Apabila
akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat rukunnya, maka akan
menimbulkan akibat hukum terhadap akad tersebut, dengan demikian akan
menimbulkan juga hak dan kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga, yang
meliputi: hak suami istri secara bersama, hak suami terhadap istri, dan hak
istri terhadap suami.[1]
Untuk
mewujudkan rumah tangga yang mawaddah, haruslah bersama-sama antara suami dan
istri untuk mengekalkan cinta yang merupakan anugerah dari Allah Swt, karena
tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas hubungan suami dan istri dalam rumah
tangga sangat mempengaruhi keluarga menjadi sakinah, mawaddah wa rahmah.[2]
Kehidupan harmonis suami-istri itu adalah
rumus dari kebahagiaan dunia. Maka ciptakanlah keluarga yang bahagia
agar hidup di dunia juga bahagia.[3]
Oleh
sebab itu, suami-istri harus sama-sama menjaga dan menghormati ikatan
perkawinan yang telah dibuat sebagai sebuah
ikatan yang suci. Agar perkawinan itu menjadi kuat, diperlukan pengikat
yang kuat pula. Adapun pengikat perkawinan
adalah sebagai berikut:
1.
Sakinah
Kata sakinah berasal dari
susunan kata, “sakana, yaskunu, sakinatan” yang berarti rasa tentram,
aman, dan damai. Sakinah yang bermula dari akar kata sakan, berarti
menjadi tenang, mereda, hening, tinggal.[4]
sakinah adalah adanya ketentraman dalam hati pada saat datangnya sesuatu
yang tidak diduga, dibarengi satu nur (cahaya) dalam hati yang member
ketenangan dan ketentraman pada yang menyaksikannya, dan merupakan keyakinan
berdasarkan (ain al-yaqin).[5]
Kata sakinah diartikan oleh Cyril Glasse dengan ketenangan, dan kedamaian.[6] Seseorang akan merasakan
sakinah apabila terpenuhi unsur-unsur hajat hidup spiritual dan material secara
layak dan seimbang dalam rumah tangga.[7]
2.
Mawaddah
Mawaddah
adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Quraish Shihab
mengatakan: “mawaddah” adalah “cinta plus”. Orang yang di dalam hatinya ada
mawaddah tidak akan memutuskan hubungan,
seperti apa yang
terjadi pada orang bercinta. Ini
disebabkan hatinya begitu
lapang dan kosong
dari keburukan, sehingga pintu-pintunyapun tertutup untuk dimasuki keburukan.[8]
3.
Rahmah
Quraish
Shihab mengatakan: “rahmah” kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat
menyaksikan ketidakberdayaan. Rahmah menghasilkan kesabaran, murah hati, tidak cemburu buta,
tidak mencari keuntungan
sendiri, tidak menjadi pemarah apalagi pendendam.[9]
Kualitas
mawaddah wa rahmah di
dalam rumah tangga,
yang dipupuk oleh suami
dan istri sangat
menentukan bagaimana kondisi
rumah tangga tersebut, apakah bahagia
atau tidak.
Jadi,
tidak bisa di sangkal lagi, bahwa istri tidak hanya membutuhkan makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan
segala kebutuhan material
belaka, namun istri
juga sangat mengharapkan dari
suami perhatian yang tulus, perkataan yang halus, wajah yang cerah, senyum yang
ceria, senda gurau yang menyenangkan, sentuhan
yang lembut, ciuman yang mesra serta berbagai perilaku mulia yang menyejukkan
hati dan mendinginkan gundahnya,
bahkan itu semua
melebihi dari pada kebutuhan material.[10]
Pernikahan
dalam Islam menawarkan ketenangan jiwa dan kedamaian pikiran, sehingga
laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama dalam cinta, kasih sayang, harmonis,
kerjasama, saling menasehati, menghargai dan toleran meletakkan pondasi
mengangkat keluarga Islam dalam suatu lingkungan yang lestari dan sehat.[11]
Untuk
mewujudkan itu, tidak hanya perempuan yang harus dipilih oleh laki-laki, tetapi perempuanpun diberi hak
untuk memilih laki-laki yang akan dijadikannya suami. Dan yang terbaik dalam
pemilihan criteria calon pendamping hidup adalah yang bagus agamanya.
