Sunday, October 15, 2017

Metode Pembinaan Ibadah

Metode pembinaan ibadah ialah cara yang digunakan dalam upaya mendidik, yang tentunya remaja dalam hal ini merupakan peserta didik atau siswa-siswi. Kata metode di sini diartikan secara luas, karena pembinaan adalah satu bentuk upaya mendidik, maka metode yang dimaksud disini mencakup juga metode mengajar.[1]
Bentuk metode pendidikan Islam menurut Qutbh “merupakan suatu metode yang khas dan tersendiri baik dari segi alat-alat maupun dari segi tujuannya”.[2] Maka dari itu pendidik yang bijaksana akan terus mencari berbagai metode yang lebih efektif yang sesuai dengan norma Islam. Namun demikian bagaimana metode-metode yang efektif dalam pembinaan ibadah.
Demikian juga dengan orang tua, guru dan masyarakat, dalam  membina ibadah terhadap seorang anak remaja harus mempunyai metode yang tepat yang dapat mempengaruhi dan memantapkan pemahaman remaja. Sehingga apa yang diharapkan oleh pendidik akan terwujud sebagai mana yang di cita-citakan. Adapun metode-metode yang dapat digunakan dalam pelaksanaan pembinaan ibadah shalat terhadap remaja adalah sebagai berikut:
1.      Pembinaan dengan Keteladanan
Keteladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari sejumlah metode paling ampuh dan efektifitas dalam menyiapkan dan membentuk peserta didik secara moral, spiritual dan sosial. Sebab seorang pendidik merupakan contoh yang ideal dalam pandangan remaja karena setiap tingkah laku dan sopan santun akan ditiru dengan sadar atau tidak bahkan semua keteladanan itu akan melekat pada diri dan perasaannya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan yang bersifat material, indrawi maupun spiritual karena keteladanan merupakan faktor penentu baik buruknya peserta didik.[3]
Anak-anak cenderung meneladani orang tuanya. Ini diakui oleh semua pakar pendidikan, baik dari barat maupun dari timur. Dasarnya ialah karena psikologis anak memang senang meniru, tidak saja yang baik, yang jelek pun di tirunya.[4] Anak memang senang kembali melakukan apa yang dilihatnya. Karena sifat anak pada dasarnya memang suka mencontoh apa yang dilihat. Sifat anak didik itu di akui dalam Islam. Umat Islam meneladani Nabi Muhammad Saw. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw, yaitu sebagai berikut:
صلوا كما رأيتموني أصلى (البخارى)                                           
Artinya: “Lakukanlah shalat sebagaimana kamu melihat saya melakukan shalat”. (HR. Bukhari).[5]
Berdasarkan hadis tersebut, dapat dipahami bahwa dalam melakukan ibadah shalat maka harus meneladani sebagaimana Nabi Muhammad Saw shalat. Hal ini dikarenakan ibadah shalat pada dasarnya tata cara pelaksanaannya adalah dari Nabi Saw dan Nabi meneladani Al-Qur’an.
Berkenaan dengan hadis di atas, dalam hadis yang lain Nabi Muhammad Saw menjelaskan bahwa bentuk mentauladani Nabi adalah dengan menta’ati yang diperintahkannya, karena dengan menta’ati Nabi Muhammad Saw maka akan memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan berupa Surga. Adapun hadis yang menjelaskan tentang permasalahan tersenut yaitu:
كل أمتي يدخلون الجنة إلا من أبى, قالوا: يارسول الله ومن يأبى, قال: من أطاعنى دخل الجنة ومن عصانى فقد أبى (رواه البخارى)                   
Artinya: “Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang enggan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari).[6]

