Tuesday, October 17, 2017

Konsep Akal dan Wahyu

BAB I
PENDAHULUAN

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah akal. Manusia diberi kemampuan oleh Allah untuk berpikir. Akal yang dimiliki manusia digunakan untuk memilih, mempertimbangkan, dan menentukan jalan pikirannya sendiri. Dengan menggunakan akal, manusia mampu memahami Al-Qur’an yang diturunkan sebagai wahyu oleh Allah Swt kepada nabi Muhammad Saw. Dengan akal pula, manusia mampu menelaah sejarah Islam dari masa ke masa dari masa lampau. Akal juga digunakan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa akal mempunyai kedudukan dalam wilayah agama, yang penting dalam hal ini, menentukan dan menjelaskan batasan-batasan akal, sebab sudah menjadi sebuah keyakinan bahwa hampir semua kaum muslim berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif.
Akal dan wahyu digunakan oleh manusia untuk membahas ilmu pengetahuan. Akal digunakan manusia untuk bernalar. Sedangkan wahyu digunakan sebagai pedoman dan acuan dalam berpikir. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu hal yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia. Manusia membutuhkan ilmu pengetahuan karena pada dasarnya manusia mempunyai suatu anugerah terbesar yang diberikan Allah Swt yaitu akal.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengetian Akal dan Wahyu
1.      Pengertian Akal
Akal berasal dari bahasa Arab, yaitu kata jadian ‘Aqala, ya’qilu, ‘Aqlan, yang secara etimologi berarti mengikat atau menahan, mengerti dan membedakan. Dari pengertian ini kemudian dihubungkan bahwa akal adalah daya yang terdapat dalam diri manusia yang dapat menahan atau mengikat pemiliknya dari perbuatan buruk atau jahat demikain pula dihubungkan bahwa akal adalah satu unsur yang membedakan manusia dengan makhluk lain karena akal adalah itu dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.[1]
Adapun pentingnya Akal.
  1. Akal menurut pendapat Muhammad Abduh adalah sutu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.
  2. Akal adalah tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya, peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
  3. Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.[2]
Adapun kekuatan akal
  1. Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
  2. Mengetahui adanya hidup akhirat.
  3. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat.
  4. Mengetahui wajibnya manusia mengenal tuhan.
  5. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
  6. Membuat hukum-hukum mengnai kwajiban-kwajiban itu.[3]
2.      Pengertian Wahyu
Secara etimologis wahyu artinya kecepatan dan bisikan, yaitu bisikan dari Tuhan ke dada para nabi-Nya. Secara definitif, wahyu adalah petunjuk dari Allah Swt melalui berbagai cara agar diungkapkan atau disampaikan para nsbi-Nya kepada ummat manusia agar dimanifestasikan dalam kehidupan, tujuannya agar manusia berjalan dalam kebenaran. Selain itu, wahyu dalam arti bahasa meliputi ilham dalam sebagai bawaan dasar manusia. Wahyu Allah yang diberikan kepada nabi-Nya secara syar’i didefinisikan sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi.[4]
Adapun karakteristik Wahyu
1.      Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari tuhan, Pribadi nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
2.      Wahyu mmerupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.
3.      Wahyu itu adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku.
4.      Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
5.      Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
6.      Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan.
7.      Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.[5]

Adapun kekuatan wahyu
  1. Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
  2. Membuat suatu keyakinan pada diri manusia
  3. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
  4. Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.[6]

B.     Fungsi Akal dan Wahyu
  1. Fungsi Akal
a.       Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
b.      Mengetahui adanya hidup akhirat.
c.       Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat.
d.      Mengetahui wajibnya manusia mengenal tuhan.
e.       Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
f.       Membuat hukum-hukum mengnai kwajiban-kwajiban itu.[7]

