Tuesday, October 17, 2017

Interaksi dan Konflik Sosial

A.      Pengertian Interaksi Sosial
Salah satu sifat manusia adalah sebagai makhluk sosial disamping sebagai makhluk individual. Sebagai makhluk individual manusia mempunyai hubungan dengan dirinya sendiri, sedangkan sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain, manusia mempunyai dorongan sosial. Dengan adanya dorongan atau motif sosial maka manusia akan mencari orang lain untuk mengadakan hubungan atau untuk mengadakan interaksi. Dengan demikian maka akan terjadilah interaksi antara manusia satu dengan yang lain, dan yang demikian disebut dengan interaksi sosial.
Interaksi sosial ialah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok.[1] Interaksi social dapatjuga diartikan sebagai  suatu bentuk hubungan antara dua orang atau lebih, dimana tingkah laku seseorang diubah oleh tingkah laku yang lain.[2] Terdapat sejumlah ahli yang mendefinisikan pengertian interaksi sosial dengan pandangan masing-masing. Berikut ini pengertian Interaksi sosial menurut para ahli:
  1. Menurut Shaw
Interaksi sosial adalah suatu pertukaran antar pribadi yang masing-masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan perilaku mempengaruhi satu sama lain. Thibaut dan Kelley menjelaskan bahwa interaksi sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain.
  1. Menurut Bonner
Interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara dua orang atau lebih individu, dimana kelakuan individu mempengaruhi, mengubah atau mempengaruhi individu lain atau sebaliknya.
  1. Menurut soerjono Soekanto
Interaksi sosial merupakan dasar proses sosial yang terjadi karena adanya hubungan-hubungan sosial yang dinamis mencakup hubungan antarindividu, antarkelompok, atau antara individu dan kelompok
  1. Kimball Young & Raymond W. Mack
Interaksi sosial adalah hubungan sosial yang dinamis dan menyangkut hubungan antar individu, antara individu dengan kelompok, maupun antara kelompok dengan kelompok lainnya.[3]

Dari pengertian interaksi sosial menurut beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial  adalah hubungan timbal balik anatara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif. Jadi jelas bahwa dalam proses interaksi itu terdapat tindakan saling pengaruh mempengaruhi antara satu individu dengan individu lainnya, sehingga timbullah kemungkinan-kemungkinan untuk saling mengubah atau memperbaiki perilaku masing masing secara timbal balik.
Terjadinya interaksi sosial sebagaimana dimaksud, karena adanya saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing pihak dalam suatu hubungan sosial. Menurut Roucek dan Warren, interaksi adalah salah satu masalah pokok karena ia merupakan dasar segala proses sosial. Interaksi merupakan proses timbal balik, di mana satu kelompok dipengaruhi tingkah laku reaktif pihak lain dengan demikian ia mempengaruhi tingkah laku orang lain. Orang mempengaruhi tingkah laku orang lain melalui kontak. Kontak ini mungkin berlangsung melalui fisik, seperti dalam obrolan, yang di dalam obrolan tersebut terjadi proses mendengarkan, melakukan gerakan pada beberapa bagian badan, melihat dan lain-lain lagi, atau secara tidak langsung melalui tulisan, atau dengan cara berhubungan dari jauh. Misalnya melalui telepon atau dengan saling memberikan isyarat atau kode satu sama lain.[4]
Dengan demikian, interaksi sosial akan terjadi jika sudah memenuhi kedua syarat yang telah dijelaskan di atas yaitu kontak sosial dan komunikasi. Adanya kontak sosial dan komunikasi yang baik hendaknya dapat menciptakan interaksi sosial yang baik pula. Diharapkan tiap-tiap individu lebih memperhatikan dan mempertimbangkan dengan baik ketika akan melakukan kontak sosial dan komunikasi, karena itu akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya sebuah interaksi sosial, dan akan membawa dampak positif dan negatif sesuai dengan cara mereka melakukan kedua syarat interaksi sosial tersebut.
