Tuesday, October 24, 2017

Budaya Sekolah yang Islami di Aceh

Mencermati kondisi Indonesia dewasa ini menunjukkan bahwa bangsa ini dilanda krisis multi dimensi. Krisis moral dapat terlihat dengan jelas dari perilaku generasi muda dan pelajar, di mana berbagai kejahatan dan tingkat kriminalitas yang terjadi di negeri ini sebagian besar dilakukan oleh para pemuda dan pelajar. Tawuran antar pelajar yang marak terjadi di berbagai kota, penyalah gunaan narkoba, meningkatnya seks bebas di kalangan pelajar, serta munculnya berbagai kenakalan remaja yang meresahkan masyarakat seperti komunitas geng motor di jawa dan komunitas anak PUNK di Aceh, merupakan contoh kecil dari sejumlah problem moral generasi muda bangsa ini. Munculnya berbagai problem dan “penyakit sosial” masyarakat ini lagi-lagi mengusik dunia pendidikan di negeri ini, karena lembaga pendidikan kembali dituding gagal membentuk karaakter, moral dan akhlak mulia anak didik.[1] Mencermati fenomena kemerosotan akhlak anak bangsa tersebut tentunya ada penyebabnya. Diperkirakan, kualitas keimanan yang rendah merupakan penyebab utama degradasi akhlak (moral) bangsa.[2] Oleh karena itu pemerintah Aceh perlu memperhatikan pengelolaan dan pembangunan yang benilai syari’at Islam, ruang lingkup pendidikan serta materi-materi yang jitu dalam kurikulum pendidikan.
Sistem pendidikan di Aceh berdasarkan sistem pendidikan nasional yang disesuaikan dengan nilai-nilai Sosial budaya daerah serta tidak bertentangan dengan Syariat Islam.[3] Mencermati penjelasan tersebut dan urgensi dari desentralisasi administratif serta desentralisasi kebijakan pendidikan lokal di atas maka aspek sosial budaya (adat istiadat) dan seluruh nilai-nilai lokal (local value) atau kearifan lokal (local wisdom) menjadi potensi daerah yang patut dihargai dan menjadi bahagian dalam mewarnai sistem dan isi pendidikan di Aceh.
Budaya sekolah merupakan salah satu unsur esensi yang perlu diwujudkan. Implementasi beberapa Qanun yang telah ditetapkan mengarah pada perubahan budaya sekolah sehari-hari, baik dinyatakan tertulis maupun tidak, diantaranya yaitu:
1.      Budaya shalat berjamaah
Pelaksanaan disesuaikan dengan jam belajar yang telah ditetapkan di sekolah, seperti shalat dhuhur. Bila boarding school, tentu pelaksanaan shalat 5 waktu semuanya dilakukan secara berjamaah.
2.      Budaya berpakaian Islami
Bagi siswa laki-laki diharuskan untuk memakai celana panjang dan baju kemeja lengan pendek atau panjang. Sedangkan siswa perempuan memakai rok panjang sampai mata kaki, baju lengan panjang yang longgar dan memakai jilbab menutupi bagian dada
3.      Budaya menggalakkan Syi'ar Islam
Hal ini dapat dilakukan dengan melaksanakan/ membiasakan peringatan hari besar Islam (PHBI)
4.      Budaya bersih
Upaya ini dilakukan dengan tidak membuang sampah sembarangan (membuang sampah pada tempat yang disediakan/ tong sampah). Selain itu, dapat dilakukan dengan membiasakan gotong royong, yang biasanya disebut “Jum’at bersih”.
5.      Budaya shalat hajat
Praktek ini dilakukan mengingat siswa akan menghadapi sejumlah ujian yang dilaksanakan di sekolah. Hal ini akan membuat tenang batin para pelajar.
6.      Budaya baca do'a dan surat-surat pendek
Belajar adalah suatu usaha dan tentu usaha harus diiringi dengan do’a. Bacaan do’a dan ayat-ayat pendek dilakukan ketika hendak memulai pelajaran.
7.      Budaya shalat sunat khusuf dan kusuf
Praktik ini tentu dilakukan bila pada saat jam sekolah terjadi gerhana. Selain itu, akan menambah pengetahuan siswa dan tentunya juga mendapatkan kembali nilai-nilai Islam dalam praktik tersebut.
8.      Budaya shalat istisqa'
Shalat ini dipraktikkan apabila daerah tempat sekolah sedang dilanda kekeringan atau kemarau panjang.
9.      Budaya shalat sunat tasbih
Pembiasaan shalat tasbih, minimal setahun sekali harusnya menjadi budaya sekolah agar dan dilaksanakan pada menjelang libur sekolah menghadapi awal ramadhan.
10.  Budaya sujud syukur dan sujud tilawah
Membiasakan sujud syukur dan sujud tilawah dalam kaitannya dengan kedua sujud tersebut, tentu sangat baik sebagai pembelajaran bagi siswa.
11.  Budaya salam dan jabat tangan
Budaya ini merupakan suatu bentuk pembiasaan ketika bertemu agar saling menyapa yang dilakukan dengan memberi salam dan berjabat tangan.
12.  Budaya libur sekolah
Selain libur sekolah sebagaimana yang berlaku pada umumnya, libur pada bulan ramadhan agar siswa dapat melaksanakan puasa dengan sempurna. Selain itu, mengisi dengan berbagai kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah merupakan suatu hal yang sangat baik sebagai bentuk budaya Islami.[4]

