Wednesday, October 25, 2017

Kriteria-kriteria Jilbab yang Islami

Memakai jilbab bukanlah memakai hiasan yang bertujuan untuk menarik perhatian-perhatian orang yang memandangnya, bukan juga untuk mengikuti mode-mode pakaian yang lagi ngetren pada masanya. Namun memakai jilbab merupakan bentuk ibadah kita sebagaimama yang bertakwa kepada-Nya. Sehingga dalam pemakaiannya pun harus sesuai aturan-aturan yang sudah ada karena pada dasarnya memakai jilbab untuk menjaga kehormatan baik dihadapan Allah khususnya dan dihadapan manusia pada umumnya.
Syariat Islam menetapkan kriteria yang harus dipenuhi bagi semua bentuk dan model pakaian yang berlaku dikalangan masyarakat yang berbeda-beda kebudayaan dan peradabannya antara satu negara dengan negara yang lainnya. Hal ini dikarenakan syari’at mengakui berlakunya ‘urf (adat kebiasaan) asalkan tidak bertentangan dengan hukum atau adab syari’at. Islam tidak merombak tradisi Jahiliyah dalam hal pakaian, melainkan memasukkan unsur keseimbangan saja.[1]
Adapun kriteria-kriteria pakaian muslimah adalah sebagai berikut:
  1. Menutup seluruh badan
Pakaian yang dipakai dapat menutupi seluruh badan kecuali telapak tangan dan wajah. Hal ini karena Islam lebih menitik beratkan busana sebagai penutup aurat bukan sebagai perhiasan semata. Bila menampakkan perhiasan merupakan larangan, maka dalam hal ini menampakkan letak-letaknya lebih dilarang, dan seandainya tidak dikenakan busana tentu tampaklah letak-letak perhiasan, berupa dada, kedua telapak kaki dan betis. Oleh karena itu seharusnya seorang wanita mengenakan celana yang menutupi betisnya.[2]
Dari sini dapat di simpulkan, bahwa yang dimaksud dengan perintah untuk menutup badan dimaksudkan untuk menutupi dari terlihat aurat, baik laki-laki maupun wanita, dan seseorang wanita baru disebut menutup aurat, jika sudah menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka dan dua telapak tangan.
  1. Bukan Berfungsi sebagai perhiasan
Syarat ini berdasarkan firman Allah Swt, yaitu:
ولا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى (الأ حزاب: ٣٣)                   
Artinya: “Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka  (Q.S. Al-Ahzab: 33)
Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa Allah Swt melarang para wanita muslim untuk berhias dan bertingkah laku seperti wanita-wanita jahiliyah dahulu yang menampakkan auratnya dan berhias untuk dipamerkan. Larangan tersebut dimaksudkan agar wanita muslimah terjaga dari hal-hal negatif dan dari  gangguan laki-laki jalang, serta tetap terjaga identitasnya sebagai wanita Islam yang patuh pada aturan Allah Swt.
Berawal dari desakan untuk pamer diri, kaum wanita berlomba-lomba menampakkan kecantikannya. Minat dan keinginan ini tidak begitu jelas dan tampak. Ia terpendam di sela-sela hati. Barulah tampak dengan nyata ketika ia berhias, mengenakan pakaian tipis, dan sebagainya.
Setiap perhiasan yang dikenakan wanita dengan niat menarik perhatian laki-laki, bahkan kerudung sekalipun, jika berwarna menyala dan menarik, dengan bentuk yang indah sehingga menyebabkan setiap laki-laki terpesona memandangnya, maka hal itu dilarang. Dalam hal ini tidak ada batasan khusus yang menetapkan mana yang terlarang dan mana yang tidak. Perkaranya bergantung pada iman wanita itu sendiri. Ialah yang harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri.[3]
Wanita muslimah tidak dibenarkan memperlihatkan hiasan dirinya (kecantikannya) kepada lelaki yang bukan muhrimnya. Seluruh bagian dari badan perempuan adalah aurat yang harus ditutupi, kecuali bagian-bagian tertentu yang sudah menjadi kebiasaan. Busana yang dipakai wanita tidak terdapat hiasan yang dapat menarik perhatian orang saat keluar rumah, agar tidak tergolong wanita yang suka tampil dengan perhiasan (tabarruj).[4]
Berlebih-lebihan dalam menutup aurat dan berhias berarti ia telah melenceng dari ajaran agama Islam menuju jalannya setan. Inilah rahasia dua seruan yang telah dikumandangkan Allah kepada anak cucu Adam. Setelah seruan tadi yang mengingatkan mereka tentang kedua hal di atas, yaitu tidak boleh telanjang dan juga meninggalkan memperhias diri mengikuti langkah-langkah setan.[5]
Dengan demikian, maka dapat dipahami bahwa Islam hanya membolehkan mengenakan perhiasan yang bersih dari niat dan maksud buruk. Pakaian muslimah berfungsi sebagai pelindung wanita dari godaan laki-laki. Hal ini berarti pakaian muslimah tidak boleh berlebihan atau mengikuti model tertentu karena memandang busana muslimah bukan perhiasan.
  1. Kainnya harus tebal
Diwajibkan menutup aurat dengan pakaian yang tidak mensifati warna kulit, berupa pakaian yang cukup tebal atau yang terbuat dari kulit. Menutupi aurat dengan pakaian yang masih dapat menampakkan warna kulit, umpamanya dengan pakaian yang tipis, adalah tidak dibolehkan karena hal itu tidak memenuhi kriteria menutupi.[6]
Fungsi pakaian sebagai pelindung bagai kaum wanita, secara otomatis dapat dikatakan bahwa jilbab harus tebal atau tidak transparan atau membayang (tipis) karena jika demikian akan semakin memancing fitnah godaan dari pihak laki-laki. Rasulullah Saw bersabda:
عن عائشة رضي الله عنها أن أسماء بنت أبى بكر دخلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم وعليها ثياب رقاق فأعرض عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم  وقال ياأسماء إن المرأة اذا بلغت المحيض لم تصلح أن يرى منها الا هذا وهذا وأشار إلى وجهه وكفيه (رواه ابو داود)                                                 
Artinya: “Dari Aisyah ra meriwayatkan bahwasanya Asma’ binti Abu Bakar ra datang kepada Rasulullah Saw dan ia memakai pakaian yang pendek/tipis, maka Rasulullah Saw berpaling darinya dan berkata: “Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haid), tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini (beliau memberi isyarat pada wajah dan kedua telapak tangan)”. (HR.Abu Daud).[7]

