Sebelum
melakukan ibadah shalat secara berjamaah, maka perlu dimengerti terlebih dahulu
tentang apa yang dimaksud dengan shalat, pengertian shalat secara bahasa adalah
do’a. Syari’at menamainya shalat karena di dalamnya terkandung do’a. Adapun pengertian
shalat menurut istilah adalah beribadah hanya untuk Allah Swt dengan perkataan,
perbuatan yang diketahui, diawali dengan takbir dan ditutupi dengan salam,
disertai niat dan dengan syarat-syarat tertentu.[1]
Pendapat
lain mengatakan bahwa shalat adalah menghadapkan jiwa dan raga kepada Allah Swt
karena taqwa (takut) hanya kepada
Tuhan-Nya, mengagungkan kebesaran-Nya dengan khusyu’ dan ikhlas baik dilakukan dalam
bentuk perbuatan dan perkataan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan disudahi
dengan salam, menurut cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditentukan.[2] Adapun
pengertian shalat menurut Said Sabiq menjelaskan bahwa shalat adalah ibadah
yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir
dan disudahi dengan salam.[3]
Dari
beberapa pengertian shalat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa shalat itu
adalah suatu ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan untuk menyerahkan
diri kepada Allah Swt dengan khusyu’ dan ikhlas yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam.
Shalat
berjama’ah adalah shalat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara
bersama-sama, seorang menjadi imam dan yang lainnya menjadi makmum dengan
syarat-syarat yang ditentukan. Hukum shalat berjama’ah adalah sunnah muakkad
artinya dikuatkan atau sangat dianjurkan. Sedangkan orang yang melaksanakan
shalat sendirian disebut munfarid.[4]
Adapun dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan bahwa shalat berjama’ah adalah
shalat yang dilakukan secara bersama-sama dipimpin oleh seorang imam.[5]
Abujamin Rohman menjelaskan bahwa shalat berjamaah yaitu shalat yang dilakukan
secara bersama-sama, dipimpin oleh seorang imam yang diyakini memenuhi syarat
sebagai seorang imam.[6]
Dari
beberapa pengertian di atas, maka dapat didefinisikan bahwa shalat berjama’ah
di masjid adalah shalat yang dilakukan secara bersama-sama dengan sekelompok
orang dimana satu orang menjadi imam dan yang lainnya menjadi makmum dengan
memenuhi syarat-syaratnya, yang dilakukan di masjid.
Shalat
berjamaah ditetapkan di Madinah. Berjamaah paling sedikit terdiri dari imam dan
makmum. Tingkatan dari keutamaan shalat berjamaah adalah shalat jum’at, shalat
subuh di hari jum’at, shalat subuh, isya’, asar, zuhur, kemudian magrib.[7] Adapun
mengenai dasar hukum perintah melaksanakan shalat berjamaah diantaranya adalah
sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43 sebagai
berikut:
(البقرة: ٤٣)
Artinya: Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang
ruku'. (QS. Al-Baqarah: 43)
Berdasarkan
analisis dari maksud ayat di atas, dapat dipahami bahwa kata beserta
orang-orang yang ruku’ menerangkan bahwasanya pelaksanaan ibadah shalat fardhu
lima waktu sehari-semalam itu dilaksanakan secara berjamaah baik di mesjid
maupun di tempat-tempat lainnya.
Adapun dasar hukum perintah
menunaikan shalat secara berjama’ah lainnya adalah sebagaimana terdapat dalam al-Qur'an,
Allah Swt berfirman dalam surat an-Nisa'
ayat 102, yaitu:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ
فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا
سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ
يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ
وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ
فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ
كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ
ۖ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا
مُهِينًا(النساء: ١٠٢)
Artinya: ” Dan apabila kamu berada di
tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama
mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan
menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah
menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk
menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka
bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu
lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan
sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu
mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan
siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan
bagi orang-orang kafir itu.” (QS.
