Sunday, October 22, 2017

Makna, Dalil dan Pembagian Thaharah

A.    Makna dan Dalil Hukum Tentang Thaharah
Kata thaharah bersal dari bahasa Arab yang secara bahasa artinya  kebersihan atau bersuci. Thaharah menurut syari’at Islam ialah suatu kegiatan bersuci dari hadas maupun najis sehingga seorang diperbolehkan untuk mengerjakan suatu ibadah yang dituntut harus dalam keadaan suci seperti shalat. Kegiatan bersuci dari najis meliputi sucinya pakaian dan tempat.[1] Sedangkan bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan cara berwudhu, mandi dan tayamum.
Dalam buku “Fiqih Islam” dijelaskan bahwa thaharah menurut bahasa artinya “bersih” Sedangkan menurut istilah syara’ thaharah adalah bersih dari hadas  dan najis. Selain itu thaharah dapat juga diartikan dengan mengerjakan pekerjaan yang membolehkan shalat, berupa wudhu, mandi, tayamum dan menghilangkan najis.[2] Atau thaharah juga dapat diartikan melaksanakan pekerjaan dimana tidak sah melaksanakan shalat kecuali dengannya yaitu menghilangkan atau mensucikan diri dari hadas dan najis dengan air.[3]
Sedangkan makna thaharah secara istilah para ulama fiqih tentu bukan semata-mata kebersihan dalam arti bebas dari kotoran. Thaharah dalam istilah para ahli fiqih adalah mencuci anggota tubuh tertentu dengan cara tertentu atau mengangkat hadats dan menghilangkan najis.[4]
Adapun menurut Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim menjelaskan bahwa thaharah adalah menghilangkan hadats dan najis yang menghalangi pelaksanaan shalat dengan menggunakan air (atau lainnya), atau menghilangkan hukumnya (hadats dan najis tersebut) dengan debu.[5]
Jadi, pengertian thaharah atau bersuci adalah mengangkat kotoran dan najis yang dapat mencegah sahnya shalat, baik najis atau kotoran yang menempel di badan, maupun yang ada pada pakaian, atau tempat ibadah seorang muslim.
Thaharah menduduki masalah penting dalam Islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah ibadah kepada Allah Swt tidak akan diterima. Sebab beberapa ibadah utama mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah ibadah tidak sah. Bila ibadah tidak dilakukan dengan baik benar sesuai aturan yang ditetapkan maka tidak akan diterima Allah Swt. Kalau tidak diterima Allah Swt maka konsekuensinya adalah kesia-siaan.[6]
Adapun dasar hukum atau dalil wajibnya thaharah diantanya sebagaimana terdapat dalam firman Allah yaitu sebagai berikut:
ياايهاالذين امنوااذاقمتم الى الصلاة فاغسلواهكم وايديكم الى المرافق وامسحوابرؤوسكم وارجلكم الى الكعبين (المآئدة: ٦)                                                                   
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman. Jika kamu akan melakukan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kesiku, lalu sapulah kepalamu dan basulah kakimu hingga daun mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kesucian dalam ajaran Islam dijadikan syarat sahnya sebuah ibadah, seperti shalat, thawaf, dan sebagainya. Bahkan manusia sejak lahir hingga wafatnya juga tidak bisa lepas dari masalah kesucian. Oleh karena itu, para ulama bersepakat bahwa berthaharah adalah sebuah kewajiban. Sehingga Allah Swt sangat menyukai orang yang mensucikan diri sebagaimana firman-Nya berikut ini:
                                        (٢٢٢ : البقراة)اِنَ اللهَ يُحِبُ التَوَابِيْنَ وَيُحِبُ اْلمُتَطَهِرِيْنَ
Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri.(QS. Al-Baqarah: 222)
   لَايُقْبَلُ اللهِ الصَلَاةَ بِغَيْرِ طَهُوْرُ
Artinya: “Allah tidak akan menerima shalat yang tidak dengan bersuci.” (HR. Muslim).[7]
Sesuai dengan bunyi ayat dan hadist di atas, maka dapat dipahami bahwa thaharah mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi kehidupan seorang muslim. Karena thaharah merupakan syarat sahnya shalat, dan shalat merupakan tiang agama. Tanpa thaharah yang benar, shalat seseorang tidak mungkin sempurna. Oleh karena itu, dikatakan pendahuluan dalam shalat itu ialah thaharah.

