Friday, October 27, 2017

Landasan Musyawarah dalam Islam

Musyawarah merupakan salah satu pesan syari’at yang sangat ditekankan di dalam al-Qur’an keberadaannya dalam berbagai bentuk pola kehidupan manusia, baik dalam suatu rumah kecil yakni rumah tangga yang terdiri anggota kecil keluarga dan dalam bentuk rumah besar yakni sebuah negara yang terdiri dari pemimpin dan rakyat, konsep musyawarah merupakan suatu landasan tegaknya kesamaan hak dan kewajiban dalam kehidupan manusia, di mana antara pemimpin dan rakyat  memilki hak yang sama membuat aturan yang mengikat dalam lingkup kehidupan bermasyarakat.
Islam menganjurkan musyawarah dan memerintahkannya dalam beberapa ayat al-Qur'an, ia menjadikannya suatu hal terpuji dalam kehidupan baik secara individu, dalam keluarga, masyarakat, bahkan dalam bernegara sekalipun dan menjadi elemen penting dalam kehidupan umat. Dalam al-Qur’an, sekurang-kurangnya ada tiga ayat yang menyebutkan secara jelas mengenai musyawarah dan setiap satu dari tiga ayat tersebut mempunyai petunjuk masing-masing. Ketiga ayat yang menerangkan tentang musyawarah tersebut antara lain terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 233, yaitu sebagai berikut:
Artinya: “Apabila keduanya (suami istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawarahan antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Ayat tersebut membicarakan  bagaimana  seharusnya  hubungan  suami istri  saat  mengambil  keputusan  yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak, seperti  menyapih  anak.  Pada  ayat  di atas,  al-Qur’an  memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) dimusyawarahkan antara suami-istri. Hal ini berdasarkan kebolehan dari Allah Swt bagi orang tua untuk bermusyawarah dalam hal-hal yang membawa kebaikan bagi anak, sekalipun berdasarkan perkiraan mereka saja dan bukan berdasarkan hakikat atau keyakinan. Karena At-Tasyaawur (musyawarah) adalah mengeluarkan (mencari) suatu pendapat yang terbaik.
Lafadz ini sama dengan al-musyaawarah dan al-masyuurah, seperti al-ma’uunah. Contoh dalam bentuk: Syartu al‘asl dan istakhrajtuhu artinya mengeluarkan madu. Syurtu ad-daabbah dan syawwartuhaa: ajraituhaa, artinya aku memacu binatang tunggangan itu. Digunakan kata ini karena maksudnya adalah membuat lari binatang tunggangan itu. Asy-syiwaar artinya perabot rumah. Digunakan kata ini karena perabot rumah itu nampak bagi siapa saja yang melihat. Asy-Syaarah artinya penampilan seseorang. Al-isyaarah artinya mengeluarkan apa yang ada dalam diri dan menampakkannya. Di dalam ayat ini, bertemu dua kalimat yang mengandung suasana rela dan damai. Pertama kalimat Taradhin, artinya berkerelaan kedua pihak dan kedua kalimat tasyawurin, artinya bermusyawarah kedua pihak, bertukar pikiran. Dalam kedua kalimat ini terdapatlah bahwa di dalam dasar hati rela sama rela, harga menghargai, di antara suami istri, demi kemaslahatan anak mereka, memulai musyawarah bagaimana yang terbaik untuk anak mereka. Ayat ini mempertegas lagi pelaksanaan bahwa istri mempunyai hak yang sama dengan suami dan perlakuan yang sama. Di dalam ayat ini ditunjukkan cara pelaksanaan hak dan kewajiban, yaitu dalam suasana cinta dan musyawarah. Kalau hati sama-sama terbuka, tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan dan tidak ada keruh yang tidak dapat dijernihkan. Hasil keputusan mereka berdua, hasil dari ridha-meridhai dan musyawarah, diakui dan diridhai pula oleh Allah Swt.[1]
Hak-hak yang harus diperoleh oleh setiap individu tersebut, bukan saja harus diperoleh dan diupayakan oleh pemimpin negara, tetapi setiap individu harus pula memperoleh hak-haknya di lingkungan keluarganya, sehingga pemimpin rumah tangga, dalam hal ini suami-istri harus mengupayakan penciptaan sistem demokrasi di lingkungan rumah tangganya melalui asas musyawarah.
Kata (permusyawaratan), mengandung ajaran bahwa orang tua berkewajiban mengadakan musyawarah dalam rangka mengupayakan kelangsungan hidup anak-anak mereka secara baik. Dapatlah dipahami bahwa dalam ajaran musyawarah mengandung nilai pendidikan, yakni Tuhan bermaksud menanamkan suatu pola interaksi bagi hubungan suami isteri yang sehat, yang tercermin dari sikap keduanya dalam mengambil keputusan. Karena itu, kebiasaan bermusyawarah yang dimulai dari keluarga sebagai unit sosial terkecil di masyarakat akan menjadi landasan bagi terbinanya kebiasaan-kebiasaan bermusyawarah dalam unit sosial yang besar dan rumit yaitu negara.
               Selanjutnya, dalam surat Ali-Imran ayat 159, yaitu:
   
