Tuesday, October 31, 2017

Perangkat Tabiat Manusia

Al-Quranul karim menyebutkan berbagai perangkat dan bagiantubuh manusia. Kalau kita perhatikan sebagaimana yang akan diterangkan kemudian maka tampak bahwa perangkat tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan, kecuali ketika sedang khusus membicarakan sesuatu fungsi yang berhubungan dengan bagian yang bersangkutan. Alasannya karena tubuh manusia saling melengkapi. “Apabila salah satu di antara anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh akan turut terkena demam dan tidak enak tidur”. Adapun perangkat tabiat manusia yang akan diuraikan dalam rangka kajian ilmiah ini adalah: tubuh, akal, hati dan ruh (Abdul Fattah Jalal: 53). Di antara perangkat itu tidak terdapat apa yang dinamakan adl-dlamir “hati sanubari”, karena kata ini tidak disebutkan di dalamkitab Allah.
Ada yang berpendapat bahwa an-nafs (diri) adalah bagian dari perangkat tabiat manusia. Sedangkan an-nafs atau diri ini sebagaimana dikatakan di dalam      al-Quranul Karim adalah zat manusiawi. Dengan demikian, ia merupakan sinonim dari kata insan atau al-fardu (individu). Sehubungan dengan tabiatnya, al-Quran menggambarkan al-Insan dan an-Nafs dengan berbagai sifat yang menyingkapkan aneka macam penampilan manusia, baik ditinjau dari sudut fisiknya maupun dari sudut kondisi psikisnya. Maka kata an-Nafs di sini agaknya berarti ad-Dhamir (hati sanubari) dan sinonim dengan kata al-qalb (qalbu). Semua ini menunjukkan adanya berbagai pandangan yang saling melengkapi sekaitan dengan tabiat manusia. Demikian pula aspek-aspek tabiat itu saling melengkapi.
Berikut ini dipaparkan karakteristik manusia dilihat dari:
  1. Tubuh
Kata al-Jism (tubuh) disebutkan di dalam Alquran hanya sebanyak dua kali. Pertama, dengan sighat mufrad (bentuk tunggal), yaitu ketika berbicara tentang Thalut. Dan kedua, dengan sighat jama’ (bentuk jamak), yaitu ketika berbicara tentang orang-orang munafik.
….قَالَ إِنَّ اللهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِى اْلعِلْمِ وَ اْلجِسْمِ….
Artinya: “… Nabi mereka berkata: Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi raja kalian danmenganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa…” (QS. 2 : 247).
Selanjutnya dapat dilihat pada ayat berikut ini:
وَ إِذَا رَأَيْتَهُمْ تَعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ….
Artinya: “Dan apabila engkau melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan engkau kagum …” (Q.S.63 : 4).
Di dalam ayat pertama, Allah Swt. menerangkan bahwa di antara persyaratan imamah atau menjadi penguasa pemerintahan ialah ilmu dan kekuatan fisik. Keterangan ini disampaikan sebagai jawaban terhadap pertanyaan kaum yang bernada ingkar.
  1. Akal
Sesungguhnya akal menjadi tanda kodrati setiap keutamaan dan menjadi sumber setiap adab. Allah Swt. menjadikan akal sebagai penopang ad-din dan tiang dunia. Dengan sempurnanya akal, Allah Swt. telah mewajibkan tugas (Fa aujabal lahut-taklifa bikamalaihi); dan dengan hukum-hukumnya, Allah Swt menjadikan dunia teratur. Orang yang menggunakan akalnya akan merasa lebih dekat kepada Ilahi Rabbi dibanding seluruh orang yang berijtihad tanpa menggunakan akal” (Tafsir al-Qurthubi : 1821).
Di antara kata-kata yang banyak dimuat al-Quran di berbagai tempat ialah kata ‘aqala, dalam bentuk fiil (kata kerja) dan kata al-‘aqlu (akal), dalam bentuk isim (kata benda). Kiranya hal ini menjadi dalil bahwa yang penting bukanlah sekadar sel-sel yang hidup saja, melainkan akal pun sebagai motor yang menggerakkan perealisasian tugas. Demikianlah Alquran memberikan aksentuasi kepada salah satu komponen unsur tubuh manusia yang dipandang oleh Islam sebagai suatu yang istimewa. Bukankah karena akal ini, permasalahan yang muncul dapat diatasi dan dengan akal pula tugas untuk melaksanakan amanah dapat dipenuhi? Kata-kata yang dijabarkan dari kata ‘aqal: ‘aqaluhu, ta’qiluna, na’qilu, ya’qiluha dan ya’qiluna dimuat dalam al-Quran, dalam 49 tempat. Sedangkan kata al-albab dalam 16 tempat. Kata al-albab adalah kata jama’ dari lubbun yang berarti akal.[1]
Di antara sedemikian banyak keistimewaan al-Quran ada satu yang sangat menonjol yaitu penghormatan terhadap akal serta bersandar kepadanya di dalam masalah akidah dan taklif (tugas). Dalam al-Quran, akal hanya disebut-sebut dalam kedudukannya yang agung sambil diingatkan kepada kewajiban menggunakannya.
Dalam setiap bahasan, berkali-kali diulangi perintah dan larangan sehubungan dengan keharusan seorang mukmin untuk menggunakan akalnya secara bijaksana, serta celaan terhadap yang munkar karena tidak menghiraukan dan tidak menggunakan akalnya sebagaimana mestinya. Penyebutan akal secara berulang-ulang itu tidak hanya diartikan dalam satu makna saja sebagaimana yang diungkapkan oleh para psikolog dewasa ini, melainkan mencakup berbagai fungsinya, selaras dengan jenis tugas dan kekhususan yang diembannya.
Allah Swt menyeru manusia supaya menggunakan akal sebagai alat untuk mencapai hakikat yang menuntun mereka untuk beriman kepada-Nya dan kitab-kitab-Nya:
...كَذَلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَى وَيُرِيكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya: …Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepada kalian tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kalian mengerti (QS. 2 : 73).
  1. Qalb (Hati)
Kata al-qalb dan al-qulub disebutkan oleh Alquran di dalam 132 tempat, di samping kata al-fu’ad yang secara bahasa berarti al-qalb pula, serta kata shadr dan shudur yang juga menunjuk kepada kata al-qalb. Perhatian yang besar ini menerangkan, bahwa al-qalb adalah salah satu gejala dari peringkat hakikat manusia yang asasi, karena iman bersemayam di hati manusia.
Dalam kaitannya dengan al-qalb, hal ini dapat dilihat pada ayat berikut:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرِ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى اْلقُلُوْبِ
Artinya: Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (qalbu). (QS. 22: 32).

