ketenangan jiwa, hal ini dimaksudkan agar rumahtangga mampu menjadi pelepas dahaga.
2.      Jadikan rumah tangga sebagai pusat ilmu
Rumah tangga yang ditingkatkan derajatnya oleh Allah Swt bukanlah rumah tangga yang memiliki status sosial keduniawian, punya harta berlimpah, mobil mewah, rumah megah dan lain sebagainya. Tidak pula rumah tangga yang para  penghuninya adalah penuh dengan deretan titel dan gelar yang digunakan untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga di hadapan manusia.  Bahkan  justru  hal seperti itu seringkali memisahkan dengan kebahagiaan bathin dan ketentraman jiwa. Tidak jarang pula rumah tangga yang berlimpah dengan kekayaan justru membuat penghuninya di miskinkan oleh keinginan-keinginan, diperbudak dan dinistakan oleh apa yang dimilikinya. Hendaknya sesudah memantapkan niat kita kepada Allah Swt untuk mengarungi bahtera rumah tangga, maka kekayaan yang  harus dimiliki dalam berkeluarga adalah ilmu. Merawat dan mendidik anak merupakan  tugas bersama  suami  istri.[22]
3.      Jadikan rumah tangga sebagai pusat nasehat
Suami istri hendaknya mengetahui bahwa semakin hari semakin banyak yang harus dilakukan. Untuk itulah dibutuhkan orang lain agar bisa melengkapi kekurangan tersebut guna memperbaiki kesalahan serta bisa nasehat menasehati diantara sesama. Oleh karena itu, rumah tangga bahagia adalah rumah tangga yang dengan sadar dan menjadikan sikap saling menasehati, saling memperbaiki serta saling mengoreksi dalam kebenaran dan kesabaran sebagai kekayaan yang berharga dalam rumah tangga.
Suami yang baik adalah suami yang mau dinasehatin oleh sang istri, begitupula sebaliknya. Karena keduanya  tidaklah boleh merasa lebih baik dan lebih berjasa dalam membangun rumah tangga, karena keduanya saling melengkapi dan mempunya peran dan tugas masing-masing dalam mengurus rumah tangga. Apabila sebuah rumah tangga mulai saling menasehati, maka rumah tangga tersebut bagaikan cermin, yang tentu cermin akan mampu membuat sebuah penampilan penghuninya menjadi lebih baik. Tidak ada koreksi yang paling aman selain koreksi dari keluarga kita sendiri.
4.      Jadikan rumah tangga sebagai pusat kemuliaan
Hendaknya suami istri mampu menjadikan rumah tangga seperti cahaya matahari. Menerangi kegelapan, menumbuhkan  bibit-bibit, menyegarkan yang  layu,  selalu dinanti cahayanya dan membuat gembira bagi yang terkena pancaran cahayanya.
Keluarga yang mulia adalah keluarga yang bisa menjadi contoh kebaikan bagi  keluarga  yang  lainnya.  Sehingga  tidak  ada  yang  diucapkan  selain kebaikan tentang keluarga yang telah dibangun. Demikianlah empat kiat menuju keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah yang hendaknya dilakukan oleh keluarga muslim di era modern in. Karena betapa memilukan  sekaligus memalukan  jika  ada  keluarga muslim  yang melakukan  tindakan kekerasan  rumah  tangga  seperti yang  akhir-akhir  ini terjadi.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep Islam dalam pembinaan keluarga agar menjadi sebuah keluarga yang mawaddah, maka ada beberapa hal yang kiranya perlu dilakukan oleh suami-istri yaitu dengan menjadikan rumah tangga sebagai pusat ketentraman batin dan ketenagan jiwa, pusat kemuliaan, pusat nasehat, serta pusat ilmu pengetahuan. Hal tersebut akan dapat terwujud manakala ada upaya-upaya yang ditempuh oleh suami-istri untuk menuju kea rah itu, jadi dengan adanya peranan antara suami-istri, maka akan terwujud sebuah keluaga yang sakinah mawaddah wa rahmah dalam rumah tangga.




[1]Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: Pustaka Setia1999),          hal. 157-162.
[2]Shaleh Gisymar, Kado Cinta untuk Istri, (Yogyakarta: Arina, 2005), hal. 91.
[3]Abu Mohammad  Jibril  Abdurrahman,  Karakteristik  Lelaki  Shalih, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000), hal. 21.
[4]Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hal. 689.
[5]Zaitunah Subhan, Membina Keluarga Sakinah, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004),    hal. 4.

[6]Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 5.
[7]Tim Penyusun, Modul Pembinaan…, hal. 5.
[8]Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 195.
[9]Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an…, hal. 196.

[10]Adil Fathi Abdulloh, Menjadi Suami Tercinta, Terj. Bukhori Abu Syauqi, (Pasuruan: Hilal Pustaka, 2007), hal. xiii.
[11]Muhammad Ali Al-Hasyimi, Menjadi Muslim  Ideal,  Terj. Ahmad Baidowi, (Jakarta:  Mitra Pustaka, 1999), hal. 93.

[12]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih…, hal. 143.

[13]Abdul  Hamid,  Bimbingan  Islam  untuk  Mencapai  Keluarga  Sakinah,  Terj.  Ida  Nursida, (Bandung: Al-Bayan, 1996), hal. 21.

[14]Majdi Fathi Al-Sayyid, Bingkai Cinta Sepasang Merpati: Bahagia Menjadi Suami Ideal dan Istri Ideal, Terj. Ibnu Ali, (Jakarta: Aillah, 2005), hal. 185.

[15]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunah Tirmizi, (Jakarta: Pustaka Azzam 2000), hal. 894.
[16]Syaikh  Hafizh  Ali  Syuaisyií,  Kado  Pernikahan,  Terj.  Abdul  Roysad Shiddiq,  (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hal. 83.
[17]Ahmad  Kusyairi  Suhail,  Menghadirkan  Surga  di  Rumah,  (Jakarta:  Maghfirah  Pustaka, 2007), hal. 109.

[18]Kasmuri Selamat. Suami Idaman Istri Impian, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), hal. 1.

[19]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunah Tirmizi..., hal. 895.

[20]Kasmuri Selamat, Suami Idaman Istri Impian..., hal. 2.

[21]Sri Mulyati, Relasi Suami Istri dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hal. 39.

[22]Sri Mulyati, Relasi Suami…, hal. 54.

No comments:

Post a Comment