Tuesday, October 24, 2017

Landasan Pendidikan Berbasis Syari'at Islam

Dasar adalah merupakan landasan tempat berpijak atau tegaknya sesuatu agar sesuatu tersebut tegak kokoh berdiri. Dasar suatu bangunan yaitu fondamen yang menjadi landasan bangunan tersebut agar bangunan itu tegak dan kokoh berdiri. Demikian juga dasar pendidikan Islam yaitu fondamen yang menjadi landasan atau asas agar pendidikan berbasis syari'at Islam dapat tegak berdiri tidak mudah roboh karena tiupan angin kencang berupa ideologi yang muncul baik sekarang maupun yang akan datang. Dengan adanya dasar ini maka pendidikan berbasis syari'at Islam akan tegak berdiri dan tidak mudah diombang-ambingkan oleh pengaruh luar yang mau merobohkan ataupun mempengaruhinya.[1]
Agama Islam yang bersifat universal memiliki tata cara yang mengatur totalitas kehidupan termasuk kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, masyarakat yang Islami sebagaimana halnya di Aceh meyakini bahwa pendidikan yang diharapkan dan dipercayai adalah pendidikan yang diselenggarakan dengan cara-cara yang Islami sesuai dengan asas-asas filosofi dan budaya Islam apalagi Aceh sebagai daerah yang satu-satunya menjalankan syari'at Islam. Ada beberapa dasar hukum dalam implementasi pendidikan bernuansa Islami di Aceh, yaitu:
Pendidikan berbasis syari'at Islam sebagai suatu usaha membentuk manusia, harus mempunyai landasan ke mana semua kegiatan dan semua perumusan tujuan pendidikan Islam itu di hubungkan.
1.      Al-Qur'an
Al-Quran adalah “kalam Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada hati Rasulullah anak abdullah dengan lafaz bahasa arab dan makna hakiki untuk menjadi hujjah bagi Rasullah atas kerasulannya dan menjadi pedoman bagi manusia dengan penunjuknya serta beribadah membacanya.[2]
Umat Islam sebagai suatu umat yang dianugerahkan Tuhan suatu kitab suci al-Quran, yang lengkap dengan segala petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal, sudah barang tentu dasar pendidikan mereka adalah bersumber kepada falsafah hidup yang berdasarkan kepada al-Quran.[3]
Muhammad Fadhil al-Jamali seperti yang dikutip oleh Ramayulis menyatakan, bahwa pada hakikatnya al-Qur'an itu merupakan perbendarahan yang besar untuk kebudayaan manusia, terutama bidang kerohanian. Ia pada umumnya merupakan kitab  pendidikan kemasyarakatan, moril (akhlak) dan spiritual (kerohanian).[4]
Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan yang paling utama pendidikan berbasis Syari'at Islam. Al-Qur’an memiliki konsep pendidikan yang utuh, hanya saja tidak mudah untuk diungkap secara keseluruhannya karena luas dan mendalamnya pembahasan itu di dalam al-Qur’an disamping juga keterbatasan kemampuan manusia untuk memahami keseluruhannya dengan sempurna. Dan pendidikan         al-Qur’an juga memiliki pengaruh yang dahsyat apabila dipahami dengan tepat dan diikuti dan diterapkan secara utuh dan benar. Karenanya menjadikan al-Qur’an sebagi sumber atau pijakan bagi pendidikan berbasis Syari'at Islam adalah keharusan bagi umat Islam.[5]
Islam adalah agama yang membawa misi umatnya menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Al-Qur`an merupakan landasan paling dasar yang dijadikan acuan dasar hukum tentang pendidikan berbasis syari'at Islam. Dasar pelaksanaan pendidikan Islam terutama adalah dalam al-Qur'an, di antaranya yaitu:

Artinya: Dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur'an) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.               (QS. Asy-Syuraa': 52)

Firman Allah Swt tentang pendidikan berbasis syari'at Islam dalam al-Qur`an surat al-'alaq ayat 1 sampai ayat 5, yaitu:

Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.                (QS. Al-‘alaq: 1-5)

