Sunday, October 15, 2017

Landasan, Tujuan dan Tanggungjawab Pembinaan Ibadah

  1. Landasan Pembinaan Ibadah
Allah Swt membimbing dan menunjukkan jalan yang lebih lurus dan lebih aman untuk mencapai kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Jalan yang paling lurus dan paling aman adalah jalan yang difirmankan-Nya dalam Al-Qur'an. Sedangkan Al-Qur'an adalah kitab Allah Swt yang terjaga kebenarannya. Maka hanya dengan mengikuti petunjuk Al-Qur'an kebahagiaan hakiki manusia dapat diperoleh. Oleh karena itu komitmen manusia dalam mengambil petunjuk ibadah sebagai suatu cara tetap berpegang teguh di jalan Allah Swt serta melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan bentuk ibadah amal shaleh sebagaimana yang ditunjukkan Allah Swt dalam Surat Ali Imran ayat 104, yaitu:
ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون (آل عمران: ١٠٤)                                         
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali Imran: 104)
Ayat di atas menunjukkan bahwa umat Islam diperintahkan untuk saling mengingatkan atau menyuruh dalam hal kebajikan dan melarang dalam hal kemungkaran. Adapun perintah tersebut adalah perintah untuk mena’ati aturan-aturan Allah Swt yang juga termasuk didalamnya tanggungjawab orang tua dalam segi pembinaan ibadah khususnya terhadap anak dalam lingkungan keluarga.
Pembinaan ibadah terhadap anak merupakan suatu hal yang wajib dilakukan oleh orang tua dalam lingkungan keluarga. Karena bila tidak dibiasakan dengan hal-hal yang baik semenjak anak masih kecil, maka akan susah diberikan pembinaan ibadah ketika anak sudah beranjak remaja apalagi kalau sudah dewasa. Adapun landasan pembinaan ibadah yang merupakan tanggungjawab orang tua dapat diketahui sebagaimana terdapat pada hadis berikut:    
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كل مولد يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أوينصرانه أويمجسانه (رواه البخارى)    
Artinya: ”Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ’anhu berkata Rasulullah Saw: Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah yang mendidik ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Bukhari). [1]
Salah satu hadis yang langsung memerintahkan kepada orang tua untuk membina ibadah shalat terhadap anak pada usia tujuh sampai sepuluh tahun dan seterusnya adalah sebagaimana sabda Rasulullah Saw yaitu:
عن أبى هوريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مروا أولاداكم بالصلاة وهم ابناء سبع سنين واضربوهم عليها وهم ابناء عشر سنين (رواه أبو داود)                                                        
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Perintahlah anak-anakmu mengerjakan shalat di waktu mereka meningkat umurnya tujuh tahun dan pukullah (kalau enggan) melakukan shalat di waktu mereka meningkat usianya sepuluh tahun”. (HR Abu Daud). [2]

