Monday, October 23, 2017

Kendala yang Dihadapi dalam Prosesi Tradisi Peumanoe Pucoek

Tradisi peumanoe pucoek dalam acara pesta perkawinan dan sunat Rasul merupakan salah satu bagian dari budaya Aceh yang tentunya harus tetap dilestarikan. Sehingga keberadaannya akan tetap terlestarikan dan akan selalu menjadi budaya Aceh yang dipraktekkan sepanjang masa. Menurut masyarakat, tradisi peumanoe pucoek sangat perlu dilestarikan dan terus dipertahankan oleh masyarakat Aceh termasuk di Gampong Pulo Ie I. Namun harus diakui bahwa “Saat ini tidak banyak keluarga yang melaksanakan prosesi adat atau tradisi peumanoe pucoek yang biasanya dilaksanakan satu hari sebelum akad nikah padahal ini merupayah adat istiadat warisan leluhur yang perlu dijaga bersama-sama”.[1]
Lebih lanjut, menurut Bapak Abdul Gani menjelaskan bahwa di Gampong Pulo Ie I, sekalipun ada dilaksanakan tradisi peumanoe pucoek, namun proses pelaksanakan tidak dilakukan oleh semua keluarga yang mengadakan acara pesta pernikahan (walimahtul ‘ursy) terhadap anak-anak atau familinya, demikian juga halnya dalam acara sunat Rasul. Tradisi peumanoe pucoek hanya dilakukan oleh keluarga-keluarga tertentu yang ia merasa bahwa tradisi ini merupakan suatu tradisi yang sakral dalam pesta pernikahan dan mesti dilaksanakan. Namun ada juga sebagian lainnya yang menganggap bahwa tradisi tersebut hanya tradisi biasa yang tidak mengapa jika tidak dilaksanakan (ditinggalkan).[2]
Kurangnya semangat masyarakat Gampong Pulo Ie I dalam melaksanakan tradisi peumanoe pucoek tersebut juga ada kaitannya dengan besar atau kecilnya acara khenduri (pesta pernikahan) yang dibuat. Ada sebagian masyarakat yang mengadakan acara khenduri dengan penuh kemeriahan karena didukung oleh banyaknya saudara dan family yang ikut membantu menyukseskan acara tersebut. Selain itu, tingkat kemampuan pihak keluarga juga sangat berpengaruh dengan sempurna atau lengkapnya pelaksanaan adat istiadat termasuk dalam hal peumanoe pucoek. Maksudnya keluarga yang tergolong mampu dari segi financial (ekonomi) akan membuat acara yang lebih meriah dan sempurna, sebaliknya keluarga yang pas-pasan atau kurang mampu, hanya mengadakan khenduri sealakadarnya saja. Bahkan ada keluarga yang tidak membuat lagi acara walimatul ‘ursy.
Pernyataan di atas sebagaimana dijelaskan oleh Bapak Arifin, bahwa di Gampong Pulo Ie I, pelaksanaan pernikahan maupun sunat Rasul tidak semuanya dilakukan khenduri oleh masyarakat, tergantung tingkat kemampuan seseorang. Namun demikian, bukan berarti tidak ada sama sekali, paling kurang dengan mengadakan berdoa dan makan bersama beberapa orang tokoh masyarakat dan para tetangga keluarga yang melakukan akad nikah atau sunat Rasul. Model seperti ini dalam masyarakat Aceh Selatan khususnya di wilayah Kecamatan Kluet Utara biasanya disebut dengan “Khenduri si droe Teungku”.[3]
Selanjutnya, sekalipun ada diadakan acara atau pesta walimahtul ‘ursy dan juga ada dilakukan tradisi peumanoe pucoek di Gampong Pulo Ie, namun proses pelaksanaan juga tidak begitu lengkap sebagaimana aturan seumanoe pucok yang sebenarnya. Misalnya ada peumanoe pucoek, namun tidak diiringi dengan tarian-tarian dan syair-syair khususnya syair khusus seumanoe pucok. Jadi, kesannya tidak lengkap dan tidak meriah sebagaimana jika dilakukan peumanoe pucoek dengan diiringi tari-tarian dan syair-syair peumanoe pucoek.
Adanya peumanoe pucoek dengan tidak diiringi oleh grup tarian dan syair-syair disebabkan juga oleh tidak dilestarikan lagi hal tersebut dalam kehidupan masyarakat Aceh khususnya bagi masyarakat Gampong Pulo Ie I dan gampong-gampong disekitarnya. Keberadaan tarian-tarian dan syair-syair tersebut sudah sangat jarang terdengar dalam pesta-pesta yang diadakan di Gampong Pulo Ie pada khususnya. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa pelestarian adat-istiadat dalam hal pesta perkawinan dan sunat Rasul sudah mulai memudar akibat tidak dipraktekkan lagi oleh masyarakat setempat.
