Islam
mengajarkan supaya hidup bertetangga dengan baik. Nabi Saw juga menganjurkan
apabila seorang hendak pindah rumah dianjurkan supaya mengecek dulu siapa akan
menjadi tetangganya. Tetangga terkadang dapat pula berfungsi sebagai keluarga,
karena merekalah yang lebih dulu mengetahui apabila terjadi sesuatu dari pada
kelurganya seseorang tersebut.[1]
Peran
rukun tetangga menjadi penting, karena sebagai alat dan sarana untuk saling
kenal dan saling bantu serta saling kontrol jika ada orang yang tidak dikenal masuk
kewilayah tersebut. Tetangga juga berfungsi untuk pengamanan bagi penduduk dan
warga yang tinggal di situ, baik yang menyangkut pengamanan harta, jiwa dan
raga masyarakat.[2]
Berbuat baik kepada tetangga dapat dilakukan dengan
berbagai cara, misalnya dengan memberikan pertolongan, memberikan pinjaman jika
ia membutuhkan, menengok jika ia sakit, melayat jika ada yang meninggal dan
lain-lain. Selain itu, sebagai tetangga, juga harus senantiasa melindungi
mereka dari gangguan dan bahaya, memberinya rasa tenang dan aman.
Kewajiban
terpenting orang mukmin adalah mengembangkan hubungan yang ramah dan penuh
kebersamaan dengan sesama tetangga-tetangganya, ia harus bersikap santun dan
baik terhadap mereka. Karena itu mengabaikan tetangga yang miskin atau membuat
terganggu tetangganya merupakan suatu sikap yang bertentangan dengan spirit
keimanan.[3]
Hak
dan kedudukan tetangga bagi seorang muslim sangatlah besar dan mulia,
sampai-sampai sikap terhadap tetangga dijadikan sebagai indikasi keimanan.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw sebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي
الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر
فليقل خيرا أو ليصمت ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم جاره ومن كان يؤمن
بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه (رواه البخاري و مسلم)
Artinya: Dari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari
kiamat, hendaklah dia berkata baik atau diam. Barang siapa beriman kepada Allah
dan hari kiamat, hendaklah dia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa beriman
kepada Allah dan hari kiamat, hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR.
Bukhari-Muslim).[4]
Hadis
di atas menyebutkan tiga di antara sekian banyak ciri dan sekaligus konsekuensi
dari pengakuan keimanan seseorang kepada Allah Swt dan hari akhirat. Ketiga
ciri yang dimaksudkan adalah memuliakan tamu, menghormati tetangga dan
berbicara yang baik atau diam. Meskipun keimanan kepada Allah Swt dan hari
akhirat merupakan perbuatan yang bersifat abstrak, namun keimanan tidak berhenti
sebatas pengakuan, tetapi harus diaplikasikan dalam bentuk-bentuk nyata. Hadis
di atas hanya menyebutkan tiga indikator yang menggambarkan sikap seorang yang
beriman dan tidak berarti bahwa segala indikator keberimanan seseorang sudah
tercakup dalam hadis tersebut.
Demikian
pula, ciri-ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas tidaklah
berarti bahwa orang yang tidak memenuhi hal itu diklaim sebagai orang yang
keluar dari keimanan, sehingga orang yang tidak memuliakan tamu dan tetangga,
serta tidak berkata yang baik dianggap tidak beriman kepada Allah Swt dan
Rasul-Nya. Maksud hadis di atas bahwa ketiga sifat yang disebutkan dalam hadis
termasuk aspek pelengkap keimanan kepada Allah Swt dan hari akhir-Nya. Ketiga
sifat tersebut di atas jika diwujudkan dengan baik, mempunyai arti sangat besar
dalam kehidupan sosial.
Ciri
orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas, adakalanya terkait dengan
hak-hak Allah Swt, yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan
larangan-larangan, seperti diam atau berkata baik dan adakalanya terkait dengan
hak-hak hamba-Nya, seperti tidak menyakiti tetangga dan memuliakan tamu. Beberapa
kemuliaan tetangga menurut Muhsin dalam bukunya bertetangga dan bermasyarakat
dalam Islam, antara lain adalah sebagai berikut:
- Sebagai saudara dan keluarga
Tetangga
sama dengan saudara atau keluarga sendiri, apalagi bila mereka seiman dan
sesama muslim. Sebab, bila ada kesulitan dan musibah, maka tetanggalah yang
lebih dahulu memberikan pertolongan. Oleh karena itu, sebagai sesama muslim dan
seiman mereka harus semakin memperkuat hubungan persaudaraannya untuk menjaga
agar tidak sampai putus.
- Sebagai mitra usaha
Tetangga
juga dapat menjadi mitra dalam usaha dalam pekerjaan sebagai upaya meningkatkan
keadaan ekonomi rumah tangganya. Mereka melakukan kerjasama dalam mendirikan
kegiatan dan jaringan usaha yang saling menguntungkan dan mendatangkan
pendapatan.