Oleh karena itu manusia akan selalu berusaha mendekatkan diri pada Allah Swt sesuai dengan agama yang dianutnya. Itulah sebabnya bagi orang muslim diperlukan adanya pembinaan ibadah agar dapat mengarahkan fitrah mereka ke arah yang benar sehingga dapat mengabdikan diri dan beribadah sesuai dengan ajaran Islam. Karena tanpa adanya upaya pembinaan ibadah dari satu generasi kegenerasi berikutnya maka akan semakin jauh dari Allah Swt.
  1. Tujuan Pembinaan Ibadah
Allah Swt telah menjadikan manusia sebagai khalifahtullsh fil Ardhi dengan missi memimpin, mengelola, memakmurkan dan memelihara keselamatan alam semesta. Untuk kepentingan tersebut Allah Swt menurunkan agama Islam, agar dengan berpegang pada ajaran Islam, manusia mampu melaksanakan tugas kekhalifahannya sesuai dengan maksud Allah Swt. Dengan tugas dan fungsi serta tanggungjawab manusia seperti tersebut di atas, Allah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling sempurna lagi dimuliakan.
Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Kedua unsur tersebut harus berkembang dengan baik dan seimbang. Oleh karena itu harus mendapat perhatian dan pembinaan yang seimbang. Unsur jasmani bersifat materi, kebutuhannya adalah segala sesuatu yang bersifat maretial, seeperti sandang, pangan dan papan, Sedang unsur rohani bersifat immateri, oleh karena itu kebutuhannya adalah segala sesuatu yang bersifat immaterial, seperti ajaran akhlak, kesenian dan agama. Manusia yang dalam kehidupannya terlalu mementingkan materi, maka ia akan menjadi materialistik atau serba materi. Sedangkan manusia yang hanya mementingkan immateri, maka ia akan menjadi immaterialistik atau spiritualistik.[3]
Manusia mengalami dua bentuk kehidupan, yaitu kehidupan pertama di dunia dan kehidupan kedua di akhirat. Kehidaupan di dunia adalah sementara yang sering disebut dengan istilah fana, sedang kehidupan di akhirat adalah abadi atau kekal. Kehidupan di akhirat merupakan lanjutan dari kehidupan di dunia dan bagaimana nasib seseorang di akhirat akan ditentukan oleh bagaimana kualitas hidupnya di dunia. Oleh karena itu Islam mengandung ajaran yang berwawasan dunia akhirat dan tidak memisahkan antara dunia dengan akhirat.[4]
Allah Swt menjadikan manusia bukan sekedar untuk hidup di dunia, kemudian mati tanpa pertanggung jawab, melainkan diciptakan untuk senantiasa tunduk dan patuh kepada kehendak Allah Swt dan akan diminta pertanggungjawaban. Hal ini dapat difahami berdasarkan firman Allah Swt dalam surat al-Mukminuun ayat 115, yaitu:
أفحسبتم أنما خلقناكم عبثا وأنكم إلينا لا ترجعون (المؤمنون: ١٠٥)        
Artinya: “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami”. (QS. Al-Mukminun: 115)
Islam adalah agama rahmatan lil alamin atau rahman bagi seluruh alam. Oleh karena itu, diperlukan manusia yang bertaqwa atau patuh pada segenap perintah dan larangan Allah Swt. Mereka itu tidak lain adalah manusia bersih hatinya dan baik akhlaknya. Manusia seperti inilah yang dapat memberikan kebaikan-kebaikan, sehingga Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dapat dilihat dan dirasakan
2.  Tanggungjawab Pembinaan Ibadah
Di antara tanggungjawab atau kewajiban-kewajiban orang tua dalam keluarga, adalah memberikan didikan-didikan agama kepada anggota keluarga itu sendiri. Pendidikan dan pengajaran agama harus dimulai dari keluarga. Artinya anak yang datang dari keluarga muslim harus mengetahui dan menerima Islam dari lingkungan keluarga, bukan dari tempat yang lain. Karena pelajaran yang telah diterima sejak masa kanak-kanak, akan membuatnya berpendirian kokoh, tidak mudah luntur ditengah-tengah pergaulan hidupnya, tidak mau menukar agama dengan nilai-nilai lain,baik berupa keduniaan maupun kedudukan.[5]
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa, kualitas anak ditentukan oleh kedua orang tuanya terutama dalam pembinaan dan pendidikannya. Oleh karena itu, orang tua berkewajiban untuk mendesain anak sedemikian rupa agar tercipta remaja-remaja yang berkualitas, baik disegi pengetahuan maupun dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti pengetahuan dan pengamalan ibadah shalat lima waktu. Karena anak yang berkualitas akan menentukan masa depannya dengan kualitas pula.
Berbahagialah anak yang lahir dan dibesarkan oleh orang tua yang  saleh, penyayang dan bijaksana. Karena pertumbuhan kepribadian anak terjadi melalui seluruh pengalaman dan pembiasaan yang diterimanya sejak ia kecil. Orang tua yang saleh dan penyayang biasanya akan selalu memperhatikan terhadap pembinaan agama terhadap anak-anaknya sejak dini.
Pembinaan ibadah terhadap anak merupakan salah satu tanggungjawab orang tua atau orang yang bertanggungjawab terhadap anak. Pernyataan tersebut sesuai dengan firman Allah Swt dalam dalam Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 6 yaitu sebagai berikut:
ياأيها الذين امنوا قوا أنفسكم وأهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لايعصون الله ماأمرهم ويفعلون مايؤمرون (التحريم: ٦)
Artinya:  “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang di perintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang selalu di perintahkan”. (Q.S At-Tahrim: 6)