Interaksi sosial sebagai syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Apabila dua orang bertemu, saat itulah interaksi dimulai. Pada saat itu mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk dari interaksi sosial. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok terjadi antara kelompok lazim juga terjadi di dalam masyarakat. Apabila terjadi pertentangan antara kepentingan-kepentingan orang perorangan dengan kepentingan-kepentingan kelompok maka akan sangat terlihat dampaknya.[5]
Dengan demikian interaksi sosial adalah hubungan timbal balik (berupa) tindakan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok yang saling mempengaruhi satu sama lain dan mempunyai suatu tujuan, baik itu berupa tindakan yang mengarah pada hal positif maupun negatif.

B.       Kerukunan Antar Umat Beragama
Kata kerukunan berasal dari bahasa Arab “ruknun” (rukun) kata jamaknya adalah “arkan” yang berarti asas, dasar atau pondasi (arti generiknya). Dalam bahasa Indonesia arti rukun ialah:
  1. Rukun (nominal), berarti: Sesuatu yang harus di penuhi untuk sahnya pekerjaan, seperti tidak sahnya manusia dalam sembahyang yang tidak cukup syarat, dan rukunya asas, yang berarti dasar atau sendi: semuanya terlaksana dengan baik tidak menyimpang dari rukunnya agama. 
  2. Rukun (ajektif) berarti: Baik dan damai tidak bertentangan: hendaknya kita hidup rukun dengan tetangga, bersatu hati, sepakat. Merukunkan berarti: (1) mendamaikan; (2) menjadikan bersatu hati. Kerukunan: (1) perihal hidup rukun; (2) rasa rukun; kesepakatan: kerukunan hidup bersama.[6]

Kerukunan berarti sepakat dalam perbedaan-perbedaan yang ada dan menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai titik tolak untuk membina kehidupan sosial yang saling pengertian serta menerima dengan ketulusan hati yang penuh ke ikhlasan.  Kerukunan merupakan kondisi dan proses tercipta dan terpeliharannya pola-pola interaksi yang beragam diantara unit-unit (unsure/sub sistem) yang otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai, saling menghormati dan menghargai, serta sikap saling memaknai kebersamaan.[7]
Dalam pengertian sehari-hari kata rukun dan kerukununan adalah damai dan perdamaian. Dengan pengertian ini jelas, bahwa kata kerukunan hanya dipergunakan dan berlaku dalam dunia pergaulan. Kerukunan antar umat beragama bukan berarti merelatifir agama-agama yang ada dan melebur kepada satu totalitas (sinkretisme agama) dengan menjadikan agama-agama yang ada itu sebagai mazhab dari agama totalitas itu, melainkan sebagai cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antara golongan umat beragama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.[8] Jadi dapat disimpulkan bahwa kerukunan ialah hidup damai dan tentram saling toleransi antara masyarakat yang beragama sama maupun berbeda, kesediaan mereka untuk menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang atau kelompok lain, membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakini oleh masing-masing masyarakat dan kemampuan untuk menerima perbedaan.
Di Indonesia kerukunan merupakan salah satu pilar penting dalam memelihara persatuan rakyat dan bangsa Indonesia. Tanpa terwujudnya kerukunan diantara berbagai suku, Agama, Ras dan antar Golongan bangsa Indonesia akan mudah terancam oleh perpecahan dengan segala akibatnya yang tidak diinginkan.
Kerukunan antar agama merupakan salah satu pilar utama dalam memelihara persatuan bangsa dan kedaulatan negara Republik Indonesia. Kerukunan sering diartikan sebagai kondisi hidup dan kehidupan yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai dengan ajaran agama dan kepribadian pancasila.[9]
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu kondisi sosial di mana semua golongan agama bisa hidup berdampingan bersama-sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Dengan demikian kerukunan merupakan jalan hidup manusia yang memiliki bagian-bagian dan tujuan tertentu yang harus dijaga bersama-sama, saling tolong menolong, toleransi, tidak saling bermusuhan, saling menjaga satu sama lain.

C.      Teori Interaksi Simbolik dan Teori Konflik
  1. Teori Interaksi Simbolik
Interaksi berarti pengaruh timbal balik, saling mempengaruhi satu sama lain.[10] Sedangkan simbolik dalam kamus bahasa Indonesia berarti perlambangan, dan dalam bahasa Inggris disebut symbolic yang dalam Kamus Ilmiah berarti perlambangan, gaya bahasa yang melukiskan suatu benda dengan mempergunakan benda-benda lain sebagai simbol atau pelambang. Interaksi adalah istilah dan garapan sosiologi; sedangkan simbolik adalah garapan komunikologi atau ilmu komunikasi. Kontribusi utama sosiologi pada perkembangan ilmu psikologi sosial yang melahirkan perspektif interaksi simbolik.
