Manusia
dalam pandangan Islam, memiliki potensi dasar dan luhur yang merupakan anugerah
dan amanat Allah SWT. Potensi dasar tersebut merupakan “bahan mentah” yang
harus terus dikembangkan agar menjadi sempurna. Potensi dasar tersebut disebut
fitrah. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT telah memberikan fitrah kepada
manusia. Fitrah bermakna khilqah yang berarti manusia diciptakan memiliki
pembawaan beragama tauhid. Fitrah manusia merupakan pola dasar yang sekaligus
menjadi potensi dan pembawaan hakiki manusia. Dalam surat Al-Rum ayat 30 Allah SWT
menjelaskankan tentang fitrah tersebut:
(الروم: ٣٠)
Artinya: Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.
(QS. Ar-Rum: 30)
Ayat
tersebut secara tekstual menegaskan bahwa manusia diciptakan Allah SWT atas
fitrah tersebut. Fitrah yang merupakan acuan penciptaan manusia itu berasal
dari fitrah Allah SWT. Baharuddin menganalisis, fitrah merupakan potensi yang
ada pada manusia dan berasal dari Allah SWT, oleh karena itu seharusnya fitrah
dipandang dari dua sisi pula. Pertama, fitrah yang berhubungan dengan Allah yaitu
milik Allah SWT. Kedua, fitrah dalam hubugannya dengan manusia merupakan
landasan penciptaan manusia yang kemudian menjadi milik manusia. Dengan kata
lain, manusia diciptakan menganut pola tertentu yang disebut fitrah.[1]
Teori
fitrah menginformasikan bahwa bakat manusia bersifat baik (beragama tauhid)
tetapi pada perkembangannya, seorang dapat keluar dari bakat tersebut karena
pengaruh lingkungan khususnya keluarga. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda,
yaitu:
عن أبى هريرة رضى
الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كل مولد يولد على الفطرة فأبواه
يهودانه أوينصرانه أويمجسانه (رواه البخارى)
Artinya: Dari
Abi Hurairah radhiyallahu ’anhu berkata Rasulullah SAW: “Setiap anak yang
dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), kedua orang tuanyalah yang mendidik ia
yahudi, nasrani atau majusi. (HR. Bukhari)”.[2]
Berdasarkan
teori fitrah, Baharuddin menjelaskan fungsi pendidikan Islam yaitu untuk
menjaga dan menumbuh-kembangkan iman anak. Materi dan kurikulum pendidikan
Islam harus berusaha memberikan nuansa yang kondusif bagi perkembangan potensi
baik anak dan menutupi potensi jahat yang menutupinya. Dengan kata lain, fungsi
pendidikan Islam adalah untuk menumbuh-kembangkan iman, bukan mengerosi
(mengikis) iman.[3]
Menurut
pendapat yang dikemukakan oleh Achmadi menjelaskan bahwa pencapaian tertinggi
yang menjadi tujuan dasar pendidikan Islam yang bersifat mutlak yaitu:
a.
Menjadi hamba Allah SWT yang bertakwa
Tujuan ini
sejalan dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk beribadah kepada Allah
SWT. Dari itu pendidikan Islam harus mencakup dua hal, yaitu: Pertama,
pendidikan harus memungkinkan manusia mengerti Tuhannya, sehingga seluruh
rangkaian ibadahnya dilakukan dengan penuh penghayatan akan keesaan-Nya serta
senantiasa tunduk pada syariah dan petunjuk Ilahi. Kedua, pendidikan harus
menggerakkan kemampuan manusia untuk memahami, memanfaatkan dan menggunakan
segala ciptaan Allah SWT untuk mempertahankan iman dan menopang agamanya.
b.
Mengantarkan peserta didik menjadi khalifatullah fil ard (wakil Tuhan di bumi) yang mampu memakmurkan,
membudayakan dan, lebih jauh lagi, mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.
c.
Untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup di
dunia sampai akhirat, baik individu maupun masyarakat.[4]
Untuk
mencapai kebahagiaan hidup di dunia, manusia memerlukan kemampuan untuk
memperolehnya berupa ilmu dan ketrampilan-ketrampilan teknis lainnya. Begitu
pula untuk mencapai kebahagiaan akhirat manusia juga memerlukan ilmunya. Dalam Al-Qur’an
surat Al-Mujadalah ayat 11, Allah SWT berfirman sebagai berikut:
(المجادلة: ١١)
Artinya: Hai
orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadalah: 11)
Jadi
tegaslah bahwa pendidikan Islam mempunyai peran yang besar dalam mengembangkan
kepribadian peserta didik. Melalui pendidikan, peserta didik dibekali ilmu
pengetahuan serta ketrampilan sehingga diharapkan mereka dapat menjadi manusia
yang mempunyai kepribadian unggul baik secara intelektual, sosial maupun
spiritual.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kompetensi kepribadian merupakan kompetensi
yang berkaitan dengan perilaku pribadi itu sendiri yang kelak harus memiliki
nilai-nilai luhur sehingga terpancar dalam perilaku sehari-hari. Adapun karakteristik
kompetensi personaliti harus ditunjukkan dalam penampilan dan sifat serta
ucapan yang komptensinya meliputi mempunyai watak baik, komunikasi aktif, memerhatikan
kemampuan dan keadaan peserta didik,
ikhlas, sehat jasmani dan rohani, tanggung jawab, mampu
mengatasi problem peserta didik. Sehingga dengan mampu mengimplementasikannya
terhadap mahasiswa, maka akan dapat berperan dengan maksimal dalam pengembangan
kepribadian.
[1]Baharuddin,
Aktualisasi Psikologi Islami,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar., 2005), hal. 20
[2]Imam
Bukhari, Shahih Bukhari, Juz. II, (Kairo:
Darul Mutabi’aby, t. t), hal. 118.
[3]Baharuddin,
Aktualisasi Psikologi…, hal. 145.
[4]Achmadi,
Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta:
Aditya Media dan IAIN Walisongo Press, 1992), hal. 63-64.
No comments:
Post a Comment