Mencermati kondisi Indonesia dewasa ini menunjukkan bahwa bangsa ini
dilanda krisis multi dimensi. Krisis moral dapat terlihat dengan jelas dari
perilaku generasi muda dan pelajar, di mana
berbagai kejahatan dan tingkat kriminalitas yang terjadi di negeri ini sebagian
besar dilakukan oleh para pemuda dan pelajar. Tawuran antar pelajar yang marak
terjadi di berbagai kota, penyalah gunaan narkoba, meningkatnya seks bebas di
kalangan pelajar, serta munculnya berbagai kenakalan remaja yang meresahkan
masyarakat seperti komunitas geng motor di jawa dan komunitas anak PUNK di
Aceh, merupakan contoh kecil dari sejumlah problem moral generasi muda bangsa
ini. Munculnya berbagai problem dan “penyakit sosial” masyarakat ini lagi-lagi
mengusik dunia pendidikan di negeri ini, karena lembaga pendidikan kembali
dituding gagal membentuk karaakter, moral dan akhlak mulia anak didik.[1]
Mencermati fenomena kemerosotan akhlak anak bangsa tersebut tentunya ada
penyebabnya. Diperkirakan, kualitas keimanan yang rendah merupakan penyebab
utama degradasi akhlak (moral) bangsa.[2]
Oleh karena itu pemerintah Aceh perlu memperhatikan pengelolaan dan
pembangunan yang benilai syari’at Islam, ruang lingkup pendidikan serta materi-materi
yang jitu dalam kurikulum pendidikan.
Sistem pendidikan di
Aceh berdasarkan sistem pendidikan nasional yang disesuaikan dengan nilai-nilai
Sosial budaya daerah serta tidak bertentangan dengan Syariat Islam.[3] Mencermati penjelasan tersebut dan urgensi
dari desentralisasi administratif serta desentralisasi kebijakan pendidikan
lokal di atas maka aspek sosial budaya (adat istiadat) dan
seluruh nilai-nilai lokal (local value) atau kearifan lokal (local
wisdom) menjadi potensi daerah yang patut dihargai dan menjadi bahagian
dalam mewarnai sistem dan isi pendidikan di Aceh.
Budaya sekolah merupakan salah
satu unsur esensi yang perlu diwujudkan. Implementasi
beberapa Qanun yang telah ditetapkan mengarah pada perubahan budaya sekolah
sehari-hari, baik dinyatakan tertulis maupun tidak, diantaranya yaitu:
1.
Budaya
shalat berjama’ah
Pelaksanaan
disesuaikan dengan jam belajar yang telah ditetapkan di sekolah, seperti shalat
dhuhur. Bila boarding school, tentu
pelaksanaan shalat 5 waktu semuanya dilakukan secara berjamaah.
2.
Budaya
berpakaian Islami
Bagi siswa
laki-laki diharuskan untuk memakai celana panjang dan baju kemeja lengan pendek
atau panjang. Sedangkan siswa perempuan memakai rok panjang sampai mata kaki,
baju lengan panjang yang longgar dan memakai jilbab menutupi bagian dada
3.
Budaya
menggalakkan Syi'ar Islam
Hal ini dapat
dilakukan dengan melaksanakan/ membiasakan peringatan hari besar Islam (PHBI)
4.
Budaya
bersih
Upaya ini
dilakukan dengan tidak membuang sampah sembarangan (membuang sampah pada tempat
yang disediakan/ tong sampah). Selain itu, dapat dilakukan dengan membiasakan
gotong royong, yang biasanya disebut “Jum’at bersih”.
5.
Budaya
shalat hajat
Praktek ini
dilakukan mengingat siswa akan menghadapi sejumlah ujian yang dilaksanakan di
sekolah. Hal ini akan membuat tenang batin para pelajar.
6.
Budaya
baca do'a dan surat-surat pendek
Belajar
adalah suatu usaha dan tentu usaha harus diiringi dengan do’a. Bacaan do’a dan
ayat-ayat pendek dilakukan ketika hendak memulai pelajaran.
7.
