Tuesday, October 17, 2017

Teologi Islam (Makalah)

BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu kalam membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang di anutnya. Seseorang yang telah memahami teologi dengan cara mempelajarinya secara mendalam diharapkan bisa mendapatkan keyakinan dan pedoman yang kokoh dalam beragama. Orang yang demikian tidak mudah diperdayakan oleh zaman yang selalu berubah. Setiap gerak langkah, tindakan dan perbuatannya selalu dilandaskan pada keyakinan yang dijadikan falsafah dalam hidupnya.
Mengkaji ilmu teologi dalam Islam pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama alira teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang dimiliki setiap manusia, baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis yang secara natural adalah distingtif. Oleh sebab itu, perbedaan kesimpulan antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural pula.
Dalam kaitan ini, para sahabat dan tabi’in biasa berbeda pendapat dalam mengkaji suatu masalah tertentu. Beberapa indikasi yang menjadi pemicu perbedaan pendapat diantara mereka adalah terdapat beberapa sahabat yang mendengar ketentuan hukum yang diputuskan oleh Nabi SAW, sementara yang lainnya tidak. Sahabat yang tidak mendengar keputusan itu lalu mereka berijtihat. Dari sini kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu ketentuan hukum.
Secara teoritis, perbedaan demikian tampak melalui perbedaan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada rasul, para malaikat, hari akhirat dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkan. Sedangkan persoalan yang masih berpeluang untuk diperdebatkan misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu, akal dan keadilan Tuhan. Perbedaan itu, kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Jabariyah, Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Oleh karena demikian, penulis mencoba menjelaskan tentang sejarah dan perkembangan teologi atau aliran kalam yang timbul dalam dunia Islam. Pembahasan mengenai ini akan dimulai dari latar belakang, selanjutnya akan dibahas mengenai pokok pembahasan tentang pengertian teologi dan sejarah aliaran-aliran ilmu kalam dan lain sebagainya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengetian Teologi Islam (Ilmu Kalam)
Teologi dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu “theologia” yang terdiri dari kata “theos” yang berarti tuhan atau dewa, dan “logos” yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan. Teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa teologi merupakan penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional.[1] Sedangkan menurut A. Hanafi mendefinisikan bahwa teologi merupakan suatu ilmu yang membahas fakta-fakta dan gejala-gejala agama dan hubungan-hubungan antara tuhan dan manusia.[2]
Sedangkan menurut Muhammad Abduh menjelaskan bahwa pengertian teologi Islam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya secara rasional. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa “Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sama sekali wajib di lenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang Rasul-rasul Allah, meyakinkan keyakinan mereka, meyakinkan apa yang ada pada diri mereka, apa yang boleh di hubungkan kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkanya kepada diri mereka”.[3]
Kalau melihat definisi pertama dapat di pahami bahwa Muhammad Abduh lebih menekankan pada Ilmu Tauhid/Teologi yaitu pembahasan tentang Allah dengan segala sifat-Nya, Rasul dan segala sifat-Nya.
Menurut pendapat Murthadha Murthahhari menjelaskab bahwa Untuk mendefinisikan ilmu kalam, maka cukup dengan mengatakan, “Ilmu kalam merupakan sebuah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam (Ushuluddin). Ilmu kalam mengidentifikasikan akidah-akidah pokok dan berupaya membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap akidah-akidah pokok tersebut”.[4]
Ilmu kalam disebut juga dengan ilmu tauhid karena membahas tentang keesaan Allah Swt. Secara objektif, ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasi ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika. Oleh sebeb itu, teolog membedakan antara ilmu kalam dengan ilmu tauhid.
Jadi, apabila memperhatikan definisi ilmu kalam di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian ilmu kalam itu adalah ilmu yang membahas atau ilmu yang mengandung tentang berbagai masalah-masalah kebutuhan dengan menggunakan argumentasi logika atau filsafat.

