Thursday, October 19, 2017

Pengertian dan Landasan Pembelajaran Tajwid

1.    Pengertian Tajwid
Tajwid berasal dari kata jawada-yujawwidu-tajwiidan. جود- يجود- تجوويد) “membaikkan atau membuat bagus”. Kata tajwid dalam bahasa arab adalah bentuk masdar yang artinya benar-benar bagus/membuatnya menjadi bagus.[1]
Senada dengan penjelasan di atas, dalam salah satu sumber dijelaskan bahwa: kata tajwid berasal dari bahasa arab jawwada-yujawwidu-tajwidan menurut bahasa adalah at-tahsin (membaguskan). Menurut istilah tajwid adalah ilmu yang mempelajari tentang tata cara membaca al-Quran dengan baik dan benar yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw.[2]
Dalam sumber yang lain dijelaskan bahwa pengertian tajwid menurut bahasa (ethimologi) adalah: memperindah sesuatu. Sedangkan menurut istilah, Ilmu Tajwid adalah pengetahuan tentang kaidah serta cara-cara membaca al-Quran dengan sebaik-baiknya.[3]
Ilmu tajwid yaitu ilmu yang dipergunakan untuk mengetahui tempat keluarnya huruf (makhraj), sifat-sifatnya serta bacaan-bacaannya, supaya bacaan al-Qur’an baik dan benar menurut ketentuan yang telah ditetapkan dalam dalam ilmu tajwidul Qur’an.[4]
Tajwid adalah mengucapkan suatu bunyi huruf dengan benar dan bagus. Jadi ilmu tajwid adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana membaca al-Qur’an dengan bagus dan benar dalam mengeluarkan huruf-huruf yang dibaca satu persatu sehingga menjadi bacaan yang benar.[5]
Ahmad Mas’ud Syafi’i mendefinisikan bahwa; Tajwid adalah membaguskan bacaan, huruf-huruf dan kalimat-kalimat al-Qur’an satu persatu dengan teratur perlahan dan tidak terburu-buru sesuai dengan hukum-hukum tajwid.[6]
Adapun dalam buku Ulumul Qur’an karangan Nasaruddin Umar, didefinisikan bahwa tajwid yaitu “memberikan kepada huruf akan hak-hak dan tertibnya, mengembalikan huruf kepada makhraj dan asalnya, serta menghaluskan pengucapannya dengan cara yang sempurna tanpa berlebihan, kasar, tergesa-gesa dan dipaksa-paksa.”[7] Sesangkan pengertian tajwid sebagai suatu istilah ialah: ”Mengeluarkan setiap huruf dari tempat keluarnya dengan memberi hak dan mustahaknya”.[8]
 Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa:
  1. Mempelajari tempat keluarnya huruf hijaiyah
  2. Mempelajari hak-hak atas masing-masing huruf yang maksudnya sifat-sifat asli huruf, contohnya sifat jahr (jelas), Isti`la, hams, dan lain sebagainya.
  3. Mempelajari mustahak huruf-huruf, yaitu bagaimana huruf tersebut ketika kondisi tetentu.
Dengan demikian, pengertian ilmu tajwid adalah suatu ilmu yang mempelajari bagaimana cara mengeluarkan huruf dengan tepat serta semua ketentuan yang berkaitan dengan membaca al-Qur’an baik dari segi lafaz maupun maknanya.
Secara singkat dapat disimpulkan, ilmu tajwid merupakan pengetahuan cara membaca al-Qur’an dengan baik dan tertib menurut makhrajnya, panjang pendeknya, tebal tipisnya, berdengung tidaknya, irama dan nadanya, serta titik komanya yang sudah diajarkan oleh Rasulullah Saw kepada para sahabatnya yang kemudian diajarkan dari masa ke masa oleh kaum muslimin hingga sekarang ini.
Berdasarkan beberapa penjelasan mengenai pengertian tajwid sebagaimana tersebut di atas, dapat dipahami bahwa tajwid adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang tata cara membaca al-Qur’an dengan baik dan benar dan sesuai menurut kaidah-kaidah bacaan sebagaimana yang dijelaskan dalam ilmu tajwid.
2.           Landasan Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid
Adapun dasar hukum wajib membaca al-Qur’an dengan tajwid adalah bersumber dari al-Qur’an itu sendiri, sabda Rasulullah Saw dan ijma’ umat Islam. Dalil sumber-sumber tersebut adalah sebagai berikut:

