Setiap manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selalu memerlukan bantuan orang lain. Mereka
saling membutuhkan, tidak ada manusia yang bisa hidup sendirian. Dalam
pergaulan hidup manusia mereka selalu menginginkan agar pergaulan hidup
tersebut berjalan dengan baik, teratur, damai, dan tidak saling mengganggu. Allah
Swt berfirman, yaitu:
Artrinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana. (QS. At-Taubah: 71)
Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas
sosial adalah merupakan potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati diri
bangsa. Dan yang menjadi objek dari sikap kesetiakawanan sosial itu adalah
masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses yang
timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.[1] Oleh karena itu, sikap kesetiakawanan sosial
merupakan nurani bangsa yang teraplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi
oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial
sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat
kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam
kebersamaan dan kekeluargaan.
Dikatakan juga, sikap kesetiakawanan Sosial itu
merupakan nilai dasar kesejahteraan sosial, modal sosial (social capital)
yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam
mewujudkan cita-cita bangsa untuk bernegara yaitu masyarakat sejahtera. Maka
benar bahwa manusia itu senantiasa mempunyai naluri yang kuat untuk hidup
bersama dengan sesamanya. Apabila itu dibandingkan dengan makhluk hidup
lainnya, karena manusia tidak mungkin akan bisa hidup sendiri tanpa manusia
lain. Dan semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk hidup
berkawan, sehingga dia disebut penggiat sosial.[2]
Sebagai dasar kesejahteraan sosial,
kesetiakawanan sosial pada siswa harus terus direvitalisasi sesuai dengan
kondisi aktual bangsa dan diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan
mereka. Karena kesetiakawanan sosial merupakan nilai yang bermakna bagi setiap
bangsa. Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial dalam kehidupan bangsa dan
masyarakat yang pada hakikatnya telah ada sejak zaman nenek moyang jauh sebelum
negara ini berdiri.
Jiwa
dan semangat kesetiakawanan sosial tersebut dalam perjalanan kehidupan bangsa
kita telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah, dengan puncak
manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa kebersamaan
pada saat menghadapi Praktek atau pengamalan tentang “kesetiakawanan sosial”
sudah biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, menolong orang
yang sedang sakit.
Kesetiakawanan
sosial tersebut menjadi landasan berinteraksi dengan baik dengan orang lain,
sehingga jika keterbelakangan kesetiakawanan sosial dan tidak dapat diatasi
maka akan muncullah apa yang dinamakan patologi
sosial (penyakit masyarakat), yaitu: Semua tingkah laku yang
bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan,
moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin,
kebaikan, dan hukum formal.[3] Dan
ini adalah masalah serius dalam kontek menyeluruh, semua bentuk tingkah laku
yang melanggar atau mencabik-cabik tatanan hidup bermasyarakat, ini diperlukan
antisipasi untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama.
Di
sini perlu adanya sikapsosial yang menjatidiri secara utuh kepada
siswa, sebagai sarana kesatuan bersama, tolong-menolong, dan semua unsur
pemersatu jiwa harus benar-benar dilakukan dalam bersikap sosial aktif.
Mengingat bahwa sikap sosial atau attitude sosial adalah suatu sikap sosial yang dilakukan
dengan cara-cara
kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap objeksosial.
Attitude sosial menyebabkan
terjadinya
cara-cara tingkah laku yang dinyatakan berulang-ulang terhadap suatu
objek sosial, dan
biasanya
attitude sosial dinyatakan
tidak
hanya
oleh
seseorang,
tetapi
juga oleh orang lain
yang
sekelompok
atau semasyarakat.[4]
Praktek itulah yang
kemudian menjadi acuan bagi siswa terhadap kesetiakawanan bersama sehingga hubungan antara manusia
dengan manusia
yang
lain terjaga, saling ketergantungan
dalam berbagai
kehidupan bermasyarakat. Sehingga
sikap sosial itu menjadi interaksi
di kalangan manusia; terjalin
komunikasi dengan
baik, seperti jiwa saling tolong-menolong,
saling
memberi
dan menerima, simpati,
rasa setiakawan,
dan sebagainya.
Untuk itu perlu dijelaskan ciri-ciri sikap kesetiakawanan sosial sebagai
berikut:
1. Attidude tidak dibawa orang sejak ia dilahirkan, tetapi
dibentuk atau dipelajarinya
sepanjang perkembangan
orang itu dalam hubungan
dengan objeknya.
2. Atitude dapat berubah-berubah karena
attitude dapat dipelajari orang
atau
sebaliknya,
attidude-attidude dapat
dipelajari
sehingga attidude dapat berubah pada seseorang
bila terdapat keadaan
dan syarat-syarat tertentu
yang
mempermudah
berubahnya attitude pada orang
itu.
3. Attitude
tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mengandung relasi tertentu
terhadap suatu objek.
