Friday, October 20, 2017

Pengertian Kesetiakawanan Sosial


Setiap manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selalu memerlukan bantuan orang lain. Mereka saling membutuhkan, tidak ada manusia yang bisa hidup sendirian. Dalam pergaulan hidup manusia mereka selalu menginginkan agar pergaulan hidup tersebut berjalan dengan baik, teratur, damai, dan tidak saling mengganggu. Allah Swt berfirman, yaitu:

Artrinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.  (QS. At-Taubah: 71)

Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial adalah merupakan potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa. Dan yang menjadi objek dari sikap kesetiakawanan sosial itu adalah masyarakat yang dilihat dari sudut hubungan antar manusia, dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.[1]  Oleh karena itu, sikap kesetiakawanan sosial merupakan nurani bangsa yang teraplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan.
Dikatakan juga, sikap kesetiakawanan Sosial itu merupakan nilai dasar kesejahteraan sosial, modal sosial (social capital) yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa untuk bernegara yaitu masyarakat sejahtera. Maka benar bahwa manusia itu senantiasa mempunyai naluri yang kuat untuk hidup bersama dengan sesamanya. Apabila itu dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya, karena manusia tidak mungkin akan bisa hidup sendiri tanpa manusia lain. Dan semenjak dilahirkan manusia sudah mempunyai naluri untuk hidup berkawan, sehingga dia disebut penggiat sosial.[2]
Sebagai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial pada siswa harus terus direvitalisasi sesuai dengan kondisi aktual bangsa dan diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan mereka. Karena kesetiakawanan sosial merupakan nilai yang bermakna bagi setiap bangsa. Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial dalam kehidupan bangsa dan masyarakat yang pada hakikatnya telah ada sejak zaman nenek moyang jauh sebelum negara ini berdiri.
            Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial tersebut dalam perjalanan kehidupan bangsa kita telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah, dengan puncak manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa kebersamaan pada saat menghadapi Praktek atau pengamalan tentang “kesetiakawanan sosial” sudah biasa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, menolong orang yang sedang sakit.
            Kesetiakawanan sosial tersebut menjadi landasan berinteraksi dengan baik dengan orang lain, sehingga jika keterbelakangan kesetiakawanan sosial dan tidak dapat diatasi maka akan muncullah apa yang dinamakan patologi sosial (penyakit masyarakat), yaitu: Semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, dan hukum formal.[3] Dan ini adalah masalah serius dalam kontek menyeluruh, semua bentuk tingkah laku yang melanggar atau mencabik-cabik tatanan hidup bermasyarakat, ini diperlukan antisipasi untuk menjamin kesejahteraan hidup bersama.
  Di sini perlu adanya sikapsosial yang menjatidiri secara utuh kepada siswa, sebagai sarana kesatuan bersama, tolong-menolong, dan semua unsur pemersatu jiwa harus benar-benar dilakukan dalam bersikap sosial aktif. Mengingat bahwa sikap sosial atau attitude sosial adalah suatu sikap sosial yang dilakukan  dengan cara-cara kegiatan yang sama dan  berulang-ulang terhadap objeksosial. Attitude sosial menyebabkan terjadinya cara-cara tingkah laku yang dinyatakan berulang-ulang terhadap suatu  objek sosial,  dan biasanya attitude sosial dinyatakan tidak hanya oleh seseorang, tetapi juga oleh orang lain yang sekelompok atau semasyarakat.[4]
Praktek itulah yang kemudian menjadi acuan bagi siswa terhadap kesetiakawanan bersama sehingga hubungaantara manusia dengan manusia yang lain terjaga, saling ketergantungan dalam berbagai kehidupan bermasyarakat. Sehingga sikap sosial itu menjadi interaksi di kalangan manusia; terjalin komunikasi dengan baik, seperti jiwa saling tolong-menolong, saling memberi dan menerima, simpati, rasa setiakawan, dan sebagainya. Untuk itu perlu dijelaskan ciri-ciri sikap kesetiakawanan sosial sebagai berikut:
1. Attidude tidak dibawa orang sejak ia dilahirkan, tetapi dibentuk  atau dipelajarinya sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya.
2.  Atitude dapat berubah-berubah karena attitude dapat dipelajari orang atau sebaliknya, attidude-attidude dapat dipelajari sehingga attidude dapat berubah pada seseorang bila terdapat keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah berubahnya attitude pada orang itu.
3.    Attitude tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mengandung relasi tertentu terhadap suatu objek. Dengan kata lain, attitude terbentuk, dipelajari, atau berubah senantiasa berkaitan dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan denganjelas.
4.    Objek  attitude dapat merupakan suatu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut. Jadi, attidude dapat berkaitan dengan satu objek saja tetapi juga berkaitan dengan sederet objek yang serupa.
5.  Attitude mempunyaisegi-segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sifat  inilah yang membeda-bedakan attitude dari kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.[5]

