Tuesday, October 24, 2017

Kurikulum Pendidikan Sekolah Berbasis Syari'at Islam

Dalam proses implementasi pelaksanaan syari'at Islam dapat berjalan dan mencapai hasil maksimal di Aceh. Maka, pembangunan pendidikan yang berbasis syari'at Islam menjadi penting dan patut diutamakan dan mendapat prioritas untuk difikirkan dan dijalankan oleh semua pihak, baik oleh pemerintah maupun masyarakat secara luas. Sebagai bentuk partisipasi dan tanggung jawab moral dimaksud sudah sepatutnya pemerintah Aceh dan seluruh masyarakatnya untuk memikirkan, membenah, memperbaiki dan melakukan perubahan secara total dan menyeluruh terhadap paradigma dan sistem pendidikan di negeri ini yang masih jauh dari nilai-nilai syariat Islam. Tidak ada kata terlambat jika pemerintah dan masyarakat mau melakukan perubahan dalam sistem pendidikan di Aceh dengan sistem pendidikan yang berbasis syari'at Islam.
Pembangunan pendidikan di Aceh yang dilakukan oleh pemerintah Aceh mesti terpusatkan pada tiga lingkungan pusat pendidikan (tri pusat pendidikan) yaitu:  lingkungan keluarga (pendidikan informal), lingkungan sekolah (pendidikan formal), dan lingkungan masyarakat (non formal).[1] Otoritas dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam konteks otonomi daerah di bidang pendidikan yaitu mendinamisasi percepatan pengembangan sarana pendidikan formal, pendidikan non formal, pendidikan informal, pendidikan usia dini, pendidikan jarak jauh dan pendidikan berbasis masyarakat.[2]
Keluarga adalah unit dasar dan unsur terpenting dalam masyarakat, yang dengan itu kekuatan-kekuatan yang tertib dalam komunitas dirancang dalam masyarakat. Dalam pandangan antropologi keluarga adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat dan sebagainya. Keluarga dikatakan sebagai lingkungan pendidikan pertama karena setiap anak dilahirkan ditengah-tengah keluarga dan mendapat pendidikan yang pertama di dalam keluarga.
Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama. Pembinaan kepribadian, penguasaan dasar-dasar tsaqafah Islam dilakukan melalui pengalaman dan pendidikan sehari-hari, serta dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di keluarga, utamanya orang tua. Hampir lebih dari seperempat umur seorang anak itu dihabiskan bersama keluarga dan merupakan durasi waktu yang cukup lama. Itulah sebabnya pendidikan keluarga perlu diberikan perhatian serius karena merupakan muara utama bagi keberhasilan pembangunan pendidikan. Oleh karena itu pemerintah Aceh melalui Qanun Nomor 11 Tahun 2002 pasal 4 ayat 2 menjelaskan bahwa “setiap keluarga atau orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah kepada anak-anak dan anggota keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya”.[3]
Selanjutnya lingkungan sekolah, pendidikan di sekolah tidak kalah pentingnya dari pendidikan keluarga. Mengingat pendidikan sekolah yang bersifat formal tentunya memiliki dimensi yang berbeda dengan pendidikan dalam keluarga dan masyarakat. Di sekolah aktifitas pendidikan berlansung dalam suatu institusi resmi yang dikelola dengan sistem yang baik dan profesional. Sejalan dengan semangat otonomi khusus Aceh, maka otonomi dalam hal pendidikan seyogyanya mendapatkan tempat yang luas untuk dilaksanakan. Terutama yang berkaitan lansung dengan aspek pelaksanaan syariat Islam, harusnya memungkinkan sekolah-sekolah di Aceh mulai diperkenalkan dan diterapkan syari'at Islam dengan lebih mengedepankan pembinaan dari pada hukuman.[4]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada BAB IX Pasal 17 ayat 1 sampai dengan 3. Kurikulum dan sistem pendidikan di sekolah-sekolah yang ada di Aceh mengacu pada kurikulum dan sistem pendidikan Nasional, hal ini terdapat dalam Qanun Nomor 5 tahun 2008  BAB III pasal 5 ayat 2 menyebutkan bahwa yang menjadi sistem pendidikan di Aceh adalah tetap mengacu pada sistem pendidikan Nasional, namun yang menjadi penekanan adalah pendidikan di Aceh harus didasarkan pada nilai-nilai Islami. Dengan adanya peraturan pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.[5] Perhatian pemerintah Aceh sekarang harus terfokus bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dalam kurikulum yang telah ada. Sehingga dapat meningkatkan ketaqwaan para peserta didik.