B.     Sejarah Munculnya Aliran Teologi Islam (Aliran Kalam)
Pada masa Nabi Saw dan Khulafaurrasyidin, umat Islam bersatu, mereka satu akidah, satu syariah dan satu akhlakul karimah. Kalau mereka ada perselisihan pendapat dapat di atasi dengan wahyu dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Awal mula adanya perselisihan dipicu oleh Abdullah bin Saba’ (seorang Yahudi) pada masa pemerintahan Usman bin Affan dan berlanjut pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Awal mula timbulnya gejala timbulnya aliran-aliran adalah sejah ke khalifahan Usman bin Affan (khalifah ke 3 setelah wafatnya Rasulullah Saw). Pada masa itu, dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan kelompok yang mengarah terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Kemudian digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu perpecahan di tubuh umat Islam terus berlanjut.[5]
Sesuai dengan pendapat di atas, dalam sumber yang lain dijelaskan bahwa pada zaman Rasulullah Saw sampai masa pemerintahan Usman bin Affan (644-656 M) problem teologis di kalangan umat Islam belum muncul. Problema itu baru timbul di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661 M) dengan munculnya kelompok Khawarij, pendukung Ali yang memisahkan diri karena tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima tahkim (arbitrase) dalam menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam pada waktu perang Shiffin.[6]
Persoalan politik merupakan alasan pertama munculnya persoalan teologi dalam Islam. Khawarij berpendapat, tahkim adalah penyelesaian masalah yang tidak didasarkan kepada Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak memutuskan hukum dengan Al-Qur’an adalah kafir. Dengan demikian orang yang melakukan tahkim dan menerimanya adalah kafir. Argumen mereka sebenarnya sangat sederhana, Ali, Mu’awiyah dan pendukung-pendukung mereka semuanya kafir karena mereka “murtakib al Kabirah” atau pendosa besar.
Dalam perkembangan selanjutnya Khawarij tidak hanya memandang orang yang tidak menghukumkan sesuatu dengan Al-Qur’an sebagai kafir, tetapi setiap muslim yang melakukan dosa besar bagi mereka adalah kafir. Pendapat ini mendapat reaksi keras dari kaum muslimin lain sehingga muncul aliran baru yang dikenal dengan nama Murji’ah. Menurut pendapat aliran ini, muslim yang berbuat dosa besar tidak kafir, ia tetap mukmin. Masalah dosa besar yang dilakukannya terserah Allah, diampuni atau tidak. Belakangan lahir aliran baru lagi, Mu’tazilah yang berpendapat muslim yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tapi menempati posisi di antara keduanya (al manzilah bain al manzilatain). Masuknya filsafat Yunani dan pemikiran rasional ke dunia Islam pada abad kedua Hijriah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran teologis di kalangan umat Islam. Mu’tazilah mengembangkan pemikirannya secara rasional dengan menempatkan akal di tempat yang tinggi sehingga banyak produk pemikirannya tidak sejalan dengan pendapat kaum tradisional. Pertentangan pendapat di antara dua kelompok inipun terjadi dan mencapai puncaknya ketika Al-Makmun (813-833 M), khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan memaksakan paham Mu’tazilah kepada kaum muslimin. Sebagai penganut dan pendukung aliran Mu’tazilah Khalifah Al-Makmun memandang perlu untuk memberikan pelajaran terhadap kelompok Ahli Hadis karena keteguhan mereka untuk mempertahankan bahwa Al-Qur’an bukanlah “diciptakan” (makhluq) yang semakin merajalela, khususnya di Baghdad. Berbagai kerusuhan sosial yang timbul di Baghdad antara kelompok ahli hadis dan orang-orang Syi’ah tentu meresahkan keamanan di ibukota tersebut. Sebagai seorang khalifah yang berupaya mendapatkan dukungan kaum Syi’ah tidak mengherankan kalau ia menunjukkan sikap bermusuhan terhadap ahli hadis. Al-Qur’an sebagai topik kontroversial mungkin lebih merupakan alasan yang diciptakan guna memberikan perlawanan terhadap tokoh-tokoh ahli hadis. Sebaliknya kaum ahli hadis yang semula mendapatkan banyak kesulitan dengan adanya mihnah kini mendapat angin, walaupun tidak berarti bahwa mereka menggantikan posisi lawan mereka yang berpengaruh sebelumnya. Reaksi keras kaum tradisional menentang Mu’tazilah, pada akhirnya berwujud dalam bentuk sebuah aliran teologi yang dikenal dengan nama Ahlussunnah waljamaah, dengan tokoh utamanya Abu al Hasan Ali al Asy’ari dan abu Mansur al Maaturidi.[7]
Terkecuali beberapa aliran teologi sebagaimana disebutkan di atas, ada lagi beberapa aliran teologi dalam Islam seperti Syiah, Qadariyah dan Jabariyah. Aliran Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah adalah aliran yang berkembang pada masa lampau. Sekarang yang dianut mayoritas umat Islam adalah aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah yang dalam soal iman menganut paham moderat Murji’ah. Tetapi, pemikiran rasional Eropa yang berasal dari Islam abad kedua belas itu masuk kembali ke dunia Islam abad kesembilan belas dan kedua puluh, dan menghidupkan kembali pemikiran rasional Mu’tazilah masa silam. Dalam pada itu, kaum Syi’ah dari sejak semula tetap menganut aliran rasional dan filosofis Mu’tazilah.