يَأَيُّهَا الرَّسُوْلُ لاَ يَحْزُنْكَ الَّذِيْنَ يُسَارِعُوْنَ فِى اْلكُفْرِ مِنَ الَّذِيْنَ قَالُوْا أَمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَـمْ تًؤْمِنْ قُلُوْبُهُمْ….
Artinya: Hai Rasul, janganlah engkau disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: “Kami telah beriman”, padahal qalbu mereka sama sekali tidak beriman… (QS. 5 : 41).
Dalam menafsirkan ayat pertama (al-Hajj: 32), al-Qurthubi mengatakan: Al-Qulûbu dibaca rafa’, karena dia merupakan fâil (subjek) dengan bentuk mashdar (akar kata) taqwa. Dan kata at-taqwa diidafahkan (disandarkan) kepada kata al-qulûb, karena hakikat takwa ada di dalam kalbu. Untuk ini, maka Rasulullah saw. bersabda di dalam hadis shahih: “Takwa ada di sini! Sambil menunjuk ke arah dadanya”.
  1. Ruh
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ اْلعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Rabbi, dan tidaklah kalian diberi pengetahuan melainkan sedikit”(Q.S. 17 : 85).
Ruh adalah salah satu komponen perangkat tabiat manusia. Tetapi kita tidak mendapatkan batasannya dalam Alquran. Kita dapatkan kata ar-ruh dalam Alquran, dalam arti pembawa wahyu, yaitu Jibril, dan dalam arti rahasia Ilahi yang dengannya tanah liat kering menjadi manusia. Ruh yang dipandang sebagai bagian dari tabiat manusia, sebagaimana yang diterangkan dalam ayat 85 surah al-Isra, hanya Allah Swt.lah yang mengetahuinya. Dalam menafsirkan ayat ini, al-Qurthubi mengatakan:
Kebanyakan ahli ta’wil berpendapat, bahwa mereka bertanya kepadanya tentang ruh yang menghidupi jasad. Dan ahli nadhar berkata, bahwa mereka bertanya kepadanya tentang seluk beluk ruh dan gerak geriknya dalam badan manusia serta bagaimana pula pertalian ruh dengan tubuh serta hubungannya dengan hidup. Ini semua hanya Allahlah yang mengetahuinya. (Abdul Fattah Jalal,1988:65).