B.     Pembagian Thaharah
Sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya bahwa, thaharah merupakan kegiatan bersuci dari  najis maupun hadast. Untuk mengetahui mana yang dimaksud dengan najis dan mana yang dimaksud dengan hadast.  Maka dari itu, di bawah ini akan dibahas mengenai najis dan hadast dalam masalah pembagian thaharah yaitu thaharah hakiki dan thaharah hukmi.
Menurut Anshory Umar Sitanggal menjelaskan bahwa secara wujud najisnya, najis dibagi kedalam dua macam, yaitu najis ‘ainiyah dan najis hukmiyah.[8] Untuk lebih jelasnya mengenai penjelasan pembagian najis tersebut, dapat diketahui melalui pembagian thaharah berikut ini.
1.      Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis. Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki. [9]
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakain dan tempat shalat dari najis. Boleh juga dikatakan bahwa thaharah secara hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis. Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki.
Thaharah hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel, baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibadah ritual. Caranya bermacam-macam tergantung level kenajisannya. Bila najis itu ringan, cukup dengan memercikkan air saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila najis itu berat, harus dicuci dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya dengan air biasa, hingga hilang warna, bau dan rasa najisnya.
Lebih lanjut mengenai permasalah di atas, Ahmad Sarwat menjelaskan bahwa para ulama membagi najis dengan berbagai kriteria. Yang paling umum, najis dibagi berdasarkan tingkat kesulitan dalam mensucikannya, yaitu najis berat, sedang dan ringan. Najis ringan adalah najis yang cara mensucikannya terlalu ringan, yaitu sekedar dipercikkan air saja. Sedangkan najis sedang adalah najis yang umumnya di kenal, bias hilang apabila telah dilakukan berbagai macam cara seperti mencuci dan sebagainya, sehingga tiga indikatornya hilang. Ketiga indikator itu adalah warna, rasa dan aroma. Najis yang berat adalah najis yang tata cara ritual yang dibutuhkan untuk mensucikannya terbilang cukup berat. Tidak cukup hanya hilang ketiga indikatornya saja, tetapi harus dicuci secara ritual sebanyak tujuh kali dengan air, dimana salah satunya harus menggunakan tanah.[10]
2.      Thaharah Hukmi
Thaharah hukmi maksudnya adalah sucinya dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar (kondisi janabah). Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya secara fisik. Bahkan boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran pada diri seseorang. Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri, belum tentu dipandang bersih secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara ritual.[11]
Seorang yang tertidur, buang angin (kentut) batal wudhu’-nya, boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu’  bila ingin melakukan ibadah ritual tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya. Demikian pula dengan orang yang keluar mani, meski dia telah mencuci maninya dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar hingga selesai dari mandi janabah. Jadi thaharah hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara fisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah. Thaharah hukmi didapat dengan cara berwudhu’ atau mandi janabah.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan berthaharah dari benda najis itu artinya bagaimana tata ritual yang benar sesuai dengan ketentuan syariah untuk bersuci dari benda-benda najis yang terkena, baik pada badan, pakaian atau tempat ibadah. Berthaharah dari hadats adalah tata cara ritual yang didasarkan pada syariat Islam tentang bersuci dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
Lebih lanjut, Ahmad Sarwat menjelaskan bahwa tata cara mengangkat hadats atau mensucikan diri dari hadats ada tiga macam. Ritual yang pertama dengan cara berwudhu. Ritual ini tujuan dan fungsinya khusus untuk mensucikan diri dari hadats kecil saja. Ritual kedua adalah mandi janabah. Ritual untuk berfungsi untuk mensucikan diri dari hadats besar. Ritual ketiga adalah tayamum. Ritual ini hanya boleh dikerjakan tatkala tidak ada air untuk berwudhu’ atau mandi janabah. Tayamum adalah bersuci dengan menggunakan tanah, berfungsi mensucikan diri dari hadats kecil dan juga hadats besar.[12]
Jadi secara thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, di mana secara pisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah. Thaharah secara hukmi dilakukan dengan berwudhu' atau mandi janabah.
Dengan demikian, yang mengotori lahir (badan) manusia, yaitu najis dan hadats. Najis dibersihakan dengan dicuci. Hadats ada dua macam : hadats kecil dan besar. Hadats kecil dibersihkan (disucikan) dengan berwudhu. Hadats besar dibersihkan (disucikan) dengan mandi junub (mandi besar).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa thaharah itu bersuci dari sesuatu yang tidak suci dan sesuatu yang tidak suci itu bisa di bagi menjadi dua macam jenis. Pertama, ketidak-sucian yang bersifat fisik, yaitu najis. Kedua, ketidak-sucian yang bersifat hukum, yaitu hadats. Jadi thaharah itu pada hakikatnya adalah mensucikan diri dari najis atau dari hadats. Thaharah dari najis sering diistilahkan dengan thaharah hakiki. Sedangkan thaharah dari hadats sering disebut dengan istilah thaharah hukmi.
Air adalah media untuk mensucikan. Disebut juga bahwa air itu adalah media untuk melakukan thaharah, baik thaharah secara hakiki maupun thaharah secara hukmi. Maksudnya, air merupakan media yang berfungsi untuk menghilangkan najis, sekaligus juga berfungsi sebagai media untuk menghilangkan hadats.
Para ulama telah membagi air ini menjadi beberapa keadaan, terkait dengan hukumnya untuk digunakan untuk bersuci. Kebanyakan yang terdapat di dalam kitab fiqh, mereka membaginya menjadi 4 macam, yaitu:
  1. Air Mutlaq
Air mutlaq adalah keadaan air yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun benda najis. Air mutlaq ini hukumnya suci dan sah untuk digunakan bersuci, yaitu untuk berwudhu’ dan mandi janabah.
  1. Air Musta’mal
Jenis yang kedua dari pembagian air adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Maksudnya adalah air yang menetes dari sisa bekas wudhu’ di tubuh seseorang, atau sisa bekas air mandi janabah. Dimana air itu kemudian masuk lagi ke dalam penampungan. Para ulama seringkali menyebut air jenis ini air musta'mal. Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bias digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan.
  1. Air yang Tercampur Benda yang Suci
Jenis air yang ketiga adalah air yang tercampur dengan barang suci atau barang yang bukan najis. Hukumnya tetap suci. Seperti air yang tercampur dengan sabun, kapur barus, tepung dan lainnya. Selama nama air itu masih melekat padanya. Namun bila air telah keluar dari kriterianya sebagai air murni, air itu hukumnya suci namun tidak mensucikan.
  1. Air yang Tercampur dengan Benda yang Najis
Air yang tercampur dengan benda najis itu bisa memiliki dua kemungkinan hukum. Yaitu antara air itu berubah dan tidak berubah setelah tercampur benda yang najis. Kriteria perubahan terletak pada rasa, warna atau bau / aromanya.[13]
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa air yang dibolehkan untuk bersuci dari hadast dan najis hanyalah yang belum mengalami proses apapun. Air itu masih asli, dalam arti belum digunakan untuk bersuci, tidak tercampur benda suci atau pun benda najis.