  1. Fungsi Wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Bagi alran kalam tradisional, akal manusia sudah mengetahui empat hal, maka wahyu ini berfungsi memberi konfirmasi tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Tetapi baik dari aliran Mu’tazilah maupun dari aliran Samarkand tidak berhenti sampai di situ pendapat mereka, mereka menjelaskan bahwa betul akal sampai pada pengetahuan tentang kewajiban berterima kasih kepada tuhan serta mengerjakan kewajiban yang baik dan menghindarkan dari perbuatan yang buruk, namun tidaklah wahyu dalam pandangan mereka tidak perlu. Menurut Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand wahyu tetaplah perlu.
Wahyu diperlukan untuk memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat. Sementara itu, bagi bagi aliran kalam tradisional karena memberikan daya yang lemah pada akal fungsi wahyu pada aliran ini adalah sangat besar. Tanpa diberi tahu oleh wahyu manusia tidak mengetahui mana yang baik dan yang buruk, dan tidak mengetahui apa saja yang menjadi kewajibannya.
Selanjutnya wahyu kaum mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Abu Jabbar berkata akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Dari uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa wahyu bagi Mu’tazilah mempunyai fungsi untuk informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Dan demikian menyempurnakan pengtahuan yang telah diperoleh akal.
Bagi kaum Asy’ariyah akal hanya dapat mengetahui adanya tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat penting. Manusia mengetahui yang baik dan yang buruk, dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya turunnya wahyu. Dengan demikian sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya kepada tuhan, sekiranya syariatnya tidak ada Al-Ghozali berkata manusia tidak aka ada kewajiban mengenal tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepadanya atas nikmat-nikmat yang diturunkannya. Demikian juga masalah baik dan buruk kewajiban berbuat baik dan mnghindari perbuatan buruk, diketahui dari perintah dan larangan-larangan tuhan. Al-Baghdadi berkata semuanya itu hanya bisa diketahui menurut wahyu, sekiranya tidak ada wahyu tak ada kewajiban dan larangan terhadap manusia.
Jelas bahwa dalam aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali, wahyu yang menentukan segala hal, sekiranya wahyu tak ada manusia akan bebas berbuat apa saja, yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat, dan demikianlah pendapat kaum Asy’ariyah. Al-Dawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena itu pengiriman para rosul-rosul dalam teologi Asy’ariyah seharusnya suatu keharusan dan bukan hanya hal yang boleh terjadi sebagaimana hal dijelaskan olh Imam Al-Ghozali di dalam al-syahrastani.
Adapun aliran Maturidiyah bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang kurang wahyu tersebut, tetapi pada aliran Maturidiyah Bukhara adalah penting, bagi Maturidiyah Samarkand perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara wahyu perlu untuk mengetahui kwajiban-kewajiban manusia.[8]  Oleh Karena itu di dalam system teologi yang memberikan daya terbesar adalah akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan.tetapi di dalam system teologi lain yang memberikan daya terkecil pada akal dan fungsi terbesar pada wahyu. Manusia dipandang lemah dan tak merdeka.
Tegasnya manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah adalah berkuasa dan merdeka sedangkan dalam aliran Asy’ariyah manusia lemah dan jauh dari merdeka.
Di dalam aliran maturidiyah manusia mempunyai kedudukan menengah di antara manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah, juga dalam pandangan Asy’ariyah. Dan dalam pandangan cabang Samarkand manusia lebih berkuasa dan merdeka dari pada manusia dalam pandangan cabang Bukhara. Dalam teologi Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan kedudukan yang tinggi pada akal, tetapi tidak begitu tinggi dibandingkan pendapat Mu’tazilah, wahyu juga mempunyai fungsi relatif banyak tetapi tidak sebanyak pada teologi Asy’ariyah dan maturidiyah Bukhara.