C.    Aliran-aliran Teologi dalam Islam (Aliran Kalam)
  1.  Khawarij
Golongan ini pada mulanya muncul bukan karena persoalan aqidah, melainkan persoalan politik dimana terjadi peperangan antara mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib. Saat perang berkecamuk, seseorang mengangkat Al-Qur’an dengan pedangnya untuk mengadakan tahkim (arbitrase) yaitu mengangkat seorang hakim yang bertujuan mengadakan perundingan untuk mengakhiri perang.
Sebagian orang dari barisan Ali menerima tahkim tersebut dan sebagian lainnya tidak, kemudian memilih keluar dari barisan karena kecewa karena Ali menerima tahkim tersebut. Kata Khawarij berasal dari bahasa Arab yang berarti keluar. Nama itu dberikan kepada mereka, karena mereka keluar dari barisan Ali.[8]
Dalam perkembangan selanjutnya, persoalan politik ini melebar ke arah persoalan aqidah dimana kaum khawarij meyakini hal-hal sebagai berikut:
a.       Bahwa Saidina Ali, Khalifah Ustman dan orang-orang yang melakukan tahkim, yakni Amr bin al-‘Ash dan Abu Musa al-Asy’ari adalah orang-orang kafir. Demikian juga orang yang menerima keputusan tahkim itu. Juga para peserta yang ikut dalam perang Jamal melawan Saidina Ali, seperti Siti Aisyah, Thalhah dan Zubeir.
b.       Semua orang muslim yang melakukan dosa besar adalah kafir yang kekal dalam neraka jika tidak bertobat sebelum mati.
c.       Wajib memisahkan diri dari khalifah atau sulthan yang zalim. Dan khalifah itu boleh dilantik dari orang yang bukan keturunan Quraisy.[9]

  1.  Murji’ah
Seperti halnya kaum khawarij, golongan ini pada mulanya  muncul karena persoalan politik. Sebagaimana disebutkan tentang peristiwa tahkim  antara kelompok Mu’awiyah dan kelompok Ali, kelompok Ali terbelah dua, sebagian mendukung Ali yang kemudian memunculkan kelompok syi’ah dan sebagian menentangnya yang kemudian memunculkan kelompok Khawarij. Kedua kelompok ini sama-sama menentang dan mengkafirkan Mu’awiyah, hanya dengan motifnya yang berbeda.
Dalam suasana pertentangan serupa inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah, dan memandang lebih baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di depan Tuhan.[10] Nama murji’ah sendiri berasal dari kata arja’a yang berarti menunda.[11]
Pada umumnya kaum murjiah dapat dibagi dalam dua golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Sedangkan golongan yang ekstrim berpendapat bahwa orang islam yang percaya pada Tuhan dan menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah mennjadi kafir, karena iman dan kafir tempatnya hanya dalam hati, bukan dalam bagian yang lain dari tubuh manusia.[12]

  1.   Jabariyah
Paham ini diajarkan dan dikembangkan oleh Jaham bin Safwan yang memperoleh banyak pengikut, sehingga ajaran ini juga dikenal dengan madzhab Jahamiyah. Golongan ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai ikhtiar atau pilihan dan kebebasan dalam menentukan nasib dan perbuatannya dalam kehidupan di dunia ini. Segala sesuatu telah digariskan Allah atasnya sejak zaman azali.[13]
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara  yang mengadung arti memaksa. Dalam istilah inggris paham ini disebut fatalism atau predestination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh kada dan kadar Tuhan.[14]

