SYARIAT
ISLAM DI ACEH
Oleh: Muhammad Syarif, S.Pd.I., MA
Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Serambi Mekkah
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sejak lahirnya
otonomi daerah di Aceh telah terjadi banyak perubahan-perubahan tuntutan,
seperti adanya keinginan yang besar dalam diri rakyat Aceh dan Pemerintah Aceh
untuk menjayakan kembali syariat-syariat Islam di Aceh seperti pada masa
kejayaan kerajaan-kerajaan Aceh yang dahulu. Sejarah mencatat bagaimana
perkembangan Islam pada masa Kesultanan Iskandar Muda, Islam sangat berjaya
bahkan sampai ke semenanjung Malaya sekalipun. Kerajaan-kerajaan lain pun
tunduk kepada hukum syariat Islam ketika itu, sehingga terdapat satu istilah
populer “Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, qanun bak
Putroe Phang, reusam bak Laksamana.” Yang artinya hukum adat ditangan
pemerintah dan hukum agama atau syariat ada di tangan para ulama. Kesadaran-kesadaran
masa lalu ini lah yang membuat masyarakat Aceh berpikir kritis bagaimana
caranya mencapai kejayaan-kejayaan itu kembali.
B. Rumusan Masalah
Islam memang identik dengan syariat Islam atau lebih
dikenal dengan istilah Serambi Mekah. Salah satu buktinya ialah adanya Qanun
Jinayat yang telah disahkan oleh DPRA baru-baru ini, Qanun Maisir, hukum
cambuk, serta adanya perangkat-perangkat pelaksana syariat Islam seperti;
Mahkamah Syariat, Majelis Permusyawaratan Ulama, Wilayatul Hisbah, Dinas
Syariat Islam dan sebagainya. Dewasa ini, masih banyak terjadi
pelanggaran-pelanggaran syariat di Aceh, seperti kasus perzinaan dan perjudian,
sehingga dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh masih belum
Kafah. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, dikhawatirkan pelaksanaan
Syariat Islam di Aceh yang sudah resmi ini akan terabaikan adanya, yang pada
akhirnya Syariat Islam akan tinggal kenangan, seperti sejarah hilangnya Islam
yang megah di Spanyol. Auzubillahi min zalika.
C. TUJUAN
1. Apa pengertian dari Syariat Islam?
2. Apa Prinsip Syariat Islam di Aceh?
3. Apa Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syariat Islam
Kata Syariat berasal dari akar kata syara’a – yasyra’u – syar’an
wa syir’atan wa syari’atan. Secara etimologi (harfiah) bermakna
“jalan menuju air”, “adat kebiasaan”, dan “agama”. Dalam bahasa Arab sering
disebut Syari’at Islam. Dalam bahasa Melayu, ia juga
disebut syari’at atau Syari’ah itu sendiri.
Apabila diterjemah secara etimologi ke dalam bahasa Melayu ia dapat berarti
Hukum atau Undang-Undang Islam. Undang-Undang ini datangnya langsung dari Allah
swt. untuk semua manusia yang hidup di dunia ini baik muslim atau nonmuslim.
Bagi yang menjalankannya, Allah akan menjanjikan surga dan yang melanggarnya
akan terancam dalam neraka. Sedangkan menurut istilah, Syariat adalah segala
sesuatu yang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. dalam
bentuk wahyu yang ada dalam Alquran dan Sunnah. Syariat bisa digunakan
dalam dua arti, pertama dalam arti sempit, merupakan salah satu aspek ajaran
Islam yaitu aspek yang berhubungan dengan hukum. Sedangkan dalam arti luas
mencakup semua aspek ajaran Islam, identik dengan istilah Islam itu sendiri.
Kemudian Syariat Islam digunakan secara lebih luas mencakup aspek pendidikan, kebudayaan,
ekonomi, politik dan aspek-aspek lainnya. Dalam yurisprudensi Islam,
Syariat merupakan kode sempurna dari hukum Islam yang dapat melingkupi semua
perilaku manusia menuju petunjuk Al-Quran dan Sunnah. Agama Islam (Dinul
Islam) terbagi ke dalam tiga aspek, yaitu : Syariat, Akidah dan Akhlak.
Syariat memerlukan Fikih untuk penafsirannya sehingga hukum syariat mudah
dimengerti oleh umat Islam.
B. Prinsip Syariat Islam
Syariat
Islam mempunyai prinsip-prinsip yang secara keseluruhan merupakan kekhususan
(spesifikasi) yang membedakan dengan peraturan-peraturan lainnya.
Prinsip-prinsip dasar tersebut ada tiga, yaitu :
1.
Tidak Memberatkan
Hal
ini berarti bahwa syariat Islam tidak membebani manusia dengan kewajiban di
luar kemampuannya, sehingga tidak berat untuk dilaksanakan. Firman Allah Swt antara
lain:
“... dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. “ (QS. Al Hajj: 78).
“... Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ... “. (QS. Al Baqarah : 185).
“Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan)
yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(mereka berdoa):”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau
kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang
berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkau-lah
penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al Baqarah:
286).
Ayat-ayat
yang bersifat umum tersebut telah dijadikan pokok dan dasar syariat.
Berdasarkan ayat-ayat yang demikian itu, diadakan rukhshah, yakni
aturan-aturan yang meringankan agar jangan menempatkan orang Islam dalam
keadaan yang sulit dan berat. Antara lain dalan Al-Qur’an disebutkan:
1) Keringanan berbuka puasa bagi orang yang
sedang sakit atau dalam perjalanan :
“... Maka barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya ...” (QS. Al Baqarah:
184).
2) Keringanan bertayamum bagi orang yang tidak
boleh menggunakan air :
“...dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).
3) Keringanan membolehkan memakan bangkai
atau makanan lainnya apabila dalam keadaan terpaksa :
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan
bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih)
disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
Maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).
2.
Menyedikitkan Beban
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Maidah: 101).
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa hal-hal yang tidak disebutkan dalam syariat Islam
tidak perlu dipertikaikan bagaimana ketentuan hukumnya, hal itu merupakan
rahmat Allah Swt untuk tidak memperbanyak beban kepada umat manusia.
Sabda Rasulullah Saw, yang artinya:
“Rasulullah SAW. telah ditanya tentang
haji: Apakah haji itu harus dilakukan setiap tahun ? Rasulullah Saw menjawab :
Jika aku katakan ya, pasti akan menjadi wajib, maka biarkanlah apa yang
aku tidak kerjakan bagimu, karena hancurnya orang-orang umat sebelum kamu
karena banyaknya pertanyaan mereka dan perbedaan pendapat mereka terhadap Nabi mereka.”
(Al Hadits).
3.
Berangsur-angsur dalam Menetapkan Hukum
Pada
awal ajaran Islam diturunkan, Allah Swt belum menetapkan hukum secara tegas dan
terperinci, karena bangsa Arab pada waktu itu telah menggunakan adat kebiasaan
mereka sebagai peraturan dalam kehidupan. Pada
saat itu adat mereka ada yang baik dan dapat diteruskan, tetapi
ada pula yang membahayakan dan tidak layak untuk diteruskan. Oleh karena
itu syariat secara berangsur-angsur menetapkan hukum agar tidak
mengejutkan bangsa yang baru mengenalnya, sehingga perubahan itu tidak terlalu
dirasakan yang akhirnya sampai pada ketentuan hukum syariat yang tegas.
Tahapan-tahapan dalam menetapkan
syariat Islam menempuh cara sebagai berikut :
1) Berdiam diri, yakni tidak menetapkan hukum
kepada sesuatu, karena buat sementara masih perlu diperkenankan, yang kemudian
akan diharamkan. Cara ini dilakukan antara lain dalam masalah warisan. Islam
tidak segera membatalkan hukum warisan jahiliyah, tetapi akhirnya
diganti dengan hukum warisan Islam dan sekaligus membatalkan hukum
warisan Jahiliyah tersebut.
2) Mengemukakan permasalahan secara mujmal, yakni
dikemukakan secara terperinci. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam hukum
peperangan, Firman Allah Swt:
“Telah diizinkan (berperang) bagi
orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan
Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,” (QS. Al Hajj:
39).
3) Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur,
sebagaimana ditemui dalam cara mengharamkan khamar (arak). Rasulullah Saw.
pernah ditanya tentang khamar dan maisir (judi), yang sudah menjadi kebiasaan
dikalangan masyarakat Arab waktu itu. Firman Allah Swt:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan
judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".
dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah yang lebih
dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya
kamu berfikir,” (QS. Al Baqarah: 219).
Dengan ayat tersebut, syariat belum menetapkan
arak dan judi haram, tetapi dengan menyebut dosanya lebih besar, ada kesan
melarangnya.
Baru pada tahap berikutnya Allah
mengharamkannya dengan perintah untuk meninggalkannya. Firman Allah Swt:
“Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90).
4.
Memperhatikan kemaslahatan manusia dalam
menetapkan hukum
Allah dalam menetapkan hukum selalu memepertimbangkan kemaslahatan hidup umat
manusia. Oleh karena itu dalam proses penetapan hukum senantiasa didasarkan
pada tiga aspek :
1) Hukum ditetapkan sesudah masyarakat
membutuhkan hukum-hukum tersebut.
2) Hukum ditetapkan hanya menurut kadar kebutuhan
masyarakat.
3) Hukum hanya ditetapkan oleh lembaga pemerintah
yang berhak menetapkan hukum.
5.
Keadilan yang merata
Menurut syariat Islam kedudukan semua orang
adalah sama dihadapan Allah, yang membedakan adalah tingkatan takwa mereka.