Simbol merupakan esensi dari teori interaksionisme simbolik. Teori ini menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi. Teori Interaksi Simbolik merupakan sebuah kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan manusia lainnya, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana dunia ini, dan bagaimana nantinya simbol tersebut membentuk perilaku manusia. Teori ini juga membentuk sebuah jembatan antara teori yang berfokus pada individu-individu dan teori yang berfokus pada kekuatan sosial.[11] Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsa­fah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi.
Interaksionisme simbolik adalah nama yang diberikan kepada salah satu teori tindakan yang paling terkenal. Melalui interaksionisme simboliklah pernyataan-pernyataan seperti “definisi situasi”, “realitas dimata pemiliknya”, dan “jika orang mendefinisikan situasi itu nyata, maka nyatalah situasi itu dalam konsekuensinya”, menjadi paling relevan. Meski agak berlebihan, nama interaksionisme simbolik itu jelas menunjukkan jenis-jenis aktifitas manusia yang unsur-unsurnya memandang penting untuk memusatkan perhatian dalam rangka memahami kehidupan sosial.[12]
Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk pada “karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia.” Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu didasarkan atas makna penilaian tersebut. Oleh karenanya, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan, dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke arah mana tindakannya.[13]
Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan arti pentingnya “proses mental” atau proses berpikir bagi manusia sebelum mereka bertindak. Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus respon, melainkan stimulus proses berpikir respons. Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang menjembatani antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental atau proses berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang tersebut.
Teori interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis sosial manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan struktur yang ada di luar dirinya. Interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Teori ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan kehidupan kelompok.[14]
Menurut teoritisi perspektif ini, kehidupan sosial adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Penganut interaksionisme simbolik berpandangan bahwa perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural.
Dengan demikian, ssensi dari interaksi simbolik yakni adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Paham interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Paham interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Semua interaksi antar individu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Di setiap lingkungan memiliki kontrak khusus yang terbentuk karena budaya masyarakat yang ada mengenai pemahaman interaksi pada suatu simbol. Yang mana pemahaman simbol itu terbentuk karena adanya interaksi sosial dan budaya dari suatu tempat tertentu.
  1. Interaksi Konflik
Konflik atau conflictus berasal dari bahasa Latin yang berarti pertentangan[15] merupakan perwujudan dan atau pelaksanaan beraneka pertentangan antara dua pihak yang dapat merupakan dua orang bahkan golongan besar seperti negara. Konflik adalah gejala-gejala sosial yang ada dalam setiap masyarakat. Konflik melekat dengan masyarakat, dimana konflik itu selalu ada selama masyarakat itu ada sehingga tidaklah mungkin menghapus konflik seperti yang menjadi angan-angan para diktator; sebaliknya tidaklah mungkin konsensus dipertahankan terus menerus sekalipun dengan cara-cara kekerasan yang juga merupakan keinginan para penguasa otoriter.
Konflik juga menunjukkankan pada hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik mempunyai dampak yang sangat besar bagi masyarakat karena konflik yang berlangsung terus menerus akan menjurus ke arah disintegrasi sosial. Sedangkan yang di maksud dengan Teori Konflik itu sendiri adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.[16] Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Teori konflik berkembang sebagai counter terhadap fungsional struktural. Teori ini menganggap bahwa masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok dan golongan yang berbeda kepentingan. Konflik ini diharapkan mampu memperteguh identitas. Sehingga dalam teori konflik dibutuhkan katup pengaman untuk mengamankan konflik tersebut.