Budaya
shalat sunat khusuf dan kusuf
Praktik ini
tentu dilakukan bila pada saat jam sekolah terjadi gerhana. Selain itu, akan
menambah pengetahuan siswa dan tentunya juga mendapatkan kembali nilai-nilai
Islam dalam praktik tersebut.
8.
Budaya
shalat istisqa'
Shalat ini
dipraktikkan apabila daerah tempat sekolah sedang dilanda kekeringan atau
kemarau panjang.
9.
Budaya
shalat sunat tasbih
Pembiasaan
shalat tasbih, minimal setahun sekali harusnya menjadi budaya sekolah agar dan
dilaksanakan pada menjelang libur sekolah menghadapi awal ramadhan.
10. Budaya sujud syukur dan sujud tilawah
Membiasakan
sujud syukur dan sujud tilawah dalam kaitannya dengan kedua sujud tersebut,
tentu sangat baik sebagai pembelajaran bagi siswa.
11. Budaya salam dan jabat tangan
Budaya ini
merupakan suatu bentuk pembiasaan ketika bertemu agar saling menyapa yang
dilakukan dengan memberi salam dan berjabat tangan.
12. Budaya libur sekolah
Selain libur
sekolah sebagaimana yang berlaku pada umumnya, libur pada bulan ramadhan agar
siswa dapat melaksanakan puasa dengan sempurna. Selain itu, mengisi dengan
berbagai kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah merupakan suatu hal yang sangat
baik sebagai bentuk budaya Islami.[4]
Kesemua gagasan penciptaan
budaya pada lembaga pendidikan formal di Aceh, disamping sebagai sebuah
pendidikan tatakrama dan norma-norma atau nilai-nilai yang Islami, juga
merupakan salah satu model pembelajaran yang efektif yaitu melalui pembelajaran
yang bersifat prektek langsung serta bernilai pemberian contoh guru. Artinya
pendidikan bukan hanya teori saja tetapi hendaknya mendidik perilaku dan
pemberian contoh teladan.
Aspek sosial budaya dan syariat Islam (agama) tersebut memberikan
pengaruh yang signifikan dalam pembangunan negara secara umum dan di daerah
Aceh pada khususnya. Agama memberikan pengaruh yang besar terhadap pembentukan
karakter pandangan hidup dan budaya masyarakat. Ada dua dimensi keberagaman
yang memiliki keterkaitan dalam kehidupan para umat pemeluk agama yakni: Pertama: agama oleh pemeluknya dijadikan sebagai pandangan hidup yang
menjelaskan keberadaan manusia di dunia, menjelaskan arah dan tujuan hidup
manusia. Kedua: agama tidak hanya mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur kehidupan manusia antara sesama
manusia dan juga dengan mahkluk tuhan lainnya.[5]
Sementara kebudayaan Aceh itu sendiri berasaskan kepada ajaran agama
Islam. Hal ini dapat ditelusuri dari seluruh aspek dan kreasi budaya Aceh yang
dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam, sehingga hampir tidak ditemukan dalam
budaya aceh yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam kehidupan masyarakat
Aceh, hubungan antara agama dan budaya sangat serasi dan hampir tidak dapat
dipisahkan hukum adat dan hukum agama berlaku sama dan tidak boleh bercerai dan
dipisahkan antara keduanya, ibarat tidak dapat dipisahkannya antar zat dengan
sifatnya.
Perpaduan yang sangat kuat antara hukum agama dan hukum adat telah
membentuk corak budaya tersendiri yang unit dan khas di Aceh. Corak dan
nilai-nilai inilah yang kemudian
menjadi pandangan hidup yang mengikat dan mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Corak budaya inilah kemudian membentuk karakter masyarakat, membentuk kearifan
lokal (local wisdom) dan nilai-nilai lokal (local value). Ketika
aspek inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah Aceh dan sekaligus menjadi
modal dasar bagi pemerintah Aceh dalam pembangunan pendidikan di Aceh yang berbasis syari'at Islam.
[2]Ahmad Tafsir, Kajian
Pendidikan Islam di IAIN, (Bandung: Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati, 1999), hal. 11.
No comments:
Post a Comment