Kemudian pendidikan dilingkungan masyarakat, Masyarakat adalah kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh satu kesatuan negara, kebudayaan dan agama. Dalam pengertian yang luas termasuk segala jalinan hubungan timbal balik, kepentingan bersama, adat kebiasaan, pola-pola, teknik-teknik, sistem hidup, undang-undang, institusi dan segala segi dan fenomena yang dirangkum oleh masyarakat.[6]  Zakiah Daradjat memberikan definisi masyarakat adalah kumpulan individu dan kelompok yang diikat dalam kesatuan negara, kebudayaan dan agama yang memiliki cita-cita, peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu.[7] Dengan demikian, jelas bahwa masyarakat merupakan kelompok sosial terbesar dalam suatu negara, seperti masyarakat Aceh adalah kelompok besar yang hidup didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Lingkungan masyarakat sebagai pusat pendidikan merupakan lingkungan terakhir bagi anak untuk mendapatkan pendidikan dengan berbagai jenis pengalaman dan pengetahuan. Dengan kata lain situasi masyarakat membawa pengaruh besar terhadap keberhasilan pendidikan anak diluar rumah tangga dan sekolah. dalam masyarakat terdapat lingkungan sebaya, yang memberi dampak yang sangat besar terhadap perilaku anak termasuk juga proses pendidikan. Seorang anak yang membolos dari sekolah, terbengkalai, bahkan terjerumus ke jurang kehancuran seperti terlibat narkoba, perampokan dan perjudian semua itu tergantung pada lingkungan teman sebayanya di masyarakat.
Dalam konteks Aceh, diperlukan materi pendidikan dalam tiga lingkungan yang telah disebutkan di atas. Sehingga pendidikan terarah dan sesuai dengan pelaksanaan syari’at Islam. Mengingat tema umum dari tulisan ini adalah pendidikan di daerah syari’at Islam, maka materi pendidikan adalah dengan berpedoman kepada Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syari’at Islam di bidang sqidah, ibadah dan syi'ar Islam. Oleh karena itu, materi utama pendidikan di daerah Aceh adalah meliputi ketiga bidang tersebut, dengan memuat beberapa hal yang bersifat pendidikan akhlak dalam masyarakat dan lain-lain.
Materi pendidikan dalam keluarga, sekolah, masyarakat itu meliputi masalah keimanan (aqidah), Keislaman (syari'ah) dan ihsan (akhlak). Ketiga materi pendidikan di atas merupakan inti ajaran pokok dalam Islam. Aqidah adalah bersifat ittiqad berarti mengajarkan keesaan Allah yang mengatur alam ini. Syari'ah adalah berhubungan dengan alam lahir dalam rangka menaati semua peraturan dan hukum Allah guna mengatur kehidupan manusia. Akhlak adalah suatu amalan dan penyempurnaan.[8] Materi diatas harus menjadi pondasi dalam pembangunan pendidikan di Aceh, karena jika pondasi-pondasi yang ada dalam materi pendidikan diajarkan di semua lingkungan bahkan sebelum anak lahir. Maka, ketika anak menjelang dewasa hasil dari pembelajaran materi ini akan menjadi pondasi yang tidak tergoyahkan yang tertanam dalam diri anak, sebagai contoh, keimanan yang tertanam dengan kuat yang terdapat semenjak dalam keluarga, maka seorang anak tidak akan mudah terpengaruh dengan ajakan-ajakan aliran-aliran sesat dan menyesatkan yang sedang berkembang. Demikian juga dengan busana atau pakaian dan lain sebagainya. 