[1]http://ibrah78bahasaarab.blogspot.com/p/ilmu-pendidikan-islam.html, Diakses Tanggal. 15 Juli 2014.

Asas-asas Pendidikan Islam

ISLAMIC EDUCATION BASICS

B talk about the principles of Islamic education, then the most important element in it is about human nature. Therefore, in  a l -Q ur ' an, we find a complete picture of human nature that is written in the verses that explore directly with the mention of Adam, Bani Adam, al-Bechar, an-Nas, al -Insan and its various different creations, as well as various other places within a l -Q ur ' an.
A. Man As the Caliph of God on the Face of Earth      
Allah swt wants to create his caliphs on earth with the task of prospering nature and developing the message of the leaflet and upholding all deeds that belong to the good, kindness and truth. The assignment of this khalifah is accompanied by the potency created by Allah SWT, the creation of God Almighty. for him and the knowledge supplied by Allah SWT. to him. Thus the khalifah was assigned to always carry the Sharia of Allah. and carrying the burden imposed on him: if he does not do it, then he has followed his lust and become a destroyer on the face of the earth . (Abdul Fattah Jalal, 1988: 42-43) . This can be seen in a l -Q ur ' an as follows:
وإذا قالوا أتجعل فيها من يصسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسب بحمدك وما كلما
Meaning: Remember when your Rab said to the angels: "Surely I will make a caliph in the earth". They said: "Will you make the caliph on the earth, the one who will make damage to it and shed blood, while we always glorify you by praising You and purifying you?" He said: "I know what you do not know." QS2: 30).

Thus, human beings become God's khalifah on earth. He is placed to earth to manage what is in it and to work hand in hand between fellow human beings and prosper the earth. If any of the Children of Adam who increases his dignity to the level of the angels, perhaps even exceeds him, then that happens because they are doing what Allah Almighty has imposed. to him and to implement the Shari'ah of Allah, to fight on the path of righteousness and to concentrate his life in order to achieve the pleasure of Allah SWT. and the benefit of people and realize the common benefits for humans. They are the Apostles.
Similarly among the descendants of Adam as. There may also be those who fall to the lowest level, while they disbelieve the favor of Allah Swt. and do the damage on the face of the earth and waste the khilafah favors . With his knowledge, human beings deserve the honor of the angels, as depicted in surah al-Baqarah verses 30-34; that Allah Swt. has taught the name of the whole thing to Adam as, but the angels are not able to know it, so Allah Almighty. ordered them to prostrate to Adam as. So they prostrated, except the devious and arrogant demons.
As for the axis of the human caliphate is the use of reason, the duty of celestial tasks and the implementation of trust through the path of knowledge learned, the realization of understanding and the distinction between the bad and the good. In this case it is clear that the advantages of human beings are compared with all other creatures, even the angels, because they are just doing the commands without thinking or considering them. While humans are beings who are prepared to think and take responsibility and trust. Therefore, he is entitled to be the khalifah of Allah on earth, even the right of Allah SWT. blowing His spirit upon him.
B. God Creates Humans in the Best Build      
The human being to be God. as a caliph on earth, has made him in his best appearance. It makes humans as His creation in the best possible way. He created human beings as the best, birth and inner creation, with beautiful designs and unparalleled structures. God has sworn that He has created man in the best building:
والتين والزيتونات وطور سيين وه البلد الأمين لقد خلقنا الإنسان في أحسن تقويم
Meaning: By the means of the Tin and the Olives, and by the Mount Sinai, and by this peaceful city (Makkah), We have created man in the best of buildings (QS 95: 1-4).
In interpreting this verse, al-Qurthubi mentions that Allah Swt. has created Adam as. And his grandson is in a state of erect and beautiful. Allah Swt. has created everything in line with his will. He created humanity perfectly: having an elaborate oral, hand and finger fingers to grasp. Abubakar Ibn Thahir said, "Man is decorated with reason, able to execute commands, be educated, have a good body shape and get food with his hands". Ibn al-Arabi said, "Allah Swt. have no better beings than humans ". God created man with the potential to live, to know, to be able, to desire, to speak, to hear, to see, to think and to be wise. All these are the attributes of Allah SWT. which is likened by some scholars with the words: "Truly God has created Adam in His image", which is based on the attributes mentioned earlier. And in a history it is said "Based on the description of ar Rahman". This opinion is based on mere imagery. (Tafsir al-Qurthubi: 7204).
Muhammad Abduh said: "Allah swt, swear, that He has formed man in the form of the most important and arranged the best of the order. The statement is corroborated by a presupposition, that is, when man forgets the (not utilized) reason made by Allah SWT. as a means to glorify it, they tend to see themselves (put themselves in position) as a mere animal, like any other animal. They will act like animals, unhindered by shame. In fact some of them say that human beings are created with a tendency to evil. So to show the misguidance of this view of Allah SWT. confirms that He has bestowed upon man the best of fitrah,
After following this information, there is no reason to say that human nature is evil. Even the human nature is the character that has been prepared well.
C. Allah Subdued Everything in Heaven and on Earth for Man      
Allah Swt. has conquered everything that belongs to the earth and sky for this glorified human, so that he can perform his duties as the caliph of Allah SWT on earth. Allah Swt. has placed everything on earth under human power, both land and sea, enabling people to manage both and move in them with the mind and the knowledge. This can be seen in the Qur'an as follows:
أ لم تر أن الله سخرلكم ما فأ الأرض والفلك تجرة فإر بأمره ويمسك السماء أن تقع على الأرض إلا بإذنه إن الله باليساس لرؤوف رحيم
Meaning: Do you not see that Allah is wandering over all that is in the earth and the ark which sails in the sea by His command? And He restrains the heavens from falling into the earth, but by His leave? Indeed, Allah is Most Loving, Most Merciful to man (QS 22: 65).
Even Allah Swt. to subdue all that is in the heavens and the earth for mankind:
Allah is Oft-Forgiving, Most Merciful.  ماخرخركم ما في السموات وما في الأرض جميعا منه إن في ذلك لأيات لقوم يتفكرون.
Meaning: God is the one who subjugates the oceans to you so that the ships can sail on Him with His permission, and that you may seek some of His gifts and hopefully you are grateful. And He subdies for you what is in the heavens and what is on earth all, (as mercy) than Him. Verily in that are Signs of Allah for those who think (QS 45: 12-13).