Sikap-sikap kesetiakawanan sosial tersebut di atas adalah sebagai gambaran kecakapan sosial pada lingkungan kebersamaan, dan ini menjadi tugas terhadap guru dan dapat dirasakan oleh siswa, kemudian teraplikasikan di dalam cara bergaul mereka, baik itu di sekolah maupun di masyarakat. Oleh karena itu, dikatakan anak adalah generasi harapan bangsa secara menyeluruh yang memiliki potensi dan vitalitas serta semangat patriotis yang luar biasa yang dengan modal tersebut mampu membawa bangsa ke arah yang lebih bermartabat. Syekh Mustafa Al-Ghalayani mengatakan: “Pemuda masa kini adalah pemimpin masa depan. Sesungguhnya pada tangan kekuasaanmu memecahkan problema masyarakat. Karena itu maju teruslah kamu, bagaikan majunya seekor harimau yang gagah berani. Dan bangkitlah semangat juang bergemuruh dan gegap gempita, sehingga niscaya dengan karyamu itu masyarakat hidup sejahtera”.[6] Hal senada juga di gambarkan oleh Andi Hakim Nasoetin, “bahwa untuk melihat masa depan bangsa ini, maka lihatlah keadaan anak dan pemudanya”.[7] Anak dan pemuda adalah bagian dari masa kini dan keseluruhan hari esok. Mereka adalah generasi penerus yang akan mengambil alih tampuk kepemimpinan dan bertanggung jawab akan kendali bangsa di masa depan. Di tangan merekalah merah-putih atau hitam kelabunya bangsa akan dipertaruhkannya.
Kesetiakawanan sosiallah salah satu faktor yang mendukung kelestarian dan tercapainya tujuan kehidupan bersama, ialah sikap setia terhadap apa yang telah menjadi kesepakatan bersama. Demikian pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, diperlukan suatu kesetiaan terhadap bangsa dan negara untuk mempertahankan dan melestarikan kelangsungan hidup berbangsa dan usaha untuk mencapai tujuan didirikannya negara.
Uraian di atas mengarahkan sikap kesetiakawanan sosial terhadap siswa untuk ditelaah dari sudut sifat hakikatnya, maka akan dijumpai beberapa petunjuk komponen pembentuk struktur sikap sosial yang akan membantu menterjemahkan sikap individu siswa itu sendiri. Dari awal pemahaman sampai kepada implementasi reaksi sosial yang akan dilakukannya. Komponen pembentuk struktur sikap sosial tersebut ialah:
1.      Komponen kognitif (komponen perceptual)
Komponen kognitif  yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap.
2.      Komponen afektif (komponen emosional)
Komponen afektif yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif. komponen ini menunjukkan arah sikap, yaitu positifdan negatif.
3.      Komponen konatif  (komponen perilaku, atau action component)
Komponen konatiyaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku terhadap objek sikap.[8]

             Selanjutnya, dari komponen struktur sikap tersebut keseluruhannya menjadi jalinan antar unsur-unsur kesetiakawanan sosial yang pokok terhadap siswa, yaitu norma-norma (kaidah-kaidah sosial), sampai pada tingkat pengaruh timbal-balik antara berbagai segi kehidupan bersama.


[1]Surjono Soekanto, Sosial Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 23.
[2]Surjono Soekanto, Sosial Suatu..., hal. 27.
[3]Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 1.
[4]Gerungan.PsikologiSosial.(Bandung:RefikaAditama,2010), hal. 161.
[5]Gerungan.PsikologiSosial..., hal. 163.
[6]Sahilum A. Nasir, Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problema Remaja, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hal. 2.
[7]Andi Hakim Nasoetin, et.all., Pendidikan Agama dan Akhlak bagi Anak dan Remaja, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001), hal. vii.
[8]BimoWalgito.PsikologiSosial.(Yogyakarta:AndiOffset,2003),hal.111.

No comments:

Post a Comment