1.      Bidang Aqidah
Aqidah merupakan kepercayaan kepada Allah, berbicara masalah aqidah juga berbicara tentang rukun Iman seseorang yaitu: percaya pada keesaan Allah, kebenaran al-Qur’an, kerasulan Muhammad Saw, para malikat, hari kiamat, qada dan qadar dari Allah. Sementara dalam qanun nomor 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syari’at Islam dalam bidang aqidah bertujuan untuk memelihara keimanan dan ketakwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat.
2.      Materi Ibadah
Ibadah adalah kegiatan keagamaan yang berbentuk penghambaan diri kepada Allah baik yang dilakukan bentuk ritual ibadah seperti shalat, puasa, haji, membayar zakat dan lain-lain, dan juga yang tidak berbentuk ritual ibadah seperti menjenguk orang sakit, memberi dan menjawab salam, membuang duri di jalan dan lain-lain. Hal tersebut merupakan materi pendidikan ibadah yang sudah harus diberikan dan ditanamkan sejak dini dalam kehidupan masyarakat Aceh, untuk menyukseskan pembangunan di bidang pendidikan di Aceh.
3.      Materi Syi'ar Islam
Syi'ar Islam adalah bentuk kegiatan yang dilakukan untuk menghidupkan dan menyemarakkan syi'ar yang bertujuan untuk menciptakan suasana linkungan masyarakat yang Islami. Bidang syi'ar Islam ini merupakan bentuk kegiatan menyemarakkan, maka hal yang perlu dilakukan dalam masyarakat adalah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pada hari-hari besar Islam seperti nuzulul Qur'an, Maulid Nabi Saw, Halal bi halal serta menghidupkan budaya-budaya Islami. Dari kegiatan-kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan masyarakat serta dapat menghindari anggota masyarakat dari pengaruh aliran sesat.
4.      Materi Akhlak
Akhlak adalah etika, pembahasannya berkenaan dengan tata cara pergaulan dalam masyarakat seperti pergaulan orang tua dengan anak-anak, suami istri, orang yang lebih tua dengan yang lebih muda dan lain sebagainya. Dalam Islam masalah akhlak ini sudah diatur sedemikian rupa. Dalam kehidupan masyarakat Aceh bidang ahklak juga sudah tersusun dengan baik, hal ini dapat dilihat dari cara bertingkah laku, bergaul bahkan dalam penggunaan bahasa yang baik.
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, hal-hal lain yang juga harus dijadikan materi pendidikan dalam masyarakat di Aceh adalah menyangkut dengan silaturrahmi dn tenggang rasa antar warga masyarakat pengajaran untuk hidup cinta damai, dan materi-materi lain yang sangat luas dlam masyarakat. Materi-materi ini dapat disajikan kepada masyarakat dalam bentuk pemberian materi lansung melalui pengajian-pengajian yang diselenggarakan dalam masyarakat, maupun dalam bentuk contoh teladan yang di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Merujuk kepada buku pedoman pelaksanaan sistem pendidikan Islami pada sekolah dan madrasah di Aceh, kerangkan normatif pendidikan Islami di Aceh intinya menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Aceh harus mengandung dua warna yakni warna kebangsaan dan warna keacehan. Warna kebangsaan merujuk kepada Aceh sebagai bagian integral dari NKRI yang memiliki kewajiban untuk menjalankan amanah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, adapun warna keacehan merujuk kepada Aceh sebagai daerah yang tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai Islami, yakni nilai yang berakar kepada ajaran Islam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketentuan normatif penyelenggaraan pendidikan di Aceh secara tegas mengamanahkan untuk dilaksanakannya sistem pendidikan Islami di seluruh jenjang pendidikan di Aceh.