In the surah an-Nahl verse 4-18, Allah Swt describes many things that He has forbidden to man, so that he can use it in life and facilitate in performing his duties. But, how do humans carry out the duties charged to him? God has prepared for man a set of His creation system that makes it possible to perform his duties.

Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam

A.       Dasar Pendidikan Islam
Dasar pendidikan Islam adalah identik dengan ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan hadits.1 Zakiah Daradjat menjelaskan bahwa pendidikan Islam itu bersumber pada ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad Saw.2 Sehingga proses pendidikan dalam Islam tidak terlepas dari tuntunan al-Qur’an dan hadits sebagai sumber asasinya. Proses pendidikan Islam berpegang kepada dua sumber itu dan hal ini sekaligus membedakan antara corak pendidikan Islam dengan corak pendidikan pada umumnya.
Sebagai bukti bahwa al-Qur’an merupakan dasar pendidikan Islam, terlihat dalam salah satu ayatnya yang mendorong supaya manusia menguasai ilmu pengetahuan melalui proses belajar. Ketika wahyu pertama diturunkan Islam dengan tegas mendorong umatnya untuk menguasai ilmu pengetahuan. Ketegasan ini bisa dilihat dari ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw, seperti yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5 sebagai berikut:
اقرأ باسم ربك الذى خلق . خلق الانسان من علق . اقرأ وربك الأكرم . الذى علم بالقلم . علم الانسان مالم يعلم . (العلق: ١-٥)
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanlah yang paling pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”                    (Q.S. Al-'Alaq: 1-5)

            Di dalam memahami ayat di atas dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, dijelaskan bahwa tidak didapat kata-kata yang lebih sempurna dari pada ayat ini di dalam menyatakan kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bahagiannya. Allah Swt memerintahkan mencari ilmu pengetahuan dengan perantaraan qalam atau pena. Hal ini mengisyaratkan betapa pentingnya umat Islam untuk belajar dan menuntut ilmu pengetahuan.[1]
Pendidikan Islam sebagai salah satu aspek dari ajaran Islam, dasarnya adalah Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Dari kedua sumber tersebut, para intelektual muslim kemudian mengembangkannya dan mengklasifikannya kedalam dua bagian yaitu: Pertama, akidah untuk ajaran yang berkaitan dengan keimanan; kedua, adalah syariah untuk ajaran yang berkaitan dengan amal nyata. Oleh karena pendidikan termasuk amal nyata, maka pendidikan tercakup dalam bidang syariah. Bila diklasifikasikan lebih lanjut, termasuk dalam sub bidang muamalah.
Dalam al-Quran, banyak ayat yang berkenaan dengan pendidikan. Tim penyusun buku Ilmu Pendidikan Islam memberikan contoh dengan menggunakan kisah Lukman ketika mendidik anak-anaknya. Hal tersebut menggariskan prinsip-prinsip dasar materi pendidikan Islam yang terdiri atas masalah iman, ibadah, sosial, dan ilmu pengetahuan.
Hadis, juga banyak memberikan dasar-dasar bagi pendidikan  Islam. Hadis sebagai pernyataan, pengalaman, takrir dan hal ihwal Nabi Muhammad Saw, merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah al-Quran. Di samping al-Quran dan hadis sebagai sumber atau dasar pendidikan Islam, tentu saja masih memberikan penafsiran dan penjabaran lebih lanjut terhadap al-Quran dan hadis, berupa ijma’, qiyas, ijtihad, istihsan dan sebagainya yang sering pula dianggap sebagai dasar pendidikan Islam. Akan tetapi, kita konsekuen bahwa dasar adalah tempat berpijak yang paling mendasar, maka dasar pendidikan Islam hanyalah Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw.

