Friday, October 20, 2017

Perkembangan Agama dan Moral Anak

A. Latar Belakang
Perkembangan moral anak terkait dengan perkembangan cara berpikir (kognitif) anak. Artinya, semakin tinggi tingkat perkembangan berpikir anak, semakin besar pula potensi anak mencapai tingkat perkembangan moral yang lebih baik. Meskipun demikian, belum tentu anak yang mempunyai kecerdasan tinggi akan dengan sendirinya memiliki tingkat perkembangan moral yang baik pula. Masih harus pula ditambahkan bahwa tidak berarti anak yang mempunyai konsep moral tinggi akan mempunyai perilaku moral yang baik pula. Jadi, anak yang tahu bahwa berlaku licik itu tidak baik tidak dengan sendirinya akan lurus terus tindakannya.
 Namun paling tidak, anak yang kepekaan moralnya tinggi akan mempunyai potensi lebih besar untuk bertindak dengan prinsip etis yang lebih jelas, konsisten, dan bermutu. Selain itu, yang penting diingat adalah bahwa dasar dari moral kita adalah pengenalan yang benar akan hakekat Allah. Sekalipun kita tidak mungkin dapat mengenal Allah sampai sedalam-dalamnya, paling sedikit kita perlu membaca penyataan Diri Tuhan di dalam Alkitab sedemikian rupa sehingga kita mengenal lebih banyak hakekat kesucian, keadilan, dan kemahakuasaan Allah.
Dari sudut pandangan individu yang beragama, agama adalah sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadap kehausannya akan kepastian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
B. Rumusan Masalah
1)  Bagaimanakah tahapan dan tingkat perkembangan moralitas anak?
2)  Bagaimana perkembangan pemahaman tentang agama anak?
3)  Apa urgensi dan implikasi perkembangan moral dan agama bagi anak dalam lingkungan keluarga ?
      B.     Tujuan
1)   Untuk memahami tahapan dan tingkat perkembangan moralitas anak
2)   Untuk memahami perkembangan pemahaman tentang agama anak
3)   Untuk mengetahui urgensi dan implikasi perkembangan moral dan agama bagi anak dalam lingkungan keluarga