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarah-lah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya“. (Q.S. Ali-Imran: 159)
Ayat ini dan segi redaksional ditujukan kepada  Nabi  Muhammad Saw  agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi, seperti yang akan dijelaskan lebih jauh, ayat ini juga merupakan petunjuk kepada setiap  muslim, khususnya  kepada  setiap  pemimpin,   agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
Ayat ini memiliki hubungan yang erat terhadap peristiwa Perang Uhud. Pada peristiwa tersebut kaum muslim mengalami kekalahan telak akibat hilangnya disiplin sebagian tentara Islam terhadap perintah yang telah di tetapkan Nabi Muhammad Saw. Bahkan dalam satu riwayat pada waktu itu Nabi Saw terluka sangat parah dan giginya rontok. Ayat ini serta beberapa ayat berikutnya merupakan penjelasan tentang sikap dan sifat Nabi Saw sebagai leader (pemimpin) yang mesti diambil ketika menghadapi fakta yang tidak sesuai dengan instruksinya sekaligus sebagai sugesti dari Allah Swt agar selalu optimis dalam perjuangan. Jadi ayat ini merupakan ayat leadership (kepemimpinan) dan musyawarah di tengah-tengah keadaan yang sangat darurat dalam peperangan, Nabi Saw tetap mengedepankan hasil keputusan musyawarah bersama para sahabat tentang bagaimana mensiasati taktik perang di gunung Uhud. Dari hasil musyawarah tersebut Nabi Muhammad Saw mengikuti pendapat mayoritas sahabat, meskipun hasilnya sangat mengecewakan karena berakhir dengan kekalahan kaum muslim. Allah Swt berpesan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa tradisi musyawarah tetap harus dipertahankan dan dilanjutkan meskipun terbukti terkadang hasil keputusan tersebut keliru.[2]
Menurut Farid Abdul Khaliq, perintah pada ayat di atas sekalipun ditujukan kepada Rasulullah Saw, tetapi perintah itu juga ditujukan kepada pemimpin tertinggi negara Islam di setiap masa dan tempat, yakni wajib melakukan musyawarah dengan rakyat dalam segala perkara umum dan menetapkan hak partisipasi politik bagi rakyat di negara muslim sebagai salah satu hak dari hak-hak Allah Swt yang tidak boleh dihilangkan. Pelanggaran penguasa atas hak itu termasuk di antara kemungkaran terbesar, karena begitu besarnya kerusakan dan kemudharatan yang diakibatkan oleh sikap pelanggaran itu terhadap masyarakat dan negara.[3]
Lebih lanjut, mengenai penjelasan surat Ali-Imran ayat 159 khususnya dalam kaitannya dengan musyawarah, dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
  1. Para ulama berkata: “Allah Swt memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya Allah memerintahkan kepada beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau karena telah meninggalkan perintah beliau. Setelah mereka mendapatkan maaf, Allah memerintahkan beliau untuk memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah. Setelah mereka mendapatkan hal ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara.
  2. Ibnu ‘Athiyah berkata, “Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan penetapan hukum-hukum. Barang siapa yang tidak bermusyawarah dengan ulama, maka wajib diberhentikan (jika dia seorang pemimpin). Tidak ada pertentangan tentang hal ini. Allah memuji orang-orang yang beriman karena mereka suka bermusyawarah dengan firman-Nya yang artinya: “Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka”.
  3. Firman Allah, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua perkara menentukan perkiraan bersama didasari dengan wahyu. Sebab, Allah mengizinkan hal ini kepada Rasul-Nya.
  4. Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya.
  5. Kriteria orang yang diajak bermusyawarah dalam masalah kehidupan di masyarakat adalah memiliki akal, pengalaman dan santun kepada orang yang mengajak bermusyawarah.
  6. Dalam musyawarah pasti ada perbedaan pendapat. Maka, orang yang bermusyawarah harus memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan kitabullah dan Sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah telah menunjukkan kepada sesuatu yang dikehendaki maka hendaklah orang yang bermusyawarah menguatkan tekad untuk melaksanakannya sambil bertawakal kepada-Nya, sebab inilah akhir ijtihad yang dikehendaki. Dengan ini pula Allah Swt memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat ini.
  7. Allah Swt berfirman, faidza ‘azamta fatawakkal ‘alallah, berarti bahwa kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah. Qatadah berkata, “Allah Swt memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan tekad atas suatu perkara agar      melaksanakannya sambil bertawakal kepada Allah Swt.[4]
Musyawarah juga disebutkan dalam sifat-sifat dasar orang-orang beriman dimana keIslaman dan keimanan mereka tidak sempurna kecuali dengannya, Allah Swt menyatakan bahwa orang mukmin akan mendapat ganjaran yang lebih  baik  dan  kekal  di sisi-Nya. Adapun yang dimaksud dengan orang-orang mukmin itu adalah sebagaimana terdapat dalam firman Allah Swt sebagai berikut:
  
