Friday, October 20, 2017

Pandangan Islam Tentang Merokok

Kemunculan awal agama Islam langsung dihadapkan pada ketidak  beresan dan kebingungan permasalahan halal dan haram. Oleh karena itu perlu di buat undang-undang yang dijadikan sebagai pedoman dan acuan untuk umat manusia ketika berperilaku dan bertindak agar segala permasalah dan persoalan yang ada dikembalikan lagi kepada undang-undang yang ada sehingga tidak ada kebingungan umat manusia mengenai permasalahan halal dan haram.[1]
Permasalahan merokok sebenarnya merupkan permasalahan yang baru dan belum ada di bahas pada masa Rasulullah. Hanya saja banyak para  ulama dan cendikiawan islam yang mengkaji permasalahan  tersebut sehingga masyarakat dapat mengetahui hukum dari apa yang tengah dipermasalahkan. Hasil keputusan para ulama dan cendikiawan inilah yang dikenal dengan ijtihad.
Islam menetapkan bahwa dasar segala sesuatu yang di ciptakan  oleh Allah adalah halal dan mubah, tidak ada yang di haramkan kecuali ada nash- nash yang sah, tegas, dan kuat dari ajaran islam yang mengharamkan hal tersebut. Jika tidak ada nash yang sah ataupun ditemukan hadits tersebut lemah maka hukum dari permasalahan tersebut adalah mubah atau boleh.[2]
Agama Islam menentukan hukum sesuai dengan kebutuhan manusia yang dimana sekiranya hal tersebut akan membawa kebaikan dan kemaslahatan maka hukum nya adalah mubah, sedagkan jika diperkirakan hal tersebut  akan banyak membawa keburukan dan kemudharatan maka agama islam dengan  tegas  akan  melarang  dan  mengharamkan  hal  tersebut,  jika  tidak layak maka hukum nya di makrufkan.[3]
Jika berbicara mengenai hukum merokok maka akan banyak pendapat yang bermunculan. Bahkan di antara para ulama sendiripun mengalami perbedaan pendapat. Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum merokok, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw, sebagai berikut:
Artinya: Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)
Artinya: Dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata ; Rasulullah Saw bersabda: Tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri sendiri), dan tidak boleh berbuat kemudaratan (pada diri orang lain). (HR. Ibnu Majah, No.2331).
Bertolak dari dua nash di atas, ulama’ sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram. Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini terdapat persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan. Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya.
Rasulullah Saw melarang menyia-nyiakan harta. Makna menyia-nyiakan harta adalah mengalokasikannya kepada hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi, bahwa mengalokasikan harta dengan membeli rokok adalah termasuk pengalokasiannya kepada hal yang tidak bermanfaat bahkan pengalokasian kepada hal yang di dalamnya terdapat kemudharatan.
Hukum merokok tidak disebutkan secara jelas dan tegas oleh al-Qur’an dan Sunnah/Hadits Nabi Saw. Pro-kontra mengenai hukum merokok menyeruak ke publik setelah muncul tuntutan beberapa kelompok masyarakat yang meminta kejelasan hukum merokok. Masyarakat merasa bingung karena ada yang mengharamkan, ada yang meminta pelarangan terbatas, dan ada  yang meminta tetap pada status makruh. Adapun menurut ahli kesehatan, rokok  mengandung nikotin dan zat lain yang membahayakan kesehatan.[5]
Di samping kepada perokok, tindakan merokok dapat membahayakan orang lain, khususnya yang berada di sekitar perokok. Namun di sisi yang  lain, merokok dapat membahayakan kesehatan (dlarar) serta berpotensi terjadinya pemborosan (israf) dan merupakan tindakan tabdzir. Secara ekonomi, penanggulangan bahaya merokok juga cukup besar. Oleh karena itu, fuqaha’ mencari solusinya melalui ijtihad. Sebagaimana layaknya masalah yang hukumnya digali lewat ijtihad, hukum merokok diperselisihkan oleh fuqaha’.
Adapun dalil dari i’tibar (logika) yang benar, yang menunjukkan keharaman merokok adalah karena (dengan perbuatannya itu) si perokok mencampakkan dirinya sendiri ke dalam hal yang menimbulkan hal yang berbahaya, rasa cemas dan keletihan jiwa. Orang yang berakal tentunya tidak rela hal itu terjadi terhadap dirinya sendiri. Tragisnya kondisi dan demikian sesak dada si perokok, bila dirinya tidak menghisapnya. Berat dirinya berpuasa dan melakukan ibadah-ibadah lainnya karena hal itu meghalangi dirinya dari merokok. Bahkan, alangkah berat dirinya berinteraksi dengan orang-orang yang shalih karena tidak mungkin mereka membiarkan rokok mengepul di hadapan mereka. Karenanya, anda akan melihat dirinya demikian tidak karuan bila duduk-duduk bersama mereka dan berinteraksi dengan mereka.

[1]Muhammad Yusuf Qardhawi dan Mu’ammal Hamidy, Halal dan Haram dalam Islam (alhalalu wal haromu fil islam, (Singapura: Himpunan Belia Islam, 1986), hal. 13.
[2]Muhammad Yusuf Qardhawi dan Mu’ammal Hamidy, Halal dan Haram…, hal. 14.
[3] Muhammad Yusuf Qardhawi dan Mu’ammal Hamidy, Halal dan Haram…, hal. 18.
[5]Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa MUI sejak 1975, (Jakarta: Erlangga, 2011), hal. 895.

No comments:

Post a Comment