Pengertian
musyawarah dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah pembahasan bersama dengan maksud memperoleh keputusan atas
penyelesaian suatu masalah.[1] Kata
musyawarah tersebut berasal dari bahasa Arab, yakni musyawarat. Ia adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara, yusyawiru, syawir
yang terdiri atas tiga huruf, syin,
waw dan ra’. Struktur akar kata tersebut bermakna pokok “mengeluarkan madu
dari sarang lebah”. Makna ini kemudian berkembang, sesuai dengan pola tashrif nya, misalnya; syawir (meminta pendapat), musytasyir (meminta pandangan orang
lain), asyarah (memberi
isyarat atau tanda), al-masyurah
(nasehat atau saran), tasyawur
(perundingan).[2]
Senada
dengan pendapat di atas, dalam sumber yang lain dijelaskan bahwa akar kata
musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia tersebut adalah شور yang
berarti menampakan sesuatu atau mengeluarkan “madu dari sarang lebah”.
Musyawarah bararti menampakan sesuatu yang semula tersimpan atau mengeluarkan
pendapat yang baik kepada pihak lain. Sedangkan secara istilah syura berasal dari kata syawwara-yusyawwiru yang berarti
menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu, bentuk lain dari
kata kerja ini adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara,
(berunding saling tukar pendapat), Syawir (minta pendapat) musyawarah
dan mustasyir (minta pendapat orang lain). Jadi Syura adalah
menjelaskan, menyatakan atau mengajukan pendapat yang baik disertai dengan
menaggapi dengan baik pula pendapat tersebut.[3]
Senada
dengan pendapat di atas, manurut Hasbi Amiruddin menjelaskan bahwa kata syura berasal dari kata kerja syawara-yusyawiru yang berarti
menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk-bentuk
lain yang berasal dari kata syawara adalah
tasyawara, artinya berunding, saling
bertukar pendapat; syawir, yang
artinya meminta pendapat atau musyawarah.[4] Jadi,
syura atau musyawarah adalah saling
menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai
suatu perkara.
Pendapat
lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan musyawarah adalah saling
mengeluarkan pendapat antara satu dengan yang lainnya.[5] Dari
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa musyawarah itu dilakukan lebih dari
satu orang dan musyawarah merupakan suatu forum tukar menukar pikiran, gagasan
atau ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan suatu masalah
sebelum tiba pada suatu pengambilan keputusan. Jadi musyawarah adalah
pembahasan bersama dengan maskud mencapai keputusan dan penyelesaian bersama
untuk kepentingan bersama/umum.
Mayoritas
ulama syariat dan pakar undang-undang konstitusional meletakkan musyawarah
sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional yang pokok di atas
prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang telah ditetapkan oleh nash-nash
al-Qur’an dan hadis-hadis Nabawi. Oleh karena itu, musyawarah sangat lazim
digunakan dan tidak ada alasan bagi seorang pun untuk meninggalkannya.[6]
Menurut
Muhammad Abduh, secara fungsional musyawarah adalah untuk membicarakan
kemaslahatan masyarakat dan masalah-masalah masa depan pemerintahan. Dengan
musyawarah, rakyat menjadi terdidik dalam mengeluarkan pendapat dan
mempraktekkannya, bukan mempraktekkan pendapat seorang kepala negara, sekalipun
pendapatnya benar. Karena orang banyak yang bermusyawarah akan jauh dari
melakukan kesalahan dari pada diserahkan kepada seseorang yang cenderung
membawa bahaya bagi umat. Lebih jauh Abduh menjelaskan bahwa Allah Swt juga
mewajibkan kepada para penguasa untuk membentuk lembaga musyawarah, sebab ia
merupakan perbuatan terpuji di sisi Allah.[7]
Pada
dasarnya, semua batasan pengertian dari masing-masing kata yang telah
disebutkan di atas, dapat dikembalikan kepada makna pokoknya, yakni
“mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Dengan demikian, konotasi musyawarah
pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, karena dipahami bahwa
madu bukan saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus
sumber kesehatan dan kekuatan. Itu sebabnya, madu dicari di mana pun dan oleh
siapa pun. Madu dihasilkan oleh lebah, dan jika demikian maka yang
bermusyawarah mesti bagaikan lebah, makhluk yang sangat disiplin, kerjasamanya
mengagumkan, makanannya sari kembang dan hasilnya madu. Di mana pun hinggap,
lebah tidak pernah merusak. Ia tidak akan mengganggu kecuali bila ia diganggu.[8] Itulah hakekat dan semangat sebenarnya
dari musyawarah. Karenanya kata tersebut tidak digunakan kecuali untuk hal-hal
yang baik-baik saja.