An-Nisa`: 102)
Menurut para ahli tafsir dan
fiqh, ayat ini mengandung perintah untuk melaksanakan shalat berjama’ah dalam
keadaan takut di medan perang. Lebih lanjut para fuqaha’ menyatakan, kalaulah
shalat berjama’ah tidak disyariatkan, tentu saja di waktu perang juga tidak
disyariatkan.[8]
Dasar hukum shalat berjama’ah adalah
berdasarkan hadist-hadist Rasulullah Saw, yaitu sebagai berikut:
1. Hadist
yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra, yaitu:
صلاة الجماعة افضل من صلاة الفذ بسبع و عشرين درجة (متفق
عليه)
Artinya:
“Shalat berjamaah itu lebih utama dari
pada shalat sendirian dengan perbandingan dua puluh tujuh derajat.” (HR.
Bukhari-Muslim)[9]
2. Hadits
sahih riwayat Bukhari dan Muslim menyatakan:
و الذي نفسي بيده ، لقد هممت أن آمر بحطب فيحتطب ، ثم آمر
بالصلاة فيؤذن لها ، ثم آمر رجلاً فيؤم الناس ، ثم أخالف إلى رجالاً فأحرق عليهم
بيوتهم ، و الذي نفسي بيده لو يعلم أنه يجد عَرْقاً سميناً أو مِرْماتَيْن حسنتين
لشهد العشاء(رواه البخرى و مسلم)
Artinya: “Demi Dzat
yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku bermaksud hendak menyuruh
orang-orang mengumpulkan kayu bakar, kemudian menyuruh seseorang menyerukan
adzan, lalu menyuruh seseorang pula untuk menjadi imam bagi orang banyak. Maka
saya akan mendatangi orang-orang yang tidak ikut berjama'ah, lantas aku bakar
rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya
seseorang di antara kalian mengetahui bahwa ia akan memperaleh daging yang
gemuk, atau dua potongan daging yang bagus, pasti mereka akan mengikuti shalat
'Isya berjama'ah." (HR. Bukhari-Muslim)[10]
3.
Hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq
alaih) menyatakan:
إن أثقل الصلاة على المنافقين صلاة العشاء و صلاة الفجر ، و لو
يعلمون ما فيهما لأتوهما و لو حبواً ، و لقد هممت أن آمر بالصلاة فتقام ، ثم آمر
رجلاً يصلي بالناس ، ثم انطلق معي برجال معهم حزم من حطب إلى قوم لا يشهدون الصلاة
، فأحرق عليهم بيوتهم
Artinya: “Shalat yang
paling berat bagi orang munafik adalah salat isya' dan shalat subuh. Seandainya
mereka tahu keutamaannya niscaya mereka akan datang walaupun dengan merangkak.
Aku telah memerintahkan agar shalat dilaksanakan. Kemudian aku memerintahkan
seorang lelaki untuk shalat dengan yang lain (secara berjamaah). Kemudian aku berangkat dengan kaum muslimin
yang membawa seikat kayu bakar menuju orang-orang yang tidak mau ikut shalat
berjamaah, dan aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari-Muslim)[11]
Berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an
dan sunnah Rasulullah Saw di atas maka ulama’ fiqih sepakat (ijma’)
bahwa shalat berjama’ah di masjid itu disyariatkan dan lebih utama dilaksanakan
dari shalat sendiri.[12] Sebagian
ulama mengatakan bahwa hukum shalat berjama'ah itu adalah fardu 'ain,
sebagian berpendapat bahwa shalat berjama'ah fardu khifayah, dan
sebagian lagi berpendapat sunnah mu'akkad (sunat istimewa). Yang akhir
inilah yang lebih layak, kecuali bagi shalat jum’at. Menurut kaidah persesuaian
beberapa dalil dalam masalah ini, seperti yang telah disebutkan diatas,
pengarang Nailul Autar berkata, “Pendapat yang seadil-adilnya dan
lebih dekat kepada yang betul ialah shalat berjama’ah itu sunat muakkad.”[13]
Ibadah shalat lima waktu sehari
semalam secara berjama’ah di masjid lebih baik dari pada shalat berjama’ah
dirumah, kecuali shalat sunat, maka di rumah lebih baik.[14]
Penegasan tersebut merupakan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw untuk
dilaksanakan oleh setiap muslim bahkan untuk orang yang buta sekalipun.