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syuura: 38)
Menurut Quraish Shihab, ayat di atas menyatakan bahwa kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi orang-orang yang benar-benar memenuhi seruan Tuhan mereka melaksanakan shalat secara berkesinambungan dan sempurna, yakni sesuai rukun serta syaratnya juga dengan khusyu’ kepada Allah, dan semua urusan yang berkaitan dengan masyarakat, dimusyawarah antara mereka yakni mereka memutuskannya melalui musyawarah, tidak ada yang bersifat otoriter dengan memaksakan pendapatnya. Disamping itu, mereka juga dari sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka baik harta maupun selainnya, mereka senantiasa nafkahkan secara tulus serta berkesinambungan baik nafkah wajib maupun sunnah.[5]

Lebih lanjut, Hasby Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa ayat di atas menggambarkan bahwa dalam setiap persoalan yang menyangkut masyarakat atau kepentingan umum, Nabi Muhammad Saw selalu mengambil keputusan setelah melakukan musyawarah dengan para sahabatnya.[6]
Selanjutnya, Farid Abdul Khaliq berpendapat bahwa ayat di atas mengandung penjelasan tentang sifat rakyat yang baik dan menyatakan bahwa musyawarah termasuk di antara ciri khas dan keistimewaannya. Jika surat Ali-Imran ayat 159 menunjukkan bahwa musyawarah adalah sistem hukum dalam Islam, maka surat Asy-Syuara ayat 38 ini menunjukkan bahwa musyawarah adalah metode hidup. Jadi, kata musyawarah dalam realitanya lebih luas maknanya dari pada kata demokrasi, sebab demokrasi seringkali hanya dalam bentuk parlementer, sedangkan musyawarah adalah metode hidup dalam setiap lembaga pemerintahan, mulai dari penguasa sampai rakyat biasa.[7]
Ayat-ayat di atas adalah ayat menjelaskan tentang musyawarah yang saling memiliki korelasi, bahwasanya al-Qur’an menegaskan perkara apapun yang menyangkut dalam kebaikan, baik mengenai persoalan rumah tangga, persoalan kepemimpinan dan politik, harus diselesaikan dengan jalan musyawarah.
Kewajiban melaksanakan musyawarah bukan hanya dibebankan untuk Nabi saja melainkan juga kepada umatnya secara menyeluruh. Dalam masyarakat modern yang ditandai dengan munculnya lembaga politik dan pemerintahan, lembaga ini menjadi subjek musyawarah, para pemimpinnya di bebani kewajiban melakasanakan musyawarah dengan melibatkan para anggotanya atau rakyat untuk membicarakan masalah yang mereka hadapi.[8]
Mengenai objek musyawarah ini at-Tabari, Fahruddin ar-Razi, Muhammad Abduh dan al-Maraghi berpendapat bahwa yang dimusyawarahkan ialah mengenai segala macam permasalahan baik itu berkenaan dengan masalah keagamaan dan permasalahan dunia. Sebab untuk saat ini banyak timbul masalah sosial, politik, ekonomi, pemerintahan, keluarga dan sebagainya yang pemecahannya membutuhkan jawaban dari agama. Dengan ayat tersebut, Islam menjadikan syura sebagai prinsip utama dalam menyelesaikan masalah sosial, politik dan pemerintahan. Syura merupakan suatu cara untuk memberi kesempatan bagi anggota masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam membuat suatu keputusan yang bersifat mengikat, baik dalam bentuk hukum dan kebijakan politik.[9]
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat dengan jelas bahwa musyawarah memiliki kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Di samping merupakan bentuk perintah dari Allah Swt dan rasul-Nya, musyawarah pada hakikatnya juga dimaksudkan untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang demokratis. Dengan musyawarah, setiap orang yang ikut bermusyawarah akan berusaha mengemukakan pendapat yang baik, sehingga diperoleh pendapat yang dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Di sisi lain, pelaksanaan musyawarah juga merupakan bentuk penghargaan kepada tokoh-tokoh dan para pemimpin masyarakat, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam berbagai urusan dan kepentingan bersama. Bahkan pelaksanaan musyawarah juga merupakan bentuk penghargaan kepada hak kebebasan dalam mengemukakan pendapat, hak persamaan dan hak memperoleh keadilan bagi setiap individu.