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tahapan dan Tingkat Perkembangan Moralitas Anak
Pertama moral berkembang melalui adopsi terhadap norma-norma sosial. Dalam pengertian ini anak mengambil norma yang dipakai oleh orang-orang di lingkungannya menjadi norma dirinya sendiri dengan cara mencontoh. Oleh karena itu, sebagai seorang pendidik hendaknya menjadi contoh pada muridnya untuk menanamkan norma yang sesuai. Perkembangan moral dapat juga melalui pemahaman sosial, artinya pengalaman sosial dapat meningkatkan pemahaman terhadap norma. Pengalaman sosial ini didapat melalui interaksi dengan institusi sosial, sistem hukum yang berlaku dan hubungan interpersonal. Dalam pembahasan ini, ada dua tokoh yang memperkenalkan teori perkembangan moral tersebut.
Menurut Piaget dalam teori perkembangan moral membagi menjadi dua tahap, yaitu:
1.      Heteronomous Morality (5 sampai dengan 10 tahun)
Pada tahap perkembangan moral ini, anak memandang aturan-aturan sebagai otoritas yang dimiliki oleh Tuhan, orang tua dan guru yang tidak dapat dirubah, dan harus dipatuhi dengan sebaik-baiknya.
2.      Autonomous Morality atau Morality of Cooperation (usia 10 tahun ke atas)
Moral tumbuh melalui kesadaran, bahwa orang dapat memilih pandangan yang berbeda terhadap tindakan moral. Pengalaman ini akan tumbuh menjadi dasar penilaian anak terhadap suatu tingkah laku. Dalam perkembangan selanjutnya, anak berusaha mengatasi konflik dengan cara-cara yang paling menguntungkan, dan mulai menggunakan standar keadilan terhadap orang lain.[1]
Selain menurut Piaget tokoh lainnya yang membahas perkembangan moral adalah Lawrence Kohlberg. Beliau seorang pakar dan praktisi dalam pendidikan moral mendasarkan pandangannya dari penelitian yang dilakukan bertahap terhadap sekolompok anak selama dua belas tahun. Dari penelitian ini dapat dikatakan secara singkat Bahwa perkembangan moral manusia terjadi dalam tahapan yang bergerak maju dan tarafnya semakin meningkat atau tinggi. Kolhberg membagi perkembangan moral seseorang dalam tiga tingkat, yaitu: tingkat pra konvensional, tingkat konvensinal, tingkat pasca konvensional.[2]
1)      Tingkat Pra Konvensional ( usia 4-10 tahun)
Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata ditafsirkan dari segi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan). Tingkatan  ini dapat dibagi menjadi dua tahap:
Tahap 1 : memperhatikan ketaatan dan hukum
Akibat fisik suatu perbuatan menentukan baik buruknya, tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghindarkan hukuman dan tunduk kepada kekuasaan tanpa mempersoalkannya. Jika ia berbuat “baik’, hal itu karena anak menilai tindakannya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas. (anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut, dan perilaku baik dihubungkan denga penghindaran dari hukuman).
Tahap 2 : memperhatikan pemuasan kebutuhan
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan memperalat orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di pasar (jual-beli). Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (timbal-balik) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan tercermin dalam bentuk: “jika engkau menggaruk punggungku, nanti juga aku akan menggaruk punggungmu”. Jadi perbuatan baik tidaklah didasarkan karena loyalitas, terima kasih atau pun keadilan. (perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain).
2.      Tingkat Konvensional (umur10-13 tahun)
Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Anak memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, kecenderungan anak pada tahap ini adalah menyesuaikan aturan-aturan masyarakat dan mengidentifikasikan diri dengan orang tua atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Tingkatan ini memiliki dua tahap :
Tahap 3 : memperhatikan citra “ anak baik”
Pada tahap ini orang berpandangan bahwa tingkah laku yang baik adalah yang menyenangkan atau menolong orang lain serta diakui oleh orang lain. Orang cenderung bertindak menurut harapan-harapan lingkungan sosialnya, hingga mendapat pengakuan sebagai “ anak baik”. Tujuan utamanya, demi hubungan sosial yang memuaskan, maka ia pun harus berperan sesuai dengan harapan keluarga, masyarakat atu bangsanya. ( anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukum).
Tahap 4 : memperhatikan hukum dan peraturan
Pada tahap ini tindakan seseorang didorong oleh keinginannya untuk menjaga tata tertib. Orientasi seseorang adalah otoritas, peraturan-peraturan yang ketat dan ketertiban sosial. Tingkah laku yang baik adalah memenuhi kewajiban, mematuhi hukum, menghormati otoritas, dan menjaga tata tertib sosial merupakan tindakan moral yang pada dirinya. ( anak remaja memiliki sikap  pasti terhadap wewenang dan aturan dan hokum harus ditaati oleh semua orang).
3. Tingkat Pasca-Konvensional (usia 13 keatas) 
            Pada tingkat ini, orang bertindak sebagai subjek hukum dengan mengatasi hukun yang ada. Karena hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum, maka jika hukun tidak sesuai dengan martabat manusia hukum dapat dirumuskan kembali. Tingkat ini terdiri dari 2 tahap, yaitu:
Tahap 5 : memperhatikan hak perseorangan
            Remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan dan patokan sosial, perubahan hukum dan aturan dapat diterima jika diperlukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik, dan pelanggaran hukun dan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu.
Tahap 6 :memperhatikan prinsip-prinsip etika
            Keputusan mengenai perilaku sosial didasarkan atas prinsip-prisip moral pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain, keyakinan terhadap pribadi dan nilai-nilai tetap melekat, meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk mengekalkan aturan sosial.
Contoh: seorang suami yang tak beruang boleh jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa melestarikan kehidupan manusia itu merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi dari mencuri itu sendiri.[3]
B.     Perkembangan Pemahaman tentang Agama Anak
Seperti dalam halnya dalam pembahasan moral tadi, agama juga merupakan fenomena kognitif. Oleh sebab itu, beberapa ahli psikologi perkembangan (seperti Seifert dan Hoffnung) menempatkan pembahasan tentang agama dalam kelompok bidang perkembangan kognitif. Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adams dan Gullota (1983), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa membarikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir simbolik Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada di awan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan.
 Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya. Oleh sebab itu, meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan pada perkembangan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran, keyakinan agama mereka sendiri.
Dalam teri tentang perkembangan yang terkenal adalah teori theory of faith dari James Fowler. Dalam toeri ini, Fowler mengusulkan enem tahap perkembangan agama yang dihubungkan dengan teori-teori perkembangan Erikson, Piaget, Kohlberg.

TABEL 7.3
Tahap Perkembangan Agama Menurut Teori Fowler[4]
Tahap
Usia
Karakteristik
Tahap 1


Tahap 2



Tahap 3


Tahap 4




Tahap 5



Tahap 6
Awal masa anak-anak


Akhir masa anak-anak



Awal masa remaja


Akhir masa remaja
 dan awal masa dewasa



Pertengahan masa dewasa



Akhir masa
1.    Gambaran intuitif dari kebaikan dan kejahatan
2.    Fantasi dan kenyataan adalah sama
1.    Pemikiran lebih logis dan konkrit
2.    Kisah-kisah agama diinterpretasikan secara harfiah, Tuhan digambarkan seperti figure orang tua
1.    Pemikiran lebih abstrak
2.    Menyesuiakan diri dengan keyakinan agama orang lain
1.    Untuk pertama kali individu mampu memikul tanggung jawab penuh terhadap keyakinan agama mereka
2.    Menjelajahi kedalaman pengalaman  nilai-nilai dan keyakinan agama seseorang
1.    Lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan paradoks dan bertentangan
2.    Berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang
1.    System kepercayaan transendental untuk dewasa mencapai perasaan ketuhanan
2.    Peristiwa-peristiwa konflik tidak selamanya dipandang sebagai paradok

C.    Urgensi Penerapan Pendidikan Agama dan Moral Terhadap Anak dalam Keluarga
Pendidikan agama merupakan pendidikan dasar yang harus diberikan kepada anak sejak dini ketika masih muda. Hal tersebut mengingat bahwa pribadi anak pada usia kanak-kanak masih muda untuk dibentuk dan anak didik masih banyak berada di bawah pengaruh lingkungan rumah tangga. Mengingat arti strategis lembaga keluarga tersebut, maka pendidikan agama yang merupakan pendidikan dasar itu harus dimulai dari rumah tangga oleh orang tua.
Pendidikan agama dan spiritual termasuk bidang-bidang pendidikan yang harus mendapat perhatian penuh oleh keluarga terhadap anak-anaknya. Pendidikan agama dan spiritual ini berarti membangkitkan kekuatan dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada pada kanak-kanak. Demikian pula, memberikan kepada anak bekal pengetahuan agama dan nilai-nilai budaya Islam yang sesuai dengan umurnya sehingga dapat menolongnya kepada pengembangan sikap agama yang betul.
Inti pendidikan agama sesungguhnya adalah penanaman iman kedalam jiwa anak didik, dan untuk pelaksanaan hal itu secara maksimal hanya dapat dilaksanakan dalam rumah tangga. Harun Nasution menyebutkan bahwa pendidikan agama, dalam arti pendidikan dasar dan konsep Islam adalah pendidikan moral. Pendidikan budi pekerti luhur yang berdasarkan agama inilah yang harus dimulai oleh ibu-bapak di lingkungan rumah tangga. Disinilah harus dimulai pembinaan kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam diri anak didik. Lingkungan rumah tanggalah yang dapat membina pendidikan ini, karena anak yang berusia muda dan kecil itu lebih banyak berada di lingkungan rumah tangga daripada di luar.
Tugas lingkungan rumah dalam hal pendidikan moral itu penting sekali, bukan hanya karena usia kecil dan muda anak didik serta besarnya pengaruh rumah tangga, tetapi karena pendidikan moral dalam sistem pendidikan kita pada umumnya belum mendapatkan tempat yang sewajarnya. Pendidikan formal di Indonesia masih lebih banyak mengambil bentuk pengisian otak anak didik dalam pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan untuk masa depannya, sehingga penanaman nilai-nilai moral belum menjadi skala prioritas. Oleh sebab itu, tugas ini lebih banyak dibebankan pada keluarga atau rumah tangga. Jika rumah tangga tidak menjalankan tugas tersebut sebagaimana mestinya, maka moral dalam masyarakat kita akan menghadapi krisis.
Dari segi kegunaan, pendidikan agama dalam rumah tangga berfungsi sebagai berikut: pertama, penanaman nilai dalam arti pandangan hidup yang kelak mewarnai perkembangan jasmani dan akalnya, kedua, penanaman sikap yang kelak menjadi basis dalam menghargai guru dan pengetahuan di sekolah.[5]
Barangkali ada orang yang sering berbicara tentang pendidikan sementara pandangannya tertuju secara khusus kepada sekolah. Pendidikan lebih luas dari sekedar sekolah. Memang sekolah merupakan suatu lembaga yang mengkhususkan diri untuk kegiatan pendidikan, namun tidak dipungkiri bahwa sekolah menerima anak setelah anak ini melalui berbagai pengalaman dan memperoleh banyak pola tingkah laku dan keterampilan dalam rumah tangga.
Dalam kehidupan masyarakat primitif, keluarga menjalankan proses pengembangan sosial anak dengan memperkenalkan berbagai keterampilan, kebiasaan dan nilai-nilai moral yang berlaku dalam kehidupan komunitas. Karena kehidupan masyarakat primitif masih sederhana, baik dalam anasir-anasir maupun isinya, maka pola-pola pendidikannya pun masih sangat sederhana. Sejalan dengan perkembangan sejarah dan kompleknya kehidupan, terjadi perubahan besar terhadap masyarakat. Implikasinya, anak-anak mengalami kesulitan untuk belajar dengan sekedar meniru. Dari situ muncul kebutuhan akan suatu lembaga khusus yang membantu keluarga dalam mendidik anak-anak dan memelihara kelangsungan hidup komunitas.
Demikianlah, keluarga pernah dan masih tetap merupakan tempat pendidikan pertama, tempat anak berinteraksi dan menerima kehidupan emosional. Individu dewasa ini menghadapi arus informasi dan budaya modern yang mesti disikapi. Kesalahan utama yang dilakukan budaya modern yang berpijak pada budaya barat adalah lahirnya pandangan bahwa segala yang bersumber dari barat diserap dan dianggap sebagai ciri kemodernan.
Persoalan kenakalan remaja yang sering menjadi buah bibir dan bahan diskusi berbagai kalangan merupakan salah satu tema yang merupakan implikasi dari salah kaprah terhadap makna modernitas. Berkumpulnya remaja-remaja yang menyebabkan terganggunya orang-orang yang ada di sekelilingnya, tindakan-tindakan seperti minum minuman keras, menelan obat-obat terlarang, pemuasan nafsu seksual.
Bekal pendidikan agama yang diperoleh anak dari lingkungan keluarga akan memberinya kemampuan untuk mengambil haluan di tengah-tengah kemajuan yang demikian pesat. Keluarga muslim merupakan keluarga-keluarga yang mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam mendidik generasi-generasinya untuk mampu terhindar dari berbagai bentuk tindakan yang menyimpang. Oleh sebab itu, perbaikan pola pendidikan anak dalam keluarga merupakan sebuah keharusan dan membutuhkan perhatian yang serius.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tujuan utama dari pendidikan dalam keluarga adalah penanaman iman dan moral terhadap diri anak. Untuk pencapaian tujuan tersebut maka keluarga itu sendiri dituntut untuk memiliki pola pembinaan terencana terhadap anak. Di antara pola pembinaan terstruktur tersebut: (1) memberi suri tauladan yang baik bagi anak-anak dalam berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama dan akhlak yang mulia; (2) menyediakan bagi anak-anak peluang-peluang dan suasana praktis di mana mereka mempraktekkan akhlak yang mulia yang diterima dari orang tuanya; (3) memberi tanggung jawab yang sesuai kepada anak-anak supaya mereka merasa bebas memilih dalam tindak-tanduknya (4) menjaga mereka dari pergaulan teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat yang dapat menimbulkan kerusakan moral.
Pembinaan anak secara terencana seperti yang disebutkan di atas, akan memudahkan orang tua untuk mancapai keberhasilan pendidikan yang diharapkan.
Dalam kaitannya dengan pendidikan anak dalam keluarga, dapat memberikan implikasi-implikasi sebagai berikut:
1.      Anak memiliki pengetahuan dasar-dasar keagamaan.
Kenyataan membuktikan bahwa anak-anak yang semasa kecilnya terbiasa dengan kehidupan keagamaan dalam keluarga, akan memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan kepribadian anak pada fase-fase selanjutnya. Oleh karena itu, sejak dini anak seharusnya dibiasakan dalam praktek-praktek ibadah dalam rumah tangga seperti ikut shalat jamaah bersama dengan orang tua atau ikut serta ke mesjid untuk menjalankan ibadah, mendengarkan khutbah atau ceramah-ceramah keagamaan dan kegiatan religius lainnya.
Apabila latihan-latihan keagamaan diterapkan pada waktu anak masih kecil dalam keluarga dengan cara yang kaku atau tidak benar, maka ketika menginjak usia dewasa nanti akan cenderung kurang peduli terhadap agama atau kurang merasakan pentingnya agama bagi dirinya. Sebaliknya, semakin banyak si anak mendapatkan latihan-latihan keagamaan sewaktu kecil, maka pada saat ia dewasa akan semakin marasakan kebutuhannya kepada agama. Dengan demikian, agama tidak hanya dipelajari dan diketahui saja, tetapi juga dihayati dan diamalkan dengan konsisten.
2.      Anak memiliki pengetahuan dasar akhlak.
Keluarga merupakan penanaman utama dasar-dasar akhlak bagi anak, yang biasanya bercermin dalam sikap dan prilaku orang tua sebagai teladan yang dapat dicontoh anak. Dalam hubungan ini, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa rasa cinta, rasa bersatu dan lain-lain perasaan dan keadaan jiwa yang pada umumnya sangat berfaedah untuk berlangsungnya pendidikan, teristimewa pendidikan budi pekerti, terdapat dalam kehidupan keluarga dengan sifat yang kuat dan murni, sehingga pusat-pusat pendidikan lainnya tidak dapat menyamainya.
Pendidikan agama sangat terkait dengan pendidikan akhlak (moral). Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Hal tersebut karena agama selalu menjadi parameter, sehingga yang baik adalah yang dianggap baik oleh agama dan yang buruk adalah yang dianggap buruk oleh agama. Oleh sebab itu, tujuan tertinggi pendidikan islam adalah mendidik jiwa dan akhlak.
3.      Anak memiliki pengetahuan dasar sosial.
Anak adalah generasi penerus yang di masa depannya akan menjadi anggota masyarakat secara penuh dan mandiri. Oleh karena itu seorang anak sejak kecil harus sudah mulai belajar bermasyarakat, agar nantinya dia dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dapat menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Orang tua harus menyadari bahwa dirinya merupakan lapisan mikro dari masyarakat, sehingga sejak awal orang tua sudah menyiapkan anaknya untuk mengadakan hubungan sosial yang di dalamnya akan terjadi proses saling mempengaruhi satu sama lain.
Lingkungan sosial yang pertama bagi anak ialah rumah. Di sanalah terdapat hubungan yang pertama antara anak dengan orang-orang yang mengurusnya. Hubungan diwujudkan dengan air muka, gerak-gerik dan suara. Karena hubungan ini, anak belajar memahami gerak-gerik dan air muka orang lain. Hal ini penting sekali artinya untuk perkembangan selanjutnya. Air muka dan gerak-gerik itu memegang peranan penting dalam hubungan sosial. Kemudian alat hubungan kedua yang penting yang mula-mula dipelajari di rumah adalah bahasa. Dengan bahasa, anak itu mendapat hubungan yang lebih baik dengan orang-orang yang serumah dengannya. Sebaliknya anak dapat pula berkata yang tidak senonoh atau mencaci maki dengan menggunakan bahasa pula.
Sebagai akibat dari pengalaman sosialnya, anak yang sedang berkembang menerima sejumlah besar ilmu tentang dunia dan bagaimana dunia beroperasi. Ia juga akan mengembangkan nilai-nilai tentang bagaimana ia harus berinteraksi dengan dunia itu. Pendidikan informal adalah semua pengajaran dan pelajaran yang dilakukan atau dialami manusia sepanjang hidupnya.
Dengan demikian, terlihat betapa besar tanggung jawab orang tua terhadap anak. Bagi seorang anak, keluarga merupakan persekutuan hidup pada lingkungan keluarga tempat di mana ia menjadi pribadi atau diri sendiri. Selain itu, keluarga juga merupakan wadah bagi anak dalam konteks proses belajarnya untuk mengembangkan dan membentuk diri dan fungsi sosialnya. Di samping itu, keluarga merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti kepada Tuhan sebagai perwujudan hidup yang tertinggi.

ANALISIS
Berdasarkan pembahasan di atas dapat dianalisa bahwa:
1.      Penerapan pendidikan agama terhadap anak dalam keluarga secara dini memiliki tingkat urgenitas yang sangat besar. Hal tersebut mengingat bahwa peranan yang dimainkan oleh lembaga pendidikan formal tidak mampu menggantikan posisi lembaga keluarga dalam penanaman nilai-nilai moral keagamaan. Fenomena tersebut menempatkan pendidikan dalam lembaga keluarga menempati posisi strategis. Dalam hal ini, lembaga keluarga di samping menanamkan modal dasar bagi anak, juga melengkapi kekurangan-kekurangan sistem pendidikan formal,
2.      Penerapan pendidikan agama terhadap anak sangat berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan tingkah laku anak. Pemberian modal-modal keagamaan dalam keluarga, secara garis besarnya dapat melahirkan implikasi-implikasi sebagai berikut: (a) anak memiliki pengetahuan dasar-dasar keagamaan, (b) anak memiliki pengetahuan dasar akhlak, (c) anak memiliki pengetahuan dasar sosial. Pengetahuan-pengetahuan dasar tersebut memiliki arti penting untuk pencapaian tujuan asasi dari pendidikan Islam, yaitu penanaman iman dan akhlaqul karimah.
Mengingat besarnya peranan yang dimainkan keluarga dalam penanaman nilai-nilai moral terhadap anak, maka berikut ini penulis menawarkan beberapa saran sebagai berikut: (1) perlu adanya kerjasama yang baik antara pihak lembaga pendidikan formal dengan lembaga keluarga dalam membina para peserta didik. Terjadinya miskomunikasi antara pihak pengelola lembaga pendidikan formal akan melahirkan model pendidikan yang tidak terpadu. Fenomena seperti itu dengan sendirinya akan berkonsekuensi terhadap lahirnya sikap saling menyalahkan antara pihak lembaga pendidikan formal dengan pihak orang tua peserta didik. Sebaliknya, terjadi komunikasi yang produktif antara kedua lembaga tersebut akan melahirkan rumusan-rumusan dan pola-pola pembinaan terpadu, sehingga kekurangan-kekurangan sistem kurikulum pendidikan formal akan diisi oleh orang tua peserta didik dengan pembinaan-pembinaan yang saling mendukung keberhasilan peserta didik, (2) mengingat besarnya peranan orang tua dalam penanaman nilai-nilai moral dan keagamaan anak, maka pendidikan tidak hanya penting diterapkan kepada anak, akan tetapi juga terhadap orang tua. Minimnya pengetahuan keagamaan orang tua juga sangat mempengaruhi kualitas pembinaannya terhadap anak. Oleh sebab itu, dipandang perlu untuk merumuskan pola-pola pembinaan orang tua secara terencana oleh pihak pemerintah bekerjasama dengan pihak sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
[1] Aziz Alfinar. Psikologi Pendidikan. Departeman Agama Republik Indonesia. Jakarta. 2003.hlm. 22-23
[2] Zuria Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Bumi Aksara. Jakarta. 2007. hlm. 35
[3] Budiningsih Asri. Pembelajaran Moral. Rineka Cipta. Jakarta. 2004. hlm. 29-31
[4] Mar’at Samsunuwiati. Psikologi Perkembangan. Remaja Rosdakarya. Bandung. 2006. hlm. 208-209
[5] Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Remaja Rosdakarya. Bandung. 2007. hlm. 154-155


No comments:

Post a Comment