a.       Dasar Hukum dari Al-Qur’an
ورتل القران ترتيلا (المزمل: ٤)  
Artinya: ”Bacaan al-Qur’an itu dengan tartil” (Al-Muzammil: 4)
Ayat al-Qur’an tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad Saw dan kepada seluruh pengikut Nabi Muhammad (umat Islam) untuk membaca al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dengan cara tartil, yaitu memperindah pengucapan setiap huruf-hurufnya (bertajwid).
Lebih lanjut, menurut Saidina Ali r.a sebagaiman terdapat dalam buku “pedoman membaca al-Qur’an” yang ditulis oleh A.Nawawi Ali, Beliau menjelaskan bahwa pengertian tartil sebagaimana terdapat dalam ayat di atas adalah tajwiidu l-huruf wa ma’rifatu l-wuquuf yakni membaguskan pengucapan huruf serta mengerti tempat-tempat waqaf. Imam al-Baydhaawi menafsirkannya dengan membaguskan bacaan dengan sebaik-baiknya.[9]
Sementara itu Ibnu Katsir memberikan tafsir kata tersebut (tartil) adalah sebagai berikut:
 اقراه على تمهل فإنه يكون عونا على فهم القران وتدبره                     
Artinya: “Bacalah dengan perlahan dan hati-hati karena hal itu akan membantu pemahaman serta tadabbur terhadap al-Qur’an”.[10]
Ulama telah sepakat bahwa ayat ini merupakan dasar pokok yang memerintahkan agar al-Qur’an dibaca dengan hati-hati dan seksama sehingga baik pengucapannya serta memenuhi ketentuan-ketentuan hukum bacaan, perintah ini mengandung hukum wajib membaca al-Qur’an dengan bertajwid.
Untuk dapat menyerap intisari dan pesan yang dikandung al-qur’an, maka langkah yang diperlukan suatu pembelajaran ilmu tajwid guna mempermudah  membaca dan memahami kandungan isinya secara pasti dan untuk itu maka setiap orang perlu mengerti ilmu tajwid agar dapat membaca dan memahami al-Qur’an secara baik dan mendalam serta rinci. Dalam hal ini pembelajaran ilmu tajwid (keterampilan membaca al-Qur’an) dan mengkajinya adalah kegiatan yang penting untuk dapat memahami al-Qur’an. Oleh karena itu sangatlah rasional apabila al-Qur’an dapat porsi yang besar untuk dijadikan bahan pengajaran disetiap jenjang pendidikan bagi umat Islam.
Berkaitan dengan ayat dan penjelasan-penjelasan di atas, dalam firman Allah Swt yang lain dijelaskan bahwa:
ورتلنه ترتيلا (الفرقان: ٣٢) 
Artinya: “Dan Kami (Allah) telah bacakan (al-Qur’an itu) kepada (Muhammad Saw) secara tartil (bertajwid)” (Q.S. Al-Furqaan: 32)
Dalam ayat tersebut, Allah Swt menerangkan bahwa al-Qur’an di turunkan sedikit demi sedikit agar dapat disampaikan dengan tenang dan pelan-pelan. Pelan di sini maksudnya, benar pengucapannya, benar pengucapan huruf-hurufnya, tepat panjang pendeknya serta memenuhi kaedah-kaedah bacaannya sebagaimana diterima oleh Rasulullah Saw. Hal ini sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Qiyamah ayat 16 dan 17 yaitu:
لاتحرك به لسانك لتعجل به. إن علينا جمعه وقرءانه (القيمة: ١٦-١٧) 
Artinya: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.  (Al-Qiyamah: 16-17)

