Friday, October 6, 2017

Puasa Proses Mencapai Ketaqwaan

Oleh: Muhammad Syarif, S.Pd.I., MA
(Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh)

Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakaatuh,

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ, أَمَّا بَعْدُ 
Kaum muslimin yang berbahagia
Tiada kata yang paling indah untuk diucapkan selain memanjatkan puji syukur kehadiran Allah Swt karena berkah dan rahmat-Nya sehingga pada kesempatan ini, tahun ini, kita masih diberikan kekuatan, nafas serta kesehatan sehingga kita masih dipertemukan oleh bulan Ramadhan 1438 Hijiriah ini. Bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh dengan keberkahan, di mana seribu bulan lain tiada cukup dijadikan sandingannya. Bulan yang di dalamnya dilipatgandakan pahala tentu kaum muslimin tidak ingin rugi dalam meraup "keuntungan" dalam bentuk amal yang berlipat ganda.
Wahai kaum muslimin, hendaknya kita mengetahui bahwa salah satu nikmat yang banyak disyukuri meski oleh seorang yang lalai adalah nikmat ditundanya ajal dan sampainya kita di bulan Ramadhan. Tentunya jika diri ini menyadari tingginya tumpukan dosa yang menggunung, maka pastilah kita sangat berharap untuk dapat menjumpai bulan Ramadhan dan mereguk berbagai manfaat di dalamnya.
Bersyukurlah atas nikmat ini. Betapa Allah ta’ala senantiasa melihat kemaksiatan kita sepanjang tahun, tetapi Dia menutupi aib kita, memaafkan dan menunda kematian kita sampai bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan di tahun ini.
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam, karena Allah Swt memberikan discount dan bonus besar-besaran serta mengobral pahala. Allah Swt melipatgandakan pahala kebaikan yang dilakukan setiap manusia hingga 10 bahkan sampai 700 kali lipat.
Hal ini seperti hadits Nabi yang artinya:
“Semua amalan anak adam akan dilipatgandakan (balasannya), satu kebaikan akan dibalas dengan 10 sampai 700 kali lipat.” Allah Swt berfirman: “Kecuali puasa, sesungguhnya itu untuk-Ku, dan Aku yang langsung membalasnya. Hamba-Ku telah meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku.” (HR. Muslim)
Selama bulan Ramadhan kita diperintahkan untuk selalu menegakkan ketaatan kepada Allah Swt, di samping melaksanakan kewajiban puasa. Banyak amal ibadah yang kita lakukan sebagai wujud menegakkan bulan Ramadhan, di antaranya yaitu shalat qiyamul lail dan membaca Al-Qur’an.
Sebagaimana yang dituliskan oleh Imam Al-Shan’any dalam kitabnya Subulus-Salam,
“Menegakkan bulan Ramadhan, yaitu menegakkan malam bulan Ramadhan dengan shalat atau membaca Al-Qur’an.” (Juz II, hlm: 173)
Ketika sudah masuk pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini, semua orang setiap habis shalat ashar, shalat tarawih, dan bahkan shalat subuh, mereka akan berlomba-lomba untuk membaca Al-Qur’an dan sebanyak mungkin untuk mengkhatamkannya. Di meunasah dan masjid, suara membaca Al-Qur’an silih berganti terdengar. Memang membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan berbeda ketika dibaca di sebelas bulan yang lain. Di bulan-bulan biasa ketika membaca satu huruf, kita akan diberi balasan pahala dengan sepuluh kebaikan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dalam kitab Allah, maka baginya satu kebaikan, dan setiap kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan. Saya tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi).
Serangkaian ibadah-ibadah yang kita lakukan tersebut di bulan Ramadhan merupakan bentuk kepatuhan dan ketundukan kita kepada Allah Swt. Dan ini semua akan bermuara pada proses pencapaian tingkat ketaqwaan kita kepada Allah Swt.
Allah Swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa. (QS. al-Baqarah: 183).