- Sebagai teman seperjuangan
Demikian
pula tetangga dapat menjadi teman seperjuangan dalam masyarakat, apalagi mereka
yang seiman dan sesama muslim. Sebagai teman seperjuangan, terutama dalam
memperjuangkan hak-hak, menjaga keamanan bersama dan membangun masyarakat. Juga
sesama muslim dapat menjadi teman seperjuangan dalam memakmurkan mesjid,
aktivitas dakwah dan pengajian yang ada dilingkungan tempat tinggalnya.
- Sebagai uswah
Tetangga
dapat pula menjadi teladan dan contoh. Tetangga yang baik akan membuat
lingkungan masyarakatnya pun menjadi baik. Namun sebaliknya, tetangga yang
buruk dapat menimbulkan lingkungan yang buruk pula. Oleh sebab itu, seorang
muslim harus menjadikan dirinya sebagai uswah dan suri tauladan bagi
tetangganya dimana saja mereka tinggal.
- Sebagai sesama warga
Tetangga
dalam suatu masyarakat adalah sama-sama sebagai warga setempat yang mempunyai
hak-hak dan kewajiban yang sama. Mereka dapat melakukan kerja sama dalam
melaksanakan kegiatan kebajikan dalam lingkungan masyarakat. Mereka dapat
melakukan kegiatan bergotong-royong dalam memelihara lingkungan yang aman,
bersih dan sehat.
Itulah
sebabnya, umat Islam dalam bermasyarakat telah memiliki tuntunan tersendiri,
termasuk dalam hidup bertetangga. Bertetangga artinya hidup bersama orang lain
dalam suatu lingkungan tertentu yang dekat atau yang jauh. Tetangga dekat ada
pendapat menyatakan adalah orang-orang yang tinggalnya di dekat rumah, atau saudara
dan keluarga sendiri, atau sesama muslim. Adapun tetangga yang jauh adalah
orang-orang lain atau mereka yang berbeda agama sekalipun rumahnya berdekatan.[5]
Menarik
untuk dicatat apa yang dikemukakan Yunahar Ilyas bahwa sesudah anggota keluarga
sendiri, orang yang paling dekat adalah tetangga. Merekalah yang diharapkan
paling dahulu memberikan bantuan jika membutuhkannya. Jika tiba-tiba ditimpa
musibah kematian misalnya, tetanggalah yang paling dahulu datang takziah dan
mengulurkan bantuan. Begitu juga apabila mengadakan acara aqiqahan atau walimahan,
maka tetangga jugalah yang akan lebih dahulu memberikan bantuan dibandingkan
dengan famili yang rumahnya lebih jauh. Kepada tetangga pulalah menitipkan
rumah jika sekeluarga bepergian jauh ke luar kota atau ke luar daerah.[6]
Begitu
pentingnya peran tetangga sampai-sampai Abu Bakar as-Siddiq ra, memerah susu
kambing untuk membantu tetangganya. Peristiwa ini diceritakan Abdul Wahid Hamid
dalam bukunya: Islam Cara Hidup Alamiah. Dalam buku ini secara
singkat dikisahkan bahwa pada zaman Nabi, Abu Bakar as-Siddiq, ra, sering pergi
ke rumah-rumah orang tua, anak-anak yatim, orang yang tidak mampu dan
orang-orang yang membutuhkan di lingkungan tetangganya untuk membantu mereka
untuk hal apa saja yang dapat dia lakukan. Dia memerah susu kambing, membuat
adonan dan membantu membakar roti untuk orang lain. Karena itu, Abu Bakar
dikenal sebagai orang yang paling baik dan murah hati.[7]
Dengan
demikian, tetangga itu termasuk salah satu bentuk masyarakat juga, yaitu
masyarakat yang khusus berada di sekitar rumah tempat tinggal. Maka tentulah juga
hidup bermasyarakat dengan tetangga atau hidup bertetangga, membutuhkan
tetangga dan tidak mungkin memisahkan diri dari tetangga. Peranan tetangga bagi
kehidupan, sangatlah penting dan sangat dirasakan, berhubung mereka itulah yang
berada di sekitar tempat tinggal. Demikian pentingnya, sehingga kadang-kadang
melebihi peranan keluarga atau famili sendiri yang tempatnya jauh dari rumah.
Kalau sedang punya kerja, sedang mendapat sesuatu kesusahan seperti kematian,
kecurian, atau kecelakaan-kecelakaan yang lain, tetangga-tetangga itulah yang
pertama-tama membantu menolong, sebelum orang-orang lain termasuk keluarga sendiri
datang menjenguk.[8] Pendek
kata berbagai aspek dari kehidupan, sedikit banyaknya tergantung juga dari
tetangga, seperti keamanan, keselamatan, kesejahteraan, ketenteraman dan lain
sebagainya.
Tetangga
adalah unsur penting dalam bermasyarakat, karena dengan tetangga dapat
mewujudkan saling bekerja sama dalam membangun masyarakat. Di antara kewajiban
terhadap tetangga, antara lain tidak menyakiti mereka, menghormati dan tenggang
rasa terhadap mereka, serta memberi pertolongan kepada mereka apabila
membutuhkan.[9] Dalam
pada itu betapa pentingnya memelihara cuaca yang baik dalam lingkungan tetangga
(rukun tetangga), karena jika tetangga semua baik, maka baiklah lingkungan itu.