Adapun fenomena kurudung gaul yang kini sedang trend di kalangan remaja atau anak-anak muda (wanita) dengan pakaian yang tipis dan serba ketat merupakan budaya atau model pakaian yang sudah menyatu dengan saat modern sekarang ini. Kenyataan tersebut jelas merupakan pelanggaran berat terhadap syarat busana muslimah yang telah diwajibkan.
  1. Harus longgar, tidak ketat sehingga tidak menggambarkan sesuatu dari tubuhnya.
Pakaian yang ketat akan membentuk postur tubuh wanita ataupun sebagainya. Wanita yang mengenakan pakaian ketat sehingga dapat membentuk potongan-potongan postur tubuhnya dan keluar pada perkumpulan-perkumpulan kaum lakilaki, maka busana itu dikhawatirkan termasuk kategori diantara pakaian-pakaian telanjang. Termasuk dalam pengertian telanjang adalah seorang wanita yang mengenakan pakaian yang ketat yang tampak jelas lekuk-lekuk dan bentuk aslinya. Tidak diragukan lagi bahwa busana tersebut termasuk dalam kategori pakaian telanjang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Diantara maksud diwajibkannya jilbab adalah agar tidak timbul fitnah (godaan) dari pihak laki-laki. Dan itu tidak mungkin terwujud jika pakaian yang dikenakan tidak ketat dan tidak membentuk lekuk-lekuk tubuhnya. Untuk itu jilbab harus longgar atau tidak ketat.
  1. Tidak diberi wewangian atau parfum
Wangi-wangian merupakan diantara dua hati yang kotor, yang bertentangan dengan etika Islam. Islam berdasarkan kehalusan rasa (sensualitas) yang terpendam di balik wewangian itu menganggapnya sebagai salah satu pintu fitnah. Islam tidak mengizinkan wanita muslimah berlalu di jalanan menyebarkan aroma minyak wangi, menutupi kecantikan dan perhiasannya untuk mencegah tergeraknya rangsangan birahi lelaki. Syarat ini berdasarkan larangan terhadap kaum wanita untuk memakai wewangian bila mereka keluar rumah. Hal tersebut didasarkan pada hadits Rasulullah Saw, yaitu:
عن أبى موسى عن النبى صلى الله عليه وسلم قال إذا استعطرت المرأة فمرت على القوم ليجدوا ريحها فيها كذا وكذا قال قولا شديدا (رواه أبو داود)            
Artinya: “Dari Abi Musa dia berkata, Rasulullah Saw bersabda: Jika seseorang perempuan memakai wewangian lalu sengaja lewat diantara orang-orang agar mereka mencium wanginya, maka dia begini begitu (Sindiran berbuat zina)”. (HR. Abu Daud) [8]