Jamaah Shalat Isya’, Tarawih dan Witir yang diramhati oleh Allah Swt
Apa yang dimaksud dengan Taqwa?
Secara bahasa, kata taqwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah (Arab), yang berarti takut, menjaga diri, memelihara, tanggung jawab, dan memenuhi janji dan kewajiban. Secara istilah, taqwa mengandung pengertian menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala dilarang Allah Swt dan melaksanakan segala yang diperintahkan-Nya”. Al-Qur’an menyebutkan bahwa orang yang bertaqwa dengan muttaqi, jamaknya muttaqin, yang berarti orang yang bertaqwa.
Karena itu orang yang bertaqwa adalah orang yang takut kepada Allah, mengerjakan segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya. Orang yang taqwa adalah orang yang menjaga (membentengi) diri dari kejahatan, tidak mengikuti hawa nafsunya, memelihara diri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak diridhai Allah, bertanggung jawab mengenai sikap, tingkah laku dan perbuatannya, dan memenuhi janji dan kewajibannya.
Taqwa merupakan bukti keimanan. Perintah taqwa menembus dimensi ruang dan waktu serta menuntut totalitas individu dalam melaksanakannya, dalam menjalankan ketaqwaan terhadap Allah dapat dilakukan dalam bentuk hati, lisan dan perbuatan.
-         Dalam Hati: selalu yang ada di hati hanya mengagumi kebesaran Allah yang telah memberikan rahmat kepada kita, apakah nikmat Islam, iman ataupun nikmat yang bersifat kesenangan duniawi yang tujuannya semata-mata agar menjadi hamba Allah yang bertaqwa.
-         Dalam Lisan: Apa yang kita ucapkan dalam kehidupan sehari-hari selalu bermanfaat, seperti: zikir, berdakwah, tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak baik.
-         Dalam Perbuatan: Amalan yang diperintahkan oleh Allah selalu kita kerjakan bukan hanya shalat, puasa, zakat, haji, tapi segala amalan atau perbuatan dalam kehidupan yang dilandaskan syari’at baik itu fardhu, wajib, sunah, mubah dan makruh dan menjauhi segala perbuatan yang dilarang oleh Allah, seperti mencuri, membunuh, berzina, minum-minuman keras, dan lain-lain.
Kedudukan taqwa bagi seorang muslim sangat penting dalam kehidupannya, bahwa taqwa memiliki jalan yang apabila jalan itu ditempuh maka taqwa akan menjadi watak (malakah) di dalam hati yang akan melahirkan perilaku sesuai dengan al-Qur’an dan As-Sunnah.

Jamaah Shalat Isya’, Tarawih dan Witir yang diramhati oleh Allah Swt
Antara Puasa dan Taqwa
Puasa adalah bentuk amalan yang harus dilaksanakan oleh umat Islam pada bulan Ramadhan agar menjadi orang yang bertaqwa (laalakum tattaquun). Maksud (laalakum tattaquun) sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Jalalain adalah “menjaga dirimu dari maksiat, karena puasa itu dapat membendung syahwat yang menjadi pokok pangkal dan biang keladi maksiat itu”. Dalam Tafsir Muyassar disebutkan bahwa, sesungguhnya dalam puasa itu terdapat hal-hal yang dapat mengantarkan manusia kepada ketaqwaan. Hal-hal tersebut di antaranya adalah; “ketaatan dalam melaksanakan perintah, mematahkan nafsu amarah, belajar sabar, menjauhi larangan, melawan hawa nafsu, memerangi setan dan kesungguhan dalam beribadah”.

