Friday, October 27, 2017

Objek Musyawarah dalam Islam

Lapangan musyawarah (obyek) musyawarah (فِي الْأَمْرِ) adalah segala masalah yang belum terdapat petunjuk  agama secara jelas dan pasti sekaligus berkaitan dengan kehidupan duniawi. Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwa dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menggunakan akar kata musyawarah, untuk memahami lapangan musyawarah.
Pertama, al-Baqarah (2:233). Ayat ini sebagai petunjuk agar persoalan-persoalan rumah tangga dimusyawarahkan bersama antara suami dan istri. Ayat lainnya adalah dalam surat as-Syura (42:38) yang menjelaskan tentang keadaan kaum muslim Madinah yang bersedia membela Nabi Muhammad Saw sebagai hasil kesepakatan dari proses musyawarah. Dalam ayat itu, musyawarah sudah menjadi tradisi masyarakat dalam memutuskan segala perkara mereka. Dalam soal amr atau urusan, di temukan adanya urusan yang hanya menjadi wewenang Allah Swt semata. Terlihat dalam jawaban Allah Swt mengenai ruh (al-Isra’: 85), datangnya kiamat (an-Nazi’at: 42) demikian juga mengenai taubat (Ali-Imran: 128).[1]
Dengan demikian, menurut Quraish Shihab bahwa persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah Swt secara tegas dan jelas. Maka persoalan tersebut bukan lagi masuk dalam kategori yang di musyawarahkan. Musyawarah hanya dilakukan  dalam hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya secara pasti serta dalam perkara-perkara kehidupan duniawi.[2]
Jika dikaitkan dengan cita-cita politik yang telah dikemukakan, maka objek musyawarah mencakup masalah:
1.      Pembinaan sistem politik
2.      Pengembangan dan pemantapan agama Islam dalam kehidupan masyarakat dan Negara
3.      Pembinaan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat dan Negara.[3]
Terkait dengan individu-individu yang bisa dan layak diajak musyawarah sebagaimana yang tersirat dalam surat asy-Syuara: 38, bahwa setiap persoalan  yang dipecahkan secara kolektif kolegial akan memberikan manfaat dan kemaslahatan yang luas. Bahkan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak membatasi keterlibatan non Islam dalam menyumbangkan sarannya untuk memecahkan masalah yang sifatnya bukan bagian pokok dari ajaran Islam. Namun demikian, dalam konteks persoalan-persoalan yang berkaitan dengan urusan publik, apa yang dilakukan Rasulullah Saw cukup beragam. Sekali waktu beliau pernah memilih orang-orang tertentu yang dianggap cakap untuk menangani suatu permasalahan yang dihadapi. Terkadang melibatkan para pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua unsur yang terlibat di masyarakat.
Dalam bermusyawarah, setiap orang harus menjunjung tinggi etika, menghargai pendapat orang lain, mengakui kelemahan diri sendiri dan mengakui kelebihan orang lain. Di samping itu yang paling penting, peserta musyawarah harus mampu menahan diri dari ingin menang sendiri. Sebab dalam musyawarah tidak ada yang kalah dan menang. Kemenangan akan diraih ketika keputusan terbaik telah dihasilkan. Karena itu, hendaknya setiap pimpinan senantiasa menjadikan musyawarah sebagai forum untuk memperjuangkan nilai-nilai agama demi kemaslahatan bersama.[4]
Ulil amri merupakan orang yang diperintahkan untuk ditaati. Kata Amr di sini berkaitan dengan Amr yang disebutkan dalam al-Qur’an  surat as-Syura ayat 38 (persoalan atau urusan mereka, merekalah yang memusyawarahkan), tentunya tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat  dalam musyawarah itu, tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan atau dihadirkan melalui orang-orang  tertentu yang mewakili mereka.
Bertolak dari eksistensi musyawarah sebagai metode pembinaan hukum dan dari kenyataan sejarah, maka dapat dikatakan bahwa perintah tersebut (musyawarah) juga ditujukan kepada ulil amri, yang mana mereka tidak hanya wajib bermusyawarah tetapi juga menyelesaikan perselisihan.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan musyawarah  mengandung hikmah agar pemimpin umat Islam, lebih-lebih ulil amri, tidak boleh meninggalkan musyawarah, karena di dalam musyawarah mereka dapat memperoleh pandangan dan keinginan dari masyarakat. Pada sisi lain, musyawarah mangandung makna penghargaan tokoh- tokoh dan pemimpin masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam urusan dan kepentingan bersama.