Sebagaimana
Rasulullah Saw bersabda:
عن ابى هريرة رضي الله عنه عن النبى صلى الله عليه وسلم قال
: تنكح المرأة لاربع : لمالها, ولحسبها, ولجمالها, ولدينها فاظفر بذات الدين تربت
يداك (متفق عليه)
Artinya: “Dari Abi Hurairah ra, dari Nabi Saw, Beliau bersabda:
“Seorang wanita dinikahi karena empat sebab: Karena hartanya, karena
kedudukannya, sebab kecantikannya, dan sebab agamanya; maka hendaklah kamu
memilih sebab agamanya, engkau pasti akan bahagia” (HR. Bukhari-Muslim).[12]
Selama
ini, orang yang selalu di sorot dalam kehidupan rumah tangga adalah seorang
istri, karena dia memang dianggap sebagai yang paling bertanggung jawab tentang
kehidupan di dalam
rumah, mulai dari melayani suami, merawat dan mendidik anak,
ini berakibat ketika ada
sesuatu kesalahan di rumah tangga itu, istri lah yang sering disalahkan.
Sebenarnya
tidaklah pantas untuk selalu menyalahkan
istri, karena suami pun ikut
bertanggung jawab. Tidak becusnya
seorang istri dalam melayani suami, tidak berhasil dalam mendidik anak dan lain
sebagainya, juga menggambarkan bahwa suami tidak bisa menjadi pemimpin dalam
rumah tangga tersebut, sehingga ia tidak bisa membimbing istrinya.
Dalam
kehidupan rumah tangga, adakalanya laki-laki menjadi pemimpin bagi keluarganya,
menjadi bapak bagi anak-anaknya, menjadi teman hidup serta sebagai saudara bagi
istrinya. Dengan demikian, istri bukanlah menjadi saingan bagi suami, apalagi sebagai musuh.
Tetapi suami dan istri akan jalan bersama, saling melengkapi dan membutuhkan
untuk tercapainya cita-cita menjadi keluarga yang sakinah.
Suami
istri adalah pondasi dasar bagi sebuah bangunan rumah tangga, karena itulah
Islam menetapkan kriteria khusus baginya, hingga menimbulkan rasa cinta, sayang,
menasehati dalam kebenaran dan
kesabaran dan serta saling keterikatan.[13]
Jadi,
peranan suami-istri dalam membina keluarga sakinah adalah bagian dari tugas
utama yang harus dilakukan oleh sama-sama (laki-laki yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan) untuk mewujudkan
keluarga yang penuh dengan kedamaian, ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan.
Pada
diri manusia mempunyai kelebihan dan juga kekurangan, kelebihan. Dan kekurangan
itu membuktikan bahwa manusia tidak ada
yang sempurna dan sifat yang sempurna
itu hanyalah ada pada Allah Swt untuk
itulah manusia hidup di dunia ini harus saling tolong menolong dan
lengkap melengkapi.
Allah
Swt juga telah menciptakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dalam
susunan badannya, bentuk dan sifatnya, kulit dan dagingnya, tulang dan
darahnya, kepala dan rambutnya, akal dan pikirannya, kekuatan tubuh dan
anggotanya, jenis kelamin dan seterusnya.
Perbedaan-perbedaan
itu tentu mempunyai hikmah yang banyak dan laki-laki maupun perempuan tidak
akan dapat membantah dan menyangkalnya, sehingga dengan perbedaan itu, mereka
dapat saling mengerti,
cinta mencintai, sayang menyayangi dan selanjutnya mereka juga
dapat saling kuasa menguasai. Maka dari itu, pendamping istri yang baik adalah
suami yang bertanggung jawab.