Pengertian takwa ialah memelihara dan menjaga diri dari perbuatan yang menyebabkan kemurkaan Allah dan perbuatan yang bisa mendatangkan siksaan-Nya. Cara yang harus ditempuh untuk merealisasikan hal tersebut adalah dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Menjaga jiwa dari perbuatan dosa dan nafsu syahwat, serta membersihkan diri dari berbagai macam perilaku (akhlak) tercela.
Setiap muslim wajib membekali ketaqwaan dalam setiap perkataan dan perbuatan. Ketaqwaan adalah esensi dan tujuan dari kewajiban berpuasa. Jika orang yang berpuasa mampu merealisasi ketaqwaan dan selalu bermuraqabah (kontrol) Allah dalam segala kondisi dan situasi, sesungguhnya dia telah memberi manfaat dari puasa tersebut. Dia telah mendapatkan buah dari hasil terbesar dari puasa itu yaitu ketaqwaan kepada Allah Swt.
Seseorang yang berpuasa meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah swt semata-mata karena berupaya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan mengharapkan pahala dari-Nya walaupun jiwanya cenderung dan senang kepada hal-hal yang membatalkan puasa.
Melaksanakan ibadah puasa agar menjadi umat yang bertaqwa tidaklah mudah. Tetapi jika semual hal-hal yang dilarang dalam agama yang ada kaitannya dengan puasa dan melaksanakan segala rukun dan syarat puasa itu serta melaksanakan segala perintah Allah yang berupa amalan-amalan yang menunjang sahnya puasa seseorang muslim di jamin oleh Allah akan menjadi orang yang muttaqin dan janji Allah terhadapnya yaitu syurga Rayyan. Puasa sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesehatan spiritual. Seorang yang menjalankan puasa harus mengekang diri dari tuntutan biologis dan nafsu duniawi dalam upaya pembersihan jiwa seperti makan, minum dan melakukan hubungan seks, demi menjalankan perintah Allah. Tentu saja seseorang yang harus mengekang dirinya akan merasakan berat, walau dilakukan demi menjalankan perintah Allah. Sepanjang bulan Ramadhan ia terus menahan diri dengan penuh kesabaran dan menyadari bahwa Allah selalu mengawasinya. Seandainya rasa takut terhadap larangan Allah dan meninggalkan puasa tidak ada pada dirinya, maka ia takkan tahan melakukan puasa. Tentu saja dengan membiasakan diri dalam hal ini, akan tertanam dalam jiwanya rasa ikhlas dalam menjalankan perintah Allah, dan rasa malu jika melanggar larangan-larangan-Nya. Dalam hal ini berarti seseorang yang berpuasa sedang melatih jiwanya untuk senantiasa muraqabatullah (sikap merasa diawasi oleh Allah) walaupun ia tidak melihat-Nya.Lapar dan haus dipilih sebagai cara untuk mencapai tujuan puasa. Tetapi lapar dan haus itu sendiri bukanlah tujuan berpuasa. Karena itu, janganlah kita keliru menjadikan lapar dan haus sebagai tujuan puasa, baik secara sengaja maupun tidak. Dalam konteks inilah kritik Rasulullah tentang orang yang hanya mendapatkan lapar dan haus dalam berpuasa. Harus kita sadari bahwa dalam beribadah kita sering terjebak pada ‘menjadikan tata cara’ sebagai tujuan beribadah. Tujuan utama puasa adalah untuk mengubah kualitas jiwa kita agar menjadi lebih terkendali atau dalam istilah agama menjadi lebih bertakwa.
Puasa itu mempersempit jalannya setan, ketahuilah bahwa setan itu berjalan dalam tubuh manusia melalui aliran darahnya. Puasa akan melemahkan pengaruh setan yang selalu menggoda manusia untuk melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa sehingga perbuatan maksiat dapat terminimalisir pada bulan puasa dibandingkan dengan bulan-bulan lain. Tentu ini semua juga merupakan salah satu cara untuk melahirkan perangai taqwa dalam diri manusia.