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa menurut perspektif Islam orang tua dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk mengarahkan anak ke jalan yang benar dan lurus menurut tuntunan Islam. Ini dilakukan masyarakat tentunya melalui proses pendidikan dan pengajaran yang baik kepada remaja. Kewajiban orang tua mendidik anak remaja dapat ditempuh dalam berbagai cara, seperti pendidikan melalui keteladanan, perintah, nasihat-nasehat dan sebagainya. Di lingkungan bermasyarakat, sebagai pendidikan ketiga setelah keluarga dan sekolah, segala perkataan dan tingkah laku masyarakat harus menjadi contoh teladan bagi anak bahkan prilaku masyarakat sudah mempengaruhi anak sejak ia masih kecil.
Perkembangan pada anak akan lebih positif, jika pemantapan ibadah sudah dipupuk pada anak, maka fase perkembangan mereka dapat dilewatkan tanpa ada hambatan dan penyelewengan moral dalam kehidupannya. Karena dalam dirinya sudah tertanam nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.
Seorang anak akan biasa mengikuti bapak atau ibunya dalam gerakan shalat pada saat dia masih berusia dua atau tiga tahun, hanya saja pada usia tiga sampai tujuh tahun itu dia melakukan gerakan-gerakan tersebut tampa tujuan dan agak sulit untuk mengaitkan antara gerakan-gerakan tersebut. Sedangkan pada usia tujuh tahun sampai sepuluh tahun, maka ia merupakan periode yang paling baik untuk mengajari shalat kepada anak secara  baik dan benar, tetapi tidak boleh dilakukan pemukulan terhadapnya (jika tidak mengerjakannya), karena di masih belum mampu untuk mengemban tanggung jawab pelaksanaannya.[6]
Usia ini merupakan periode yang paling baik untuk belajar. Karena apa yang dipelajari oleh seseorang anak pada periode ini dan menjadi landasan perkembangan dirinya, maka akan menjadi karekter dan kepribadiannya yang akan terus berlangsung di masa-masa mendatang, dengan seizin Allah Swt.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kewajiban mendidik anak untuk melakukan ibadah harus dilakukan semenjak dini, jangan sampai anak sudah berumur sepuluh tahun, belum bisa melakukan ibadah shalat, tentu saja ini menyangkut masalah kewajiban mendidik berwudhu’, sebab ibadah shalat tidak sah bila tidak disertai wudhu’.[7]
Cara mendidik anak melakukan ibadah shalat secara rutin, bisa dilakukan dengan membiasakan mereka diajak ke mesjid, diajak berjamaah, menghadiahkan kepada mereka buku tentang tata-cara melakukan shalat, sehingga seluruh keluarga bisa mendalami syarat dan rukun ibadah shalat.[8]
Pada usia sepuluh tahun, seorang anak sudah mampu untuk mengemban tanggung jawab pelaksanaan ibadah shalat. Mungkin juga baginya untuk menunaikannya, seraya memahami maksud dan tujuannya. Sebagaimana pada waktu itu ia sudah mampu mengaitkan antara satu gerakan dengan gerakan lainnya. Oleh kerena itu ia wajib diberikan pukulan jika ia tidak mau mengerjakannya, kerena tidak ada alasan untuk mengabaikan perintah shalat, sebagaiman yang berlangsung pada usia tujuh tahun.[9] Pukulan dapat dipahami dengan hukuman, hukuman bukan hanya dalam bentuk fisik akan tetapi hukuman juga dapat dilakukan dalam bentuk mental.
Meskipun melaksanak ibadah belum menjadi suatu kewajiban bagi anak, kecuali jika ia sudah baliqh, hanya saja ia harus diajari sekaligus dibiasakan untuk mengerjakannya pada waktunya, agar dia melanjutkan kebiasaan tersebut sampai memasuki usia baliqh dan sesudahnya.[10]
 Jika seorang anak sudah biasa mengerjakan ibadah semasa kanak-kanak, maka akan mudah baginya untuk mengerjakannya sesudah memasuki usia dewasa, karena dia sudah terbiasa melakukan hal tersebut. Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, shalat dapat dipandang dari dua sisi yaitu ibadah shalat itu suatu syiar agama; ibadah shalat itu perhubungan antara hamba dengan Khaliqnya (Allah Swt).[11]
Mengingat bahwa ibadah merupakan syiar agama, maka agama menyuruh supaya orang tua memerintahkan anak-anaknya beribadah ketika mereka telah berumur tujuh tahun dan menghardik mereka jika tidak mau mengerjakan ibadah di ketika mereka telah berumur sepuluh tahun.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa orang tua merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap pembinaan anak dalam mematuhi perintah Allah Swt, baik dalam pembinaan ibadah seperti shalat maupun dalam hal-hal lainya yang menyangkut dengan tanggung jawab orang tua kepada anak-anaknya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang dikutip oleh Baihaqi dalam bukunya Konsep Islam tentang Pendidikan Anak dalam Rumah Tangga, yaitu:
مروا اولادكم بامتثال الأوامر واجتناب النواهى فذلك وقاية لهم من النار (رواه ابن جرير)                                                                       
Artinya: “Suruhlah putra putrimu mematuhi perintah-perintah (Allah) dan menjahui larangan-larangan (Allah) karna itulah yang menghindarkan mereka dari (siksaan) neraka”. (HR  Ibnu Jarir) [12]