Menurut
Al-Qur’an, seorang suami yang bertanggung jawab adalah suami yang bergaul
dengan istrinya secara baik dan penuh kesabaran terhadap apa yang tidak disukai
darinya.[14] Hal tersebut sesuai dengan firman Allah Swt dalam surat an-Nisa ayat 19, yaitu:
ياأيها الذين امنوا لا يحل لكم أن
ترثوا النساء كرها ولا تعضلوهن لتذهبوا ببعض ما اتيتموهن إلا أن يأتين بفاحشة
مبينة وعاشروهن بالمعروف فإن كرهتموهن
فعسي أن تكرهوا شيأ ويجعل الله فيه خيرا كثيرا (النساء: ١٩)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa
dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian
dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya, terkecuali
bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang
nyata. Dan bergaullah dengan
mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”. (Q.S. An-Nisa: 19).
Pandangan al-Quran di atas tentang suami yang
bertanggung jawab, sama dengan pandangan hadis dari Rasulullah Saw, yaitu:
أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم
خلقا,وخياركم لنسائهم خلقا (رواه الترميزى)
Artinya: “Sesungguhnya mukmin yang sempurna imannya
adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah kalian yang
baik terhadap istri-istri kalian” (HR. Tirmidzi).[15]
Sejalan
dengan al-Qur’an dan hadis di atas, Syaikh
Hafizh Ali Syuaisyi mengatakan bahwa suami akan menjaga
istrinya dan memperlakukannya dengan patut seperti yang diperintahkan oleh
Allah Swt.[16] Ahmad
Kusyairi menyebut suami dengan istilah suami yang shalih mengatakan: “Yang
selalu menunaikan kewajiban-kewajiban Allah Swt, keluarga dan semua orang yang
ada dalam tanggungannya, dengan ikhlas penuh semangat dan lapang dada, yang
selalu berusaha membahagiakan istrinya”.[17]
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat penulis simpulkan bahwa ada peranan
yang harus dilakukan oleh suami-istri dalam membina rumah tangga yang sakinah.
Ketika peranan itu dilakukan, maka hadirlah di tengah-tengah keluarga kebaikan
dan keberkahan.
Jadi
menciptakan rumah tangga mawaddah yaitu menciptakan rumah tangga (sesuatu yang
berkenaan dengan keluarga) yang penuh dengan rasa cinta, kedamaian, ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan.
Pada
dasarnya, membangun rumah tangga itu membutuhkan perjuangan yang luar biasa
beratnya, dimulai dari pemancangan pondasi aqidah dan pilar-pilar akhlak.
Sebelum menciptakan rumah tangga yang sakinah, seorang suami harus memiliki
kepribadian suami yang shaleh, agar suami sukses membentuk keluarga
sakinah. Berhubungan dengan itu, Kasmuri
Selamat mengemukakan beberapa kepribadian suami shaleh, yaitu:
1.
Berpegang Teguh Kepada Syariat Allah Swt
Laki-laki
yang shaleh adalah seorang laki-laki yang senantiasa berpegang teguh kepada
syariat Allah Swt dalam segala urusan kehidupannya. Ia tunaikan
kewajiban-kewajiban yang Allah Swt telah tentukan keduanya. Jika ia menjadi
seorang suami, ia akan melaksanakan kewajiban terhadap keluarganya penuh tanggung
jawab, bersemangat, penuh
perhatian serta berlapang dada.[18]
2. Seimbang
antara Hak dan Kewajiban
Seimbang
antara hak dan kewajiban maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan sehari-hari
sikapnya tidak tamak, tidak menuntut lebih banyak dari yang semestinya, bahkan
ia menerima dengan rela terhadap kekurangan-kekurangan yang ada. Ia tidak
pernah menyia-nyiakan kewajibannya, kewajiban tersebut ia tunaikan sebelum
menuntut haknya.
3.