[1]T. Ibrahim dan Darsono, Penerapan Fikih (Solo: Tiga Serangkai Mandiri, 2004), hal 1.
[2]Moch. Anwar, Fiqih Islam  Tarjamah Matan Taqrib, (Bandung: Alma’arif, 1987), hal. 9.
[3]Muqarrabin, Fiqih awam, (Demak: Media Ilmu, 1997), hal. 9.
[4]Ahmad Sarwat, Seri Fiqih Kehidupan: 2 Thaharah, (Jakarta, DU Publishing, 2011),         hal. 38-39.
[5]Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Fikih Thaharah, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008), hal. 18.
[6]Ahmad Sarwat, Seri Fiqih…, hal. 39.
[7]Abid Bishri Mushtafa, Tarjamah Shahih Muslim, Juz. I, (Semarang: Asy-Syifa, 1993),        hal 325
[8] Anshary Umar Sitanggal, Fiqih Syafi’i Sistematis, (Semarang: Asy Syifa’, 1992), hal. 44.
[9]Ahmad Sarwat, Fiqih Islam Kitab Thaharah, (Kampus Syari’ah.com. 2008), hal. 5.
[10]Ahmad Sarwat, Seri Fiqih…, hal. 42.
[11]Ahmad Sarwat, Fiqih Islam…, hal. 5.
[12]Ahmad Sarwat, Fiqih Islam…, hal. 43-44.
[13]Ahmad Sarwat, Fiqih Islam…, hal. 12-29.

No comments:

Post a Comment