Thursday, October 12, 2017

Imunisasi Balita dan Faktor yang Mempengaruhinya

Makalah; Fakultas Tarbiyah Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, atau resisten. Anak diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal terhadap suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain.[1]
Imunisasi dalam sistem kesehatan nasional adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Terdapat sejumlah pendapat mengenai tujuan dilakukannya imuniasi terhadap balita, di antaranya adalah sebagai berikut:
  1. Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola.[2]
  2. Untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini penyakit-penyakit tersebut adalah disentri, tetanus, batuk rejan (pertusis), cacar (measles), polio, dan tuberculosis.[3]
  3. Menurut WHO (World Health Organization), program imunisasi di Indonesia memiliki tujuan untuk menurunkan angka kejadian penyakit dan angka kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.[4]
Menurut Soekidjo Notoatmodjo terdapat teori yang mengungkapkan determinan perilaku berdasarkan analisis dari faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku khususnya perilaku kesehatan.[5] Di antara teori tersebut adalah teori Lawrence Green (1980), yang menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu:
  1. Faktor Pemudah (Presdiposing Factors)
Faktor-faktor ini mencakup tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, jumlah anak, dan dukungan dari pihak keluarga.
  1. Tingkat Pendidikan Ibu Bayi
Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku manusia dalam masyarakat tempat ia hidup, proses sosial, yakni dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial, dan kemampuan individu yang optimal.[6]
Wanita sangat berperan dalam pendidikan di dalam rumah tangga. Mereka menanamkan kebiasaan dan menjadi panutan bagi generasi yang akan datang tentang perlakuan terhadap lingkungannya. Dengan demikian, wanita ikut menentukan kualitas lingkungan hidup ini. Untuk dapat melaksanakan pendidikan ini dengan baik, para wanita juga perlu berpendidikan baik formal maupun tidak formal. Akan tetapi pada kenyataan taraf, pendidikan wanita masih jauh lebih rendah daripada kaum pria. Seseorang ibu dapat memelihara dan mendidik anaknya dengan baik apabila ia sendiri berpendidikan.[7]
  1. Tingkat Pengetahuan Ibu Bayi
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan itu terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior). Sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : awareness (kesadaran), interest (tertarik), evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Trial (orang telah mulai mencoba prilaku baru), adoption (subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus).[8]
Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Seseorang ibu akan mengimunisasikan anaknya setelah melihat anak tetangganya kena penyakit polio sehingga cacat karena anak tersebut belum pernah memperoleh imunisasi polio.
  1. Status Pekerjaan Ibu Bayi
Ibu yang bekerja mempunyai waktu kerja sama seperti dengan pekerja lainnya. Adapun waktu kerja bagi pekerja yang dikerjakan yaitu waktu siang 7 jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk 6 hari kerja dalam satu minggu, atau dengan 8 jam satu hari dan 40 jam satu minggu untuk 5 hari kerja dalam satu minggu. Sedangkan waktu malam hari yaitu 6 jam satu hari dan 35 jam satu minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.[9]
Hubungan antara pekerjaan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar bayi adalah jika ibu bekerja untuk mencari nafkah maka tentunya akan berkurang kesempatan waktu dan perhatian untuk membawa bayinya ke tempat pelayanan imunisasi, sehingga akan mengakibatkan bayinya tidak mendapatkan pelayanan imunisasi.
  1. Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder.[10]
  1. Jumlah Anak
Jumlah anak sebagai salah satu aspek demografi yang akan berpengaruh pada partisipasi masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena jika seorang ibu mempunyai anak lebih dari satu biasanya ibu semakin berpengalaman dan sering memperoleh informasi tentang imunisasi, sehingga anaknya akan di imunisasi.
  1. Dukungan Keluarga
Dukungan sosial secara psikologis dipandang sebagai hal yang kompleks. Wortman dan Dunkell-Scheffer (1987) mengidentifikasikan beberapa jenis dukungan yang meliputi ekspresi perasaan positif, termasuk menunjukkan bahwa seseorang diperlukan dengan rasa penghargaan yang tinggi, ekspresi persetujuan dengan atau pemberitahuan tentang ketepatan keyakinan dan perasaan seseorang. Ajakan untuk membuka diri dan mendiskusikan keyakinan dan sumber-sumber juga merupakan bentuk dukungan sosial.[11]
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap ibu yang positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut mengimunisasi anaknya. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan dukungan/support dari pihak lain, misalnya suami/istri/orang tua/mertua.
  1. Faktor Pendukung (Enabling Factors)
Faktor pemungkin atau pendukung perilaku adalah fasilitas, sarana dan prasarana atau sumber daya atau fasilitas kesehatan yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat, termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti pukesmas, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan swasta, dan sebagainya, serta kelengkapan alat imunisasi, uang, waktu, tenaga, dan sebagainya.[12]
  1. Ketersedian Sarana dan Prasarana
Ketersedian sarana dan prasarana atau fasilitas bagi masyarakat, termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti pukesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter, atau bidan praktek desa. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkinan.
  1. Peralatan Imunisasi
Setiap obat yang berasal dari bahan biologik harus dilindungi terhadap sinar matahari, panas, suhu beku, termasuk juga vaksin. Untuk sarana rantai vaksin dibuat secara khusus untuk menjaga potensi vaksin.
  1. Keterjangkauan Tempat Pelayanan Imunisasi
Salah satu faktor yang mempengaruhi pencapaian derajat kesehatan, termasuk status kelengkapan imunisasi dasar adalah adanya keterjangkauan tempat pelayanan kesehatan oleh masyarakat. Kemudahan untuk mencapai pelayanan kesehatan ini antara lain ditentukan oleh adanya transportasi yang tersedia sehingga dapat memperkecil jarak tempuh, hal ini akan menimbulkan motivasi ibu untuk datang ketempat pelayanan imunisasi. Ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya kesehatan termasuk tenaga kesehatan yang ada dan mudah dijangkau merupakan salah satu faktor yang member kontribusi terhadap perilaku dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.
Faktor pendukung lain menurut Djoko Wiyono adalah akses terhadap pelayanan kesehatan yang berarti bahwa pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, keadaan geografis ini dapat diukur dengan jenis transportasi, jarak, waktu perjalanan dan hambatan fisik lain yang dapat menghalangi seseorang mendapat pelayanan kesehatan.[13]
  1. Faktor Penguat (Reinforcing Factors)
Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Menurut Lawrence W. Green, ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya kesehatan termasuk tenaga kesehatan yang ada dan mudah dijangkau merupakan salah satu faktor yang member kontribusi terhadap perilaku sehat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.[14]
  1. Petugas Imunisasi
Petugas kesehatan untuk program imunisasi biasanya dikirim dari pihak puskesmas, biasanya dokter atau bidan, lebih khususnya bidan desa. Menurut Djoko Wiyono, pasien atau masyarakat menilai mutu pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan yang empati, respek dan tanggap terhadap kebutuhannya, pelayanan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat, diberikan dengan cara yang ramah pada waktu berkunjung.[15]
Dalam melaksanakan tugasnya petugas kesehatan tentunya harus sesuai dengan mutu pelayanan. Pengertian mutu pelayanan untuk petugas kesehatan berarti bebas melakukan segala sesuatu secara professional untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarakat sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang maju, mutu peralatan dan memenuhi standar yang baik, komitmen dan motivasi petugas tergantung dari kemampuan melaksanakan tugas dengan cara optimal.[16]
Perilaku seseorang atau masyarakat tentaang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.[17]
  1. Kader Kesehatan
Kader kesehatan masyarakat adalah laki-laki atau wanita yang dipilih oleh masyarakat untuk menangani masalah-masalah kesehatan perseorangan maupun masyarakat serta untuk bekerja dalam hubungan yang amat dekat dengan tempat-tempat pemberian pelayanan kesehatan.
Secara umum peran kader kesehatan adalah melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan terpadu bersama masyarakat dalam rangka pengembangan kesehatan secara khusus peran kader adalah sebagai berikut:
1)      Persiapan
Persiapan yang dilakukan oleh kader yang telah dibentuk sebelum pelaksanaan kegiatan posyandu adalah memotivasi masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan terpadu dan berperan serta dalam mensukseskannya, bersama masyarakat merencanakan kegiatan pelayanan kesehatan terpadu ditingkat desa.
2)      Pelaksanaan
Pelaksanaan dilakukan kader saat kegiatan imunisasi adalah melaksanakan penyuluhan kesehatan secara terpadu, mengelola kegiatan seperti penimbangan bulanan, distribusi oralit, vitamin, distribusi alat kontrasepsi, pelayanan kesehatan sederhana, pencatatan dan pelaporan serta rujukan.
3)      Pembinaan
Pembinaan yang dilakukan oleh kader berupa menyelenggarakan pertemuan bulanan dengan masyarakat untuk membicarakan perkembangan program kesehatan, melakukan kunjungan rumah pada keluarga binaannya, membina kemampuan diri melalui pertukaran pengalaman antar kader.