Kesemua gagasan penciptaan budaya pada lembaga pendidikan formal di Aceh, disamping sebagai sebuah pendidikan tatakrama dan norma-norma atau nilai-nilai yang Islami, juga merupakan salah satu model pembelajaran yang efektif yaitu melalui pembelajaran yang bersifat prektek langsung serta bernilai pemberian contoh guru. Artinya pendidikan bukan hanya teori saja tetapi hendaknya mendidik perilaku dan pemberian contoh teladan.
Aspek sosial budaya dan syariat Islam (agama) tersebut memberikan pengaruh yang signifikan dalam pembangunan negara secara umum dan di daerah Aceh pada khususnya. Agama memberikan pengaruh yang besar terhadap pembentukan karakter pandangan hidup dan budaya masyarakat. Ada dua dimensi keberagaman yang memiliki keterkaitan dalam kehidupan para umat pemeluk agama yakni: Pertama: agama oleh pemeluknya dijadikan sebagai pandangan hidup yang menjelaskan keberadaan manusia di dunia, menjelaskan arah dan tujuan hidup manusia. Kedua: agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur kehidupan manusia antara sesama manusia dan juga dengan mahkluk tuhan lainnya.[5]
Sementara kebudayaan Aceh itu sendiri berasaskan kepada ajaran agama Islam. Hal ini dapat ditelusuri dari seluruh aspek dan kreasi budaya Aceh yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam, sehingga hampir tidak ditemukan dalam budaya aceh yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam kehidupan masyarakat Aceh, hubungan antara agama dan budaya sangat serasi dan hampir tidak dapat dipisahkan hukum adat dan hukum agama berlaku sama dan tidak boleh bercerai dan dipisahkan antara keduanya, ibarat tidak dapat dipisahkannya antar zat dengan sifatnya.
Perpaduan yang sangat kuat antara hukum agama dan hukum adat telah membentuk corak budaya tersendiri yang unit dan khas di Aceh. Corak dan nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi pandangan hidup yang mengikat dan mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat. Corak budaya inilah kemudian membentuk karakter masyarakat, membentuk kearifan lokal (local wisdom) dan nilai-nilai lokal (local value). Ketika aspek inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah Aceh dan sekaligus menjadi modal dasar bagi pemerintah Aceh dalam pembangunan pendidikan di Aceh yang berbasis syari'at Islam.



[1]Mujiburrahman, Pendidikan Berbasis..., hal. 3.
[2]Ahmad Tafsir, Kajian Pendidikan Islam di IAIN, (Bandung: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati, 1999), hal. 11.
[3]Qanun Nomor 23 tahun 2002 tentang penyelenggaraan pendidikan, pasal 12
[4]Mujiburrahman, Pendidikan Berbasis..., hal. 85-101.
[5]Mujiburrahman, Pendidikan Berbasis..., hal. 8.

No comments:

Post a Comment