Pendapat tersebut sebagaimana
terdapat dalam hadis Rasulullah Saw, yaitu:
َوَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( أَتَى اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّهُ لَيْسَ
لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى اَلْمَسْجِدِ, فَرَخَّصَ لَهُ, فَلَمَّا وَلَّى
دَعَاهُ, فَقَالَ: "هَلْ تَسْمَعُ اَلنِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟ قَالَ: نَعَمْ.
قَالَ: فَأَجِبْ ) رَوَاهُ مُسْلِم
Artinya: Dari Abu
Hurairah Ra dikisahkan bahwa pernah ada seorang lelaki buta bertanya kepada
Rasulullah Saw, “Wahai Rasul Allah, aku tidak punya penuntun yang menggandengku
ke masjid. Apakah aku mendapatkan kemurahan (dispensasi) untuk shalat di rumah
saja?” Rasulullah bertanya kepadanya: “Apakah kamu mendengarkan adzan (seruan)
untuk shalat?” “ya” jawab lelaki buta itu. Rasulullah lalu berkata dengan
tegas, “kalau begitu datangilah masjid untuk shalat berjamaah!”[15]
Hadits yang menunjukkan bahwa kedudukan
shalat berjamaah di rumah Allah (mesjid) sangat banyak. Oleh karena itu, setiap
muslim dituntut memperhatikan dan bersegera melaksanakannya. Juga untuk
memberitahukan hal ini kepada anak-anaknya, keluarga, tetangga, dan seluruh
teman-teman seaqidah agar mereka mengerjakan perintah Allah Swt dan perintah
Rasul-Nya, takut terhadap larangan Allah Swt dan Rasul-Nya, dan menjauhkan diri
dari sifat-sifat orang munafik yang tercela, di antaranya sifat malas
mengerjakan shalat berjamaah.
[1]Abu Malik Kamal bin As-Sayid Salim, Shahih Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2006), hal. 333.
[2]Moh Rifa’ie, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, (Semarang: Toha Putra, 1978), hal. 79.
[3]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hal. 191.
[4]http://materipai.blogspot.com/2008/02/sholat-berjamaah.html,
Diakses Tgl. 25 April 2013.
[5]Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam,
Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal. 1573.
[6]Abujamin
Rahman, Shalat Tiang Agama (Jakarta: Media Da’wah, 1992), hal. 71.
[7]Muhammad Mahmud Ash-Shawwaf, Sempurnakan Shalatmu, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2007),
hal. 377.
[8]Abdul
Azis Dahlan, Ensiklopedi…, hal.
1573.
[9]Ibdullah
bin Abdurrahman Ali Bassan, Syarah Hadits
Pilihan Bukhati-Muslim, (Terj), Kathur Suhardi, (Jakarta: Darul Falah,
2003), hal. 114.
[10]Ibdullah
bin Abdurrahman Ali Bassan, Syarah Hadits…,
hal. 117.
[11]Ibdullah
bin Abdurrahman Ali Bassan, Syarah Hadits
…, hal. 117.
[12]Abdul
Azis Dahlan, Ensiklopedi…,
hal. 1574.
[13]Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: SBA. 2003), hal. 107.
[14]Sulaiman
Rasjid, Fiqih…, hal.
108.
[15]Ibnu
Hajar Al-Asqalani, Buluqul Maram, (Tasik
Malaya: Pustaka Al-Hidayah, 2008), Hadits.
No. 427.
No comments:
Post a Comment