Berpedoman Kepada Petunjuk Rasulullah Saw
Laki-laki
yang shaleh tentu akan membahagiakan istrinya. Dalam kehidupan berumah tangga
ia senantiasa berpedoman kepada petunjuk Rasulullah Saw dalam segala
perbuatannya sehari-hari termasuk dalam hal berumah tangga. Karena apa-apa yang
telah dibawa oleh Rasulullah Saw baik berupa perkataan maupun perbuatan,
merupakan sesuatu yang patut untuk dipedomani oleh umat Islam agar memperoleh
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
وحقهن عليكم أن تحسنوا إليهن فى كسوتهن وطعامهن (رواه
الترميزى)
Artinya: “Dan hak meraka (istri) kepada kalian
adalah; kalian harus berbuat baik kepada mereka dalam masalah sandang dan
pangan (pakaian dan makanan) (HR. Tirmizdi).[19]
Itulah
kesaksian agung Rasulullah Saw bagi suami yang shaleh, kesaksian kebajikan yang
diiringi dengan kesempurnaan iman serta akhlak yang mulia. Disamping itu
ciri-ciri dari laki-laki
shaleh yang membahagiakan kehidupan rumah tangga
sebagaimana Kasmuri Selamat menyebutkan antara lain sebagai berikut:
a. Mendirikan
rumah tangga semata-mata karena Allah Swt.
b. Melayani
dan menasehati Istri dengan sebaik-baiknya.
c. Menjaga
hati dan perasaan istri.
d. Senantiasa
bertenggang rasa dan tidak menuntut sesuatu di luar kemampuan istri.
e. Bersabar
dan menghindari memukul istri dengan pukulan yang memudaratkan.
f. Tidak
mencaci istri di hadapan orang lain dan tidak memuji wanita lain di hadapannya.
g. Bersabar dan
menerima kelemahan istri
dengan hati yang
terbuka, serta meyakini
bahwa segala sesuatu
yang dijadikan Allah swt
pasti terdapat hikmah yang tersembunyi di sebaliknya.
h. Mengelakkan agar
jangan terlalu mengikuti kemauan
istri, karena ia akan
melunturkan nama baik
dan prestasi suami
selaku pemimpin rumah tangga.
i.
Memberi
nafkah kepada istri
dan anak-anak menurut
kadar kemampuan.
j.
Menyediakan keperluan dan tempat tinggal yang layak
untuk mereka.
k. Bertanggung jawab menidik akhlak istri dan anak-anak sesuai dengan kehendak
Islam.
l.
Senantiasa menjaga tentang keselamatan mereka.
m. Memberi kasih
sayang dan rel
berkorban apa saja demi
kepentingan dan kebahagiaan bersama.[20]
Menciptakan
rumah tangga yang mawaddah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Membina sebuah rumah tangga
yang sakinah, mawaddah wa rahmah, adalah
dambaan dari setiap suami istri yang berikrar dalam cinta dan kasih sayang.
Semua
orang Islam berharap dengan penuh perjuangan dan pengorbanan, agar
mahligai rumah tangga
yang dibangun dengan
landasan cinta dan
kasih sayang dalam rumah tangga
menjadi teladan bagi penghuninya maupun generasi yang akan lahirkan. Namun, ternyata ketika bahtera itu
mulai mengarungi lautan yang luas,
seringkali kemudi menjadi rebutan antara suami
istri. Mereka berusaha
menjadi nakhoda handal, dan bersikeras menunjukkan arah tujuan yang
diarungi.
Begitu
banyak yang merindukan berumah tangga menjadi suatu yang teramat indah,
bahagia, penuh dengan pesona cinta dan kasih sayang. Akan tetapi, kenyataan
yang ada, di saksikan deretan antrian orang-orang yang gagal dalam menciptakan
rumah tangga bahagia.
Hari demi harinya
hanya diisi kecemasan, ketakutan,
kekerasan, kegelisahan dan
penderitraan. Bahkan tidak jarang
diakhiri dengan kenistaan yang berujung dengan perceraian
sehingga melahirkan penderitaan yang
berkepanjangan, terutama bagi
anak-anak yang dilahirkan.