C.    Hubungan Akal dan Wahyu
Akal dan wahyu mempunyai peran yang sangat penting dalam perjalanan hidup manusia. Wahyu diturunkan Allah kepada manusia yang berakal sebagai petunjuk untuk mengarungi lika-liku kehidupan di dunia ini. Akal tidak serta merta mampu mmahami wahyu Allah, adalah panca indera manusia yang menyertainya untuk dapat memahami wahyu yang diturunkan Allah. Dengan demikian, ada hubungan yang erat antara wahyu sebagai kebenaran yang mutlak karena berasal dari tuhan dengan perjalanan hidup manusia.
Seberapa besar kapasitas akal yang diberikan akan menentukan corak pemikiran keagamaan yang ditampilkan suatu tokoh/aliran. Bagi yang memberikan kapasitas besar, ia akan bercorak rasional. Sebaliknya, yang memberikan kapasitas kecil, ia akan bercorak tradisional. Perhatian dan polemik pemikiran yang berhubungan dengan akal dan wahyu tidak hanya melanda pemikiran Islam klasik.
Dalam sejarah pemikiran Islam hubungan antara akal dan wahyu merupakan isu yang selalu hangat diperdebatkan oleh para mutakallimun dan filosof. Isu ini menjadi penting karena akal dan wahyu mempunyai kaitan dengan argumentasi-argumentasi para mutakallim dan filosof dalam pembahasan tentang konsep Tuhan, konsep ilmu, konsep etika, dan lain sebagainya. Filosof muslim terpenting yang berusaha membuktikan hubungan antara akal dan wahyu adalah Ibnu Rushd dan Ibnu Taimiyah. Langkah yang dilakukan adalah mencoba menjelaskan hubungannya, dan langkah yang kedua adalah dengan cara menghindarkan pertentangan diantara keduanya dan mencari kesesuaian. Akan tetapi Arberry menganggap karya Ibnu Rushd itu sebagai percobaan terakhir untuk membuktikan hubungan antara akal dan wahyu, sedangkan Ibnu Taimiyah digambarkan sebagai orang yang menghentikan percobaan ini.
Keberadaan wahyu merupakan pendorong bagi pemikiran manusia, banyak ilmu pengetahuan dan pemikiran yang muncul karena didahului atau dirangsang terlebih dahulu oleh wahyu.
Jika akal merupakan potensi yang bersifat dasariah pada manusia maka wahyu lebih cenderung berasal dari luar, yaitu melalui dua mu’jizat Al-Quran yang turun dari langit dan berasal dari ucapan para nabi. Wahyu juga memberikan kekuatan yaitu membuat suatu keyakinan pada diri manusia dan memberi kekuatan yang penuhpada hati tentang adanya alam ghaib dan kehidupan sesudah mati. Kekuatan inilah yang mampu menggerakkan manusia melakukan tindakan keyakinannya.
Akal pikiran merupakan perangkat lunak, jika diaktifkan mampu bekerja dengan baik dan menghasilkan keputusan-keputusan rasional dan hati menjadi pusat kesadaran manusia yang dapat menentukan baik dan buruknya kualitas jiwa manusia. Akal yang diberikan kepada manusia dan wahyu yang diturunkan Allah kepadanya merupakan potensi yang menyeimbangkan kehidupan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa akal diberikan oleh Allah kepada manusia melalui wahyu. Wahyu adalah kebenaran mutlak, sedangakn kebenaran akal adalah relatif (nisbi). Oleh sebab itu, akal harus tunduk kepada wahyu, dan wahyu merupakan kebenaran yang wajib diikuti dan diamalkan sesuai dengan tingkat pemahaman yang mampu ditangkap oleh akal manusia. Di samping itu, kebenaran akal sangat dihargai Islam. Bagaimanapun juga akal merupakan alat untuk memahami dan menganalisis wahyu dapat diaplikasikan dalam kehidupan islam.[9]



[2]Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI-Press, 1987), hal. 44.
[3] Ibid.
[5] Al-Majid Al-Najjar, Pemahaman Islam, (Remaja Rodsakarya, Bandung; 1997), hal. 19
[6] Harun Nasution, Muhammad Abduh…, hal. 44.
[7] Nasution, Harun, Teologi Islam Dan Aliran Analisa Perbandingan, (Jakarta; Universitas Indonesia, (UI-Press) 1986), hal. 44.
[8]Ibid., hal 101.

No comments:

Post a Comment