Dari ayat-ayat tersebut di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa seolah-olah Tuhan (Allah Swt) berkata hendaklah manusia meyakini akan adanya Tuhan Pencipta manusia  (dari segumpal  darah),  selanjutnya untuk memperkokoh keyakinan dan memeliharanya agar tidak luntur hendaklah melaksanakan pendidikan dan pengajaran.
Selanjutnya, sebagaimana diketahui bahwa di dalam al-Qur’an banyak dijelaskan ajaran-ajaran yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan ini. Sebagai contoh dapat dibaca kisah Luqman mengajari anaknya dalam surat Luqman ayat 12 sampai dengan ayat 19. Dalam ayat tersebut terdapat 5 azas pendidikan yaitu yang berkenaan dengan:
             a            Azas Pendidikan tauhid
             b            Azas Pendidikan akhlaq kepada orang tua dan masyarakat
             c            Azas Pendidikan amar ma’ruf nahi munkar
            d            Azas Pendidikan kesabaran dan ketabahan
             e            Azas Pendidikan sosial kemasyarakatan (tidak boleh sombong).[6]

Pendidikan, karena termasuk ke dalam usaha atau tindakan untuk membentuk manusia, termasuk dalam ruang lingkup muamalah. Pendidikan sangat penting karena ia ikut menentukan corak dan bentuk  amal dan kehidupan manusia, baik pribadi maupun masyarakat. Di dalam al-Qur'an terdapat banyak ajaran yang berisi prinsip-prinsip berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu sendiri.[7]
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa dalam pendidikan berbasis Syari'at Islam harus mengunakan al-Qur’an sebagai sumber utama dalam merumuskan beberapa teori tentang pendidikan Islam. Atau dengan kata lain, pendidikan berbasis Syari'at Islam harus berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an  yang penafsirannya dapat dilakukan berdasarkan ijtihad disesuaikan dengan perkembangan zaman.[8]
Dasar ideal pendidikan berbasis syari'at Islam sudah jelas dan tegas yaitu firman Allah Swt dan sunnah Rasulullah Saw. Kalau pendidikan di ibaratkan bangunan maka isi al-Qur’an dan Hadits yang menjadi fundamennya. Al-Qur’an adalah sumber kebenaran dalam Islam, kebenaran yang sudah tidak dapat di ragukan lagi. Sedangkan sunnah Rasulullah Saw yang dijadikan landasan pendidikan berbasis Syari'at Islam adalah berupa perkataan, perbuatan atau pengakuan Rasullullah Saw dalam bentuk isyarat. Bentuk isyarat ini adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh sahabat atau orang lain dan Rasullullah membiarkan saja dan terus berlangsung.
Pada masa awal pertumbuhan Islam, Nabi Muhammad Saw adalah sebagai pendidik pertama, telah menjadikan al-Qur'an sebagai dasar pendidikan berbasis Syari'at Islam di samping sunnah Beliau sendiri. Kedudukan, al-Qur'an sebagai sumber pokok pendidikan berbasis Syari'at Islam dapat dipahami dari ayat al-Qur'an itu sendiri.
Tidak diragukan lagi, al-Qur’an sebagai dasar pertama, di dalamnya berisi firman-firman Allah Swt yang disampaikan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. Kebenarannya tidak dapat diragukan lagi, terutama sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Al-Qur’an di dalamnya terkandung ajaran pokok yang prinsip, yaitu menyangkut bidang aqidah yang harus diyakini dan menyangkut dengan amal yang disebut syari’ah.
Pendidikan berbasis syari'at Islam yang berlandaskan al-Qur'an yaitu memenuhi keimanan, ibadah, akhlak, dan ilmu pengetahuan atau paling tidak mengandung dua prinsip dasar yaitu yang berhubungan dengan masalah aqidah (keimanan) dan yang berhubungan dengan amal (iman dan amal shaleh). Pendidikan berbasis Syari'at Islam harus menggunakan al-Qur'an sebagai landasan dan sumber utama karena pendidikan ikut menentukan corak dan bentuk amal ibadah dan kehidupan manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial dan anggota masyarakat yang sekaligus pendidikan tersebut mendukung tujuan hidup manusia sesuai dengan isi al-Qur'an.
1      Al-Hadits
Al-Hadits adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Apa yang disebutkan dalam al-Qur'an dijelaskan atau dirinci lebih lanjut oleh Rasulullah Saw dengan sunah beliau. Karena itu, sunah Rasul yang kini terdapat dalam al-Hadits merupakan penafsiran serta penjelasan otentik (sah, dapat dipercaya sepenuhnya) al-Qur'an.
Di dalam al-Hadits juga berisi ajaran tentang aqidah dan akhlak seperti         al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah pendidikan. Al-Hadits berisi petunjuk (tuntunan) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat manusia seutuhnya. Dan yang lebih penting lagi dalam al-Hadits bahwa dalamnya terdapat cerminan tingkah laku dan kepribadian Rasulullah Saw yang merupakan tauladan dan edukatif bagi manusia.[9]