Oleh karena itu orang yang kaya dengan orang yang miskin sama dihadapan Allah dalam
hal pengadilannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam QS. Al Maidah: 8, yaitu: “Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku
adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al
Maidah: 8)
C. Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh
Dalam
masyarakat Aceh, sejak zaman Kesultanan Iskandar Muda sudah masyhur ungkapan
(petuah adat): “Syari’at ngon adat lagee zat ngon sifeut” artinya
antara syariat dan adat bagaikan hubungan antara zat dengan sifat yang tak
mungkin bisa dipisahkan. Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh secara resmi
berdasarkan Undang-undang negara Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal
15 Maret 2002 (1 Muharam 1423H) dengan tujuan dasar untuk
menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.
Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun oleh Tim Dirasah
Islamiyah dari Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan
tujuan utama dari Syariat Islam, yaitu:
1.
Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh
al-din)
Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab
yang hendak merusak akidah, ibadat dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan
kebebasan untuk memilih agama, seperti firman Allah dalam Al-Quran :
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam)…” (QS
Al-Baqarah [2]: 256).
Akan tetapi, agar terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan
lil’alamin, maka Allah Swt telah membuat peraturan-peraturan, termasuk
larangan berbuat musyrik dan murtad. Firman Allah dalam surat An-Nisaa : 48 yang
artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa
yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempesekutukan Allah, maka sungguh ia
telah berbuat dosa yang besar.”
Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.
2.
Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)
Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah
hukum qishash yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan.
Seseorang yang telah membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah
mencederai orang lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti
orang lain, akan disakiti secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut
melakukan kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan:
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan
kepadamu qishash (pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan
oleh yang bersangkutan, atau diat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar.
Ayat Al-Quran menerangkan hal ini:
“Barangsiapa mendapat pemaafan dari
saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah (orang yang diberi
maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani karena para
calon pembunuh akan berpikir ulang untuk membunuh karena nyawanya sebagai
taruhannya. Dengan begitu, jiwa orang beriman akan terpelihara.
3.
Memelihara akal (Hifzh al-’aqli)
Kedudukan
akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal dibutuhkan untuk
memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah)
menuju manusia kamil. Salah satu cara yang paling utama dalam memelihara akan
adalah dengan menghindari khamar (minuman keras) dan judi. Ayat-ayat Al-Quran
menjelaskan sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad)
mengenai khamar (minuman keras) dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya
lebih besar dari manfaatnya.” (QS
Al-Baqarah [2]: 219).
Syariat Islam akan memelihara umat manusia
dari dosa bermabuk-mabukan dan dosa perjudian.
4.
Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh
al-nashli)
Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Dalam Syariat
Islam telah jelas ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja
yang tidak boleh dinikahi. Al-Quran telah mengatur hal-hal ini:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2).
Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan
emosional (dengan disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.
5.
Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)
Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih
aman, karena Islam mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki.
Seperti yang tertulis di dalam Al-Quran:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagaimana) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi
Maha Bijaksana” (Q.S
Al-Maidah [5]: 38).
Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan alasan yang sangat kuat sebelum diputuskan. Jadi, bukan berarti orang mencuri dengan serta merta dihukum potong tangan. Dilihat dulu akar masalahnya dan apa yang dicurinya serta kadarnya. Jika ia mencuri karena lapar dan hanya mengambil beberapa butir buah untuk mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong tangan. Berbeda dengan para koruptor yang sengaja memperkaya diri dengan menyalahgunakan jabatannya, tentunya hukuman berat sudah pasti buatnya. Dengan demikian Syariat Islam akan menjadi andalan dalam menjaga suasana tertib masyarakat terhadap berbagai tindak pencurian.
BAB
III
KESIMPULAN
Kata Syariat berasal dari akar kata syara’a bermakna
“jalan menuju air”, “adat kebiasaan”, dan “agama”, sedangkan menurut istilah,
Syariat adalah segala sesuatu yang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad
saw. dalam bentuk wahyu yang ada dalam Alquran dan Sunnah. Syariat Islam
mempunyai prinsip-prinsip : Tidak Memberatkan, Menyedikitkan Beban, dan
Berangsur-angsur dalam Menetapkan Hukum. Adapun tujuan dari Syariat ialah
: Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din); Memelihara
jiwa (Hifzh al-nafsi); Memelihara akal (Hifzh al-’aqli);
serta Memelihara harta benda (Hifzh al-mal).
DAFTAR PUSTAKA
Alyasa
Abubakar. Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan , Banda Aceh:
Dinas Syariat
Islam, 2008.
Dirasah
Islamiyah. Syariah dan Ibadah, Jakarta: Pamator, 1999.
Fakultas
Syari’ah IAIN AR-Raniry Darussalam-Banda Aceh. Sejarah Hukum Islam (Hukum Islam Pada Masa Aceh Kontemporer), Banda Aceh: 2010.
No comments:
Post a Comment