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Berdasarkan teori konflik Marx, yang mana dikatakan bahwa di dalam suatu masyarakat dapat dijumpai hal yang dianggap baik oleh suatu golongan atau kelompok, tetapi bersifat relatif, yang berarti kebaikan itu belum tentu baik pula di mata masyarakat lain (golongan atau kelompok lain). Manusia cenderung untuk berusaha mendapatkan hal-hal yang dianggap baik (menurut hemat mereka sendiri) tadi. Karena itulah bisa menimbulkan persaingan antara individu satu dengan individu yang lain atau kelompok yang satu dengan kelompok lain, yang mencakup suatu proses untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan, atau kedudukan. Dan biasanya suatu yang dianggap baik ini adalah sesuatu yang menyangkut kepentingan kelompok yang berkuasa (atau bisa dikatakan kelompok yang dominan). Marx menganggap bahwa proses pertikaian ini adalah proses pertentangan kelas.[17]
Agama menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya disintegrasi. Marx mengatakan bahwa analisis konflik menggarisbawahi peran agama dalam menciptakan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Namun, sesuai dengan ketentuan hak asasi, agama adalah sebuah kebebasan bagi pemeluknya untuk menentukan keyakinan dan kepercayaannya. Berbicara mengenai HAM, berarti membicarakan hal yang terkait dengan kebutuhan biologis (sandang, papan, pangan) dan juga terpenuhinya kebutuhan mental spiritual (rohani), yaitu kepercayaan atau agama.
Agama terkait dengan keyakinan, yang mana keyakinan ini sangat dijunjung tinggi dan dijaga oleh penganutnya. Seseorang dijadikan pemeluk agama yang sama dengan orang tuanya sejak lahir. Sosialisasi[18] terhadap agama mencakup nilai-nilai, aturan, tata cara, upacara/ritual dan sebagainya yang harus dituruti. Dalam kelompok agama tersebut, kesucian agama dipegang oleh suatu kekuasaan otoritas yang dimiliki oleh pemuka-pemuka agama (ulama atau paus), yang terkadang perkataan (fatwa) dari para pemuka agama ini tidak terbantahkan dan diikuti oleh semua penganutnya. Selain itu adanya perkawinan antara agama dengan negara sehingga agama memiliki kekuasaan yang besar (contohnya pada negara-negara yang memiliki agama mayoritas, seperti Indonesia. Atau daerah yang memiliki agama mayoritas, seperti Islam di Aceh atau Kristen di Papua).
Penanaman tentang agama ini dimulai sejak lahir dan anak-anak, melalui jalur sistem pendidikan nasional. Norma dan aturan agama tersebut sudah menjadi hal yang lumrah dalam pola pikir masyarakat umumnya. Hal inilah kemudian yang dapat memicu konflik apabila sedikit saja ada gerakan yang menentang arus dari norma dan aturan-aturan tersebut. Konflik ini kemudian mengarah kepada tindakan kekerasan kepada kelompok-kelompok tertentu yang dianggap menyimpang atau melanggar norma agama yang telah berlaku di suatu masyarakat.
Pengaruh dominasi juga menjadi penting dalam masalah ini. Terkadang di suatu daerah yang bermayoritas memeluk agama tertentu akan menekan kelompok minoritas yang memeluk agama lain. Ketentuan perundang-undangan dan aturan serta norma dilandaskan pada ketentuan dan norma agama yang dominan di daerah itu. Contohnya di Aceh yang menerapkan hukum Islam. Kemudian, tekanan terhadap kaum minoritas ini juga mengungkung kebebasan mereka untuk menjalankan ibadah. Kelompok yang memeluk agama mayoritas merasa terganggu apabila ada kelompok minoritas yang menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan mereka, apalagi berencana untuk membangun tempat ibadah. Situasi seperti ini juga dapat menyulut tindak kekerasan, contohnya pengrusakan rumah ibadah (gereja) di Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil, pada tanggal 13 Oktober 2015.
Konflik merupakan bagian dari dinamika sosial yang lumrah di setiap interkasi sosial dalam tatanan pergaulan keseharian masyarakat. Konflik dapat berperan sebagai pemicu proses menuju penciptaan keseimbangan sosial. Bahkan apabila konflik dapat dikelola dengan baik dapat juga dipakai sebagai perekat dalam kehidupan masyarakat. Konflik dalam masyarakat dapat membawa keadaan yang baik karena mendorong perubahan masyarakat, tetapi juga keadaan yang buruk apabila berkelanjutan tanpa mencari solusi yang dianggap bermanfaat bagi semua pihak. Karena itu harus dicari penyebab konflik tetapi juga bagaimana cara mengatasinya.[19]
Tumbuhnya tatatertib sosial atau sistem nilai yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat, sama sekali tidak berarti lenyapnya konflik. Sebaliknya, tumbuhnya tatatertib itu justru mencerminkan adanya konflik yang bersifat potensial di dalam setiap masyarakat. Oleh karena itu apabila berbicara tentang stabilitas atau instabilitas suatu sistem sosial, maka yang dimaksudkan sesungguhnya adalah derajat keberhasilan atau kegagalan suatu tertib normatif dalam mengatur kepentingan yang saling bertentangan.