Al-Hadits dapat dijadikan dasar pendidikan berbasis syari'at Islam karena al-Hadits hakikatnya tidak lain adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Qur'an itu sendiri, di samping memang sunnah merupakan sumber utama pendidikan Islam karena karena Allah Swt menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai teladan bagi umatnya.[10]
Menurut Ahmad menjelaskan bahwa di dalam dunia pendidikan, hadits memiliki dua manfaat pokok. Manfaat pertama, hadits mampu menjelaskan konsep dan kesempurnaan pendidikan Islam sesuai dengan konsep al-Qur’an, serta lebih merinci penjelasan al-Qur’an. Kedua, hadits dapat menjadi contoh yang tepat dalam penentuan metode pendidikan.[11]
Banyak tindakan mendidik yang telah dicontohkan Rasulullah dalam pergaulan bersama para sahabatnya. Muhammad Quthb menerangkan bahwa pribadi Rasulullah Saw sendiri merupakan contoh hidup serta bukti kongkrit sistem dan hasil pendidikan Islam.[12] Oleh karena itu, maka hadits menjadi landasan dan sumber kedua setelah al-Qur'an. Di dalam hadits diajarkan tentang aqidah, syari’ah dan akhlak seperti al-Qur'an, yang juga berkaitan dengan masalah pendidikan. Namun yang paling penting dalam al-Hadits adalah bahwa di dalamnya terdapat cerminan tingkah laku dan kepribadian Rasulullah Saw yang menjadi suri tauladan dan harus diikuti oleh setiap muslim sebagai satu model kepribadian Islam.
pendidikan berbasis syari'at Islam merupakan pengembangan pikiran, penataan perilaku, pengaturan emosional, hubungan peranan manusia dengan dunia ini, serta bagaimana manusia mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih tujuan kehidupan sekaligus mengupayakan perwujudannya. Seluruh ide tersebut telah tergambar secara utuh dalam dalam suatu konsep dasar yang kokoh. Islam pun telah menawarkan konsep akidah yang wajib diimani agar dalam diri manusia tertanam perasaan yang mendorongnya pada perilaku normatif yang mengacu pada syariat Islam. Perilaku yang dimaksud adalah penghambaan manusia berdasarkan pemahaman atas tujuan penciptaan manusia itu. Aspek keimanan dan keyakinan menjadi landasan aqidah yang mengakar dan integral serta menjadi motivator yang menggugah manusia untuk berpandangan ke depan serta optimis, sungguh-sungguh dan kesadaran. Sudah barang tentu kesemuanya ini berdasarkan pada suatu sumber pokok yaitu al-Qur’an dan hadits.
2      Undang-Undang
Hukum Islam atau yang biasa disebut syari’at Islam adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi penting dalam pandangan umat Islam, karena ia merupakan manifestasi paling konkrit dari Islam sebaagai sebuah agama.
Menurut Undang-undang Negara Indonesia secara formal pendidikan Islam mempunyai dasar yang cukup kuat. Pancasila merupakan dasar setiap tingkah laku dan kegiatan bangsa Indonesia, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, berarti menjamin setiap warga Negara untuk memeluk, beribadah, dan menjalankan aktifitas yang berhubungan dengan pengembangan agama, termasuk melaksanakan pendidikan agama Islam.
Dengan demikian, dasar yuridis pelaksanaan pendidikan berbasis syari'at Islam berasal dari perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu:
        a        Dasar ideal, yaitu dasar falsafah negara Pancasila, sila pertama; Ketuhanan yang Maha Esa.
        b        Dasar struktural/konstitusional, yaitu UUD 45 dalam bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2, yang berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa; 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
        c        Dasar operasional, yaitu terdapat dalam UU RI NOMOR 20 Tahun 2003 SISDIKNAS Pasal 30 Nomor 3 pendidikan keagamaan dapat di selenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informa.[13] Dan terdapat pada pasal 12 No 1/a setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.[14]