Berdasarkan hadits tersebut, dapat dipahamai bahwa agama sangat melarang para wanita memakai wewangian ketika ia keluar rumah atau berada dikalangan umum, karena hal tersebut sama juga hukumnya dengan berzina. Alasan pelarangan ini jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu birahi laki-laki yang menciumnya sehingga dapat menimbulkan fitnah dan mengundang terjadinya kemungkaran dan dosa.
  1. Tidak menyerupai laki-laki
Pakaian yang dikenakan oleh seorang wanita muslimah tidak boleh menyurapai pakaian laki-laki. Menyerupai pakaian laki-laki maksudnya memakai pakaian yang sudah dimaklumkan menjadi pakaian laki-laki. Syarat keenam ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw yang melaknat wanita menyerupai laki-laki, baik dalam bertingkah laku atau berpakaian. Sabda Rasulullah Saw:
عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه لعن المتشبهات من النساء باالرجال والمتشبهين من الرجال بالنساء (رواه البخارى)                                   Artinya: “Dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah Saw, sesungguhnya Beliau melaknat perempuan yang menyerupai laki-laki dan laki-laki yang menyerupai perempuan.” (HR. Bukhari).[9]
Berdasarkan hadits tersebut dapat diketahui bahwa salah seorang diantara dua jenis yang menyerupai pada jenis lainnya adalah menyimpang dari fisik, serta sebagai bukti bahwa secara Islam tidak normal lagi. Penyerupaan merupakan suatu penyakit yang tidak bisa diobati yang tertransfer dari budaya non Islam ke dalam budaya Islam sebagai konsekuensi dari ikut-ikutan gaya Barat. Hal ini merupakan hal yang sangat dilarang agama.
  1. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir
Syarat ini didasarkan pada haramnya kaum muslimin termasuk wanita menyerupai orang-orang kafir baik dalam berpakaian yang khas pakaian mereka, ibadah, makanan, perhiasan, adat istiadat, maupun dalam berkata atau memuji seseorang yang berlebihan.
من تشبه بقوم فهو منهم (رواه أبو داود)                                                
Artinya: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk kaum itu.” (HR. Abu Daud).[10]
Sekarang ini banyak wanita muslimah yang merancang busananya dengan pola yang bertentangan dengan ketentuan syara dan norma-normanya di bidang busana. Berdasarkan realita yang muncul dewasa ini yang populer di sebut dengan” mode” dimana ia mengalami perkembangan dan perubahan setiap hari dari yang buruk hingga yang lebih buruk. Bentuk-bentuk busana wanita dewasa ini sudah tidak sesuai lagi dengan ajaran-ajaran Islam dan sama sekali tidak pernah dikenal dikalangan wanita-wanita muslimah. Hal ini terbukti dengan banyaknya pakaian-pakaian yang apabila dipakai oleh kaum wanita muslimah, maka aurat wanita si pemakai tersebut akan terlihat dengan jelas. Adapun tujuan wanita dilarang menyerupai dengan orang-orang kafir, diantaranya adalah penyerupaan dengan mereka dalam berbusana.
Syarat ini didasarkan pada haramnya kaum muslimin termasuk wanita menyerupai orang-orang (wanita) kafir baik dalam meniru model berpakaian yang khas pakaian mereka, ibadah, makanan, perhiasan, adat istiadat, maupun dalam berkata atau memuji seseorang yang berlebihan.
  1. Bukan libas syuhrah (pakaian untuk mencari popularitas)
Pakaian populer adalah pakaian dimana orang yang memakainya berbeda dengan pakaian orang lain dari sisi warna, corak atau bentuk dimana ia dapat menarik perhatian dan pandangan orang lain kepadanya. Oleh karena itu sesungguhnya keanehan di dalam pakaian karena keindahan, keburukan, keabadian atau karena keanehannya. Ibnu Taimiyah berkata “pakaian kemasyhuran adalah pakaian yang bertujuan menampilkan ketinggian diri atau merendah diri. Sesungguhnya para salaf yang shalih tidak menyukai kedua hal tersebut, yaitu meninggikan dan merendahkan harga diri yang berlebihan.[11]
Sabda Rasulullah Saw, yaitu:
من لبس ثوب شهرة فى الدنيا ألبسه الله ثوب مذلة يوم القيامة ثم ألهب فيه  نارا (رواه أبو داود)                                                                               
Artinya: “Barangsiapa mengenakan pakaian (untuk mencari popularitas) di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka” (H.R Abu Dawud).[12]
Libas Syuhrah adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan meraih popularitas (gengsi) ditengah-tengah orang banyak, baik pakaian tersebut mahal yang dipakaian oleh seseorang untuk berbangga dengan dandan dan perhiasannya, maupun pakaian yang bernilai rendah dipakai oleh seseorang untuk menampakkan keudzuhudannya dan dengan tujuan ria. Senada dengan pendapat di atas, Abdul Muhsin menjelaskan bahwa kriteria-kriteria jilbab yang Islami adalah:
  1. Menutup seluruh badan kecuali yang dikecualikan yaitu wajah dan tangan.
  2. Berfungsi untuk menutup perhiasan bukan sebagai hiasan.
  3. Kainnya tebal tidak tipis atau tembus pandang sehingga biasa menutupi
  4. Harus longgar, tidak ketat sehingga menutupi lekuk-lekuk tubuhnya.
  5. Tidak diberi wewangian atau parfum
  6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
  7. Bukan pakaian untuk popularitas atau pakaian syuhrah, yaitu pakaian yang dipakai dengan tujuan meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakaian tersebut mahal yang dipakai seseorang untuk berbangga dengan gaunnya dan perhiasannya, maupun yang bernilai rendah yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan ke zuhudannya.[13]
Sedangkan Lilik Sriyanti dalam bukunya “Dilema Gadis Berjilbab”, menjelaskan bahwa syarat jilbab Islami adalah sebagai berikut:
  1. Menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan
  2. Longgar sehingga tidak menampakkan bentuk tubuh
  3. Terbuat dari bahan-bahan yang cukup tebal, tidak tipis atau transparan sehingga tidak menembus warna kulit atau bentuk tubuh
  4. Tidak menyolok sehingga tidak menarik perhatian orang
  5. Tidak menyerupai pakaian laki-laki dan tidak menyerupai pakaian non muslim
  6. Tidak dimaksudkan untuk riya (menyombongkan diri).[14]
Itulah syarat pakaian muslimah, jadi dapat disimpulkan bahwa pakaian muslimah hendaklah menutup seluruh anggota badannya kecuali wajah dan telapak tangan dengan rincian sebagaimana dikemukakan di atas, bukan merupakan perhiasan, tidak tipis, tidak sempit sehingga menumbuhkan bentuk tubuh, tidak disemprot parfum. Tidak menyerupai pakaian pria atau pakaian wanita-wanita kafir dan bukan merupakan pakaian popularitas.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kaum perempuan muslimah berkewajiban memakai busana muslimah dalam batasan-batasan sebagaimana  berikut ini:
  1. Bisa menutup rambutnya secara keseluruhan. Sehingga tidak boleh bagi perempuan muslimah yang memakai jilbab tetapi masih terlihat ada rambutnya yang kelihatan di dahi seperti yang populer kita lihat sekarang ini
  2. Juga bisa menutup leher keseluruhan sehingga menghindarkan diri dari tatapan mata laki-laki yang akan membawa gairah seksual ketika melihat leher tersebut
  3. Juga bisa menutup dadanya secara mutlak sebab terkadang kita menemukan ada anak gadis yang memakai jilbab sedemikian sehingga lehernya masih kelihatan, lalu berlanjut pula kelihatan dadanya
  4. Hal ini terjadi sebab ia mengikatkan dua ujung jilbabnya ke belakang lehernya. Ini juga perilaku yang tidak Islami dari etika Islam
  5. Juga mengenakan pakaian yang longgar agar terhindar dari tampaknya lekuklekuk tubuhnya.[15]
Empat hal tersebut adalah batas-batas pemakaian busana muslimah bagi perempuan muslimah. Perempuan muslimah harus memperhatikan dan menerapkan empat hal tersebut, di saat yang sama ia juga harus menjauhi sikap, ucapan, dan perbuatan yang negatif dan dosa.