Jamaah Shalat Isya’, Tarawih dan Witir yang diramhati oleh Allah Swt
Ramadhan belum menjamin ketakwaan seseorang selamanya. Menjadi bertakwa merupakan sebuah proses untuk kembali kepada fitrah kita sebagai manusia, dengan terus berbuat baik kepada diri sendiri, orang lain, lingkungan dan kepada Sang Pencipta. Takwa seperti inilah yang dipatok sebagai tujuan puasa. Jadi, puasa dikatakan berhasil jika puasa tersebut membawa dampak positif dalam kualitas hubungan kepada empat segmen tersebut.
Untuk mengukur gambaran yang komprehensif tentang efek puasa dalam kehidupan nyata, minimal ada tujuh parameter yang perlu diperhatikan; (1) Badan lebih sehat, (2) Emosi lebih rendah dan terkontrol, (3) Fikiran lebih jernih, (4) Sikap lebih bijaksana, (5) Hati lebih lembut dan peka, (6) Ibadah lebih bermakna, (7) Lebih tenang dan tawadhu’ dalam menjalani hidup. Ketujuh parameter ini dapat digunakan untuk mengukur berhasil tidaknya puasa seseorang dalam mengubah karakternya menjadi pribadi yang bertakwa.
Di dalam Islam, puasa mempunyai tujuan di dalam rangka takwa terhadap Allah, sebagaimana dijelaskan pada akhir ayat yang berbunyi: “Agar kamu bertakwa”. Pengertian takwa ialah menjaga diri dari perbuatan yang menyebabkan kemurkaan Allah dan perbuatan yang bisa mendatangkan siksaan-Nya. Cara yang harus ditempuh untuk merealisasikan hal itu ialah dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Juga menjaga dan memelihara jiwa dari perbuatan dosa dan nafsu sahwat, serta membersihkan diri dari berbagai macam perilaku (akhlak) tercela. Menariknya adalah Allah menggunakan premis la’allakum (mudah-mudahan), yang menunjukkan bahwa tidak semua orang yang berpuasa pasti bertakwa. Tergantung bagaimana dia melaksanakannya. Sesuai dengan ajaran Rasulullah atau tidak. Kedua adalah digunakannya verba mudhâri’ yang berarti bahwa takwa seseorang itu naik turun. Besar kecilnya jiwa takwa sangat tergantung pada konsistensi kita dalam menjaganya. Jika hanya selama Ramadan kita menjaganya, di luar Ramadan kita kembali menjadi pribadi yang jauh dari takwa. Artinya puasa Ramadhan belum menjamin ketakwaan seseorang selamanya.
Perlu disadari bahwa puasa pada bulan Ramadhan itu merupakan proses pelatihan menata diri agar bisa mengimplementasikan praktek puasa dan mentransformasikan nilai-nilai akhlak pada bulan Ramadhan itu dalam kehidupan sehari-hari di luar bulan Ramadhan agar selalu menjadi hamba Allah yang bertaqwa.
Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah umat Islam berada dalam kehidupan modern yang serba mudah, serba bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik manusia selalu diperhadapkan dengan hal-hal yang dilarang agama akan tetapi sangat menarik naluri kemanusiaannya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang mendukung. Kehidupan modern telah membuat sebagian manusia lupa akan hakekat manusia sebagai hamba Allah Swt yang wajib beriman dan bertaqwa kepada-Nya Mereka sibuk mencari kepuasan dan kenikmatan duniawi. Mereka lebih mementingkan kebutuhan materi ketimbang kebutuhan rohani. Semua rela mereka korbankan hanya untuk memenuhi nafsu semata. Dalam hal ini sebagai hamba Allah yang beriman kita harus selalu berusaha membentengi diri kita dengan taqwa agar menjadi hamba Allah yang tidak terpedaya dengan gemerlapnya dunia moderen. Hal ini bisa kita lakukan dalam puasa Ramadhan sebagai ajang latihan untuk menghadpi persoalan tersebut di atas agar kita bisa sampai kepada tujuan yang hakiki dari puasa itu yaitu agar menjadi orang yang bertaqwa. Tapi pada kenyataannya puasa yang dilakukan sekarang kurang sesuai dengan ketentuan syar’i. Terkadang hanya persoalan sepele kaum muslimin menumpahkan kemarahannya yang luar biasa dan mereka mengatakan ini adalah akibat dari reaksi alami yang diakibatkan karena puasa. Hal seperti ini bertentangan dengan taqwa yang merupakan tujuan utama disyari’atkannya ibadah puasa. Banyak umat Islam yang berpuasa tapi tak mendapat apa-apa, hanya lapar dan dahaga saja. Karena mereka tidak tahu apa hakekat dari puasa itu sendiri dan seperti apa yang dimaksud orang bertaqwa. Padahal hakekat puasa itu adalah pengendalian diri atas segala hal yang dilarang oleh Allah sesuai dengan ketentuan syari’at Islam sedangkan taqwa adalah sejauh mana kita memelihara dan menjaga segala bentuk-bentuk amalan yang dilakukan baik dalam bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Puasa yang dijadikan sebagai ajang latihan menata diri dan melatih diri agar kelak setelah keluar dari bulan Ramadhan bisa ditransformasikan nilai-nilai akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari tapi kebanyakan dari mereka tidak memahami hal itu. Mereka beranggapan bahwa setelah keluar dari bulan Ramadhan mereka bebas lagi melakukan hal-hal yang mereka inginkan walaupun itu melanggar perintah Allah. Realitas membuktikan bahwa sosialisasi takwa yang berbentuk syari’at seperti puasa dan lain-lain yang walaupun pada hakekatnya taqwa itu sudah tertanam dalam ibadah puasa itu tapi terlihat belum mengena sasaran. Ini dikarenakan beberapa faktor, diantaranya yang pertama, muslim yang bersangkutan belum paham betul makna taqwa itu sendiri. Yang kedua, ketidak tahuannya tentang bagaimana, dari mana dan kapan dia harus mulai merilis sikap taqwa itu. Perlu mewujudkan suatu konsep khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap taqwa. Dan ini menjadi tanggung jawab kita semua umat Islam untuk mengajarkan kepada sesama muslim agar paham dengan sebenar-benarnya tentang puasa yang bagaimana yang bisa mengantarkan kita agar menjadi orang yang bertaqwa.
Puasa adalah ibadah yang dapat menanamkan rasa ikhlas, dan merupakan amanat antara khaliq dan makhluknya. Seandainya puasa itu dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah Swt dalam al-Qur’an dan Hadistnya, InsyaAllah kita akan mendapatkan hidayah dan rahmat yang besar dalam mengarungi kehidupan modern seperti sekarang ini yang mana di dalamnya banyak hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Dengan puasa ini bisa membentengi diri kita untuk menghadapi berbagai persoalan hidup yang akan mengantarkan kita menjadi hamba Allah yang muttaqin.
Amiin ya Rabbal ‘alamiin
Wassalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuhu


No comments:

Post a Comment