B.       Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam merupakan kristalisasi nilai-nilai ideal Islam yang diwujudkan dalam pribadi anak didik. Berikut ini merupakan pendapat para tokoh mengenai tujuan pendidikan Islam:
       1)      Moh. Athiya El-Abrasyi menyimpulkan tujuan pendidikan sebagai berikut:
a)      Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia;
b)      Persiapan kehidupan di dunia dan akhirat;
c)      Persiapan mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan;
d)      Menumbuhkan scientific spirit pada pelajar dan memuaskan keingintahuan dalam mengkaji ilmu;
e)      Menyiapkan peserta didik dari segi professional.[2]
     2)      Menurut Ahmad Tafsir yang menjadi tujuan umum pendidikan ada dua yaitu,pertama mampu hidup tenang. Kedua produktif. Kedua hal tadi kemudian dirinci menjadi tiga yaitu, pertama berbadan sehat dan kuat, kedua berotak cerdas dan pandai, ketiga memiliki iman yang kuat. Dari ketiga hal, Ahmad Tafsir merincinya menjadi tujuan khusus yaitu berdisiplin tinggi, jujur, kreatif, ulet, berdaya saing tinggi, mampu hidup berdampingan dengan orang lain, demokratis, menghargai waktu dan mampu mengendalikan diri.[3]
    3)      Menurut Muhaimin, secara umum pendidikan agama Islam bertujuan untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[4]
    4)      M. Arifin menyatakan bahwa, tujuan pendidikan Islam adalah merealisasikan manusia muslim yang beriman dan bertaqwa serta berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya kepada Khaliqnya dengan sikap dan kepribadian yang merujuk kepada penyerahan diri kepada-Nya dalam segala aspek kehidupan, duniawiah dan ukhrawiah.[5]
     5)      Ahmad D. Marimba mengemukakan dua macam tujuan pendidikan yaitu sementara dan akhir. Tujuan sementara pendidikan islam yaitu tercapainya tingkat kedewasaan baik jasmaniah maupun rohaniah. Adapun tujuan akhir pendidikan Islam yaitu terwujudnya kepribadian muslim yaitu kepribadian yang mencerminkan ajaran Islam.[6]
Berdasarkan beberapa rumusan tujuan pendidikan Islam tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk seorang muslim sempurna yang berkepribadian mulia, sehat jasmani dan rahani, cerdas dan pandai, bertaqwa kepada Allah Swt



1Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996),    hal. 37.
2Zakiah Daradjat, dkk, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1981/1982), hal. 61.
[1]Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amarullah), Tafsir Al-Azhar, Jilid 5, (Surabaya: Pustaka Islam, 1983), hal. 196.
[2]M. Athiya Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Terj. Bustami A. Gani Djohar Bahary, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 1-5.
[3]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hal, 81-83.
[4]Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2008), hal. 78.
[5]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 38-39.
[6]Ahmad. D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Alma'arif, 1980), hal. 6.