Dari
penjelasan di atas, terlihat dengan jelas bahwa musyawarah memiliki kedudukan
yang tinggi dalam Islam. Disamping merupakan bentuk perintah dari Allah Swt,
musyawarah pada hakikatnya juga dimaksudkan untuk mewujudkan sebuah tatanan
masyarakat yang demokratis. Dengan musyawarah, setiap orang yang ikut
bermusyawarah akan berusaha mengemukakan pendapat yang baik, sehingga diperoleh
pendapat yang dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Di
sisi lain, pelaksanaan musyawarah juga merupakan bentuk penghargaan kepada
tokoh-tokoh dan para pemimpin masyarakat, sehingga mereka dapat berpartisipasi
dalam berbagai urusan dan kepentingan bersama. Bahkan pelaksanaan musyawarah
juga merupakan bentuk penghargaan kepada hak kebebasan dalam mengemukakan
pendapat, hak persamaan dan hak memperoleh keadilan bagi setiap individu.
Dengan
demikian, esensi pengertian musyawarah dapat dipahami sebagai solusi dan
pemecahan semua masalah atau urusan yang dihadapi oleh manusia, karena dengan
musyawarah maka akan ditemukan jalan keluar yang diharapkan dan akan ditemukan
kebenaran yang diinginkan. Suatu keputusan yang diambil dalam musyawarah setelah
semua pihak mengemukakan pendapat dan pandangan haruslah mencerminkan
pertimbangan yang objektif dan bijaksana untuk kepentingan umum, sehingga
keputusan itu merupakan kebulatan pendapat atau kesepakatan bersama.
Kitab
suci al-Qur’an sarat dengan berbagai petunjuk yang seharusnya diaplikasikan
dalam kehidupan ini, salah satu dari petunjuk al-Qur’an tersebut adalah
musyawarah. Penafsiran tentang musyawarah agaknya mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu. Demikian pula pengertian dan persepsi tentang istilah yang
padat makna ini mengalami evolusi. Seperti dijelaskan Hamka bahwa hal itu
terjadi sesuai dengan perkembangan pemikiran, ruang dan waktu. Dewasa ini,
pengertian musyawarah dikaitkan dengan beberapa teori politik modern, seperti
sistem republik, demokrasi, parlemen, sistem perwakilan, senat, dan berbagai
konsep yang berkaitan dengan sistem pemerintahan.[9]
Keterkaitan musyawarah dengan aspek-aspek lain, seperti dikemukakan Hamka
tersebut, merupakan suatu indikasi bahwa ayat-ayat tentang musyawarah sangat
menarik untuk dikaji.
Al-Qur’an
tidak mejelaskan bagaimana bentuk syura yang
dianjurkannya. Ini untuk memberikan kesempatan kepada setiap masyarakat
menyusun bentuk syura (musyawarah/ pengambilan
suatu keputusan) yang mereka inginkan sesuai dengan perkembangan dan ciri
masyarakat masing-masing. Perlu diingat bahwa ayat tentang syura pada periode di mana belum lagi terbentuk masyarakat Islam
yang memiliki kekuasaan politik atau dengan kata lain sebelum terbentuknya
negara Madinah di bawah pimpinan Rasulullah Muhammad Saw. Turunnya ayat yang
menguraikan syura (musyawarah) pada
periode Mekkah, menunjukkan bahwa musyawarah adalah anjuran al-Qur’an dalam
segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan petunjuk Allah Swt di
dalamnya.
Secara historis, konsep syura
dalam sejarah Islam telah ada, pertemuan di Bani Sa’idah segera setelah Nabi
Muhammad Saw wafat. Menurut Fazlur Rahman, kejadian itu sebagai pelaksanaan
prinsip syura yang pertama.