Adapun pendapat yang lain dari golongan ini antara lain :
a.       Pengggunaan takwil, artinya Allah tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk. Dan karena itu ia menakwilkan sifat-sifat Allah yang ada persamaannya dengan sifat manusia.
b.      Surga dan neraka tidak kekal, akan datang suatu masa yang padanya surga dan neraka akan fana dengan segala isinya dan yang tinggal kekal hanya Allah saja. Selain dari Allah, semuanya akan binasa.
c.       Iman, Iman itu adalah makrifah atau pengakuan hati saja akan wujud Allah dan kerasulan Muhammad SAW, Ucapan lisan dan perbuatan anggota badan yang lain tidak termasuk dalam iman.
d.      Makrifat iman itu wajib berdasarkan akal sebelum turunnya wahyu dan kedatangan rasul.[15]

  1. Qadariyah
Pemuka mazhab ini adalah Ghailan al-Dimasqi, Golongan ini disebut Qadariyah adalah karena pendapatnya tentang kedudukan manusia diatas bumi. Golongan ini mengatakan bahwa manusia mempunyai iradah yang bebas dan kuasa  penuh dalam menentukan amal perbuatan yang dilakukan dan karenanya ia bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan. Jika amalnya baik, balasannya juga baik, dan jika buruk, maka balasannya juga buruk. Artinya nasib manusia ditentukan oleh manusia sendiri dan Tuhan tidak ada kuasa campur tangan dalam hal tersebut.
Selain hal tersebut diatas, golongan ini juga mengatakan hal-hal sebagai berikut :
a.    Menafikan sifat-sifat Allah, karena menurutnya sifat itu identik dengan dzat, bukan sesuatu yang berbeda dengan dzat.
b.    Menafikan bahwa al-Qur’an itu qadim
c.    Tentang politik, khalifah atau imam boleh dilantik dari selain kaum quraisy.[16]

  1. Mu’tazilah
Penulis Islam klasik, seperti syarastani, al-baghdadi, ar-Razi, ibn Khilikan dan lain-lain menyatakan bahwa golongan mu’tazilah lahir dari majlis pengajian Hasan al-bashri di Bashrah. Beliau ini seorang pemuka tabiin yang terkenal dan merupakan seorang imam dan guru yang mengajar agama di Masjid Agung Bashrah pada waktu itu. Nama mu’tazilah diberikan pertama kali pada Washil bin ‘Ata pada saat terjadi dialog tentang nasib orang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah masuk neraka atau tetap dalam surga.[17]
Golongan ini mempunyai lima ajaran, yang terkenal dengan istilah lima prinsip (أصول الخمسة), yaitu :
a.       Tauhid (Keesaan Tuhan), yakni pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, seperti yang telah digariskan dalam kalimah tauhid.
b.      Al-‘Adlu (keadilan Tuhan), yakni Allah wajib membalas orang mukmin yang taqwa dengan memasukkan mereka ke dalam surga dan wajib memasukkan orang kafir ke dalam neraka.
c.       Al-Manzilah bain al-Manzilatain (suatu tempat antara dua tempat), yakni pelaku dosa besar bukan orang mukmin yang mutlak dan juga bukan orang kafir yang mutlak.
d.      Al-Wa’du wa al-wa’id (janji baik dan janji buruk), yakni Allah wajib memberikan pahala kepada orang mukmin yang taat dan memberikan balasan siksa kepada orang mukmin yang durhaka. Golongan mu’tazilah menolak adanya syafaat yang diberikan kepada orang mukmin yang durhaka.
e.       Amar makruf dan nahi munkar, yakni menyuruh yang makruf dan melarang yang mungkar.[18]

