Friday, October 27, 2017

Tinjauan Musyawarah dalam Islam

Pengertian musyawarah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pembahasan bersama dengan maksud memperoleh keputusan atas penyelesaian suatu masalah.[1] Kata musyawarah tersebut berasal dari bahasa Arab, yakni musyawarat. Ia adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara, yusyawiru, syawir yang terdiri atas tiga huruf, syin, waw dan ra’. Struktur akar kata tersebut bermakna pokok “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sesuai dengan pola tashrif nya, misalnya; syawir (meminta pendapat), musytasyir (meminta pandangan orang lain), asyarah (memberi isyarat atau tanda), al-masyurah (nasehat atau saran), tasyawur (perundingan).[2]
Senada dengan pendapat di atas, dalam sumber yang lain dijelaskan bahwa akar kata musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia tersebut adalah شور yang berarti menampakan sesuatu atau mengeluarkan “madu dari sarang lebah”. Musyawarah bararti menampakan sesuatu yang semula tersimpan atau mengeluarkan pendapat yang baik kepada pihak lain. Sedangkan secara istilah syura berasal dari kata syawwara-yusyawwiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu, bentuk lain dari kata kerja ini adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara, (berunding saling tukar pendapat), Syawir (minta pendapat) musyawarah dan mustasyir (minta pendapat orang lain). Jadi Syura adalah menjelaskan, menyatakan atau mengajukan pendapat yang baik disertai dengan menaggapi dengan baik pula pendapat tersebut.[3]
Senada dengan pendapat di atas, manurut Hasbi Amiruddin menjelaskan bahwa kata syura berasal dari kata kerja syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata syawara adalah tasyawara, artinya berunding, saling bertukar pendapat; syawir, yang artinya meminta pendapat atau musyawarah.[4] Jadi, syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan musyawarah adalah saling mengeluarkan pendapat antara satu dengan yang lainnya.[5] Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa musyawarah itu dilakukan lebih dari satu orang dan musyawarah merupakan suatu forum tukar menukar pikiran, gagasan atau ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah sebelum tiba pada suatu pengambilan keputusan. Jadi musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maskud mencapai keputusan dan penyelesaian bersama untuk kepentingan bersama/umum.
Mayoritas ulama syariat dan pakar undang-undang konstitusional meletakkan musyawarah sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional yang pokok di atas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang telah ditetapkan oleh nash-nash al-Qur’an dan hadis-hadis Nabawi. Oleh karena itu, musyawarah sangat lazim digunakan dan tidak ada alasan bagi seorang pun untuk meninggalkannya.[6]
Menurut Muhammad Abduh, secara fungsional musyawarah adalah untuk membicarakan kemaslahatan masyarakat dan masalah-masalah masa depan pemerintahan. Dengan musyawarah, rakyat menjadi terdidik dalam mengeluarkan pendapat dan mempraktekkannya, bukan mempraktekkan pendapat seorang kepala negara, sekalipun pendapatnya benar. Karena orang banyak yang bermusyawarah akan jauh dari melakukan kesalahan dari pada diserahkan kepada seseorang yang cenderung membawa bahaya bagi umat. Lebih jauh Abduh menjelaskan bahwa Allah Swt juga mewajibkan kepada para penguasa untuk membentuk lembaga musyawarah, sebab ia merupakan perbuatan terpuji di sisi Allah.[7]