Kejadian ini kemudian diikuti dengan pidato
pelantikan Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Dalam pidato
pelantikannya itu, secara kategoris ia menyatakan bahwa dirinya telah menerima
mandat dari rakyat yang memintanya melaksanakan al-Quran dan Sunnah. Abu Bakar
juga menyatakan bahwa ia melaksanakan ketentuan al-Quran dan Sunnah,
ia perlu didukung terus. Tetapi bilamana ia melakukan pelanggaran berat maka ia harus diturunkan. Konsep syura dan demokrasi Fazlur Rahman juga berpendapat bahwa institusi semacam syura telah ada pada masyarakat Arabia pra-Islam. Waktu itu, para pemuka suku
menjalankan urusan bersama melalui permusyawaratan. Institusi inilah yang
kemudian didemokrasitasi oleh al-Quran, yang menggunakan istilah syura. Perubahan dasar yang dilakukan al-Quran
adalah mengubah syura dari sebuah institusi
suku menjadi institusi komunitas, karena ia menggantikan hubungan darah dengan
hubungan iman.[10]
Menurut
Syafi’i Anwar, pada dasarnya syura
merupakan gagasan politik utama dalam al-Quran. Jika konsep syura ditransformasikan dalam kehidupan
modern sekarang, maka menurut Syafii sistem politik demokrasi adalah lebih
dekat dengan cita-cita politik Qurani, sekalipun ia tidak terlalu identik
dengan praktek demokrasi barat. Begitu halnya dengan Mohammad Iqbal yang
menganggap demokrasi sebagai cita-cita politik Islam, kritik Iqbal terhadap
demokrasi bukanlah dari aspek normatifnya, akan tetapi dalam praktek
pelaksanaannya. Keterkaitan antara pandangan Islam dan demokrasi
terletak pada prinsip persamaan (equality), yang di
dalam Islam dimanifestasikan oleh tauhid sebagai satu gagasan kerja dalam
kehidupan sosio-politik umat Islam.[11]
Perlunya
musyawarah (syura) merupakan
konsekuensi politik prinsip kekhalifahan
manusia. “perwakilan rakyat dalam sebuah negara Islam tercermin terutama dalam
doktrin musyawarah (syura). Karena
semua muslim yang dewasa dan berakal sehat, baik pria maupun wanita adalah khalifah Tuhan, mereka mendelegasikan
kekuasaan mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam
menangani permasalahan negara”. Ayatullah Baqir Al-Sadr menegaskan bahwa
musyawarah adalah hak rakyat. “rakyat sebagai khalifah Allah Swt berhak mengurus persoalan mereka sendiri atas
dasar prinsip musyawarah” dan ini termasuk “pembentukan majlis yang para
anggotanya adalah wakil-wakil rakyat yang sesungguhnya. Dengan demikian syura menjadi unsur operasional yang
menentukan dalam hubungan antara Islam dan demokrasi.[12]
Secara umum konsep syura
sangat sesuai dengan demokrasi karena menempatkan semua masyarakat dalam satu
tempat yang sama. Di Indonesia, demokrasi yang dibangun berdasarkan konsep syura di mana setiap pemimpin dipilih
oleh rakyatnya. Tentang apakah sistem pemilihan tersebut secara langsung oleh
pemerintah maupun melalui perwakilan di dewan perwakilan rakyat sebenarnya
adalah hal yang sama. Selama rakyat atau wakilnya mempunyai keinginan yang sama
hal tersebut bukanlah masalah. Namun akan berbeda halnya ketika seorang wakil rakyat yang telah dipilih tersebut tidak menggambarkan apa yang menjadi keinginan rakyat
yang diwakilinya. Oleh karena itu, seorang wakil rakyat harus benar-benar
mewakili setiap kebutuhan rakyat yang harus diperjuangkan. Jika wakil rakyat
hanya mewakili golongannya tentu sudah menyalahi dari konsep demokrasi itu
sendiri.
Piagam Madinah merupakan konstitusi demokrasi Islam pertama dalam
sejarah pemerintahan konstitusional. Para intelektual muslim sepakat bahwa prinsip syura adalah sumber etika demokrasi Islam. Mereka menyamakan konsep syura
dengan konsep demokrasi modern.[13]
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa konsep musyawarah dalam al-Qur’an dapat ditelusuri melalui
tiga term, yakni syūra, syāwir, dan tasyāwur. Term syūra mengandung interpretasi tentang lapangan musyawarah dan
demokrasi. Term syāwir mengandung
interpretasi demokrasi dan orang-orang yang diminta bermusyawarah. Sedangkan
term tasyāwur mengandung interpretasi
tentang urgennya musyawarah diterapkan mulai dari unit sosial terkecil (rumah
tangga) untuk terbinanya kebiasaan bermusyawarah dalam unit sosial yang lebih
besar (negara). Jadi, musyawarah dalam perspektif al-Qur’an adalah sesuatu yang
penting dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk menerapkannya dalam
kehidupan ini.
[1]W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 772
[2]Mahmud
Yunus, Kamus Arab Indonesia,
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), hal. 207.
[3]Waryono
Abdul Ghofur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks, (Yogyakarta:
Elsaq Press, 2005), hal. 154.
[4]M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 18.
[5]Atang
Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metologi
Studi Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), hal. 233.
[6]Farid
Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika Ooffset, 2005), hal. 35.
[7]J. Suyuthi
Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan
dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali
Press, 1993), hal. 220.
[8]M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir
Mawdhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 469.
[9]Haji
Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Tafsir
Al-Azhar, juz II (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hal. 190.
[10]M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 224.
[11]M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi…, hal. 223.
[12]John L. Esposito, John L. Esposito dan John O. Voll, Islam and Democracy, alih bahasa Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1999), hal. 33.
[13]Tauseef Ahmad Parray, Islamic Democracy or Democracy
in Islam: Some Key Operational Democratic Concepts and Notions, World
Journal of Islamic History and Civilization, (2 (2): 66-86, 2012, ISSN 2225-0883), hal. 73.
No comments:
Post a Comment