Ternyata
merindukan rumah tangga yang mawaddah itu harus benar-benar disertai dengan
kesungguhan, yakni mengerahkan segala daya dan upaya dalam pengertian yang
sebenarnya. Ada empat kiat minimal menuju keluarga
yang mawaddah yaitu sebagai berikut:
1.
Jadikan rumah tangga sebagai pusat ketentraman bathin
dan ketenangan jiwa
Keluarga/rumah
tangga adalah sebuah institusi terkecil
di dalam masyarakat yang berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan
kehidupan yang tentram, aman, damai, dan sejahtera dalam suasana
cinta dan kasih sayang diantara anggota-anggotanya.[21] Sesungguhnya rumah
tangga itu bisa
dijadikan pusat ketenangan, ketentraman dan
kenyamanan bathin para
penghuninya. Sehingga ketika sang suami sudah berlumuran keringat,
bersimbah peluh, bekerja keras, ia akan selalu merindukan untuk pulang ke
rumah.
Ketika rumah tangga
mampu di jadikan sebagai
pusat ketentraman batin
dan ketenangan jiwa, maka anak-anak pun
akan rindu berkumpul
bersama dengan orang tuanya dalam lingkungan keluarga. Oleh sebab itu,
suami-istri harus mampu menciptakan rumah sebagai pusat ketenangan batin dan
ketenangan jiwa, hal ini dimaksudkan agar rumahtangga mampu menjadi pelepas
dahaga.
2.
Jadikan rumah tangga sebagai pusat ilmu
Rumah
tangga yang ditingkatkan derajatnya oleh Allah Swt bukanlah rumah tangga yang
memiliki status sosial keduniawian, punya harta berlimpah, mobil mewah, rumah
megah dan lain sebagainya. Tidak pula rumah tangga yang para penghuninya adalah penuh dengan deretan titel
dan gelar yang digunakan untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga di hadapan
manusia. Bahkan justru
hal seperti itu seringkali memisahkan dengan kebahagiaan bathin dan
ketentraman jiwa. Tidak jarang pula rumah tangga yang berlimpah dengan kekayaan
justru membuat penghuninya di miskinkan oleh keinginan-keinginan, diperbudak
dan dinistakan oleh apa yang dimilikinya. Hendaknya sesudah memantapkan niat
kita kepada Allah Swt untuk mengarungi bahtera rumah tangga, maka kekayaan
yang harus dimiliki dalam berkeluarga
adalah ilmu. Merawat dan mendidik anak merupakan tugas bersama
suami istri.[22]
3.
Jadikan rumah tangga sebagai pusat nasehat
Suami
istri hendaknya mengetahui bahwa semakin hari semakin banyak yang harus
dilakukan. Untuk itulah dibutuhkan orang lain agar bisa melengkapi kekurangan
tersebut guna memperbaiki kesalahan serta bisa nasehat menasehati diantara
sesama. Oleh karena itu, rumah tangga bahagia adalah rumah tangga yang dengan
sadar dan menjadikan sikap saling menasehati, saling memperbaiki serta saling mengoreksi
dalam kebenaran dan kesabaran sebagai kekayaan yang berharga dalam rumah
tangga.
Suami
yang baik adalah suami yang mau dinasehatin oleh sang istri, begitupula
sebaliknya. Karena keduanya tidaklah
boleh merasa lebih baik dan lebih berjasa dalam membangun rumah tangga, karena
keduanya saling melengkapi dan mempunya peran dan tugas masing-masing dalam
mengurus rumah tangga. Apabila sebuah rumah tangga mulai saling menasehati,
maka rumah tangga tersebut bagaikan cermin, yang tentu cermin akan mampu
membuat sebuah penampilan penghuninya menjadi lebih baik. Tidak ada koreksi
yang paling aman selain koreksi dari keluarga kita sendiri.
4.