Pada dasarnya, semua batasan pengertian dari masing-masing kata yang telah disebutkan di atas, dapat dikembalikan kepada makna pokoknya, yakni “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Dengan demikian, konotasi musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, karena dipahami bahwa madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya, madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun. Madu dihasilkan oleh lebah, dan jika demikian maka yang bermusyawarah mesti bagaikan lebah, makhluk yang sangat disiplin, kerjasamanya mengagumkan, makanannya sari kembang dan hasilnya madu. Di mana pun hinggap, lebah tidak pernah merusak. Ia tidak akan mengganggu kecuali bila ia diganggu.[8] Itulah hakekat dan semangat sebenarnya dari musyawarah. Karenanya kata tersebut tidak digunakan kecuali untuk hal-hal yang baik-baik saja.
Dari penjelasan di atas, terlihat dengan jelas bahwa musyawarah memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Disamping merupakan bentuk perintah dari Allah Swt, musyawarah pada hakikatnya juga dimaksudkan untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang demokratis. Dengan musyawarah, setiap orang yang ikut bermusyawarah akan berusaha mengemukakan pendapat yang baik, sehingga diperoleh pendapat yang dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Di sisi lain, pelaksanaan musyawarah juga merupakan bentuk penghargaan kepada tokoh-tokoh dan para pemimpin masyarakat, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam berbagai urusan dan kepentingan bersama. Bahkan pelaksanaan musyawarah juga merupakan bentuk penghargaan kepada hak kebebasan dalam mengemukakan pendapat, hak persamaan dan hak memperoleh keadilan bagi setiap individu.
Dengan demikian, esensi pengertian musyawarah dapat dipahami sebagai solusi dan pemecahan semua masalah atau urusan yang dihadapi oleh manusia, karena dengan musyawarah maka akan ditemukan jalan keluar yang diharapkan dan akan ditemukan kebenaran yang diinginkan. Suatu keputusan yang diambil dalam musyawarah setelah semua pihak mengemukakan pendapat dan pandangan haruslah mencerminkan pertimbangan yang objektif dan bijaksana untuk kepentingan umum, sehingga keputusan itu merupakan kebulatan pendapat atau kesepakatan bersama.
Kitab suci al-Qur’an sarat dengan berbagai petunjuk yang seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan ini, salah satu dari petunjuk al-Qur’an tersebut adalah musyawarah. Penafsiran tentang musyawarah agaknya mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Demikian pula pengertian dan persepsi tentang istilah yang padat makna ini mengalami evolusi. Seperti dijelaskan Hamka bahwa hal itu terjadi sesuai dengan perkembangan pemikiran, ruang dan waktu. Dewasa ini, pengertian musyawarah dikaitkan dengan beberapa teori politik modern, seperti sistem republik, demokrasi, parlemen, sistem perwakilan, senat, dan berbagai konsep yang berkaitan dengan sistem pemerintahan.[9] Keterkaitan musyawarah dengan aspek-aspek lain, seperti dikemukakan Hamka tersebut, merupakan suatu indikasi bahwa ayat-ayat tentang musyawarah sangat menarik untuk dikaji.