Sebaliknya jika tetangga jahat, maka rusaklah lingkungan dibuatnya. Mengingat
begitu pentingnya membina hubungan dengan tetangga, maka Etika Islam telah mengajarkan
prinsip-prinsip akhlak yang perlu dibina sebaik-baiknya dalam lingkungan orang
yang bertetangga.[10]
Oleh
sebab itulah, menurut penulis bahwa etika bertetangga menjadi penting dalam
hidup dan kehidupan manusia dalam pergaulan dengan sesamanya. Masalah etika
bertetangga bagi seorang muslim sudah seharusnya menjadi tuntunan hidup bersama
dengan orang lain dalam satu lingkungan sosial. Bila orang-orang yang
bertetangga mengabaikan etika ini maka wajarlah jika yang terjadi adalah
malapetaka dalam lingkungan masyarakat, sehingga tidak terwujud rasa aman, nyaman
dan damai yang mereka harapkan bersama. Di sinilah perlunya merealisasikan
akhlak bertetangga sebagaimana yang telah diajarkan oleh Allah Swt. dan
Rasulullah Saw.
Selain pentingnya hidup bertetangga maka tidak kalah
pentingnya bagaimana hidup bermasyarakat. Masyarakat merupakan kumpulan
orang-orang yang berada dalam suatu lingkungan yang sudah lama melakukan
interaksi sosial. Meskipun demikian, masyarakat mempunyai karakteristik dan
ciri-ciri tersendiri. Namun, masyarakat tidak terbentuk dengan sendirinya. la
terbentuk melalui suatu proses yang panjang, sehingga mewujudkan menjadi suatu
masyarakat.
[1]Departemen
Agama RI, Tafsir Al-Qur'an Tematik “Etika
Berkeluarga,Bermasyarakat, dan Berpolitik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur'an, 2009), h. 329.
[2]Departemen
Agama RI, Tafsir Al-Qur'an…, h. 329.
[3]Departemen
Agama RI, Tafsir Al-Qur'an…, h. 330.
[4]
[5]Muhsin, Bertetangga dan Bermasyarakat dalam Islam, (Jakarta:
Al-Qalam, 2004), h. 6-10
[6]Yunahar
Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: LPPI UMY, 2004), h. 199-200
[7]Abdul Wahid Hamid, Islam Cara Hidup Alamiah,
Terj. Arif Rahmat, (Yogyakarta: Lazuardi, 2001), h. 216.
[8]Humaidi Tatapangarsa, Akhlak yang Mulia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980, h.
142-143.
[9]Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi
Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 148.
[10]Hamzah
Ya'qub, Ethika Islam…, h. 155.
Saya juga punya tetangga dan temen yg berhati iblis. Dlu tetangga sering memfitnah dan menjelekin saya di dpan para tetangga saya yg lain shg para tetangga pd benci dan memusuhi saya smpai skrng. Tp memang sih saya yg salah kpd tetangga tp kesalahan saya saya perbuat saat saya msh kecil, saya blm tau aturan agama, saya blm mengerti bnr salah. Tp hal itu dijadikan senjata oleh tetangga utk menghancurkan hdup saya. Temen saya dlu ortu nya cerai, shg hdup nya menderita, saya yg jd sasaran kemarahannya.. Dia membenci dan memusuhi saya puluhan tahun. Klau dia ketemu dg saya, dia sering ngomong sesuatu yg menyakiti hati saya. Klau saya biarkan, dia terus menyakiti saya berulang kali tp klau dilawan, dia merasa disakiti oleh saya. Temen saya yg lain uang nya hbs buat mbok shg tdk bsa beli motor, saya yg jd sasaran kekecewaan dia. Dia membenci dan memusuhi saya. Saat saya minta tolong kpd dia, dia membodohi saya. Temen saya yg lain dia rajin ibadah tp saat saya pngn krja bkan dibntu mlh saya diremehkan, saya dianggap tdk becus bekerja. Saat saya nyari cewe bkan dibntu mlh saya dibodohi, supaya saya gagal dpt cewe. Pdhl dia sdh punya isteri. Tp temen saya spt tdk merasa bersalah kpd saya, dia klau butuh pertolongan, dia dg pede nya minta tolong kpd saya. Ortu dan adik adik saya juga kurang menghargai saya. Ortu anggap saya spt anak kecil, adik adik saya anggap saya tdk berguna. Saat saya ikut jamaah pengajian, saya sering dijahati oleh ustadz. Dia mentang mentang punya mata bathin, watak buruk saya diterawang hbs hbsan shg saya mengundurkan diri dari jamaah. Dlu saya prnh merantau klau krja,sering dijahati temen dan klau nyari cewe sering ditolak cewe shg saya pulang kmpung nganggur dan jomblo berthn thn. Mungkin krn saya agak lemah fisik dan mental shg nasib saya spt ini sering jd sasaran kejahatan org. Mungkin org yg baik kpd saya cuma 10% saja 90% jahat dan ada yg netral.
ReplyDelete