Menurut salah seorang tokoh masyarakat Gampong Pulo Ie I, bahwa pada masa lalu atau sebelum terjadinya konflilk di Aceh, adat istiadat termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan pesta perkawinan yang tentunya juga ada di dalamnya tradisi peumanoe pucoek, pelaksanaanya masih sangat kental dan boleh dikatakan sempurna sebagaimana yang diatur dalam ketentuan adat-istiadat. Namun ketika konflik berkepanjangan melanda Aceh, tradisi tersebut tidak semeriah dulu lagi. Bahkan saat ini, banyak masyarakat yang tidak terlalu mengikuti aturan-aturan adat-istiadat sebagaimana dipraktekkan pada masa-masa dahulu.[4]
Lebih lanjut, Bapak Abdul Gani menjelaskan bahwa terjadinya pergeseran nilai dalam masyarakat Gampong Pulo Ie I, selain dikarenakan oleh faktor konflik pasa masa lalu, pasca terjadinya musibah tsunami melanda Aceh banyak hal-hal yang berubah dalam kehidupan masyarakat Aceh secara umumnya tidak terkecuali bagi masyarakat Aceh Selatan termasuk di dalamnya masyarakat Gampong Pulo Ie I. Perobahan nilai dan tata cara kehipan sudah dipengaruhi oleh tradisi-tradisi luar yang tentunya mengikis sedikit demi sedikit budaya lokal.[5]
Sebagaimana diketahui bahwa sebelum dilanda konflik yang berkepanjangan, kehidupan masyarakat Aceh pada umumnya dan masyarakat Gampong Pulo Ie I pada khususnya, masih sangat kental menjaga dan melestarikan nilai-nilai adat istiadat yang berkembang dalam masyarakat. Salah satunya adalah dalam bidang peumanoe pucoek ketika proses pesta perkawinan, prosesi tersebut boleh dikatakan menjadi suatu hal yang sangat penting dan mesti dilakukan oleh setiap masyarakat yang mengadakan pesta perkawinan (walimatul ‘usry). Namun ketika konflik melanda Aceh, banyak hal yang berkaitan dengan adat istiadat sudah ditinggalkan oleh masyarakat. Alasannya karena keadaan yang tidak memungkin dan pelaksanaannyapun tidak akan berjalan dengan baik dan maksimal karena masyarakat pada umumnya berada dalam ketakutan.
Selanjutnya, konflik Aceh berakhir dengan terjadinya gempa bumi dan musibah tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 yang silam, juga ikut mempengaruhi budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh, termasuk dalam hal prosesi adat perkawinan yang sudah kurang maksimal dalam memenuhi tuntunan adat yang sebenarnya. Keadaan tersebut lebih dipengaruhi oleh masuknya budaya-budaya luar yang mempengaruhi budaya lokal, sehingga masyarakat Aceh pada umumnya meninggalkan budaya-budaya sendiri dan mengikuti budaya luar. Sehingga sampai saat ini, terlihat masyarakat Aceh sudah mulai kehilangan jati dirinya dengan tidak terlalu mempraktekkan budaya lokal, termasuk sudah berkurangnya mempraktekkan prosesi peumanoe pucoek dalam adat perkawiinan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa tradisi peumanoe pucoek dalam masyarakat Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan sudah mulai melemah pelaksanaannya, sekalipun ada dilakukan namun tidak sempurna sebagaimana ketentuan yang sebenarnya, bahkan ada masyarakat yang memang tidak melaksanakan sama sekali tradisi peumanoe pucoek tersebut. Terjadinya hal tersebut juga tidak terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi sebagaimana telah dijelaskan di atas.




[1]Hasil Wawancara dengan Miswardi, (Anggota Tuha Peut Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 11 September 2014.

[2]Hasil Wawancara dengan Abdul Gani, (Keuchik Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 10 September 2014.

[3]Hasil Wawancara dengan Arifin, (Wakil Ketua I Tuha Peut Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 12 September 2014.

[4]Hasil Wawancara dengan Sayuna Hamidi, (Sekretaris Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 17 September 2014.

[5]Hasil Wawancara dengan Abdul Gani, (Keuchik Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 10 September 2014.

No comments:

Post a Comment