[1]Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997),         hal. 36.

[2]Abu Al-Ghifari, Kudung Gaul Berjilbab Tapi Telanjang, (Bandung: Mujahid, 2002), hal. 53

[3]Husein Shahab, Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Bandung: Mizan, 1986),       hal. 40

[4]Sholeh bin Fauzan,  http://www.syariahonline.com, diakses tanggal. 6 Maret 2015.

[5]Yusuf Al-Qardhawi, Halal Haram Dalam Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2004), hal. 104.

[6]Abu al-Ghifari, Kudung Gaul…, hal. 131.

[7]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud…, hal. 826.

[8]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan…, hal. 855.

[9]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hal. 824.

[10]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud…, hal. 828.

[11]Abu Abdullah, Aku Takut Tak Berjilbab, (Jakarta: Mirqat, 2010), hal. 91.

[12]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud…, hal. 827.

[13]Abdul Muhsin, Misteri Jilbab Jangan Sampai Masuk Neraka Gara-gara Jilbab, (Solo: Rumah Dzikir, 2007), hal. 93.

[14]Lilik Sriyanti, Dilema Gadis Berjilbab, (Salatiga: STAIN Salatiga Press, 2005), hal. 40.

[15] Muhammad Muhyidin, Membelah lautan Jilbab, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), hal. 285.

No comments:

Post a Comment