Dengan kata
lain,
attitude
terbentuk, dipelajari,
atau
berubah senantiasa
berkaitan dengan suatu objek
tertentu yang dapat dirumuskan
denganjelas.
4. Objek attitude dapat merupakan
suatu
hal tertentu, tetapi dapat juga
merupakan kumpulan
dari hal-hal tersebut.
Jadi, attidude dapat berkaitan dengan satu objek
saja
tetapi
juga berkaitan dengan
sederet objek yang serupa.
5. Attitude
mempunyaisegi-segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sifat inilah yang membeda-bedakan attitude dari
kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.[5]
Sikap-sikap
kesetiakawanan sosial tersebut di atas adalah sebagai gambaran kecakapan sosial
pada lingkungan kebersamaan, dan ini menjadi tugas terhadap guru dan dapat
dirasakan oleh siswa, kemudian teraplikasikan di dalam cara bergaul mereka,
baik itu di sekolah maupun di masyarakat. Oleh karena itu, dikatakan anak
adalah generasi harapan bangsa secara menyeluruh yang memiliki potensi dan
vitalitas serta semangat patriotis
yang luar biasa yang dengan modal tersebut mampu membawa bangsa ke arah yang
lebih bermartabat. Syekh Mustafa Al-Ghalayani mengatakan: “Pemuda masa kini
adalah pemimpin masa depan. Sesungguhnya pada tangan kekuasaanmu memecahkan
problema masyarakat. Karena itu maju teruslah kamu, bagaikan majunya seekor
harimau yang gagah berani. Dan bangkitlah semangat juang bergemuruh dan gegap
gempita, sehingga niscaya dengan karyamu itu masyarakat hidup sejahtera”.[6] Hal
senada juga di gambarkan oleh Andi Hakim Nasoetin, “bahwa untuk melihat masa
depan bangsa ini, maka lihatlah keadaan anak dan pemudanya”.[7]
Anak dan pemuda adalah bagian dari masa kini dan keseluruhan hari esok. Mereka
adalah generasi penerus yang akan mengambil alih tampuk kepemimpinan dan
bertanggung jawab akan kendali bangsa di masa depan. Di tangan merekalah
merah-putih atau hitam kelabunya bangsa akan dipertaruhkannya.
Kesetiakawanan sosiallah salah satu
faktor yang mendukung kelestarian dan tercapainya tujuan kehidupan bersama,
ialah sikap setia terhadap apa yang telah menjadi kesepakatan bersama. Demikian
pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, diperlukan suatu kesetiaan
terhadap bangsa dan negara untuk mempertahankan dan melestarikan kelangsungan
hidup berbangsa dan usaha untuk mencapai tujuan didirikannya negara.
Uraian di atas mengarahkan sikap kesetiakawanan sosial terhadap siswa
untuk ditelaah dari sudut sifat hakikatnya, maka akan dijumpai beberapa
petunjuk komponen pembentuk struktur sikap sosial yang akan membantu
menterjemahkan sikap individu siswa itu sendiri. Dari awal pemahaman sampai
kepada implementasi reaksi sosial yang akan dilakukannya. Komponen pembentuk
struktur sikap sosial tersebut ialah:
1.
Komponen kognitif
(komponen perceptual)
Komponen
kognitif yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan,
pandangan, keyakinan yaitu
hal-hal
yang
berhubungan dengan bagaimana orang
mempersepsi terhadap objek sikap.
2.
Komponen afektif (komponen
emosional)
Komponen
afektif yaitu
komponen yang berhubungan dengan rasa
senang
atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal
yang
positif, sedangkan
rasa tidak senang
merupakan
hal yang negatif.
komponen ini menunjukkan
arah
sikap,
yaitu
positifdan negatif.
3.
Komponen konatif (komponen perilaku,
atau action
component)
Komponen
konatif yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak
terhadap
objek
sikap.
Komponen ini menunjukkan
intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya
kecenderungan
bertindak atau
berperilaku
terhadap
objek
sikap.[8]
Selanjutnya, dari komponen struktur sikap tersebut
keseluruhannya menjadi jalinan antar unsur-unsur kesetiakawanan sosial yang
pokok terhadap siswa, yaitu norma-norma (kaidah-kaidah sosial), sampai pada
tingkat pengaruh timbal-balik antara berbagai segi kehidupan bersama.
[1]Surjono
Soekanto, Sosial Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1999), hal. 23.
[2]Surjono
Soekanto, Sosial Suatu..., hal. 27.
[3]Kartini
Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal.
1.
[6]Sahilum
A. Nasir, Peranan Pendidikan Agama
Terhadap Pemecahan Problema Remaja, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hal. 2.
[7]Andi
Hakim Nasoetin, et.all., Pendidikan Agama
dan Akhlak bagi Anak dan Remaja, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001), hal. vii.
No comments:
Post a Comment