Pengertian dan Ruang Lingkup Pendidikan Islam

A.     Pengertian Pendidikan Islam
Untuk memberikan pengertian tentang pendidikan Islam, maka perlu diketahui dari mana asal kata tersebut. Kata “pendidikan” adalah terjemahan dari bahasa Arab, yakni Rabba-Yurabbi-Tarbiyyatan. Kata tersebut bermakna: Pendidikan, pengasuhan dan pemeliharaan.
Dalam al-Quran banyak dijumpai ayat yang mempunyai arti yang sama dengan pengertian di atas. Ayat-ayat tersebut dapat dilihat pada:
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَـانِى صَغِيْرًا
Artinya: Ya, Allah kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah membimbing aku waktu kecil (Q.S. 17 : 24).
Selanjutnya dapat pula dilihat pada ayat berikut:

قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِيْنَا وَلِيْدًا وَلَبِثْتَ فِيْـنَا مِنْ عُمْرِكَ سِنِيْنَ
Artinya: Fir’aun menjawab: Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu (Q.S. 26 : 18).
إِنَّـهُ رَبِي أَحْسَنَ مَثْوَايَ  
Artinya: Sungguh Tuhanku telah memperlakukan aku dengan baik (Q.S.12: 23).
Pengertian pendidikan yang di pahami sekarang belum terdapat pada zaman Rasulullah Saw. Namun usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan usaha dakwahnya memberi contoh dan melatih keterampilan berbuat kebajikan, memberi motivasi dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu telah mencakup arti pendidikan dalam pengertian sekarang.
Selain pengertian di atas juga terdapat definisi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ahmad Tafsir bahwa: Pendidikan Islam ialah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Bila disingkat pendidikan Islam ialah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin.[1]
Pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam pengertian yang sederhana dan umum makna pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyaraka.[2]
Pendidikan Islam adalah suatu bimbingan baik jasmani maupun rohani yang berdasarkan hukum-Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam.[3] Pendapat lain mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah aktifitas bimbingan yang disengaja untuk mencapai kepribadian muslim, baik yang berkenaan dengan jasmani, ruhani, akal maupun moral. Pendidikan Islam adalah proses bimbingan secara sadar seorang pendidik sehingga aspek jasmani, rohani dan akal anak didik tumbuh dan berkembang menuju terbentuknya pribadi, keluarga dan masyarakat yang Islami.[4]
Dengan demikian pendidikan agama Islam mengandung makna suatu upaya pendidikan yang dilaksanakan menurut ketentuan ajaran Islam menyangkut penyesuaian materi, metode dan berbagai komponen pendidikan lainnya. Serta memperbaiki potensi manusia untuk meningkatkan pengabdian diri kepada Allah Swt. Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan yang ditujukan untuk membentuk akhlak atau prilaku manusia yang mengabdi kepada Allah Swt. Apabila pendidikan di laksanakan bertentangan dengan ajaran Islam, maka hal tersebut bukanlah pendidikan Islam atau tidak dapat dikategorikan sebagai proses pendidikan agama Islam.
Di samping pengertian-pengertian di atas, masih banyak lagi pengertian yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Namun cukup dimengerti bahwa dari pengertian yang mereka kemukakan dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap anak didiknya dengan tujuan membimbing ke arah yang lebih sempurna yakni dengan menggunakan sarana atau alat belajar dan berlangsung pada suatu tempat tertentu.

B.     Ruang Lingkup Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sebagai ilmu, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas karena di dalamnya banyak aspek yang ikut terlibat, baik langsung maupun tidak langsung. Adapun ruang lingkup pendidikan Islam adalah:
  1. Perbuatan Mendidik
  2. Anak Didik
  3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
  4. Pendidik
  5. Materi Pendidikan
  6. Metode Pendidikan
  7. Alat Pendidikan
  8. Evaluasi Pendidikan
  9. Lingkungan Pendidikan.[5]
Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai beberapa aspek di atas yang merupakan ruang lingkup dari pendidikan tersebut.
  1. Perbuatan Mendidik. Yang dimaksud perbuatan mendidik ialah seluruh kegiatan, tindakan, dan sikap pendidik sewaktu menghadapi anak didiknya.
  2. Anak Didik. Anak didik merupakan unsur terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karena semua upaya yang dilakukan adalah demi menggiring anak didik ke arah yang lebih sempurna.
  3. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam. Dasar dan tujuan pendidikan Islam yaitu landasan yang menjadi fundamen serta sumber dari segala kegiatan pendidikan Islam dalam hal ini dasar atau sumber pendidikan Islam yaitu ke arah mana anak didik itu akan dibawa.
  4. Pendidik. Pendidik yaitu sebagai subjek yang melaksanakan pendidikan Islam. Ini memiliki peranan yang sangat penting, berhasil atau tidaknya proses pendidikan  banyak ditentukan oleh mereka.
  5. Materi Pendidikan Islam. Materi pendidikan Islam yaitu bahan atau pengalaman-pengalaman belajar yang disusun sedemikian rupa untuk disajikan kepadaanak didik. Dalam pendidikan Islam materi pendidikan Islam sering disebut dengan Maddatut Tarbiyah.
  6. Metode. Metode yaitu cara yang dilakukan oleh pendidik dalam menyampaikan materinya.. Metode tersebut mencakup cara pengelolaan, penyajian materi pendidikan agar materi tersebut dapat dengan mudah diterima oleh anak didik.
  7. Evaluasi Pendidikan. Cara-cara mengadakan evaluasi (penilaian) terhadap hasil belajar anak didik. Evaluasi ini diadakan dengan tujuan untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar selama proses pembelajaran.
  8. Alat-alat Pendidikan. Alat-alat pendidikan yaitu semua alat yang digunakan selama melaksanakan pendidikan Islam agar tujuan pendidikan Islam tercapai.
  9. Lingkungan Pendidikan. Yang dimaksud dengan lingkungan pendidikan Islam di sini ialah keadaan-keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil pendidikan Islam. Lingkungan pendidikan sangat besar pengaruhnya dalam membentuk kepribadian anak didik, olehnya itu hendaklah diupayakan agar lingkungan belajar senantiasa tercipta sehingga mendorong anak didik untuk lebih giat belajar.