Demikian juga yang terdapat dalam firman Allah Swt, yaitu:
وأقيموا الصلاة واتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين (البقرة: ٤٣)            
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk” (QS. Al-Baqarah: 43).
Banyak contoh yang diberikan Nabi yang menjelaskan bahwa orang (dalam hal ini orang tua) jangan hanya berbicara saja tapi juga memberikan contoh secara langsung atau nyata kepada anak. Jadi, metode pendidikan Islam berpusat kepada memberikan keteladanan itu sendiri yaitu orang tua, masyarakat dan semua pihak yang turut bertanggung jawab terhadap pendidikan anak.
Adapun dalam lingkungan masyarakat, yang menjadi teladan adalah para pemimpin masyarakat, para da’i serta orang sukses lainnya. Konsep ini jelas di ajarkan oleh Rasulullah  Saw. Teladan untuk para guru adalah Rasulullah Saw, guru tidak boleh mengambil tokoh yang diteladani selain Rasulullah, sebab Rasulullah Saw adalah teladan yang terbaik untuk dicontoh dan diikuti jejek kehidupannya.
Meskipun peserta didik berpotensi besar untuk meraih sifat-sifat baik dan menerima dasar-dasar pendidikan yang mulia, ia akan jauh dari kenyataan yang positif dan terpuji jika kedua matanya melihat langsung pendidiknya yang tidak bermoral.
Dalam metode teladan ini dapat diterapkan dalam tiga aspek, yaitu pembinaan akidah, ibadah dan akhlak. Karena bila guru karyawan dan semua unsur yang terkait dengan lembaga pendidikan tersebut telah melaksanakan aturan maka para siswa akan meniru untuk melakukannya. Memang yang mudah bagi pendidik adalah mengajarkan berbagai teori pendidikan kepada peserta didik, sedang yang sulit bagi peserta didik adalah mempraktekkan teori tersebut. Jika orang yang mengajar dan mendidiknya tidak pernah melakukannya atau perbuatannya berbeda dengan ucapannya maka peserta didik tidak akan dapat melaksanakan perintah dengan baik, atau bahkan sama sekali tidak melakukannya. Contohnya, sekolah memberikan aturan untuk selalu membaca al-Qur’an, shalat dhuha, shalat dzuhur berjama’ah atau aturan kesopanan. Tetapi kenyataannya guru dan karyawan tidak dapat melaksanakannya tetapi hanya memerintah peserta didik saja maka mereka akan enggan melakukannya. Karena itulah pendidikan yang ideal adalah yang diiringi keteladanan yang baik karena merupakan salah satu faktor terpenting yang akan mempengaruhi hati dan jiwa peserta didik. Sehingga sejak dini peserta didik dididik dengan aqidah, ibadah, berakhlak dan bertingkah laku berdasarkan ajaran agama Islam.
Dengan demikian seorang pendidik berkewajiban mencurahkan kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari kepada peserta didik juga berkewajiban berdakwah dan memberikan pendidikan yang baik agar peserta didik dapat tumbuh dan berkembang di atas aturan ajaran Islam, berakidah yang tanpa disertai syirik, beribadah hanya karena Allah dan berakhlaqul karimah.
2.      Pembinaan dengan Adat Kebiasaan
Metode pembiasaan ini merupakan suatu metode yang dapat menyikapi makna dari suatu peristiwa yang dikaji secara berulang-ulang supaya ingatan anak lebih kuat dalam mengingat dengan apa-apa yang diberikan oleh otang tua atau seorang pendidik.[7] Metode ini adalah salah satu yang digunakan oleh Rasulullah Saw dalam mendidik sahabatnya yaitu dengan memberikan latihan-latihan atau pembiasaan sehingga kebiasaan mereka terbina dengan akhlak-akhlak yang baik.
Metode Pembiasaan ini sangat tepat digunakan pada anak sebagai mana pesan Rasulullah Swt agar melatih dan membiasakan remaja untuk melaksanakan ibadah ketika mereka berusia tujuh tahun dan memukulnya (tanpa cedera/bekas) ketika mereka berumur sepuluh tahun atau lebih apabila mereka tidak mengerjakannya.[8] Dalam pelaksanaan metode ini diperlukan pengertian, kesabaran, dan ketelatenan orang tua dan pendidik terhadap anak atau peserta didiknya.
Diantara masalah-masalah yang diakui dan diterapkan dalam syariat Islam adalah bahwa pada awal penciptaan-Nya seorang anak itu dalam keadaan suci dan bertauhid murni, beragama lurus dan beriman kepada Allah Swt. Dari sinilah peran pembiasaan, pengajaran, pendidikan dalam menumbuhkan dan menggiring peserta didik kedalam pembinaan keimanan, ketaatan beribadah, akhlak mulia, keutamaan jiwa dan untuk melakukan syariat yang hanif (lurus).
Pembiasaan merupakan metode yang penting untuk pembinaan ibadah remaja atau peserta didik. Peserta didik atau remaja dapat menurut dan taat kepada peraturan dengan jalan membiasakannya dengan perbuatan-perbuatan yang baik. Pembiasaan yang baik artinya menanamkan kebiasaan kepada peserta didik yang akan terus berakar sampai hari tuanya. Walaupun menanamkan kebiasaan kepada peserta didik adalah sukar dan kadang memakan waktu yang lama, akan tetapi segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan sukar pula diubah. Maka dari itu lebih baik peserta didik dijaga supaya mempunyai kebiasaan yang baik dari pada terlanjur memiliki kebiasaan yang buruk.[9]
Dengan demikian masa remaja bukan masa pembebanan atau menanggung kewajiban, tetapi merupakan masa persiapan, latihan dan pembiasaan. Karena itu menurut Muhammad Nur Abdul Hafid mengatakan bahwa “peserta didik harus dilatih dan dibiasakan melaksanakan ibadah sebagai bekal mereka ketika sudah dewasa.”[10] Di mana ketika mereka sudah mendapatkan kewajiban dalam beribadah, sehingga pelaksanaan ibadah yang diwajibkan oleh Allah Swt bukan menjadi beban yang memberatkan bagi kehidupan mereka sehari-hari bahkan setiap jenis ibadah apapun dinilai sangat mudah pelaksanaannya dan mempunyai nilai kenikmatan tersendiri. Metode ini juga dapat digunakan dalam pembinaan akhlak. Melalui pembiasaan berakhlak baik dengan Allah, diri sendiri, orang tua, guru, teman, dan lingkungan. Pembiasaan ini diharapkan semasa hidupnya remaja akan memiliki akhlaqul-karimah.
3.      Pembinaan dengan Nasihat
Diantara metode dan cara-cara mendidik yang efektif di dalam upaya membentuk keimanan peserta didik yaitu dengan nasihat. Sebab nasihat berperan dalam menjelaskan kepada peserta didik tentang segala hakikat, menghiasinya dengan moral mulia, dan mengajarinya tentang prinsip-prinsip Islam.[11] Karena di dalam jiwa terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh kata-kata yang didengar. Dengan cara memberikan nasihat sehingga seseorang remaja akan melakukan ibadah yang benar menurut aturan yang telah digariskan. Dalam hal ini sebagai mana yang dilakukan oleh Lukmanul Hakim, ketika memberikan nasihat kepada anaknya yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Lukman ayat: 17-18 sebagai berikut:
يبني أقم الصلوة وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصبر على ماأصابك إن ذلك من عزم الأمور. ولا تصعر خدك للناس ولا تمش فى الأرض مرحا إن الله لايحب كل مختال فخور (لقمان: ١٧-١٨)                         
Artinya: “Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah Swt). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan keadaan angkuh. Sesungguhnya Allah Swt tidak menyukai kepada semua (orang-orang) yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS. Lukman: 17-18)