D.      Konflik dalam Kehidupan Sosial
Manusia adalah makhluk berkeinginan untuk selalu hidup dengan orang lain dan karena itu, manusia juga disebut sosial animal yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama.[20] Predikat-predikat yang dilekatkan pada diri manusia oleh para ahli seperti tersebut diatas sesungguhnya hendak menggambarkan bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang senantiasa membutuhkan orang lain, niscaya manusia tidak akan mampu menjalani kehidupannya dipermukaan bumi.
Kebutuhan manusia untuk senantiasa bergaul dengan makhluk (manusia) lainnya, selain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang memang tidak mampu ia penuhi sendiri misalnya, makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain juga dalam rangka mengembangkan potensi-potensi dasar yang dibawa sejak lahir. Potensi-potensi dasar itu, misalnya, bakat, daya kreasi, daya inovasi, akan berkembang melalui interaksi dengan orang lain.[21] Keharusan bagi manusia untuk saling bergaul karena eksistensi dirinya sebagai makhluk yang tidak sempurna bukan berarti bebas dari masalah-masalah. Dalam pergaulan antara sesama manusia sering muncul konflik yang menyebabkan ketidak harmonisan interaksi tersebut. Bahkan, konflik itu dapat menyebabkan kegoncangan dan keprihatinan masyarakat secara terus menerus.
Hassan Shadily, dalam bukunya Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, mengartikan konflik sosial sebagai proses yang menunjukkan pengaruh menentang antara perseorangan atau golongan dalam mengejar tujuan yang sama.[22] Pengertian yang dikemukakan Hassan Shadliy tersebut menggambarkan adanya dua pihak yang saling menentang (kontra), baik perseorangan maupun kelompok dalam mengejar tujuan yang sama. Timbulnya persaingan atau kontra menurut pengertian ini lebih disebabkan karena tujuan yang hendak dicapai masing-masing pihak sama. Sehingga mereka berebut peluang untuk meraih tujuan itu.
Termasuk pula dalam pengertian ini adalah adanya keinginan untuk menjadi pengatur atau pemegang kendali dalam mengatur kehidupan bersama. Sebab mereka beranggapan bahwa dengan memegang kendali kehidupan bersama, akan memberi peluang untuk menetapkan prinsip-prinsip yang dianutnya.[23] Adanya kesamaan tujuan untuk menjadi pemegang kendali masyarakat dapat menjadi penyebab timbulnya konflik sosial. Apalagi bila di antara kelompok pesaing itu ada yang sangat berambisi untuk menyingkirkan saingan-saingannya.
Bertolak dari asumsi di atas, maka sesungguhnya adanya sejumlah perbedaan dalam kehidupan sosial merupakan suatu hal yang wajar dan tidak perlu menjadi penyebab timbulnya konflik. Sebab dalam menata kehidupan bermasyarakat diperlukan sejumlah teori dan cara yang boleh jadi di antara teori dan cara-cara itu saling berbeda. Tetapi justru perbedaan itu memperkaya dinamika kehidupan masyarakat.