[1]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 32.
[2]Fuad Ihsan, Dasar Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 2.
[3]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-maarif, 1981),   hal. 20.
[4]Mahmud dan Tedia Priatna, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung:  Sahifa, 2005),         hal. 18-19.
[5]Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 16.

Monday, October 30, 2017

Syarat, Rukun dan Nilai Pendidikan Islam dalam Shalat Berjamaah

1.      Syarat dan Rukun Shalat Berjamaah
Syarat-syarat shalat berjamaah dapat dikategorikan menjadi dua bahagian, pertama syarat yang berhubungan dengan iman dan kedua syarat yang berhubungan dengan makmum.
1.    Syarat yang berhubungan dengan iman
Seorang imam harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a)      Islam, karena itu syarat utama dalam pendekatan diri seseorang hamba kepada Allah Swt;
b)      Akil maksudnya adalah berakal
c)      Baligh, anak yang yang sudah mumayyiz (dapat membedakan baik dan buruk)
d)     Laki-laki, imam shalat jamaah harus seorang laki-laki, dan wanita tidak boleh menjadi imam bagi laki-laki
e)      Imam harus orang yang mampu baca al-Qur’an dengan baik, dengan bahasa lain orang yang tidak ahli membaca al-Qur’an tidak boleh menjadi imam bagi orang yang ahli membaca al-Qur’an, karena shalat meniscayakan bacaan al-Qur’an.[1]

  1. Syarat yang berhubungan dengan makmum
Seorang makmum harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a)      Makmum tidak berada di depan imam, sebagai acuannya yaitu tumit dalam posisi normal, makmun dianjurkan mengambil tempat sedikit dibelakang imam.[2]
b)      Mengetahui gerakan perpindahan imam, dengan melihat, mendengar atau mengikuti dari jamaah lain.[3]
c)      Makmum dan imam berkumpul disatu tempat, satu mesjid atau di beberapa mesjid yang pintunya terbuka.
d)     Niat bermakmum atau berjamaah kepada imam.
e)      Bentuk shalat makmum sesuai dengan imam dalam hal gerakan dzahir.
f)       Jika bentuk shalat imam dan makmum berbeda, seperti satu shalat fardhu dan yang lain shalat jenazah, maka jamaahnya tidak sah.
g)      Gerakan makmum harus sejalan dengan imam baik dalam hal melakukan atau meninggalkan sunah yang mempunyai bentuk sangat berbeda. Misalnya imam tidak melakukan tasyahud awal atau sujud tilawah, namum makmum melakukannya maka shalatnya makmum menjadi batal.
h)      Mengikuti gerakan imam, dalam artian bahwa gerakan makmum dalam shalat harus setelah imam. Jika makmum mendahului imam sebanyak dua rukun fi’li seperti rukuk dan sujud atau terlambat dua rukun fi’li dari imam bukan karena udzur maka shalatnya batal. Jika gerakan makmum bersamaan dengan gerakan imam pada selain talbiratul ihram atau makmum mendahului atau terlambat satu rukun fi’li dari imam, maka shalat makmuk tidak batal.[4]