Dalam ayat ini, Rasulullah Saw di ingatkan oleh Allah Swt agar tidak cepat-cepat atau terburu-buru dalam menggerakkan bibirnya untuk mengikuti bacaa atau wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepadanya. Rasulullah Saw diminta untuk tenang mendengar dan memperhatikan dahulu kemudian baru mengikuti atau mengulangi bacaan itu dengan baik. Dan yang perlu diperhatikan tentunya ádalah tata cara pengucapan ayat-ayat tersebut.
كتب أنزلنه إليك مبرك ليدبروا ايته وليتذكر أولوا الألباب (ص: ٢٩)   
Artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Shad: 29)

Dalam ayat tersebut, kembali Allah Swt menegaskan agar ayat-ayat al-Qur’an diperhatikan dan diteliti dalam membaca dan memahami makna yang terkandung didalamnya untuk dapat diambil berkah dan manfaatnya bagi kehidupan. Hal tersebut tidak akan tercapai bila al-Qur’an dibaca dengan cepat tanpa meresapkan pengertian dan isi yang terkandung dalam ayat tersebut. Bacaan yang demikianlah sebenarnya yang dimaksud dengan bacaan secara tartil sebagaimana terdapat dalam ayat terdahulu.
b.      Dasar Hukum dari Hadist
Adapun dasar hukum membaca al-Qur’an mesti mengikuti tajwidnya juga terdapat dalam hadis Rasulullah Saw, diantaranya adalah sebagai berikut:
عن عائشة انه ذكر لها ان ناسا يقرءون القران فى الليل مرة او مرتين فقالت: اولئك قراوا ولم يقرءوا, كنت افوم مع النبى صلى الله عليه وسلم ليلة التمام فكان يقرا سورة البقرة وال عمران والنساء فلا يمر باية فيها تخوف الا دعا الله واستعا ذولا يمر باية فيها استبشار الا دعا الله ورغب اليه (رواه أحمد)                                                                  
Artinya: “Dari Siti Aisyah ra kepadanya pernah disampaikan bahwa ada orang yang dapat membaca al-Qur’an dalam satu malam sekali atau dua kali tamat. Aisyah berkata, mereka merasa membaca tetapi tidak. Aku pernah bersama Rasulullah Saw satu malam penuh, Rasul hanya sempat membaca surat Al-Baqarah, Ali-Imran dan An-nisa’. Bila bertemu dengan ayat azab Rasul tidak meneruskan bacaannya hingga ia berdoa mohon perlindungan. Begitu pula ia tidak meneruskan bacaan bila bertemu dengan ayat yang mengembirakan hingga ia berdoa serta mengharapkannya. (HR. Ahmad).[11]

Dalam hadis yang lain dijelaskan bahwa:
عن ابى حمزة قال: قلت لابن عباس انى سريع القراءة وانى اقرا القران فى ثلاث فقال لان اقرا البقرة فى ليلة فادبرها وارتلها احب الى من ان اقرا كما تقول (رواه                                                               
Artinya: “Dari Abi Hamzah ia berkata, aku pernah berkata kepada Ibnu Abbas bahwa aku cepat membaca dan dapat menamatkan al-Qur’an dalam tiga hari. Ibnu Abbas menjawab, membaca surat al-Baqarah dalam semalam dengan memperhatikan isinya dan tartil lebih baik dan lebih aku senangi dari apa yang engkau katakan”.[12]

Demikian juga sebagaimana terdapat dalam hadis berikut ini:
عن خذيفة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم انه قال: اقرءوا القران بلحون العرب, زاد الطبرانى فى الاوسط والبيهقى فى شعب الايمان, واصواتها – واياكم ولحون اهل الفسق والكبائر, وفى رواية اهل الفسق واهل الكبائر .... فانه سيجىء اقوام من بعدى برجعون القران ترجيع الغناء والهبانية والنوح لايجاوحنا جرهم مفتونة قلوبهم وقلوب من يعجبهم شانهم (رواه مالك والنسائى)                                          
Artinya: “Dari Khuzaifah yang berkata bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, bacalah al-Qur’an dengan langgam Arab. Imam Tabrani dan Baihaqi dalam kitabnya menambah (dan suaranya). Berhati-hatilah dengan langgam orang fasik dan berdoasa besar. Sesudahku nanti akan ada kelompok orang yang melagukan Al-Qur’an bagai nyanyian dan seperti nyanyian di gereja dan meratap. Bacaan mereka tidak keluar dari batas kerongkongan saja. Hati mereka dan orang yang mengaguminya telah jauh menyimpang dari kebenaran.[13]