Dengan demikian, secara umum pelaksanaan syari’at Islam di Indonesia telah memdapatkan landasan hukum yang kuat. Hal ini dapat dipahami maksud dari bunyi pasal 29 ayat (1) UUD 1945. “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menurut Ichtijanto, dengan penegasan Undang-Undang Dasar 45 pasal 29 (1) tersebut, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Hukum Dasar dari Hukum Positif Indonesia; seluruh rakyat Indonesia mentaatinya. Dengannya dimaksudkan agar rakyat Indonesia selalu memandang dan menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Hukum yang mengikat setiap saat bagi karyanya dalam kehidupan pribadi, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[15]
Apabila kita menilik pada sejarah pembentukan Undang-Undang Dasar 1945, maka rumusan bunyi pasal 29 tersebut di atas, adalah merupakan hasil kompromi yang diperoleh oleh umat Islam, karena sebelumnya umut Islam melalui tokoh-tokoh Islam mengusulkan rumusan yang berbunyi dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Adapun jika dikaji dari aspek Psikologi, maka dasar yang berhubungan dengan aspek kejiwaan masyarakat. Hal ini didasarkan bahwa dalam hidup manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tidak tentram sehingga memerlukan pegangan hidup yaitu agama.[16]
Oleh karena itu tidaklah berlebihan apabila umat Islam menuntut kepada pemerintah untuk memberikan peluang atau kemudahan bagi umat Islam dalam menjelankan ajaran agama Islam secara komprehensif, tidak saja aspek ibadah dalam arti sempit, akan tetapi juga pada aspek ibadah dalam arti luas, termasuk bidang pendidikan, muamalah, aspek sosial, politik dan ekonomi dan lain sebagainya.
3      Otonomi
Setelah MoU perdamaian antara pemerintah RI dengan GAM ditanda-tangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki Finland, pemerintah kemudian mengeluarkan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang ini sebagai komitmen politik pemerintah Indonesia dalam menindaklanjuti hasil dari perjanjian damai di Helsinki. Salah satu kewenangan (otonomi/self-government) yang diberikan dalam undang-undang tersebut adalah melaksanakan syari'at Islam di Aceh secara kaffah, baik dalam hal ibadah, pendidikan, muamalat, syi’ar (dakwah), hukum perdata dan juga dalam hal hukum pidana.[17]
Prinsip inilah yang kemudian melahirkan landasan hukum bagi penerapan syariat Islam di Aceh. Dalam pasal (125) UU No.11 tahun 2006 ayat (1) disebutkan bahwa syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi beberapa hal, antara lain: (1) aqidah, (2) syariah dan (3) akhlak. Pasal ini dijelaskan lebih rinci dalam ayat 2 (dua) yaitu syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) meliputi ibadah, ahwal al-syaksiyah (hukum keluarga/perdata), muamalah (hukum ekonomi), jinayat (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi’ar dan pembelaan Islam.
Otonomi khusus di Aceh yang disertai pengimplementasi syari'at Islam tentunya bersifat multi dimensi, mencakup berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, tidak terkecuali dibidang pendidikan. Khusus mengenai bidang pendidikan, pemerintah Aceh dalam upaya meningkatkan kapasitas pendidikan daerah telah ditetapkan melalui Qanun Nomor 23 tahun 2002 tentang penyelenggaraan pendidikan. Kebijakan ini dijalankan dalam rangka mengakomodir dan mengimplementasikan sistem pendidikan yang berlandaskan syari’at Islam di daerah ini. Hal ini sebagai mana dituangkan dala pasal 12 yang menyebutkan bahwa “sistem pendidikan provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah pendidikan yang berdasarkan sistem pendidikan nasional yang disesuaikan dengan nilai-nilai Sosial budaya daerah serta tidak bertentangan dengan syari’at Islam”.[18]
Mencermati penjelasan pasal 12 tersebut dan urgensi dari desentralisasi administratif serta desentralisasi kebijakan pendidikan lokal diatas maka, ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam sistem pendidikan Aceh, yaitu: Pertama, sistem pendidikan nasional harus menjadi patron dan standar dalam pendidikan yang dilaksanakan di Aceh. Kedua, Aspek sosial budaya (adat istiadat) dan seluruh nilai-nilai lokal (local value) atau kearifan lokal (local wisdom) menjadi potensi daerah yang patut dihargai dan menjadi bahagian dalam mewarnai sistem dan isi pendidikan di Aceh. Ketiga, syari'at Islam harus dijadikan sebagai dasar dalam pembangunan pendidikan. seluruh aspek pendidikan yang dilaksanakan di Aceh mesti dijiwai serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai syari’at Islam.
Secara lebih jelas, bahwa implementasi penerapan pendidikan berbasis syari'at Islam di Aceh memiliki dasar hukum yang sangat kuat baik dari segi agama Islam, Undang-undang pemerintah Indonesia maupun otonomi khusus provinsi Aceh, yaitu sebagai berikut:
           a          Al-Qur’an dan Hadits,
          b          Undang-Undang Dasar 1945,
           c          Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
          d          Undang-Undang No. 7 (DRT) Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonomi kabupaten dalam wilayah provinsi Sumatera Utara,
           e          Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,
           f          Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Provinsi NAD,
          g          PERDA No. 6 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan Pendidikan di daerah Istimewa Aceh,
          h    Instruksi Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 2/ Instr/ tahun 1999 tentang pembudayaan suasana pendidikan yang bernuansa islami di sekolah-sekolah dalam provinsi Istimewa Aceh,
            i          Qanun Nomor 23 tahun 2002 tentang penyelenggaraan pendidikan,
            j          UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dan
          k          Qanun Aceh No. 5 tahun 2008 tentang penyelenggaraan pendidikan di Aceh.[19]