Dengan terpenuhinya syarat-syarat untuk menjadi seorang imam dan juga makmum, maka pelaksanaan ibadah shalat secara berjamaah akan mendapatkan hasil sebagaimana tujuan dan hikmah shalat secara berjamaah, termasuk juga di dalamnya yaitu mendapatkan fadhilah ibadaha shalat sebanyak dua puluh tujuh kali bila dibandingkan dengan mengerjakan shalat secara sendirian.
2.      Nilai-nilai Islam dalam Shalat Berjamaah
Adapun nilai-nilai yang terdapat dalam pelaksanaan ibadah shalat berjamaah diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Mendidik Keikhlasan dan Kesadaran Diri
Segala amal ibadah harus dilaksanakan atas panggilan dalam jiwa, tanpa pengaruh dari siapapun, yaitu dilaksanakan atas kesadaran sendiri. Begitu juga dengan shalat berjamaah, ketika melaksanakan shalat berjamaah seorang muslim harus ikhlas hatinya dan hadir hatinya dalam shalat, sehingga kesadaran berbuat dan berucap selalu bersama-sama dengan perbuatan dan ucapan. Shalat hanya untuk Allah Swt semata, artinya hendaklah dikerjakan dengan penuh keikhlasan karena Allah, bersih dari pengaruh yang lain, tidak mengharap sanjungan, sayang atau perhatian umum.[5] akan tetapi karena memenuhi panggilan Allah Swt semata. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Bayyinah ayat 5, yaitu:
 (البيناه: ٥)
Artinya:  "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Al-Baiyinah: 5)
Dengan demikian, kesadaran diri untuk memenuhi panggilan azan untuk menunaikan ibadah shalat secara berjama`ah merupakan suatu hal yang mengandung nilai-nilai pendidikan. Artinya, diawali dengan keikhlasan dalam melaksanakan shalat berjamaah diharapkan menjadi terdidik dalam keikhlasan mengerjakan perbuatan-perbuatan lainnya.
  1. Mendidik Teratur dalam Melaksanakan Ibadah
Semua amal ibadah hendaknya dilaksanakan secara terus-menerus dan teratur. Dengan demikian, seseorang akan terbiasa melakukan hal-hal yang baik karena sudah sering dilaksanakannya. Seorang yang melakukan shalat secara teratur dan kusyuk akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 45 yaitu:
                                                                                                       (العنكبوت: ٤٥)
Artinya: ”…Dan dirikanlan shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar ...” (Al-Ankabut: 45).
Dengan shalat berjamaah secara teratur akan menghidupkan sendi-sendi ukhwah antara umat Islam. Seseorang muslim yang selalu melaksanakan shalat berjamaah akan terhindar dari kemunafikan dan kebebasan dari api neraka.[6]
Dengan demikian, nilai pendidikan teratur dalam melaksanakan ibadah juga menjadi bagian dari nilai-nilai pendidikan dalam ibadah shalat berjama`ah. Karena berawal dari keteraturan dalam ibadah shalat berjamaah akan terlatih juga untuk teratur dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Misalnya, ketika pagi bangun dan melaksanakan ibadah shalat shubuh dengan berjamaah, maka akan cepat bangun serta dapat menyusun agenda-agenda kegiatan lainnya diwaktu pagi.
  1. Melatih tepat waktu
Shalat merupakan ibadah yang telah ditentukan waktunya. Hal tersebut sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 103 yaitu:
   (النساء: ١٠٣)
Artinya: "Maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa`: 103)
Dengan demikian, kewajiban shalat harus dilakukan tepat waktu secara berjamaah, sebab shalat adalah satu kewajiban yang waktu pelaksaaannya telah ditentukan. Hal tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan kepada setiap mukmin untuk senantiasa dan terbiasa dalam mengatur waktu. Artinya, disiplin waktu itu adalah hal yang sangat penting untuk menjadi perhatian bagi umat Islam bukan hanya dalam segi ibadah shalat saja tetapi juga dalam ibadah-ibadah lainnya termasuk dalam kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas sehari-hari. Karena sesuatu hal yang dilakukan tepat pada waktunya akan mendapatkan hasil yang baik, hidup menjadi teratur atau disiplin sehingga membuat hati menjadi tenang dan tenteram.




[1]Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Figh Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 245.
[2]Wahbah Zuhaili, Figh Imam Syafi’i, (Jakarta: Al-Mahira, 2010), hal. 336.
[3]Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Figh Ibadah...,      hal. 246.
[4]Wahbah Zuhaili, Figh Imam Syafi’i..., hal. 337-338.
[5]M. Zainul Arifin, Shalat Mikraj Kita Cara Efektif Berdialog dan Berkomuniukasi Langsung Dengan Allah Swt, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 27.
[6]Imam Al-Ghazali, Keagungan Shalat, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), hal. 51.