Jadikan rumah tangga sebagai pusat kemuliaan
Hendaknya
suami istri mampu menjadikan rumah tangga seperti cahaya matahari. Menerangi
kegelapan, menumbuhkan bibit-bibit,
menyegarkan yang layu, selalu dinanti cahayanya dan membuat gembira
bagi yang terkena pancaran cahayanya.
Keluarga
yang mulia adalah keluarga yang bisa menjadi contoh kebaikan bagi keluarga
yang lainnya. Sehingga
tidak ada yang
diucapkan selain kebaikan tentang
keluarga yang telah dibangun. Demikianlah empat kiat menuju keluarga sakinah,
mawaddah wa rahmah yang hendaknya dilakukan oleh keluarga muslim di era modern
in. Karena betapa memilukan sekaligus
memalukan jika ada
keluarga muslim yang melakukan tindakan kekerasan rumah
tangga seperti yang akhir-akhir
ini terjadi.
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep Islam dalam
pembinaan keluarga agar menjadi sebuah keluarga yang mawaddah, maka ada
beberapa hal yang kiranya perlu dilakukan oleh suami-istri yaitu dengan
menjadikan rumah tangga sebagai pusat ketentraman batin dan ketenagan jiwa,
pusat kemuliaan, pusat nasehat, serta pusat ilmu pengetahuan. Hal tersebut akan
dapat terwujud manakala ada upaya-upaya yang ditempuh oleh suami-istri untuk
menuju kea rah itu, jadi dengan adanya peranan antara suami-istri, maka akan
terwujud sebuah keluaga yang sakinah
mawaddah wa rahmah dalam rumah tangga.
[1]Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat I,
(Bandung: Pustaka Setia1999), hal. 157-162.
[2]Shaleh
Gisymar, Kado Cinta untuk Istri,
(Yogyakarta: Arina, 2005), hal. 91.
[3]Abu Mohammad
Jibril Abdurrahman, Karakteristik Lelaki
Shalih, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000), hal. 21.
[4]Pius
A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hal. 689.
[5]Zaitunah Subhan, Membina Keluarga Sakinah,
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004),
hal. 4.
[6]Cyril Glasse,
Ensiklopedi Islam Ringkas, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal.
5.
[7]Tim
Penyusun, Modul Pembinaan…,
hal. 5.
[8]Muhammad
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir
Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), hal. 195.
[9]Muhammad
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an…, hal. 196.
[10]Adil
Fathi Abdulloh, Menjadi Suami Tercinta,
Terj. Bukhori Abu Syauqi, (Pasuruan: Hilal Pustaka, 2007), hal. xiii.
[11]Muhammad Ali Al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, Terj. Ahmad Baidowi, (Jakarta: Mitra Pustaka, 1999), hal. 93.
[12]Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih…,
hal. 143.
[13]Abdul
Hamid, Bimbingan Islam untuk
Mencapai Keluarga Sakinah,
Terj. Ida Nursida, (Bandung: Al-Bayan, 1996), hal. 21.
[14]Majdi Fathi Al-Sayyid, Bingkai Cinta Sepasang Merpati: Bahagia Menjadi Suami Ideal dan Istri
Ideal, Terj. Ibnu Ali, (Jakarta: Aillah, 2005), hal. 185.
[15]Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunah
Tirmizi, (Jakarta: Pustaka Azzam 2000), hal. 894.
[16]Syaikh Hafizh
Ali Syuaisyií, Kado Pernikahan, Terj.
Abdul Roysad Shiddiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hal. 83.
[17]Ahmad
Kusyairi Suhail, Menghadirkan Surga
di Rumah, (Jakarta:
Maghfirah Pustaka, 2007), hal.
109.
[18]Kasmuri
Selamat. Suami Idaman Istri Impian,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), hal. 1.
[19]Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunah
Tirmizi..., hal. 895.
[20]Kasmuri
Selamat, Suami Idaman Istri Impian...,
hal. 2.
[21]Sri Mulyati, Relasi
Suami Istri dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hal. 39.
[22]Sri
Mulyati, Relasi Suami…, hal. 54.
No comments:
Post a Comment