Makalah; Fakultas Tarbiyah Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh
Imunisasi
berasal dari kata imun, kebal, atau resisten. Anak diimunisasi berarti
diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal terhadap suatu
penyakit, tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain.[1]
Imunisasi
dalam sistem kesehatan nasional adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan
yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Terdapat
sejumlah pendapat mengenai tujuan dilakukannya imuniasi terhadap balita, di
antaranya adalah sebagai berikut:
- Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola.[2]
- Untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat ini penyakit-penyakit tersebut adalah disentri, tetanus, batuk rejan (pertusis), cacar (measles), polio, dan tuberculosis.[3]
- Menurut WHO (World Health Organization), program imunisasi di Indonesia memiliki tujuan untuk menurunkan angka kejadian penyakit dan angka kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.[4]
Menurut
Soekidjo Notoatmodjo terdapat teori yang mengungkapkan determinan perilaku
berdasarkan analisis dari faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku khususnya
perilaku kesehatan.[5] Di antara
teori tersebut adalah teori Lawrence Green (1980), yang menyatakan bahwa perilaku
seseorang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu:
- Faktor Pemudah (Presdiposing Factors)
Faktor-faktor
ini mencakup tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu, pekerjaan ibu, pendapatan
keluarga, jumlah anak, dan dukungan dari pihak keluarga.
- Tingkat Pendidikan Ibu Bayi
Pendidikan
adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk
tingkah laku manusia dalam masyarakat tempat ia hidup, proses sosial, yakni
dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang
datang dari sekolah), sehingga dapat memperoleh atau mengalami perkembangan
kemampuan sosial, dan kemampuan individu yang optimal.[6]
Wanita
sangat berperan dalam pendidikan di dalam rumah tangga. Mereka menanamkan
kebiasaan dan menjadi panutan bagi generasi yang akan datang tentang perlakuan
terhadap lingkungannya. Dengan demikian, wanita ikut menentukan kualitas
lingkungan hidup ini. Untuk dapat melaksanakan pendidikan ini dengan baik, para
wanita juga perlu berpendidikan baik formal maupun tidak formal. Akan tetapi
pada kenyataan taraf, pendidikan wanita masih jauh lebih rendah daripada kaum
pria. Seseorang ibu dapat memelihara dan mendidik anaknya dengan baik apabila
ia sendiri berpendidikan.[7]
- Tingkat Pengetahuan Ibu Bayi
Pengetahuan
merupakan hasil dari tahu, dan itu terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia,
yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang (over behavior). Sebelum orang mengadopsi perilaku baru
(berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan,
yakni : awareness (kesadaran), interest (tertarik), evaluation
(menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Trial (orang
telah mulai mencoba prilaku baru), adoption (subyek telah berperilaku
baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus).[8]
Pengetahuan
diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Seseorang ibu
akan mengimunisasikan anaknya setelah melihat anak tetangganya kena penyakit
polio sehingga cacat karena anak tersebut belum pernah memperoleh imunisasi
polio.
- Status Pekerjaan Ibu Bayi
Ibu
yang bekerja mempunyai waktu kerja sama seperti dengan pekerja lainnya. Adapun
waktu kerja bagi pekerja yang dikerjakan yaitu waktu siang 7 jam satu hari dan
40 jam satu minggu untuk 6 hari kerja dalam satu minggu, atau dengan 8 jam satu
hari dan 40 jam satu minggu untuk 5 hari kerja dalam satu minggu. Sedangkan
waktu malam hari yaitu 6 jam satu hari dan 35 jam satu minggu untuk 6 hari
kerja dalam 1 minggu.[9]
Hubungan
antara pekerjaan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar bayi adalah jika ibu
bekerja untuk mencari nafkah maka tentunya akan berkurang kesempatan waktu dan
perhatian untuk membawa bayinya ke tempat pelayanan imunisasi, sehingga akan
mengakibatkan bayinya tidak mendapatkan pelayanan imunisasi.