Esensi musyawarah merupakan suatu pemberian kesempatan kepada setiap anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturan hukum ataupun kebijaksanaan politik. Ini bisa dipahami dari ungkapan yang digunakan yakni syawir, bentuk imperatif dari kata kerja syâwara-yusyâwiru, yang berimplikasi agar pemimpin masyarakat meminta pendapat dari mereka yang mempunyai kepentingan pada masalah yang dihadapi. Apabila pendapat yang berkembang dalam musyawarah itu sepakat, maka keputusan yang diambil oleh pimpinan adalah pendapat yang disepakati.
Kandungan lain dari esensi musyawarah berkenaan dengan moral kepimimpinan yang diperlukan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi umat dan tokoh-tokohnya. Sifat-sifat yang dimaksud adalah lemah lembut dan tidak menyakiti hati orang lain dengan perkataan atau perbuatan, serta memberi kemudahan dan ketentraman kepada masyarakat. Sifat-sifat ini merupakan faktor subjektif yang dimiliki seorang pemimpin yang dapat mendorong orang lain ikut berpartisipasi dalam musyawarah.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa musyawarah merupakan suatu perkara yang teramat penting dalam kehidupan bersama. Meskipun begitu, yang terpenting adalah metode pengambilan keputusan dalam hal terjadinya perbedaan dan perselisihan pendapat.
Pada sisi lain kenyataan menunjukkan pula bahwa musyawarah tidak hanya dipergunakan sejalan dengan ajaran agama, bahkan sering digunakan untuk kepentingan penguasa untuk kejayaan dan kelestarian kekuasaan mereka. Musyawarah seperti ini telah menyimpang  dari tujuan yang hendak dicapai, yakni kebenaran atau pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran dan kebaikan bersama. Ini berarti diperlukan sebuah prinsip yang dapat menghindarkan penggunaan musyawarah sebagai panggung legalisasi kepentingan sepihak.
Ketentuan dan kewajiban bermusyawarah di atas berimplikasi pada perlunya pelembagaan musyawarah. Hal ini terlihat dalam sejarah, baik pada masa Rasulullah Saw maupun khulafaurrasyidin. Meskipun tidak disebutkan secara resmi, namun keberadaan tokoh sahabat yang mendampingi Rasulullah Saw dan para khalifah sebagai mitra tetap atau tidak tetap yang dimintai pendapatnya merupakan indikator pelembagaan musyawarah dalam sistem politik.[5]
Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali merupakan urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. berkaitan dengan ayat-ayat musyawarah Nabi Saw diperintahkan bermusyawarah dengan “mereka”. Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw, yakni yang disebut umat atau anggota masyarakat. Sedangkan ayat lain menyatakan وامرهم شورى بينهم  ini berarti yang dimusyawarah adalah persoalan yang khusus berkaitan dengan masyarakat sebagai unit. Tetapi sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw dan para sahabanya, tidak tertutup kemungkinan memperluas jangkauan pengertiannya sehingga mencakup persoalan individu sebagai anggota masyarakat.
Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan masyarakat, praktik yang dilakukan Nabi  Muhammad Saw cukup beragam. Terkadang beliau memilih orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyawarahkan, terkadang juga  melibatkan pemuka-pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada semua yang terlibat dalam masalah yang dihadapi.
Sebagian orang-orang yang mempunyai pengaruh di tengah-tengah masyarakat, sehingga kecenderungan mereka kepada satu pendapat atau keputusan mereka dapat mengantarkan masyarakat pada hal yang sama, sebagai orang yang menjadi rujukan masyarakat untuk kebutuhan dan kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun non formal, sipil maupun militer serta kelompok ahli dan para teknokrat dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu.[6] Dengan demikian, dapat diketahui bahwa ahl al-Syura merupakan istilah umum yang kepada mereka para penguasa dapat meminta pertimbangan dan saran. Jika demikian, tidak perlu ditetapkan secara rinci dan ketat sifat-sifat mereka, tergantung pada persolan apa yang sedang dimusyawarahkan.





[1]M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 468.

[2]M. Quraish Shihab, Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 244-247.

[3]http:// berandaintelektual. blogspo. com/ 2013/ 04/ musyawarah-dalam-perspektif-al-quran. html. Diakses Tanggal 09 Juli 2015.

[4]http://muhammadiyahsurabaya.blogspot.com/2011/02/musyawarah-dalam-perspektif-al-quran.html, Diakses pada 10 November 2012.

[5]Lajanah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an Tematik), (Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI: 2009), hal. 223-225

[6]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an…,  hal. 471-473.

No comments:

Post a Comment