Konflik muncul dalam setiap identitas stratifikasi sosial dan setiap stratifikasi adalah posisi yang pantas di perjuangkan oleh manusia dan kelompoknya.[24] Konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut di antaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada faktor penyebab konflik, di antaranya karena perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, serta perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.[25]
Selanjutnya jika dikaitkan konflik sosial tersebut dengan agama, maka  konflik sosial keagamaan bisa diartikan sebagai pertikaian antar beragama, baik antar sesama penganut agama itu sendiri maupun antar agama satu dengan agama lainnya. Rumusan ini masih dianggap umum. Hal ini dikarenakan definisi konflik sosial keagamaan tidak hanya dilatarbelakangi oleh motif ekonomi, politik, dan kekuasaan. Berbagai tindakan protes atau kekerasan terkait konflik sosial keagamaan banyak berasal dari sumber kultural dan ideologis agama itu sendiri dan lebih bersifat ekspresif atau simbolik; misalnya sebagai ekpresi dari apa yang dipahami suatu komunitas agama sebagai “ketaatan” terhadap ajaran agama atau sebagai simbol solidaritas terhadap komunitas. Artinya, setiap konflik sosial keagamaan memiliki bentuk kekhasannya masing-masing. Suatu bentuk konflik keagamaan muncul pada waktu dan lokasi tertentu, sementara bentuk lainnya terjadi pada waktu dan tempat yang lain.[26]
Dengan demikian, terjadinya konflik sosial ada beberapa macam, mulai dari segi keyakinan, ekonomi, budaya dan pendidikan. Namun, untuk lebih jelas, penyebab atau latar belakang terjadiya konflik sosial ada empat macam, yaitu perbedaan individu, perbedaan latar belakang keyakinan dan kebudayaan, perbedaan kepentingan, perubahan nilai, serta rendahnya tingkat penegakan hukum. Perbedaan individu dapat berupa perbedaan perasaan, pendirian atau pendapat. Perbedaan inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik sosial.

E.       Kajian Terdahulu
Peneliti membandingkan dengan hasil penelitian orang lain yang peneliti peroleh dari beberapa penelitian terdahulu tentang kerukunan antar agama. Adapun penelitian terdahulu yang dianggap cukup relevan dengan penelitian ini di antaranya:
Adapun penelitian terdahulu yang dianggap cukup relevan dengan penelitian ini diantaranya:
  1. Penelitian yang dilakukan oleh Muhajir Al-Fairusy dalam Jurnal Al-Ijtima’i (Internasional Journal of Government and Social Sciences, FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Vol. 1, No. 1 2015) dengan judul penelitiannya, “Model Konsensus dan Rekonsiliasi Konflik Antar-Umat Beragama di Aceh Singkil”. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa peran dan pengaruh kesadaran akan klan dan etnik begitu besar, dalam upaya rekonsiliasi konflik atas nama agama, guna menjaga keseimbangan sosial antar manusia di wilayah multikultural seperti Aceh Singkil. Di sisi lain, Syari’at Islam di Aceh, dengan mengkonsumsi wacana toleransi, tampak mulai ikut memunculkan sisi kemanusiaan dalam menangani beberapa kasus intoleransi yang dapat muncul kapan saja di perbatasan Aceh.
  2. Penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah (Mahasiswa Program Studi Komunikasi Islam, Pascasarjana UIN Sumatera Utara) dalam Jurnal Al-Balagh: Jurnal Komunikasi Islam Vol. 2, No. 2, 2017. Penelitian tersebut berjudul: “Strategi Komunikasi Organisasi Humas Dalam Menyelesaikan Konflik Antar Umat Beragama (Studi Pada Kantor Bupati Aceh Singkil)”. Hasil dari kajian ini adalah bahwa strategi komunikasi organisasi yang dilakukan Humas kantor Bupati Aceh Singkil dalam mengatasi konflik antar umat beragama dengan melakukan komunikasi horizontal mengalir antara para anggota-anggota organisasi/para pegawai yang berada dalam level hirarki yang sama. Sedangkan strategi komunikasi yang dilakukan Humas kantor Bupati Aceh Singkil dalam menyelesaikan konflik antar umat bergama  dengan strategi komunikasi melalui konsiliasi, Strategi komunikasi melalui negoisasi atau musyawarah dan Strategi komunikasi melalui mediasi. Sedangkan efektifitas strategi komunikasi organisasi yang dilakukan Humas kantor Bupati Aceh Singkil dalam mengatasi konflik antar umat beragama adalah komunikasi formal seperti komunikasi dengan menggunakan teknologi komunikasi sebagai saluran komunikasi, serta saluran komunikasi informal seperti berbicara secara langsung dalam mendapatkan informasi atau memberikan informasi. Pelaksanaan aktivitas ini menumbuhkan keinginan untuk berpartisipasi yang lebih besar dalam diri para pemimpin dan pegawai terhadap organisasi. Dengan beberapa faktor pendukung: kerjasama antar organisasi, alat komunikasi dan fasilitas transportasi, serta beberapa faktor penghambatnya: kurang disiplin, lemahnya kualitas skill, tempat lokasi, perbedaan tingkat pendidikan, dan perbedaan bahasa.