Bahkan di dalam Qanun Aceh No. 5 tahun 2008 tentang penyelenggaraan pendidikan di Aceh, Bab III pasal 5 ayat 2 disebutkan bahwa "Sistem pendidikan nasional yang diselenggarakan di Aceh didasarkan pada nilai-nilai Islami".[20]
Dengan demikian, maka pendidikan berbasis syari'at Islam semestinya menjadi agenda utama dalam proses penerapan syari'at Islam di Aceh. Sebab, tidak diragukan lagi bahwa hanya dengan pendidikan Islam yang komperhensif pintu gerbang kebangkitan Islam dan umatnya bisa dibuka. Hanya dengan Islamisasi Pendidikan cita-cita syari'at Islam yang kaffah di Aceh menjadi mungkin untuk diimpikan. Berbagai ketimpangan yang terjadi selama ini, baik pada ranah individual, masyarakat maupun tatanan negara, justru karena nilai-nilai pendidikan Islam belum diterapkan secara sempurna, atau bahkan tidak diterapkan sama sekali. Sehingga cita-cita pendidikan untuk melahirkan peserta didik yang memiliki karakteristik utuh sebagai sosok pribadi yang shaleh secara individual dan sosial masih jauh dari harapan.



[1]Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustak Setia, 2005), hal. 19.
[2]Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hal. 122.
[3]Ramayulis, Ilmu Pendidikan..., hal. 122.
[4]Ramayulis, Ilmu Pendidikan..., hal. 123.
[5]Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam Di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta, Gema Insani, 1983), hal. 28.
[6]Shalah Abdul Fatah al-Khalidy, Kisah-Kisah al-Qur'an Pelajaran Orang-orang Dahulu, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hal. 147.
[7]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 20.
[8]Munardji, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hal. 48.
[9]Munardji, Ilmu Pendidikan..., hal. 48.
[10]Ramayulis, Ilmu Pendidikan..., hal. 123.
[11]Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Lembaga Pendidikan Umat, 2005), hal. 17.
[12]Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, (Bandung: Alma’arif, 1984), hal. 13.
[13]UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional: Wipress, 2006),   hal. 68.
[14]UU RI  Nomor 20 Tahun 2003 Sisdiknas..., hal. 61.
[15]Ichtijanto, Hukum Terapan Peradilan Agama dalam Mimbar Hukum No. 58 Thn xiii, 2002), hal. 5.
[16]Zuhairini, dkk, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Malang, 1983), hal. 21.
[17]Pasal 125 UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
[18]Qanun Nomor 23 tahun 2002 tentang penyelenggaraan pendidikan, pasal 12.
[19]Tim Penyusun, Panduan Umum Pelaksanaan Pendidikan Bernuansa Islami Kabupaten Aceh Besar, (Aceh Besar: TB Taufiqiyah Utama, 2002), hal. 5.
[20]Qanun Aceh No. 5 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan di Aceh

No comments:

Post a Comment