Monday, October 30, 2017

Pengertian dan Dasar Hukum Shalat Berjamaah

Sebelum melakukan ibadah shalat secara berjamaah, maka perlu dimengerti terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan shalat, pengertian shalat secara bahasa adalah do’a. Syari’at menamainya shalat karena di dalamnya terkandung do’a. Adapun pengertian shalat menurut istilah adalah beribadah hanya untuk Allah Swt dengan perkataan, perbuatan yang diketahui, diawali dengan takbir dan ditutupi dengan salam, disertai niat dan dengan syarat-syarat tertentu.[1]
Pendapat lain mengatakan bahwa shalat adalah menghadapkan jiwa dan raga kepada Allah Swt karena taqwa (takut) hanya kepada Tuhan-Nya, mengagungkan kebesaran-Nya dengan khusyu’ dan ikhlas baik dilakukan dalam bentuk perbuatan dan perkataan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan disudahi dengan salam, menurut cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan.[2] Adapun pengertian shalat menurut Said Sabiq menjelaskan bahwa shalat adalah ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam.[3]
Dari beberapa pengertian shalat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa shalat itu adalah suatu ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan untuk menyerahkan diri kepada Allah Swt dengan khusyu’ dan ikhlas yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Shalat berjama’ah adalah shalat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama, seorang menjadi imam dan yang lainnya menjadi makmum dengan syarat-syarat yang ditentukan. Hukum shalat berjama’ah adalah sunnah muakkad artinya dikuatkan atau sangat dianjurkan. Sedangkan orang yang melaksanakan shalat sendirian disebut munfarid.[4] Adapun dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan bahwa shalat berjama’ah adalah shalat yang dilakukan secara bersama-sama dipimpin oleh seorang imam.[5] Abujamin Rohman menjelaskan bahwa shalat berjamaah yaitu shalat yang dilakukan secara bersama-sama, dipimpin oleh seorang imam yang diyakini memenuhi syarat sebagai seorang imam.[6]
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat didefinisikan bahwa shalat berjama’ah di masjid adalah shalat yang dilakukan secara bersama-sama dengan sekelompok orang dimana satu orang menjadi imam dan yang lainnya menjadi makmum dengan memenuhi syarat-syaratnya, yang dilakukan di masjid.
Shalat berjamaah ditetapkan di Madinah. Berjamaah paling sedikit terdiri dari imam dan makmum. Tingkatan dari keutamaan shalat berjamaah adalah shalat jum’at, shalat subuh di hari jum’at, shalat subuh, isya’, asar, zuhur, kemudian magrib.[7] Adapun mengenai dasar hukum perintah melaksanakan shalat berjamaah diantaranya adalah sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43 sebagai berikut:
 (البقرة: ٤٣)
Artinya:  Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'. (QS. Al-Baqarah: 43)
Berdasarkan analisis dari maksud ayat di atas, dapat dipahami bahwa kata beserta orang-orang yang ruku’ menerangkan bahwasanya pelaksanaan ibadah shalat fardhu lima waktu sehari-semalam itu dilaksanakan secara berjamaah baik di mesjid maupun di tempat-tempat lainnya.
Adapun dasar hukum perintah menunaikan shalat secara berjama’ah lainnya adalah sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an, Allah Swt berfirman dalam surat      an-Nisa' ayat 102, yaitu:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا(النساء: ١٠٢)
Artinya: ” Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (QS. An-Nisa`: 102)


Menurut para ahli tafsir dan fiqh, ayat ini mengandung perintah untuk melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan takut di medan perang. Lebih lanjut para fuqaha’ menyatakan, kalaulah shalat berjama’ah tidak disyariatkan, tentu saja di waktu perang juga tidak disyariatkan.[8]
Dasar hukum shalat berjama’ah adalah berdasarkan hadist-hadist Rasulullah Saw, yaitu sebagai berikut:
1.      Hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra, yaitu:
صلاة الجماعة افضل من صلاة الفذ بسبع و عشرين درجة (متفق عليه)  
Artinya: “Shalat berjamaah itu lebih utama dari pada shalat sendirian dengan perbandingan dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari-Muslim)[9]
2.      Hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim menyatakan:
و الذي نفسي بيده ، لقد هممت أن آمر بحطب فيحتطب ، ثم آمر بالصلاة فيؤذن لها ، ثم آمر رجلاً فيؤم الناس ، ثم أخالف إلى رجالاً فأحرق عليهم بيوتهم ، و الذي نفسي بيده لو يعلم أنه يجد عَرْقاً سميناً أو مِرْماتَيْن حسنتين لشهد العشاء(رواه البخرى و مسلم)
Artinya: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku bermaksud hendak menyuruh orang-orang mengumpulkan kayu bakar, kemudian menyuruh seseorang menyerukan adzan, lalu menyuruh seseorang pula untuk menjadi imam bagi orang banyak. Maka saya akan mendatangi orang-orang yang tidak ikut berjama'ah, lantas aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seseorang di antara kalian mengetahui bahwa ia akan memperaleh daging yang gemuk, atau dua potongan daging yang bagus, pasti mereka akan mengikuti shalat 'Isya berjama'ah." (HR. Bukhari-Muslim)[10]

