Memiliki
keluarga mawaddah merupakan
dambaan dan impian setiap orang. Karenanya tidak dapat dipungkiri keluarga mawaddah memiliki peranan besar dalam meningkatkan
upaya masyarakat dalam mengamalkan nilai-nilai agama, keimanan, ketaqwaan dan akhlaqul karimah baik yang dilakukan
melalui pendidikan keluarga maupun pendidikan masyarakat untuk mencapai hasil
pembangunan manusia bahagia dan sejahtera.
Akan
tetapi perlu diketahui, bahwa untuk mencapai keluarga mawaddah tersebut tidaklah mudah, karena banyaknya
permasalahan yang timbul dalam sebuah keluarga. Ada beberapa hal yang harus
dilakukan jika ingin membina keluarga mawaddah sebagaimana disebutkan oleh Mutiullah dalam bukunya, antara lain sebagai
berikut:
- Mencitai
dan dicintai adalah kunci utama dalam membina keluarga. Membentuk keluarga
yang bahagia adalah proses yang terus menerus yang harus diusahakan.
Keluarga bahagia bukan sesuatu yang begitu saja turun dari langit, tapi
diusahakan dengan ketulusan cinta dan kasih sayang.
- Dalam
banyak kasus perselisihan keluarga banyak yang sebetulnya hanya disebabkan
oleh kurang lancarnya komunikasi dalam keluarga. Fungsi komunikasi adalah
untuk menghubungkan beberapa keinginan yang seringkali berbeda.
- Keluarga
bahagia adalah keluarga yang menemukan kesesuain antara suami dan istri.
Satu sama lainnya harus bisa saling memahami apa yang seharusnya dilakukan
dan tidak dilakukan. Kesesuain pandangan dalam membina rumah tangga
mendapat porsi yang sangat besar untuk membina keharmonisan.
- Faktor
yang tidak kalah penting dalam keluarga mawaddah adalah sikap memelihara hubungan yang harmonis. Hubungan
yang harmonis merupakan kunci utama dalam berumah tangga. Segala persoalan
harus dihadapi bersama dengan tetap berprinsip kebersamaan, sikap saling
pengertian dan saling memahami.[1]
Perkawinan
yang baik adalah sebuah ikatan seumur hidup dan memerlukan sesuatu yang lebih
banyak dari pada sekedar “peduli”, “pemenuhan diri”, dan “komitmen”. Perkawinan
menuntut agar masing-masing jujur kepada diri sendiri, jujur kepada pasangan
hidup dan jujur kepada Allah Swt.
Islam
memandang menggabungkan antara sakinah, mawaddah dan rahmah sebagai satu
kesatuan dan dapat merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat mencapainya,
tentu membutuhkan cara dan langkah yang beragam yang bisa saja berbeda antara
satu keluarga dengan lainnya. Uraian berikut mencoba memberikan semacam hal-hal
yang perlu dilakukan dalam upaya pembentukan sebuah keluarga bahagia yang sifatnya
umum, namun hal tersebut bisa direalisasikan dalam setiap keluarga.
1.
Benar dan tepat dalam memilih jodoh
Perkawinan merupakan sebuah ikatan yang bertujuan untuk menjaga kelangsungan
kehidupan kemanusiaan. Oleh karena itu secara naluriah manusia akan berusaha
untuk mendapatkan pasangan hidup yang sesuai dengan keinginan atau yang
memiliki rasa kecocokan diantara mereka walaupun ketentuan agama dianjurkan untuk
selektif dalam memilih pasangan.
Permasalahan memilih jodoh atau pasangan hidup merupakan sesuatu yang
pernah dialami oleh orang dalam menempuh rumah tangga. Seseorang dalam memilih
calon istri atau suami mesti dipertimbangi oleh kriteria tertentu, walaupun
upaya tersebut bukan merupakan suatu yang kunci, namun dapat menentukan baik
tidaknya rumah tangga.[2]
Terkait dengan penjelasan di atas, dalam sebuah hadis Rasulullah Saw
bersabda, yaitu:
عن ابى هريرة رضي الله عنه عن النبى
صلى الله عليه وسلم قال : تنكح المرأة لاربع : لمالها, ولحسبها, ولجمالها, ولدينها
فاظفر بذات الدين تربت يداك (متفق عليه)
Artinya: “Dari Abi Hurairah ra, dari Nabi Saw, Beliau bersabda:
“Seorang wanita dinikahi karena empat sebab: Karena hartanya, karena
kedudukannya, sebab kecantikannya, dan sebab agamanya; maka hendaklah kamu
memilih sebab agamanya, engkau pasti akan bahagia” (HR. Bukhari-Muslim).[3]
Berdasarkan hadis tersebut, dapat dipahami bahwa dalam memilih pasangan hidup,
seseorang harus melihat dari segi harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya.