- Pendapatan Keluarga
Pendapatan
keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua
dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder.[10]
- Jumlah Anak
Jumlah
anak sebagai salah satu aspek demografi yang akan berpengaruh pada partisipasi
masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena jika seorang ibu mempunyai anak lebih
dari satu biasanya ibu semakin berpengalaman dan sering memperoleh informasi
tentang imunisasi, sehingga anaknya akan di imunisasi.
- Dukungan Keluarga
Dukungan
sosial secara psikologis dipandang sebagai hal yang kompleks. Wortman dan
Dunkell-Scheffer (1987) mengidentifikasikan beberapa jenis dukungan yang
meliputi ekspresi perasaan positif, termasuk menunjukkan bahwa seseorang
diperlukan dengan rasa penghargaan yang tinggi, ekspresi persetujuan dengan
atau pemberitahuan tentang ketepatan keyakinan dan perasaan seseorang. Ajakan
untuk membuka diri dan mendiskusikan keyakinan dan sumber-sumber juga merupakan
bentuk dukungan sosial.[11]
Untuk
mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung
atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap ibu
yang positif terhadap imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya dan ada
fasilitas imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut mengimunisasi
anaknya. Disamping faktor fasilitas, juga diperlukan dukungan/support dari
pihak lain, misalnya suami/istri/orang tua/mertua.
- Faktor Pendukung (Enabling Factors)
Faktor
pemungkin atau pendukung perilaku adalah fasilitas, sarana dan prasarana
atau sumber daya atau fasilitas kesehatan yang memfasilitasi terjadinya
perilaku seseorang atau masyarakat, termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan
seperti pukesmas, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan swasta,
dan sebagainya, serta kelengkapan alat imunisasi, uang, waktu, tenaga, dan
sebagainya.[12]
- Ketersedian Sarana dan Prasarana
Ketersedian
sarana dan prasarana atau fasilitas bagi masyarakat, termasuk juga fasilitas
pelayanan kesehatan seperti pukesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu,
polindes, pos obat desa, dokter, atau bidan praktek desa. Fasilitas ini pada
hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka
faktor-faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkinan.
- Peralatan Imunisasi
Setiap
obat yang berasal dari bahan biologik harus dilindungi terhadap sinar matahari,
panas, suhu beku, termasuk juga vaksin. Untuk sarana rantai vaksin dibuat
secara khusus untuk menjaga potensi vaksin.
- Keterjangkauan Tempat Pelayanan Imunisasi
Salah
satu faktor yang mempengaruhi pencapaian derajat kesehatan, termasuk status
kelengkapan imunisasi dasar adalah adanya keterjangkauan tempat pelayanan
kesehatan oleh masyarakat. Kemudahan untuk mencapai pelayanan kesehatan ini
antara lain ditentukan oleh adanya transportasi yang tersedia sehingga dapat
memperkecil jarak tempuh, hal ini akan menimbulkan motivasi ibu untuk datang
ketempat pelayanan imunisasi. Ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya
kesehatan termasuk tenaga kesehatan yang ada dan mudah dijangkau merupakan
salah satu faktor yang member kontribusi terhadap perilaku dalam mendapatkan
pelayanan kesehatan.
Faktor
pendukung lain menurut Djoko Wiyono adalah akses terhadap pelayanan kesehatan
yang berarti bahwa pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis,
keadaan geografis ini dapat diukur dengan jenis transportasi, jarak, waktu
perjalanan dan hambatan fisik lain yang dapat menghalangi seseorang mendapat
pelayanan kesehatan.[13]
- Faktor Penguat (Reinforcing Factors)
Faktor
ini meliputi faktor sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan.