3.      Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih) menyatakan:
إن أثقل الصلاة على المنافقين صلاة العشاء و صلاة الفجر ، و لو يعلمون ما فيهما لأتوهما و لو حبواً ، و لقد هممت أن آمر بالصلاة فتقام ، ثم آمر رجلاً يصلي بالناس ، ثم انطلق معي برجال معهم حزم من حطب إلى قوم لا يشهدون الصلاة ، فأحرق عليهم بيوتهم
Artinya: “Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah salat isya' dan shalat subuh. Seandainya mereka tahu keutamaannya niscaya mereka akan datang walaupun dengan merangkak. Aku telah memerintahkan agar shalat dilaksanakan. Kemudian aku memerintahkan seorang lelaki untuk shalat dengan yang lain (secara berjamaah). Kemudian aku berangkat dengan kaum muslimin yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak mau ikut shalat berjamaah, dan aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari-Muslim)[11]

Berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw di atas maka ulama’ fiqih sepakat (ijma’) bahwa shalat berjama’ah di masjid itu disyariatkan dan lebih utama dilaksanakan dari shalat sendiri.[12] Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum shalat berjama'ah itu adalah fardu 'ain, sebagian berpendapat bahwa shalat berjama'ah fardu khifayah, dan sebagian lagi berpendapat sunnah mu'akkad (sunat istimewa). Yang akhir inilah yang lebih layak, kecuali bagi shalat jum’at. Menurut kaidah persesuaian beberapa dalil dalam masalah ini, seperti yang telah disebutkan diatas, pengarang Nailul Autar berkata, “Pendapat yang seadil-adilnya dan lebih dekat kepada yang betul ialah shalat berjama’ah itu sunat muakkad.”[13]
Ibadah shalat lima waktu sehari semalam secara berjama’ah di masjid lebih baik dari pada shalat berjama’ah dirumah, kecuali shalat sunat, maka di rumah lebih baik.[14] Penegasan tersebut merupakan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw untuk dilaksanakan oleh setiap muslim bahkan untuk orang yang buta sekalipun.
Pendapat tersebut sebagaimana terdapat dalam hadis Rasulullah Saw, yaitu:
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( أَتَى اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ!  إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى اَلْمَسْجِدِ, فَرَخَّصَ لَهُ, فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ, فَقَالَ: "هَلْ تَسْمَعُ اَلنِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَأَجِبْ )  رَوَاهُ مُسْلِم                                 
Artinya: Dari Abu Hurairah Ra dikisahkan bahwa pernah ada seorang lelaki buta bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasul Allah, aku tidak punya penuntun yang menggandengku ke masjid. Apakah aku mendapatkan kemurahan (dispensasi) untuk shalat di rumah saja?” Rasulullah bertanya kepadanya: “Apakah kamu mendengarkan adzan (seruan) untuk shalat?” “ya” jawab lelaki buta itu. Rasulullah lalu berkata dengan tegas, “kalau begitu datangilah masjid untuk shalat berjamaah!”[15]

Hadits yang menunjukkan bahwa kedudukan shalat berjamaah di rumah Allah (mesjid) sangat banyak. Oleh karena itu, setiap muslim dituntut memperhatikan dan bersegera melaksanakannya. Juga untuk memberitahukan hal ini kepada anak-anaknya, keluarga, tetangga, dan seluruh teman-teman seaqidah agar mereka mengerjakan perintah Allah Swt dan perintah Rasul-Nya, takut terhadap larangan Allah Swt dan Rasul-Nya, dan menjauhkan diri dari sifat-sifat orang munafik yang tercela, di antaranya sifat malas mengerjakan shalat berjamaah.



[1]Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, Shahih Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), hal. 333.
[2]Moh Rifa’ie, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, (Semarang: Toha Putra, 1978), hal. 79.
[3]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hal. 191.
[5]Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal. 1573.
[6]Abujamin Rahman, Shalat Tiang Agama (Jakarta: Media Da’wah, 1992), hal. 71.
[7]Muhammad Mahmud Ash-Shawwaf, Sempurnakan Shalatmu, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007), hal. 377.
[8]Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi…, hal. 1573.
[9]Ibdullah bin Abdurrahman Ali Bassan, Syarah Hadits Pilihan Bukhati-Muslim, (Terj), Kathur Suhardi, (Jakarta: Darul Falah, 2003), hal. 114.
[10]Ibdullah bin Abdurrahman Ali Bassan, Syarah Hadits…, hal. 117.
[11]Ibdullah bin Abdurrahman Ali Bassan, Syarah Hadits …, hal. 117.
[12]Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi…, hal. 1574.
[13]Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: SBA. 2003), hal. 107.
[14]Sulaiman Rasjid, Fiqih…, hal. 108.
[15]Ibnu Hajar Al-Asqalani, Buluqul Maram, (Tasik Malaya: Pustaka Al-Hidayah, 2008), Hadits. No. 427.

No comments:

Post a Comment