Ayat di atas merupakan salah satu metode pembinaan ibadah pada seseorang, dengan nasihat di harapkan seseorang remaja akan terbimbing untuk melakukan suatu perbuatan yang baik. Dengan demikian metode nasihat merupakan salah satu metode yang diterapkan oleh Al-Qur’an dalam pembinaan ibadah terhadap anak. Melalui nasihat dapat di sadarkan seseorang akan pentingnya beribadah dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan dengan hal tersebut, Abdurrahman an-Nahlawy mengemukakan bahwa “metode nasehat penting dalam pendidikan, pembinaan ibadah, keimanan, pembentukan moral remaja yakni pendidikan dengan memberikan nasihat, sebab nasihat ini dapat membuka mata hati anak-anak pada hakikatnya sesuatu dan dengan mendorongnya menuju situasi yang luhur dan dapat menghiasinya dengan akhlak yang baik dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam termasuk dalam hal beribadah kepada Allah Swt.[12]
Pembawaan itu biasanya tidak tetap, dan oleh karena itu kata-kata harus diulang-ulangi. Nasihat yang berpengaruh yaitu yang dilakukan secara terus menerus, karena akan membuka jalan perasaan secara langsung. Dengan demikian seseorang remaja akan tergerak untuk melakukan hal-hal yang disarankan oleh pendidik.[13] Oleh sebab itu metode ini dapat digunakan dalam pembinaan Ibadah.
Berdasarkan penjelasan di atas menunjukan bahwa nasihat merupakan salah satu metode yang  baik  dalam pembinaan ibadah. Dengan memberikan nasihat atau bimbingan yang baik sehingga seseorang remaja bisa mempraktekkan ibadah yang telah diajarkan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
4.      Pembinaan dengan Pengawasan
Maksud pembinaan yang disertai pengawasan yaitu mendampingi peserta didik dalam upaya membentuk akidah dan moral, dan mengawasinya dalam melaksanakan ibadah serta mempersiapkannya secara psikis dan sosial, menanyakan secara terus menerus tentang keadaannya. Baik dalam hal pendidikan jasmani maupun rohani. Metode ini termasuk dasar terkuat dalam mewujudkan manusia yang seimbang, yang dapat menjalankan kewajiban–kewajibannya di dalam kehidupan ini. Dari sinilah ia akan menjadi seseorang muslim yang hakiki, akan menjadi pondasi dan pembinaan peraturan Islam. Sebagai prasyarat terwujudnya kejayaan Islam dan untuk tegaknya dakwah Islamiyah sehingga umat Islam akan loyal terhadap kebudayaan, kedudukan dan peranannya.[14]
Islam dengan prinsipnya-prinsipnya yang universal dan dengan peraturan-peraturannya orang tua, lembaga pendidikan untuk selalu mengawasi dan mengontrol peserta didik mereka dalam setiap segi kehidupan, dan pada setiap aspek kependidikan. Dengan demikian metode ini dapat diterapkan dalam pembinaan akidah, akhlak dan ibadah.
5.      Pembinaan dengan Ganjaran dan Hukuman
Maksud dari ganjaran ini adalah sebagai pendorong dan penghargaan kepada peserta didik, bukan merupakan sesuatu yang diharap-harapkan oleh mereka. Karena jika terjadi hal yang demikian maka tujuan pendidikan akan mengalami kegagalan. Sebagaimana pendapat Abu Ahmadi Bahwa memberi ganjaran seorang guru haruslah hati-hati. Hadiah ini jangan sekali-sekali menjadi upah.
Hadiah ini bersifat ekstra atau pemberian yang tidak diharapkan. Hadiah itu bisa dikategorikan menjadi dua macam yaitu:
a)      Hadiah yang berbentuk penghargaan yang bersifat kebendaan
b)      Hadiah yang bersifat non benda atau materi namun berbentuk pujian, sanjungan kepercayaan dan lain-lain.[15]
Di samping pembalasan terhadap tingkah laku atau perbuatan anak yang berbentuk ganjaran perlu juga adanya hukuman atau sanksi. Karena setiap manusia diciptakan dalam sifat dan watak yang berbedabeda. Maka dari itu perlu adanya sanksi ketika peserta didik melanggar aturan-aturan yang ada. Tujuan hukum ini tidaklah hanyalah untuk mencegah banyaknya pelanggaran. Jadi secara mutlak metode hukuman tidak dapat semena-mena dilakukan sesuai dengan sejauh mana sikap dan tingkah laku peserta didik. Lebih tepatnya metode ini diterapkan dalam pembinaan ibadah.
Pembinaan ibadah terhadap anak dalam lingkungan keluarga juga dapat dilakukan orang tua melalui metode hukuman. Maksudnya mendidik dengan memberi hukuman apabila tidak melakukan perintah atau anjuran orang tua yang bersifat kebajikan. Menghukum dilakukan dengan tujuan mendidik sebatas tidak menyakiti atau merusak fisik anak.
Islam sangat menganjurkan kepada orang tua agar mendidik anak secara bertahap hingga bisa mendatangkan manfaat. Metode ini adalah cara terakhir yang dilakukan saat sarana lain tidak bisa mencapai tujuan. Saat itu, boleh menggunakan metode penjatuhan sangsi. Dalam hal ini bukan berarti orang tua selalu berfikir bagaimana memberi sangsi kepada anaknya, tetapi ia harus berfikir bagaimana pertama kali untuk mengarahkan anak-anak mereka dengan metode dan pengarahan yang baik serta mengajak mereka kepada nilai-nilai mulia dengan penuh kesabaran. Hal ini sesuai dengan perintah Nabi Muhammad Saw dalam sebuah haditsnya:
عن عمرو بن شعيب, عن ابيه, عن جده قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مروا أولادكم بالصلاة وهم ابناء سبع سنين, واضربوهم عليها وهم ابناء عشر, وفرقوا بينهم فى المضاجع (رواه ابو داود)
Artinya:  Dari Umar bin Syuaib, dari bapaknya, ia berkata Rasulullah Saw, bersabda: ”Suruhlah anak-anakmu shalat waktu berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jika meninggalkannya di waktu berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud).[16]