Seorang anak mulai dari kecil dipelihara dan dibesarkan dalam keluarga. Segala sesuatu yang ada dalam keluarga baik berupa benda-benda, orang-orang dan peraturan-peraturan serta adat istiadat yang berlaku dalam keluarga sangat berpengaruh dan menentukan corak perkembangan anak. Zakiah Daradjat  menyatakan:
“Baik buruk keadaan anak ketika dewasa tergantung pada pendidikan yang di terima waktu kecil, jika ibunya membiasakan ia hemat, sopan santun, pengasih dan penyayang dan jujur, kelak ketika ia dewasa akan mempunyai sifat-sifat yang baik, sebaliknya jika waktu kecil tidak di biasakan berkelakuan baik, sukar di harapkan anak-anak ketika besar menjadi baik dengan sendirinya”.[13]
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwasanya anak laksana kertas putih yang belum ternoda apa-apa, tergantung pada yang memiliki kertas tersebut akan dijadikan hitam atau putih. Bila ini dikaitkan dengan orang tua maka sudah seharusnyalah orang tua menanamkan ajaran agama kepada anak sejak kecil, apakah itu dalam bentuk shalat, mengajari mengaji atau mengajar do’a-do’a serta mengajari untuk hormat kepada yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Secara otomatis anak akan terlatih bila semua itu dibiasakan sejak kecil.
Jika dilihat dari segi pendidikan, keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak-anak, karena di lingkungan keluarga anak mendapat pendidikan yang pertama melalui kebiasaan-kebiasaan yang dipraktekkan oleh keluarga, kebiasaan ini mempunyai pengaruh yang kuat bagi kehidupan anak di kemudian hari. Hal ini di sebabkan di lingkungan keluarga anak memperoleh pembiasaan-pembiasaan sejak ia dilahirkan, pembiasaan-pembiasan ini akan membentuk dasar kepribadian anak. Sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama dan yang terpenting yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya tiap-tiap anak.[14]
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa dalam lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama pendidikan anak, karena lingkungan keluarga akan mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Maka pembinaan keagamaan khususnya pembinaan ibadah sangat perlu diberikan pembinaan sejak anak masih kecil.
Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Kartini Kartono, yang mengemukakan bahwa “tradisi, kebiasaan sehari-hari, sikap hidup, cara berfikir dan falsafah hidup keluarga sangat besar pengaruhnya. Dalam proses membentuk tingkah laku anak dan sikap anggota keluarga, terutama anak-anak, sebab tingkah laku orang tua itu mudah sekali menular pada anak-anak”.[15]
Pembinaan ibadah terhadap anak dalam keluarga akan sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari karna pembiasaan sejak kecil tersebut dapat menentukan tingkah laku anak dalam hidup bermasyarakat ketika ia dewasa kelak. Sebagaimana Mudjab Mahalli menjelaskan bahwa mendidik anak melaksanakan ibadah shalat, sangat penting artinya bagi kehidupan mereka di masa-masa mendatang. Sebab di dalam ibadah shalat terkandung nilai-nilai keta’atan dan kedisplinan. Bila hal ini ditanamkan sejak dini, kelak setelah ia dewasa, akan menjadi insan yang penuh tanggung jawab dan disiplin dalam melaksakan segala perintah dan pekerjaan.[16]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendidikan ibadah terhadap anak dalam lingkungan keluarga akan mempengaruhi pendidikan anak ke tahap selanjutnya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ngalim Purwanto berikut ini “Pendidikan keluarga adalah pedoman atau dasar pendidikan anak selanjutnya, baik di sekolah maupun di dalam masyarakat.”[17]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pembinaan ibadah terhadap anak merupakan tugas dan tanggungjawab yang harus dilaksanakan oleh setiap orang tua, karena baik dan buruk keadaan masa depan anak sangat bergantung kepada pendidikan dan pembinaan orang tuanya pada saat ia masih kecil. Oleh kerena itu membina ibadah shalat kepada anak sejak ia masih kecil sangat perlu ketekunan dan keteladanan yang baik. Hal ini sebagaimana Zakiah Daradjat mengatakan bahwa: “orang tua hendaklah menjadi contoh yang baik dalam segala aspek kehidupan bagi  anak, karena anak-anak yang berusia di bawah enam tahun, belum dapat memahami suatu pengertian kata-kata seperti benar dan salah, baik buruk belum dapat digambarkan oleh anak kecuali dalam pengalaman sehari-hari dengan orang tua dan saudara-saudaranya”.[18]
Berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa salah satu kewajiban orang tua adalah penanggung jawab keluarga yaitu memberikan pembinaan dan pendidikan khususnya melatih pelaksanaan ibadah bagi anak-anaknya, dan dengan adanya pembinaan yang baik terhadap anak sejak usia dini, maka kelek ketika ia tumbuh besar akan menjadi anak yang patuh dan ta’at pada orang tua dan agama, yang pada tujuan akhirnya adalah mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.