  1. Ahli Sunnah Dan Jama’ah
Adapun yang dimaksud dengan al-sunnah (السنة) ialah :
  1. Jalan. Artinya Ahlussunnah (أهل السنة ) adalah golongan yang mengikuti jalan para sahabat dan tabiin dalam masalah yang berkaitan dengan akidah, seperti bersikap “ menyerahkan makna atau maksud ayat-ayat mutasyabihat ( متشابهات ) kepada Allah tanpa menakwilkan kepada makna atau maksud lain dari pengertian lahirnya”.
  2. Hadis Nabi. Yakni golongan yang berpegang kepada hadis yang sahih.
Sedangkan yang dimaksud dengan jamaah (جماعة )yang dikaitkan dengan sunah adalah karena mereka dalam berdalil dan berhujah mempergunakan Kitab Allah, Sunah Rasul, ijma (إجماع) dan qias (قياس). Mereka memandang empat landasan ini sebagai asas syariat Islam.[19]
Sunnah dalam term ini berarti Hadis. Sebagai diterangkan Ahmad Amin, Ahli Sunnah dan Jama’ah, berlainan dengan kaum Mu’tazilah percaya pada dan menerima hadis-hadis sahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Dan Jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al-Syari’ah al-Mahbubi yaitu ‘ammah al- muslimin (umumnya umat Islam) dan al-jama’ah al kasir wa al sawad al-a’zam (jumlah besar dan khalayak ramai).[20]
Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah mendapat pengaruh besar dalam kalangan umat Islam setelah Abu Hasan al-Asy’ari bergabung dengannya.Sebelum itu beliau adalah penganut Mazhab Mu’tazilah dan murid Abu Ali al-Jabaiy, seorang pemuka Mu’tazilah yang terkenal pada waktu itu. Banyak riwayat yang menyebutkan sebab keluarnya dari paham Mu’tazilah dan yang paling masyhur adalah karena suatu diskusi yang terjadi dengan gurunya dan al-Asy’ari tidak merasa puas dengan jawaban gurunya. Sejak saat itu al-Asy’ari menyatakan keluar dari golongan Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru yang identik dengan namanya yaitu al-Asy’ari yang sekarang kita kenal dengan aliran Ahlussunah wal Jamaah.
Aliran Asy’ariyah cepat berkembang pada masa pemerintahan Nizhom al-Mulk, sedangkan aliran mu’tazilah mengalami kemunduran. Dengan demikian paham-paham Asy’ariyah mulai tersebar luas bukan di daerah kekuasaan saljuk saja, tetapi di dunia Islam lainnya.

BAB III
KESIMPULAN

Teologi (Theos=Tuhan dan Logos=Ilmu) merupakan rangkaian ilmu tentang Tuhan atau keTuhanan. Istilah teologi lebih sering dipakai oleh penulis-penulis barat, oleh penulis-penulis Islam sendiri teologi mempunyai kesamaan dengan ilmu Kalam. Awal mula lahirnya ilmu kalam menumbuhkan beberapa aliran teologi sebagai akibat dari persoalan politik yang muncul pada saat pengangkatan Ali bin Abi Thalib menggantikan Usman bin Affan sebagai khalifah. Pada perkembangannya aliran-aliran teologi tersebut hanya beberapa yang bertahan sampai sekarang seiring dengan perkembangan pemikirannya masing-masing.
Aliran-aliran utama dalam teologi Islam (aliran kalam) di antaranya adalah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariah dan Maturidiyah (Ahli Sunnah wal Jama’ah) yang masing-masing mempunyai beberapa kesamaan dan perbedaan terhadap pemikiran-pemikiran paham mereka.




[1]Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalan, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 14.

[2]A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna Baru, 2003), hal. 1.

[3]Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Terj), Firdaus A.N, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 36.

[4]Murthadha Murthahhari, Mengenal Ilmu Kalam: Cara Menembus Kebuntutan Berfikir, (Jakarta: Zahra-IKAPI, 2002), hal. 25.

[5] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 6.

[7] Ibid.

[8]Harun Nasution, Teologi Islam…, hal. 13.

[9]Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997 ), hal. 96.

[10]Harun Nasution, Teologi Islam…, hal. 24.

[11]Ahmad Amin, Fajrul Islam, (Kairo: Maktabah An-Nahdah,1965), hal. 279.

[12]Harun Nasution, Teologi Islam…, hal. 26-28.

[13]Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu…, hal.21.

[14]Harun Nasution, Teologi Islam…, hal. 33.

[15]Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu…, hal. 23-24.

[16]Ibid., hal. 25-27.

[17]Ibid., hal. 98-99.

[18]Ibid., hal. 101-109.

[19]Ibid., hal. 111.

[20]Harun Nasution, Teologi Islam…, hal. 65.

1 comment: