Tuesday, October 17, 2017

Pengertian Bertetangga dan Manusia Sebagai Makhluk Sosial

A.    Pengertian dan Hakikat Tetangga
Pengertian dari segi bahasa, bahwa kata "tetangga", yang dalam bentuk tunggal bahasa Arab yaitu (الجار) dan jamaknya (جيران).[1] Sedangkan dalam Kamus Arab Indonesia tetangga yaitu (جاور).[2] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetangga berarti orang yang tempat tinggalnya (rumahnya) berdekatan/jiran.[3]
Pengertian yang sama dikemukakan WJS. Poerwadarminta bahwa tetangga yaitu orang setangga, sebelah menyebelah.[4] Sutan Muhammad Zain menyatakan bahwa tetangga yaitu jamak dari pada tangga.[5] Lebih lanjut, Al-Asfihani sebagaimana dikutip Waryono Abdul Ghafur mendefinisikan bahwa tetangga dengan orang yang rumahnya dekat dengan kita atau penghuni yang tinggal di sekeliling rumah kita, sejak dari rumah pertama hingga rumah keempat puluh. 
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa tetangga tidak dibatasi pada jumlah empat puluh rumah. Yang jelas, apa yang dipraktekkan di sekitar kita dengan adanya RT atau RW, sudah menunjukkan semangat al-Qur'an dalam bertetangga. Karena itu, yang dinamakan tetangga bisa meliputi satu komplek perumahan atau bahkan lebih.[6]
Al-Qur'an telah mengklasifikasi tetangga menjadi dua macam; tetangga dekat (al-jaar dzi al-qurba) dan tetangga jauh (al-jaar al-junubi). Klasifikasi ini disebutkan di dalam surat An-Nisaa': 36, di mana Allah Swt berfirman sebagai berikut:

Artinya: Berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, Ibnu sabil, dan hamba sahayamu. (QS. An-Nisa’: 36)
Hamka mengatakan surat an-Nisa ayat 36, mengandung arti bahwa tetangga dekat yaitu tetangga yang seagama, tetangga jauh yaitu tetangga yang berlainan agama. Disebut sekali keduanya, supaya sama dihormati menurut taraf pelayakannya. Ziarah-menziarahi pada suasana kegembiraan, lawat-melawat seketika ada yang sakit, jenguk-menjenguk seketika ada kematian. Apabila seorang muslim mukmin bertetangga dengan orang yang berlain agama, si muslim wajib lebih dahulu memperlihatkan ketentuan agama ini di dalam hidupnya. Bukan satu siasat mengambil muka, tetapi didorong oleh perintah agama, menentukan hukum dosa dan pahala, haram dan wajib. Rasulullah Saw bertetangga dengan orang Yahudi di Madinah. Apa saja hal-hal yang terjadi pada suasana bertetangga, Rasulullah Saw menunjukkan kemuliaan budi beliau.[7]
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bertetangga artinya hidup bersama orang lain dalam suatu lingkungan tertentu yang dekat atau yang jauh. Dimaksud tetangga yang dekat ada pendapat menyalakan adalah orang-orang yang tinggalnya di dekat: rumah, atau saudara dan keluarga sendiri, atau sesama muslim. Adapun tetangga jauh adalah orang-orang lain atau mereka yang berbeda agama sekalipun rumahnya berdekatan.
Secara terminologi, Hamzah Ya'qub merumuskan bahwa tetangga adalah keluarga-keluarga yang berdekatan dengan rumah yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam akhlaq. Tetangga adalah sahabat yang paling dekat setelah anggota keluarga sendiri. Dialah yang lebih mengetahui suka duka dan dialah yang lebih cepat dapat memberikan pertolongan pertama jika terjadi kesulitan, dibandingkan dengan keluarga sendiri yang berjauhan tempat tinggalnya.[8]
Dengan demikian, tetangga itu termasuk salah satu bentuk masyarakat juga, yaitu masyarakat yang khusus berada di sekitar rumah tempat tinggal. Maka tentulah juga hidup bermasyarakat dengan tetangga atau hidup bertetangga, membutuhkan tetangga dan tidak mungkin memisahkan diri dari tetangga. Peranan tetangga bagi kehidupan sangatlah penting dan sangat dirasakan, berhubung mereka itulah yang berada di sekitar tempat tinggal. Demikian pentingnya, sehingga kadang-kadang melebihi peranan keluarga atau famili sendiri yang tempatnya jauh. Kalau sedang punya kerja, sedang mendapat sesuatu kesusahan seperti kematian, kecurian atau kecelakaan-kecelakaan yang lain, tetangga-tetangga itulah yang pertama-tama membantu atau menolong, sebelum orang-orang lain termasuk keluarga sendiri datang menjenguk.[9] Dengan demikian, maka tetangga adalah unsur penting dalam bermasyarakat, karena dengan tetangga, maka akan dapat mewujudkan saling bekerja sama dalam membangun masyarakat.

B.     Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Manusia tercipta sebagai mahluk pribadi sekaligus sebagai makluk sosial. Sebagai makluk pribadi, manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat bertahan hidup. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia memerlukan orang lain untuk mencapai tujuannya dengan berinteraksi dengan manusia lain sebagai mahluk sosial. Kehidupan bersama manusia baik sebagai mahluk pribadi maupun mahluk sosial selalu dilandasi aturan-aturan tertentu. Oleh karena itu, manusia tidak bisa berbuat dan bertindak semaunya. Aturan-aturan berupa nilai dan norma sosial diciptakan dan disepakati bersama untuk mencapai ketentuan dan kenyamanan hidup bersama dengan orang lain.
Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan sesamanya dan cenderung membutuhkan yang lainnya dalam mengisi rentetan kehidupannya. Terlebih lagi dengan orang yang paling dekat tempat tinggalnya, yaitu tetangga. Oleh karena itulah syari’at Islam datang dengan ajaran yang sangat agung dalam mengatur hubungan seseorang dengan tetangganya. Dengan demikian, maka dalam kehidupan lingkungan sosial manusia senantiasa terkait dengan interaksi antara individu manusia, interaksi antar kelompok, kehidupan sosial manusia dengan lingkungan hidup dan alam sekitarnya, berbagai proses sosial dan interaksi sosial dan berbagai hal yang timbul akibat aktivitas manusia seperti perubahan sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa melepaskan diri dari lingkungan di mana ia tinggal baik dalam hubungannya dengan sesama manusia yang bersifat sosial, politik, ekonomi ataupun budaya (kepercayaan). Dalam kehidupan sehari-hari antara individu dengan lingkungan tersebut terjalin keselarasan, keseimbangan dan keharmonisan agar terwujud kehidupan yang aman dan sejahtera. Kondisi-kondisi itu akan tercipta manakala bersumber dan didasari nilai-nilai luhur, sehingga akan menghasilkan buah yang baik. Misalnya, dalam hal ini dimensi budaya yang merupakan produk karsa, rasa dan cipta manusia.[10]
Setiadi menjelaskan bahwa selama manusia hidup ia tidak akan terlepas dari pengaruh masyarakat, di rumah, di sekolah dan di lingkungan yang lebih besar manusia tidak lepas dari pengaruh orang lain. Oleh karena itu manusia dikatakan sebagai mkhluk sosial yaitu makhluk yang di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain.[11]
Di dalam konteks sosial yang disebut masyarakat, setiap orang akan mengenal orang lain. Oleh karena itu perilaku manusia selalu terkait dengan orang lain, ia malakukan sesuatu di pengaruhi faktor dari luar dirinya, seperti tunduk pada aturan, tunduk pada norma masyarakat dan keinginan mendapat respon positif dari orang lain. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial dikarenakan pada diri manusia ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Ada kebutuhan sosial untuk hidup berkelompok dengan orang lain. Kebutuhan untuk berteman dengan orang lain, sering kali didasari atas kesamaan ciri atau kepentingannya masing-masing. Dengan demikian, akan terbentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang didasari oleh kesamaan ciri atau kepentingan.
Pada umumnya di tengah-tengah masyarakat pasti akan munculnya suatu masalah atau gejala sosial. Masalah sosial merupakan realitas sosial yang komplek sehingga sumber masalahnya juga bersifat komplek. Masalah sosial terjadi karena ada sesuatu masalah dalam kehidupan sosial. Dengan demikian mendiagnosis masalah sosial berarti mencari apa dan siapa yang dianggap bersalah dalam realitas kehidupan sosial tersebut.[12] Oleh sebab itu sumber penyebab masalah dapat berasal dari level individu maupun sistem. Guna penanganan masalah sosial yang lebih komprehensif, kedua pendekatan tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dalam mendiagnosis masalah. Apabila sumber masalahnya berasal pada level sistem, maka pemecahan masalahnya tidak akan efektif jika hanya merupakan penanganan pada individu penyandang masalah.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Manusia tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Dia membutuhkan orang lain untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya. Bertetangga adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Setiap orang yang akan membangun sebuah bangunan (rumah) tidak mungkin akan memilih lokasi di tengah hutan atau gunung yang jauh dari keramaian dan tanpa akses jalan. Tetapi mereka pasti lebih memilih tempat yang strategis dengan akses jalan yang mudah dan lokasi yang sudah dihuni oleh banyak orang. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki naluri untuk hidup bersosial dan bertetangga dengan orang lain.




[1]Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 222.

[2]Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Al-Qur’an, 1973), h. 94.

[3]Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 1187.

[4]W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),    h. 1065.

[5]Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, (Jakarta: Grafika, tth), h. 990.

[6]Waryono Abdul Gahfur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks Dengan Konteks, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), h. 159.

[7]Hamka, Tafsir Al Azhar, juz, V, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1999), h. 65.

[8]Hamzah Ya'qub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1996), h. 155.

[9]Humaidi Tatapangarsa, Akhlak Yang Mulia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 142-143.

[10]Joko Tri Prasetya, Dkk, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), h. 93

[11]M. Setiadi, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 63.
[12]Soetomo, Efektifitas Kebijakan Sosial Dalam Pemecahan Masalah Sosial, Dimuat dalam Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 15, Nomor 1, Juli 2011, h. 15-28.

No comments:

Post a Comment