Dalam dua hadits pertama di atas dijelaskan bahwa bacaan pelan-pelan dan hati-hati serta penuh dengan pengertian itulah yang lebih utama walaupun jumlah yang dibaca sedikit. Lebih jelas lagi dalam hadist terakhir dimana Rasulullah Saw memerintahkan agar al-Qur’an dibacakan dengan langgam Arab. Maksudnya dengan ucapan Arab yang fasih karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Rasul mengingatkan jangan membaca dengan sombong hingga merusak bacaan, jangan melagukan bacaan seperti nyanyian gereja atau dengan mimik yang dibuat sedih semata-mata untuk mempengaruhi pendengar dan bukan karena khusyu’. Orang yang masih berbuat seperti itu tidak akan mendapat pahala dari bacaannya. Manfaat yang didapatkan hanya sebatas pada bunyi suara di kerongkongannya saja.[14]
Masih banyak hadist-hadist Rasulullah Saw yang berhubungan dengan cara membaca al-Qur’an secara tajwid yang pada prinsipnya menjelaskan bahwa al-Qur’an tersebut tidak boleh dengan asal baca, namun ada kaídah-kaidah yang harus dipatuhi.
c.       Dasar Hukum dari Ijma’
Sebagai landasan ketiga tentang wajibnya membaca al-Qur’an dengan tajwid adalah ijma’ umat Islam. Bahwa sejak zaman Rasulullah Saw hingga saat ini tidak pernah terdapat seorangpun yang membantah atau sebaliknya membenarkan bacaan al-Qur’an tanpa tajwid.
Pengarang kitab Nihayah menyatakan: “Sesungguhnya telah ijma’ (sepakat) semua imam dari kalangan ulama yang dipercaya bahwa tajwid adalah suatu hal yang wajib sejak zaman Nabi Muhammad Saw sampai dengan sekarang dan tiada seorangpun yang mempertikaikan kewajiban ini”.[15]
Demikianlah sumber-sumber hukum membaca al-Qur’an baik sumber dari al-Qur’an itu sendiri, hadis Rasulullah Saw maupun dari pendapat para ulama yang semua sumber tersebut menjelaskan bahwa al-Qur’an harus dibaca dengan pelan, tenang, ucapan yang baik dan fasih, tepat panjang pendeknya dan memenuhi semua kaidah bacaan. Bacaan yang memenuhi tata krama itulah yang disebut dengan tajwid oleh para ahli al-Qur’an.



[1] Ibid, hal. 6.

[2] http://nunoah.multiply.com/journal/item/9, diakses tanggal. 31 April 2011.

[3] http://tajwid.wordpress.com/materi-q-tajwid/, diakses tanggal. 31 April 2011.

[4]Ahmad Soenarto, Pelajaran tajwid Praktis dan Lengkap, (Jakarta: Bintang Terang, 1998), hal. 6.

[5] M. Humaidi, Pelajaran Tajwid, (Jakarta: Wangsamerta, 2003), hal. 7.

[6] Ahmad Mas’ud Syafi’i, Buku Tajwid, (Semarang: MG, 1967), hal.  2.

[7] Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Al-Ghazali Center, 2008), hal. 254.

[8] A.Nawawi Ali, Pedoman Membaca Al-Qur’an (Ilmu Tajwid), (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2002), hal. 22.

[9] Ibid, hal. 17.

[10] Ibnu Katsir, Tafsiru L-Qur’aani I-‘adhiim, Sulaiman Mar’i Singapur, Juz IV, hal. 343

[11] Hadir Riwayat Ahmad, dalam Buku A.Nawawi Ali, Pedoman Membaca…, hal. 22.

[12] Ibnu Katsir, Ibnu Katsir, Tafsiru L…, hal.

[13] Hadis Riwayat Malik dan Nasa’i, dalam Buku A.Nawawi Ali, Pedoman Membaca…,       hal. 24.

[14] A. Nawawi Ali, Pedoman Membaca…, hal. 21-22.

[15] Ibid.,

No comments:

Post a Comment