Namun diantara kriteria tersebut, agama merupakan hal yang sangat diutamnya.
Karena hal tersebutlah yang benar-benar akan membawa kepada pembentukan
keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
2.
Mengembangkan prinsip musyawarah dan demokratis
Dalam segala aspek kehidupan dalam rumah tangga harus diputuskan dan diselesaikan
berdasarkan hasil musyawarah minimal antara suami dan istri. Adapun maksud
demokratis adalah bahwa seluruh anggota keluarga harus saling terbuka untuk
menerima pandangan dari masing-masing pihak.
Realisasi lebih jauh dari sikap musyawarah dan demokratis dapat dikelompokkan
kepada:
a.
Musyawarah dalam memutuskan masalah-masalah yang
berhubungan dengan reproduksi, jumlah dan pendidikan anak dan keturunan.
b.
Musyawarah dalam menentukan tempat tinggal (rumah).
c.
Musyawarah dalam memutuskan masalah-masalah yang
dihadapi dalam kehidupan rumah tangga, dan
d.
Musyawarah dalam pembagian tugas-tugas rumah tangga.[4]
Untuk merealisasikan prinsip ini, maka setiap anggota keluarga harus
saling menciptakan suasana yang kondusif untuk munculnya rasa persahabatan di
antara mereka baik dalam hal suka maupun duka, dan merasa mempunyai kedudukan
yang sejajar dan bermitra, tidak ada pihak yang merasa lebih hebat dan lebih
tinggi kedudukannya, tidak ada pihak yang mendominasi dan menguasai. Dengan
prinsip ini diharapkan akan memunculkan kondisi yang saling melengkapi dan
saling mengisi antara satu dengan yang lain.
3.
Menciptakan rasa aman dan tentram dalam keluarga
Dalam kehidupan rumah tangga harus tercipta suasana yang merasa saling kasih,
saling asih, saling cinta, saling melindungi dan saling sayang. Semua anggota
keluarga harus menciptakan suasana bahwa rumah adalah tempat yang nyaman bagi
mereka. Keluarga menurut Toffler, dapat berfungsi laksana raksasa peredam
kejutan yakni tempat kembali berteduh setiap individu (anggota keluarga) yang
babak belur dan kalah dalam pertaruhan hidup diluar rumah.[5]
Dalam bahasa Islam, keluarga berfungsi sebagai surga atau taman indah,
tempat setiap anggota keluarga menikmati kebahagiaan hidup, dan menjadi
penangkal gelombang kehidupan yang keras. Jika suasana kehidupan keluarga
berantakan dan terpecah, tidak aman dan tentram maka kehidupan keluarga akan
mengalami ketidak harmonisan. Aman dan tentram disini bukan hanya terbatas pada
aspek fisik semata, tetapi juga dalam aspek kehidupan kejiwaan (psikis).
4.
Menghindari adanya kekerasan baik fisik maupun psikis
Dalam kehidupan berkeluarga, jangan sampai ada anggota keluarga yang merasa
berhak memukul atau melakukan tindak kekerasan fisik dalam bentuk apapun,
dengan dalih atau alasan apapun, termasuk alasan atau dalih agama terhadap
sesama anggota keluarga. Begitu juga setiap anggota keluarga harus terhindar
dari kekerasan psikologi.
Setiap anggota keluarga harus mampu menciptakan suasana kejiwaan yang
aman, merdeka, tentram dan bebas dari segala bentuk ancaman yang bersifat
kejiwaan, baik dalam bentuk kata atau kalimat sehari-hari yang digunakan maupun
panggilan antar anggota keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan ketakutan
bahkan sekedar ketersinggungan.[6]
5.
Menjadikan hubungan suami istri dan anggota keluarga
lainnya adalah hubungan relasi
Relasi gender dalam hubungan suami dan istri dan anggota keluarga lainnya
merupakan hubungan kemitrasejajaran. Meskipun pengertian kemitrasejajaran tidak
bisa difahami dengan makna yang seragam, persis sama, akan tetapi pengertian
kemitrasejajaran yang dimaksud disini adalah suatu relasi yang berdasarkan pada
keadilan, rasa saling membutuhkan, saling melengkapi satu dengan yang lainnya.[7]
Implikasi dari prinsip seperti ini akan memunculkan sikap saling mengerti
latar belakang pribadi, saling menerima hobi, kelebihan dan kekurangan dari
masing-masing anggota keluarga, saling menghormati perkataan, perasaan, bakat
dan keinginan serta menghargai keluarga, saling mempercayai pribadi maupun
kemampuan setiap anggota keluarga, saling mencintai dan menjauhi sikap egois
dalam rumah tangga.