Dari hadits tersebut, dapat di pahami bahwa Islam memerintahkan kepada orang tua untuk menyuruh anaknya untuk shalat ketika ia sudah berumur tujuh tahun, hal ini dimaksudkan agar anak terbiasa dengan shalat semenjak ia masih kecil (belum baliq) dan perintah untuk mengerjakan shalat harus lebih tegas lagi diperintahkan kepada anak ketika ia sudah berumur sepuluh tahun namun belum melaksanakan shalat. Ketegasan tersebut yaitu dengan memberi hukuman baik hukuman fisik maupun hukuman mental agar anak mengerjakan shalat dengan rutin ketika ia sudah berumur sepuluh tahun.
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa hukuman dianggap sebagai salah satu metode dalam pendidikan Islam, sehingga Nabi Muhammad Saw menyuruh umat Islam agar memukul anaknya apabila berumur sepuluh tahun jika belum mau melaksanakan shalat.
Dalam memberikah hukuman, syarat pelaksanaan hukuman terhadap anak ada suatu batasan, baik dari segi umur maupun hukumannya atau pukulan yang dilaksanakannya. Di samping itu juga diberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan ibadah (shalat) supaya pukulan dapat ditiadakan.
Agama Islam memberi arahan dalam memberi hukuman (terhadap anak) agar memperhatikan hal-hal sebagaimana dikemukakan oleh Heri Jauhari dalam bukunya Fiqh Pendidikan, yaitu:
  1. Jangan memberi hukuman ketika marah. Karena pemberian hukuman ketika marah akan lebih bersifat emosional yang dipengaruhi nafsu syaitan.
  2. Jangan sampai menyakiti perasaan dan harga diri anak atau orang yang kita hukum.
  3. Jangan sampai merendahkan derajat dan martabat orang yang bersangkutan, misalnya dengan menghina atau mencaci maki di dapat orang lain.
  4. Jangan menyakiti secara fisik, misalnya menampar mukanya atau menarik kerah bajunya, dan sebagainya.
  5. Bertujuan mengubah perilakunya yang kurang atau tidak baik. Menghukum karena anak berperilaku tidak baik.[17]