Al-Qur’an tidak mejelaskan bagaimana bentuk syura yang dianjurkannya. Ini untuk memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat menyusun bentuk syura (musyawarah/ pengambilan suatu keputusan) yang mereka inginkan sesuai dengan perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing. Perlu diingat bahwa ayat tentang syura pada periode di mana belum lagi terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik atau dengan kata lain sebelum terbentuknya negara Madinah di bawah pimpinan Rasulullah Muhammad Saw. Turunnya ayat yang menguraikan syura (musyawarah) pada periode Mekkah, menunjukkan bahwa musyawarah adalah anjuran al-Qur’an dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan petunjuk Allah Swt di dalamnya.
Secara historis, konsep syura dalam sejarah Islam telah ada, pertemuan di Bani Sa’idah segera setelah Nabi Muhammad Saw wafat. Menurut Fazlur Rahman, kejadian itu sebagai pelaksanaan prinsip syura yang pertama. Kejadian ini kemudian diikuti dengan pidato pelantikan Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Dalam pidato pelantikannya itu, secara kategoris ia menyatakan bahwa dirinya telah menerima mandat dari rakyat yang memintanya melaksanakan al-Quran dan Sunnah. Abu Bakar juga menyatakan bahwa ia melaksanakan ketentuan al-Quran dan Sunnah, ia perlu didukung terus. Tetapi bilamana ia melakukan pelanggaran berat maka ia harus diturunkan. Konsep syura dan demokrasi Fazlur Rahman juga berpendapat bahwa institusi semacam syura telah ada pada masyarakat Arabia pra-Islam. Waktu itu, para pemuka suku menjalankan urusan bersama melalui permusyawaratan. Institusi inilah yang kemudian didemokrasitasi oleh al-Quran, yang menggunakan istilah syura. Perubahan dasar yang dilakukan al-Quran adalah mengubah syura dari sebuah institusi suku menjadi institusi komunitas, karena ia menggantikan hubungan darah dengan hubungan iman.[10]
Menurut Syafi’i Anwar, pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam al-Quran. Jika konsep syura ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka menurut Syafii sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita-cita politik Qurani, sekalipun ia tidak terlalu identik dengan praktek demokrasi barat. Begitu halnya dengan Mohammad Iqbal yang menganggap demokrasi sebagai cita-cita politik Islam, kritik Iqbal terhadap demokrasi bukanlah dari aspek normatifnya, akan tetapi dalam praktek pelaksanaannya. Keterkaitan antara pandangan Islam dan demokrasi terletak pada prinsip persamaan (equality), yang di dalam Islam dimanifestasikan oleh tauhid sebagai satu gagasan kerja dalam kehidupan sosio-politik umat Islam.[11]
Perlunya musyawarah (syura) merupakan konsekuensi politik prinsip kekhalifahan manusia. “perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syura). Karena semua muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita adalah khalifah Tuhan, mereka mendelegasikan kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani permasalahan negara”. Ayatullah Baqir Al-Sadr menegaskan bahwa musyawarah adalah hak rakyat. “rakyat sebagai khalifah Allah Swt berhak mengurus persoalan mereka sendiri atas dasar prinsip musyawarah” dan ini termasuk “pembentukan majlis yang para anggotanya adalah wakil-wakil rakyat yang sesungguhnya. Dengan demikian syura menjadi unsur operasional yang menentukan dalam hubungan antara Islam dan demokrasi.[12]
Secara umum konsep syura sangat sesuai dengan demokrasi karena menempatkan semua masyarakat dalam satu tempat yang sama. Di Indonesia, demokrasi yang dibangun berdasarkan konsep syura di mana setiap pemimpin dipilih oleh rakyatnya. Tentang apakah sistem pemilihan tersebut secara langsung oleh pemerintah maupun melalui perwakilan di dewan perwakilan rakyat sebenarnya adalah hal yang sama. Selama rakyat atau wakilnya mempunyai keinginan yang sama hal tersebut bukanlah masalah. Namun akan berbeda halnya ketika seorang wakil rakyat yang telah dipilih tersebut tidak menggambarkan apa yang menjadi keinginan rakyat yang diwakilinya. Oleh karena itu, seorang wakil rakyat harus benar-benar mewakili setiap kebutuhan rakyat yang harus diperjuangkan. Jika wakil rakyat hanya mewakili golongannya tentu sudah menyalahi dari konsep demokrasi itu sendiri.
Piagam Madinah merupakan konstitusi demokrasi Islam pertama dalam sejarah pemerintahan konstitusional. Para intelektual muslim sepakat bahwa prinsip syura adalah sumber etika demokrasi Islam. Mereka menyamakan konsep syura dengan konsep demokrasi modern.[13]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep musyawarah dalam al-Qur’an dapat ditelusuri melalui tiga term, yakni syūra, syāwir, dan tasyāwur. Term syūra mengandung interpretasi tentang lapangan musyawarah dan demokrasi. Term syāwir mengandung interpretasi demokrasi dan orang-orang yang diminta bermusyawarah. Sedangkan term tasyāwur mengandung interpretasi tentang urgennya musyawarah diterapkan mulai dari unit sosial terkecil (rumah tangga) untuk terbinanya kebiasaan bermusyawarah dalam unit sosial yang lebih besar (negara). Jadi, musyawarah dalam perspektif al-Qur’an adalah sesuatu yang penting dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk menerapkannya dalam kehidupan ini.




[1]W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996),   hal. 772

[2]Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), hal. 207.

[3]Waryono Abdul Ghofur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), hal. 154.

[4]M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 18.

[5]Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metologi Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hal. 233.

[6]Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Ooffset, 2005), hal. 35.

[7]J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hal. 220.

[8]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Mawdhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 469.

[9]Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar, juz II (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hal. 190.

[10]M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 224.

[11]M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi…, hal. 223.

[12]John L. Esposito, John L. Esposito dan John O. Voll, Islam and Democracy, alih bahasa Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 33.

[13]Tauseef Ahmad Parray, Islamic Democracy or Democracy in Islam: Some Key Operational Democratic Concepts and Notions, World Journal of Islamic History and Civilization, (2 (2): 66-86, 2012, ISSN 2225-0883), hal. 73.

No comments:

Post a Comment