Saturday, October 21, 2017

Proses Pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq Menjadi Khalifah

Rasulullah Saw tidak meninggalkan pesan kepada seorang juga dari sahabatnya tentang siapa yang menjadi pemimpin atau memimpin kaum Muslimin sepeninggalanya. Beliau membiarkan masalah kepemimpinan kaum Muslimin berdasarkan hasil musyawarah di antara mereka sendiri. Ketika berita wafat Rasulullah tersiar, berkumpulah golongan Muhajirin dan pihak Anshar di rumah Bani Sa’adah di Madinah. Mereka bermaksud hendak membai’at seseoarang dari golongan mereka.
Proses pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq, sebagai khalifah berlangsung dramatis. Setelah Rasulullah SAW wafat, kaum muslim di Madinah, berusaha utuk mencari penggantinya. Ketika kaum muhajirin dan ansar berkumpul di Saqifah bani Sa’idah terjadi perdebatan tentang calon khalifah. Masing-masing mengajukan argumentasinya tentang siapa yang berhak sebagai khalifah. Kaum anshar mencalonkan Said bin Ubaidillah, seorang pemuka dari suku al-Khajraj sebagai pengganti nabi. Dalam kondisi tersebut Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bergegas menyampaikan pendirian kaum muhajirin, yaitu agar menetapkan pemimpin dari kalangan Quraisy. Akan tetapi hal tersebut mendapat perlawanan keras dari al-Hubab bin munzir (kaum Anshar). Di tengah perdebatan tersebut Abu Bakar mengajukan dua calon khalifah yaitu Abu Ubaidah bin Zahrah dan Umar bin Khattab, namun kedua tokoh ini menolak usulan tersebut.[1]
Pihak Muhajirin menghendaki dari golongan Muhajirin dan pihak Anshar menghendaki pihaknya yang memimpin. Situasi yang memanas inipun dapat diatasi oleh Abu Bakar, dengan cara Abu Bakar menyodorkan dua orang calon khalifah untuk memilihnya yaitu Umar bin Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarrah. Namun keduanya justru menjabat tangan Abu Bakar dan mengucapkan baiat memilih Abu Bakar, seraya umar berkata kepadanya: bukankah Nabi telah menyuruhmu wahai Abu Bakar, agar mengimami kaum Muslimin dalam sholat? Engkaulah Khalifah pengganti dan penerus beliau. Setelah itu kaum Muhajirin dan Anshar berturut-turut membai’atnya. Bai’at As Saqifah ini dinamakan bai’at Al Kahshshah, karena bai’at tersebut dilakukan sekelompok kecil dari Muslimin, yakni mereka yang hadir di As Saqifah saja. Pada keesokan harinya duduklah Abu Bakar di atas mimbar Masjid Nabawi dan sejumlah besar kaum Muslimin atau secara umum kaum muslimin membai’atnya.[2]
Terpilihnya Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah dengan berbagai alasan yaitu sebagai beriktut:
  1. Abu Bakar adalah suku Quraisy dan ahli nasab, yang merupakan keahlian yang sangat berguna pada masa itu.[3]
  2. Abu Bakar adalah sahabat Nabi yang pertama yang pertama yang sangat memahami jalan pikiran beliau, ia satu-satunya sahabat yang menemani Nabi Saw pada saat hijrah dari Makkah ke Madinah dan ketika bersembunyi di Gua Tsur, ia yang ditunjuk oleh Rasulullah Saw untuk mengimami shalat pada saat beliau sedang uzur, dan ia keturunan bangsawan, cerdas, dan berakhlak mulia.
  3. Beliau sangat dekat dengan Rasulullah SAW, baik dalam bidang agama maupun kekeluargaan. Beliau seorang dermawan yang mendermakan hartanya untuk kepentingan Islam.[4]
Hal ini menarik dari Abu Bakar, bahwa pidato inaugurasi yang diucapkan sehari setelah pengangkatannya, menegaskan totalitas kepribadian dan komitmen Abu Bakar terhadap nilai-nilai Islam dan strategi meraih keberhasilan tertinggi bagi umat sepeninggal Rasulullah. Dibawah ini adalah sebagaian kutipan dari pidato Abu Bakar yang terkenal itu :
Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika berlaku salah, maka luruskanlah! Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya. Sedangkan orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidaklah perlu menaatiku.[5]

Dengan demikia, terpilihnya Abu Bakar Ash-Shiddiq telah membangun kembali kesadaran dan tekad umat untuk bersatu melanjutkan tugas Nabi Muhamamd SAW. Proses pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq, sebagai khalifah pertama, menunjukkan betapa seriusnya masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam pada saat itu, dikarenakan suku-suku Arab kepemimpinan mereka didasarkan pada sistem senioritas dan prestasi, tidak diwariskan secara turun temurun.



[1]http://www.referensimakalah.com/2012/07/sejarah-pengangkatan-abu-bakar-sebagai-khalifah. html, Diakses Tanggal 13 Agustus 2016.
[2]Tantang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Isam, (Bandung: Armico, 2009), hal. 57-58.
[3]Shaban, Sejarah Islam (600-750): Penafsiran Baru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 25.
[4]Moh Fachruddin Fuad, Perkembangan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 77.
[5]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradapan Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), hal. 93-94.

No comments:

Post a Comment