[1]Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz. II, (Kairo: Darul Mutabi’aby, t. t), hal. 118.

[2] Imam Hafidh Abu Daud Sulaiman, Sunan Abu Daud, Juz II, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathabaah, Mustafa Al-Baby Al-Halaby, 1952), hal. 115.

[5]Mudjab Mahalli, Menikahlah, Engkau Menjad Kaya, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), hal. 73-74.

[6]Adnan Ath-Tharsyah, Menjadi Wanita Sukses dan Dicintai, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), hal. 207.

[7]Mudjab Mahalli, Menikahlah, Engkau…, hal. 536.

[8]Mudjab Mahalli, Menikahlah, Engkau…, hal. 536.

[9]Adnan Ath-Tharsyah, Menjadi Wanita…, hal. 209.

[10]Adnan Ath-Tharsyah, Menjadi Wanita…, hal. 209.

[11]Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Shalat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 34.

[12]Baihaqi A.K. Disertasi, Konsep Islam Tentang Pendidikan Anak Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998), hal. 308.

[13]Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 71.

[14]Soelaiman Yoesoef, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 75.

[15]Kartini Kartono dan Jeni Andari, Hygine Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal. 167.

[16]Mudjab Mahalli, Menikahlah, Engkau…, hal. 49.

[17]Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Tioritis dan Praktis, (Jakarta: Remaja, 1985),             hal. 85.

[18]Zakiah Daradjat, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang),     hal. 42.

No comments:

Post a Comment