Dukungan substansi mata pelajaran dalam pembentukan budaya Islami pada sekolah unggulan di Aceh bersandarkan pada tujuan dan arahan pendidikan menengah sebagaimana termaktub dalam Qanun No. 5 tahun 2008 Pasal 27 ayat 2 dan ayat 3 menegaskan bahwa pendidikan menengah bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan peserta didik sesuai dengan nilai-nilai Islam yang diperlukan untuk memasuki pasar kerja, mempersiapkan diri melanjutkan ke pendidikan tinggi/dayah dan pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan menengah (Sekolah Unggulan) diarahkan agar peserta didik muslim mampu membaca al-Qur’an dan menulis Arab Melayu. Dengan berpijak kepada tujuan dan arahan tersebut dikembangkan kurikulum pendidikan di masing-masing sekolah jenjang SMA/MA di Aceh. Kurikulum yang dikembangkan di sekolah unggulan objek penelitian berpijak kepada ketentuan Qanun No. 5 Tahun 2008 Bab VIII Pasal 35 di antaranya mengungkapkan hal-hal sebagai berikut:
1        Kurikulum yang digunakan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan standar isi nasional dan muatan lokal yang dilaksanakan secara Islami;
2        Kurikulum yang dilaksanakan secara Islami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah seluruh proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah;
3        Kurikulum sekolah/madrasah yang termasuk dalam sekolah unggulan penelitian ini yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) wajib memuat mata pelajaran:
                       a            Aqidah;
                      b            Fiqh;
                       c            Al-Qur’an dan Hadits;
                      d            Akhlaq dan Budi Pekerti;
                       e            Pendidikan Kewarganegaraan;
                       f            Matematika/berhitung;
                      g            Ilmu Pengetahuan Alam;
                      h            Ilmu Pengetahuan Sosial;
                        i            Pendidikan Keterampilan, Teknologi Informasi dan Komunikasi;
                        j            Bahasa dan Sastra Indonesia;
                      k            Seni dan Budaya;
                        l            Bahasa Inggris; m. Bahasa Arab;
                    m            Pendidikan Jasmani dan Olahraga.
4        Kurikulum sekolah/madrasah pada semua jenis dan jenjang pendidikan yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat menambah muatan lokal sesuai dengan kebutuhan daerah.[9]

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, di masing-masing sekolah unggulan yang menjadi objek penelitian ini dibentuk Tim Pengembang Kurikulum (TPK). Upaya pengembangan kurikulum berbasis pendidikan nilai kesantunan dan budaya sekolah yang Islami dapat dimulai sejak sekolah menyusun analisis konteks. Dalam melakukan analisis ketercapaian atas delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yakni Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Pengelolaan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pembiayaan, dan Standar Penilaian yang termaktub dalam dokumen analisis konteks. Sekolah dapat menjelaskan tingkat ketercapaian kedelapan standar tersebut dan kaitannya dengan implementasi pendidikan nilai. Selanjutnya sekolah dapat merancang upaya pengembangan standar tersebut dalam kaitannya dengan operasionalisasi pendidikan nilai yang sudah dan akan dilakukan.



[1] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 34.
[2]Isran Noor, Politik Otonomi Daerah dalam Kerangka Penguatan  NKRI, (Jakarta: Profajar Jurnalism. 2012), hal. 28.
[3]Qanun Nomor 11 Tahun 2002 pasal 4 ayat 2
[4]Mujiburrahman, Pendidikan Berbasis Syariat..., hal. 12.
[5]Isran Noor, Politik Otonomi Daerah..., hal. 32-33.
[6]Omar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 163.
[7]Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), 44.
[8]Mujiburrahman, Pendidikan Berbasis..., hal. 141.
[9]Qanun No. 5 Tahun 2008 Bab VIII Pasal. 35.

No comments:

Post a Comment