Demikian sekilas mengenai wawasan musyawarah di dalam Al-Qur'an. Agaknya dapat disimpulkan, bahwa musyawarah diperintahkan oleh Al-Quran, serta dinilai sebagai salah satu prinsip hukum dan politik untuk umat manusia. Namun demikian, Al-Quran tidak merinci atau meletakkan pola dan bentuk musyawarah tertentu. Paling tidak, yang dapat disimpulkan dari teks-teks Al-Quran hanyalah bahwa Islam menuntut adanya keterlibatan masyarakat di dalam urusan yang
berkaitan dengan mereka. Perincian keterlibatan, pola, dan caranya diserahkan kepada masing-masing masyarakat, karena satu masyarakat dapat berbeda dengan masyarakat lain. Bahkan masyarakat tertentu dapat mempunyai pandangan berbeda dari suatu masa ke masa yang lain. Sikap Al-Quran seperti itu memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk menyesuaikan sistem syura-nya dengan
kepribadian, kebudayaan dan kondisi sosialnya.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan:
“Dahulu Abu Bakar (As Shiddiq) bila datang kepadanya suatu permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia lakukan ialah membaca Al-Qur’an (mencari dalam kitabullah), bila ia mendapatkan padanya ayat yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia akan memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak mendapatkannya di Al-Qur’an, akan tetapi ia mengetahui sunnah (hadits) Rasulullah Saw, maka ia akan memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian, apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah Saw pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan suatu keputusan?’ Kadang kala ada beberapa sahabat yang semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari Rasulullah Saw, sehingga Abu bakar berkata: ‘Segala puji bagi Allah Swt yang telah menjadikan di antara kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi Muhammad Saw.’ Akan tetapi bila ia tidak mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah Saw maka ia mengumpulkan para pemuka dan orang-orang yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat (keputusan), maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.” (Riwayat Ad Darimi No.161 dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih).[10]
            Terkait juga dengan musyawarah sebagaimana hadis di atas, dalam hadis yang lain disebutkan bahwa:
Telah menceritakan kepada kami Hushain bin Ali dari Zai`dah dari Simak dari Hanasy dari Ali Ra ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Saw: “Apabila dua orang minta keputusan kepadamu, maka janganlah engkau menghukum bagi yang pertama sebelum engkau mendengar perkataan orang yang kedua. Jika demikian engkau akan mengetahui bagaimana engkau mesti menghukum”. ‘Ali berkata : Maka tetap saya jadi hakim (yang layak) sesudah itu”. (H.R. Ahmad No.1148, Abu Dawud dan Tirmidzi dan Ia hasankan-dia, dan dikuatkan-dia oleh Ibnul-Madini dan dishahkan-dia oleh Ibnu Hibban).[11]
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa di dalam hadits di atas, terkandung isyarat yang menunjukkan bahwa mengambil suatu keputusan melalui musyawarah. Berdasarkan dua hadis di atas jga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Saw mengajari bahwasannya mengambil suatu keputusan tidak boleh keluar dari Al-Qur’an dan Sunah, juga dari para pemuka masyarakat (ahli dalam bidangnya), dan juga tidak boleh sepihak, sebagaimana yang dilakukan oleh para khalifah.

[1]Hamka, Tafsir Al-Azhar…, hal. 562-563.
[2]Waryono Abdul Ghofur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks, (Yogyakarta: Elsaqpress, 2005), hal. 154-156.
[3]Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik …, hal. 51.
[4]Syaikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi Jilid 3, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007),     hal. 622-628.
[5]Quraish shihab, Al-Misbah jilid 12, hal. 511-513
[6]Hasby Ash-Shiddieqy, al-Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 604.
[7]Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik …, hal. 52.
[8]Nina M. Armando dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hal. 329-330.
[9]Nina M. Armando dkk, Ensiklopedi Islam…, hal. 330.
[10]Ibnu Katsir, Sirah dan Tarikh Islam, Al Bidayah wa An Nihayah, Jilid 6..., hal. 308.
[11]A. Hasan, Terjemah Bulughul Maram Bab Memutus Perkara No.1415, (Bandung: Diponegoro, 2000), hal. 639.

No comments:

Post a Comment