6.
Menumbuhkan prinsip keadilan
Keadilan disini adalah menempatkan sesuatu pada posisi yang semestinya (proporsional).
Jika ada diantara anggota keluarga baik laki-laki maupun perempuan yang
mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri harus di dukung tanpa memandang
dan membedakan berdasarkan jenis kelamin. Masing-masing anggota keluarga harus
sadar sepenuhnya bahwa dirinya adalah bagian dari keluarga yang harus memberi
dan mendapat perhatian. Contohnya, bapak yang kerja dan mempunyai kewajiban di kantor
atau sekolah, juga mempunyai kewajiban untuk memberikan perhatian kepada
anak-anak, istrinya serta anggota keluarga lainnya. Demikian pula, ibu yang
harus menuntaskan tugas kantor, tugas sekolah juga mempunyai kewajiban untuk
memberikan perhatian bagi suami, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya.
Ini berarti semua anggota keluarga harus berlaku adil baik bagi dirinya
dan anggota keluarganya. Suami, istri dan anggota keluarga adalah penentu dalam
mencapai keluarga yang bahagia. Segala sesuatu menyangkut tugas-tugas untuk
menciptakan keluarga yang sakinah haruslah adil, terbuka dan demokratis.
Intinya berbagi tugas sesuai dengan kondisi atas kesepakatan bersama dan untuk
mencapai tujuan bersama.
7.
Menciptakan kedewasaan diri
Kebahagiaan dan kesejahteraan dalam perkawinan mempunyai beberapa unsur,
baik yang seharusnya dipunyai seorang pria yang nantinya akan berfungsi sebagai
suami ataupun seorang wanita yang akan menjadi seoang istri dan ibu dari
anak-anaknya.
Sebagian orang beranggapan bahwa unsur terpenting dalam membangun sebuah
keluarga adalah masing-masing pasangan saling mencintai. Ada juga yang
menyatakan bahwa kekayaan dan kecantikan menjadi modal bagi kebahagiaan sebuah
keluarga.
Salah satu unsur terpenting dalam mencapai kebahagiaan dalam rumah tangga
adalah kedewasaan diri. Kedewasaan dalam bidang fisik-biologis, sosial ekonomi,
emosi dan tanggung jawab, pemikiran dan nilai-nilai kehidupan serta keyakinan
atau agama. Semua hal tersebut akan menyebabkan keluarga atau rumah tangga yang
terbentuk dalam keadaan yang demikian mempunyai saham yang cukup besar dan
meyakinkan untuk meraih taraf kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dalam membina
keluarganya.[8]
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa upaya membangun
keluarga mawaddah dapat dilakukan dengan menciptakan kedewasaan diri, menumbuhkan
prinsip keadilan, menjadikan hubungan suami istri dan anggota keluarga lainnya
adalah hubungan relasi, menghindari adanya kekerasan baik fisik maupun psikis,
menciptakan rasa aman dan tentram dalam keluarga, mengembangkan prinsip
musyawarah dan demokratis dan tepat memilih jodoh.
[1]Mutiullah, Menggapai
Keluarga Sakinah, http://
www. suaramuhammadiyah.or.id/ sm/Majalah/ SM (diakses pada 12 Oktober
2011).
[2]Marhumah dan M. Alfatih Suryadilaga, Membina Keluarga Mawaddah Wa Rahmah dalam
Bingkai Sunah Nabi, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hal. 107.
[3]Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih
Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hal. 143.
[4]Khairuddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan 1), (Yogyakarta: Tazzafa, 2004), hal. 54.
[5]Alvin Toffler, Kejutan
dan Gelombang, terj. Sri Kasdiyantinah (Jakarta: Pantja Simpati, 1987),
hal. 239.
[6]Khairuddin
Nasution, Islam…, hal. 58-59.
[7]Hamim Ilyas, Jender
dalam Islam: Masalah Penafsiran, dalam Jurnal Asy-Syir’ah, Vol.35, No. II,
2001, hal. 29.
[8]Hasan Basri, Keluarga
Sakinah; Tinjauan Psikologi dan Agama, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1999),
hal. 6-7.
No comments:
Post a Comment