Menurut Lawrence W. Green, ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya
kesehatan termasuk tenaga kesehatan yang ada dan mudah dijangkau merupakan
salah satu faktor yang member kontribusi terhadap perilaku sehat dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan.[14]
- Petugas Imunisasi
Petugas
kesehatan untuk program imunisasi biasanya dikirim dari pihak puskesmas,
biasanya dokter atau bidan, lebih khususnya bidan desa. Menurut Djoko Wiyono,
pasien atau masyarakat menilai mutu pelayanan kesehatan yang baik adalah
pelayanan kesehatan yang empati, respek dan tanggap terhadap kebutuhannya,
pelayanan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat, diberikan
dengan cara yang ramah pada waktu berkunjung.[15]
Dalam
melaksanakan tugasnya petugas kesehatan tentunya harus sesuai dengan mutu
pelayanan. Pengertian mutu pelayanan untuk petugas kesehatan berarti bebas
melakukan segala sesuatu secara professional untuk meningkatkan derajat
kesehatan pasien dan masyarakat sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang maju, mutu peralatan dan memenuhi standar yang baik, komitmen dan motivasi
petugas tergantung dari kemampuan melaksanakan tugas dengan cara optimal.[16]
Perilaku
seseorang atau masyarakat tentaang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan,
sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang
bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para
petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat
terbentuknya perilaku.[17]
- Kader Kesehatan
Kader
kesehatan masyarakat adalah laki-laki atau wanita yang dipilih oleh masyarakat
untuk menangani masalah-masalah kesehatan perseorangan maupun masyarakat serta
untuk bekerja dalam hubungan yang amat dekat dengan tempat-tempat pemberian
pelayanan kesehatan.
Secara
umum peran kader kesehatan adalah melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan
terpadu bersama masyarakat dalam rangka pengembangan kesehatan secara khusus
peran kader adalah sebagai berikut:
1)
Persiapan
Persiapan
yang dilakukan oleh kader yang telah dibentuk sebelum pelaksanaan kegiatan
posyandu adalah memotivasi masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan
terpadu dan berperan serta dalam mensukseskannya, bersama masyarakat
merencanakan kegiatan pelayanan kesehatan terpadu ditingkat desa.
2)
Pelaksanaan
Pelaksanaan
dilakukan kader saat kegiatan imunisasi adalah melaksanakan penyuluhan
kesehatan secara terpadu, mengelola kegiatan seperti penimbangan bulanan,
distribusi oralit, vitamin, distribusi alat kontrasepsi, pelayanan kesehatan
sederhana, pencatatan dan pelaporan serta rujukan.
3)
Pembinaan
Pembinaan
yang dilakukan oleh kader berupa menyelenggarakan pertemuan bulanan dengan
masyarakat untuk membicarakan perkembangan program kesehatan, melakukan kunjungan
rumah pada keluarga binaannya, membina kemampuan diri melalui pertukaran
pengalaman antar kader.
[1]Soekidjo Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat
Seni dan Aplikasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 43.
[2]I.G.N Ranuh, Dkk, Pedoman Imunisasi di Indonesia,
(Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008), hal. 10.
[3]Soekidjo
Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan…,
hal. 46.
[4]Umar
Fahmi Achmadi, Imunisasi Mengapa Perlu, (Jakarta: Buku Kompas, 2006), hal. 130.
[5]Soekidjo
Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat Prisip-Prisip Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal.
96.
[6]Achmad Munib, Pengantar Ilmu Pendidikan,
(Semarang: UPT MKK Universitas Negeri Semarang, 2006), hal. 32.
[7]Juli Soemirat Slamet, Kesehatan Lingkungan,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), hal. 208.
[8]Soekidjo
Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan…,
hal. 127-128.
[9]Pandji
Anoraga, Psikologi Kerja, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 60.
[10]Soetjiningsih,
Tumbuh Kembang Anak, (Jakarta: EGC, 1995), hal. 10.
[11]
Charles Abraham, Psikologi Untuk Perawat, (Jakarta: EGC, 1997), hal.
126.
[12]Soekidjo
Notoatmodjo, Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 27.
[13]Djoko Wiyono, Manajemen Mutu Pelayanan Keehatan
Teori Strategi dan Aplikasi, (Surabaya: Penerbit Airlangga University
Press, 2001), hal. 236.
[14]Soekidjo
Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat…, hal. 13.
[15]Djoko
Wiyono, Manajemen Mutu Pelayanan…,
hal. 33.
[16]Djoko
Wiyono, Manajemen Mutu Pelayanan…,
hal. 34.
[17]Soekidjo
Notoatmodjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat…, hal. 165.
No comments:
Post a Comment