            Dengan demikian, penerapan hukuman mempunyai syarat-syarat yang berhubungan dengan pendidikan. Hal ini menunjukkan pemberian hukuman dalam pembinaan ibadah terhadap anak merupakan suatu metode yang penting dilakukan menurut tinjauan pendidikan Islam. Oleh karena itu dalam memberi hukuman yang patut di benci adalah perilakunya, bukan orangnya. Apabila anak yang di hukum sudah memperbaiki perilakunya, maka tidak ada alasan untuk tetap membencinya. Maka dalam hal ini orang tua bisa memilih metode pendidikan mana yang tepat untuk digunakan, dan itu tergantung pada situasi dan kondisinya.



[1]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), hal. 131.

[2]M. Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Terj. Al-Ma'arif, (Bandung: Al-Ma'arif, 1993),        hal. 18.

[3]Nasih Ulwan, Kaidah-kaidah Dasar, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), hal. 1.

[4]Abdurrahman An-Nahlawy, Prinsip-prinsip dalam Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1992), hal. 64.

[5]Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz. II, (Kairo: Darul Mutabi’aby, t. t), hal. 123.

[6]Imam Bukhari, Shahih…, hal. 123.

[7]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan..., hal. 143.

[8]Heri Jauhari Muchtar, Fiqih Pendidikan, (Bandung:  Remaja Rosdakarya, 1995), hal. 19.

[9]Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Rosda Remaja Rosda Karya, 2003), hal. 177.

[10]Muhammad Nur Abdul Hafid, Mendidik Anak Usia 2 Tahun Hingga Baligh Versi Rasulullah Bidang Aqidah Dan Ibadah, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), hal. 125.

[11]Nasih Ulwan, Kaidah-kaidah Dasar…, hal. 65.

[12] M. Arif, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta; Bumi Aksara, 1993), hal. 79.

[13]Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan, hal.334.

[14]Nasih Ulwan, Kaidah-kaidah Dasar…, hal. 128.

[15]Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 53-54.

[16]Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz I, (Bandung: Dahlan, t.t), hal. 133.  

[17]Heri Jauhari Muchtar, Fiqih Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hal. 22.

No comments:

Post a Comment