[1]Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat Seni dan Aplikasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 43.
[2]I.G.N Ranuh, Dkk, Pedoman Imunisasi di Indonesia, (Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008), hal. 10.
[3]Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan…, hal. 46.
[4]Umar Fahmi Achmadi, Imunisasi Mengapa Perlu, (Jakarta: Buku Kompas, 2006), hal. 130.
[5]Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat Prisip-Prisip Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 96.
[6]Achmad Munib, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Semarang: UPT MKK Universitas Negeri Semarang, 2006), hal. 32.
[7]Juli Soemirat Slamet, Kesehatan Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), hal. 208.
[8]Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan…, hal. 127-128.
[9]Pandji Anoraga, Psikologi Kerja, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 60.
[10]Soetjiningsih, Tumbuh Kembang Anak, (Jakarta: EGC, 1995), hal. 10.
[11] Charles Abraham, Psikologi Untuk Perawat, (Jakarta: EGC, 1997), hal. 126.
[12]Soekidjo Notoatmodjo, Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 27.
[13]Djoko Wiyono, Manajemen Mutu Pelayanan Keehatan Teori Strategi dan Aplikasi, (Surabaya: Penerbit Airlangga University Press, 2001), hal. 236.
[14]Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat…, hal. 13.
[15]Djoko Wiyono, Manajemen Mutu Pelayanan…, hal. 33.
[16]Djoko Wiyono, Manajemen Mutu Pelayanan…, hal. 34.
[17]Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat…, hal. 165.

No comments:

Post a Comment