  3. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Sahlan dalam Jurnal Substantia, Vol. 16, No. 1, April  2014 (Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry, Banda Aceh), dengan judul: “Pola Interaksi Interkomunal Umat Beragama di Kota Banda Aceh”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pola interaksi interkomunal umat beragama di Kota Banda Aceh lebih sering terjadi dalam bentuk keseharian dibanding asosiasional. Bentuk interaksi keseharian sebagaimana telah diuraikan dalam bab pembahasan hasil penelitian adalah interaksi yang terjadi dalam bentuk sehari-hari di tingkat gampong atau dusun seperti saling berkunjung pada hari-hari besar agama, saling berkunjung ketika salah satu keluarga tetangga berbeda agama dan etnis ditimpa musibah, sakit atau meninggal dunia, dan menghadiri pesta perkawinan. Kegiatan sehari-hari seperti itu relatif sering terjadi pada tingkat gampong bahkan dusun sehingga dengan pola interaksi seperti itu hubungan warga interkomunal baik berbeda keyakinan maupun berbeda etnis berlangsung dengan sangat baik. Namun, interaksi yang bersifat asosional atau berbasis organisasi, baik organisasi profesi, sosial dan politik, persentasenya sangat sedikit bahkan hampir tidak ditemukan di Kota Banda Aceh.
Dari tiga penelitian sebagaimana yang disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang peneliti lakukan tentu memiliki persamaan dan perbedaan. Sisi persamaan dapat diketahui dari sisi sama-sama mengkaji masalah penyelesaian konflik antar umat beragama. Namun penelitian-penelitian di atas lebih kepada mediasi pihak pemerintah dan pendekatan-pendekatan norma-norma tertentu. Adapun kajian ini, peneliti lebih memfokuskan pada kajian interaksi kemasyarakatan antar umat beragama pasca terjadinya konflik sosial di Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil. Selain itu, belum ada peneliti-peneliti sebelumnya yang memfokuskan pada spesifik kajian tersebut.



[1]Bimo Walgito, Psikologi Social, (Jogjakarta: Andi, 2003), hal. 65.
[2]Ahmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2006), hal. 130
[3]M. Arifin, Psikologi Dakwah (Suatu Pengantar Studi), (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hal. 69.
[4]Abdulsyani, Sosiologi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hal. 153-154
[5]Elly M. Setiadi, Kama A. Hakam, Ridwan Effendi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Bandung: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 92-94
[6]Imam Syaukani, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Puslitbang, 2008), hal. 5
[7]Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran Agama, (Jakarta: Puslitbang, 2005), hal. 7-8
[8]Said Agil Munawar, Fikih Hubungan Antar Umat Beragama, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 4-5.
[9]Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, 1997), hal. 8 dan 20.
[10]Risa Agustin, Kamus Ilmiah…, hal. 486.
[11]Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), hal. 96.
[12]Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1979), hal. 142.
[13]Bernard Raho, Teori Sosiologi…, hal. 96.
[14]Bernard Raho, Teori Sosiologi..., hal. 95.
[15]Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1972), hal. 120.
[16]Wikipedia.com, Diakses Tanggal 6 Oktober 2017.
[17]Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi: Tentang Pribadi dalam Masyarakat, (Jakarta: Gahlia Indonesia, 1982), hal. 7
[18]D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hal. 151
[19]Judistira K Garna, Ilmu-ilmu Sosial; Dasar, Konsep, Posisi, (Bandung: Program Pascasarjana Unpad, 1996), hal. 66.
[20]Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Perss, 1986), hal. 102.
[21]Gerungan, Psychologi Sosial, (Jakarta-Bandung: Eresco, 1983), hal. 29.
[22]Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1989),     hal. 103.
[23]Ansyari, Masa Depan Umat Islam Indonesia, (Bandung: Al-Bayan, 1993), hal. 103.
[24]Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hal. 28.
[25]Novri Susan, Pengantar Sosiologi…, hal. 30.
[26]Adon Nasrullah Jamaludin, Agama & Konflik Sosial, (Bandung: Pustaka Setia, 2015),     hal. 132.

No comments:

Post a Comment