Tradisi
peumanoe pucoek dalam acara pesta
perkawinan dan sunat Rasul merupakan salah satu bagian dari budaya Aceh yang
tentunya harus tetap dilestarikan. Sehingga keberadaannya akan tetap
terlestarikan dan akan selalu menjadi budaya Aceh yang dipraktekkan sepanjang
masa. Menurut masyarakat, tradisi peumanoe
pucoek sangat perlu dilestarikan dan terus dipertahankan oleh masyarakat
Aceh termasuk di Gampong Pulo Ie I. Namun harus diakui bahwa “Saat ini tidak
banyak keluarga yang melaksanakan prosesi adat atau tradisi peumanoe pucoek yang biasanya
dilaksanakan satu hari sebelum akad nikah padahal ini merupayah adat istiadat
warisan leluhur yang perlu dijaga bersama-sama”.[1]
Lebih
lanjut, menurut Bapak Abdul Gani menjelaskan bahwa di Gampong Pulo Ie I, sekalipun
ada dilaksanakan tradisi peumanoe pucoek,
namun proses pelaksanakan tidak dilakukan oleh semua keluarga yang mengadakan
acara pesta pernikahan (walimahtul ‘ursy)
terhadap anak-anak atau familinya, demikian juga halnya dalam acara sunat
Rasul. Tradisi peumanoe pucoek hanya
dilakukan oleh keluarga-keluarga tertentu yang ia merasa bahwa tradisi ini
merupakan suatu tradisi yang sakral dalam pesta pernikahan dan mesti
dilaksanakan. Namun ada juga sebagian lainnya yang menganggap bahwa tradisi
tersebut hanya tradisi biasa yang tidak mengapa jika tidak dilaksanakan
(ditinggalkan).[2]
Kurangnya
semangat masyarakat Gampong Pulo Ie I dalam melaksanakan tradisi peumanoe pucoek tersebut juga ada
kaitannya dengan besar atau kecilnya acara khenduri
(pesta pernikahan) yang dibuat. Ada sebagian masyarakat yang mengadakan
acara khenduri dengan penuh
kemeriahan karena didukung oleh banyaknya saudara dan family yang ikut membantu
menyukseskan acara tersebut. Selain itu, tingkat kemampuan pihak keluarga juga
sangat berpengaruh dengan sempurna atau lengkapnya pelaksanaan adat istiadat
termasuk dalam hal peumanoe pucoek.
Maksudnya keluarga yang tergolong mampu dari segi financial (ekonomi) akan
membuat acara yang lebih meriah dan sempurna, sebaliknya keluarga yang
pas-pasan atau kurang mampu, hanya mengadakan khenduri sealakadarnya saja. Bahkan ada keluarga yang tidak membuat
lagi acara walimatul ‘ursy.
Pernyataan
di atas sebagaimana dijelaskan oleh Bapak Arifin, bahwa di Gampong Pulo Ie I,
pelaksanaan pernikahan maupun sunat Rasul tidak semuanya dilakukan khenduri oleh masyarakat, tergantung
tingkat kemampuan seseorang. Namun demikian, bukan berarti tidak ada sama
sekali, paling kurang dengan mengadakan berdoa dan makan bersama beberapa orang
tokoh masyarakat dan para tetangga keluarga yang melakukan akad nikah atau
sunat Rasul. Model seperti ini dalam masyarakat Aceh Selatan khususnya di
wilayah Kecamatan Kluet Utara biasanya disebut dengan “Khenduri si droe Teungku”.[3]
Selanjutnya,
sekalipun ada diadakan acara atau pesta walimahtul
‘ursy dan juga ada dilakukan tradisi peumanoe
pucoek di Gampong Pulo Ie, namun proses pelaksanaan juga tidak begitu
lengkap sebagaimana aturan seumanoe pucok
yang sebenarnya. Misalnya ada peumanoe
pucoek, namun tidak diiringi dengan tarian-tarian dan syair-syair khususnya
syair khusus seumanoe pucok. Jadi,
kesannya tidak lengkap dan tidak meriah sebagaimana jika dilakukan peumanoe pucoek dengan diiringi
tari-tarian dan syair-syair peumanoe pucoek.
Adanya
peumanoe pucoek dengan tidak diiringi
oleh grup tarian dan syair-syair disebabkan juga oleh tidak dilestarikan lagi
hal tersebut dalam kehidupan masyarakat Aceh khususnya bagi masyarakat Gampong
Pulo Ie I dan gampong-gampong disekitarnya. Keberadaan tarian-tarian dan
syair-syair tersebut sudah sangat jarang terdengar dalam pesta-pesta yang
diadakan di Gampong Pulo Ie pada khususnya. Kenyataan tersebut membuktikan
bahwa pelestarian adat-istiadat dalam hal pesta perkawinan dan sunat Rasul
sudah mulai memudar akibat tidak dipraktekkan lagi oleh masyarakat setempat.
Menurut
salah seorang tokoh masyarakat Gampong Pulo Ie I, bahwa pada masa lalu atau
sebelum terjadinya konflilk di Aceh, adat istiadat termasuk dalam hal-hal yang
berkaitan dengan pesta perkawinan yang tentunya juga ada di dalamnya tradisi peumanoe pucoek, pelaksanaanya masih
sangat kental dan boleh dikatakan sempurna sebagaimana yang diatur dalam
ketentuan adat-istiadat. Namun ketika konflik berkepanjangan melanda Aceh,
tradisi tersebut tidak semeriah dulu lagi. Bahkan saat ini, banyak masyarakat
yang tidak terlalu mengikuti aturan-aturan adat-istiadat sebagaimana
dipraktekkan pada masa-masa dahulu.[4]
Lebih
lanjut, Bapak Abdul Gani menjelaskan bahwa terjadinya pergeseran nilai dalam
masyarakat Gampong Pulo Ie I, selain dikarenakan oleh faktor konflik pasa masa
lalu, pasca terjadinya musibah tsunami melanda Aceh banyak hal-hal yang berubah
dalam kehidupan masyarakat Aceh secara umumnya tidak terkecuali bagi masyarakat
Aceh Selatan termasuk di dalamnya masyarakat Gampong Pulo Ie I. Perobahan nilai
dan tata cara kehipan sudah dipengaruhi oleh tradisi-tradisi luar yang tentunya
mengikis sedikit demi sedikit budaya lokal.[5]
Sebagaimana
diketahui bahwa sebelum dilanda konflik yang berkepanjangan, kehidupan
masyarakat Aceh pada umumnya dan masyarakat Gampong Pulo Ie I pada khususnya,
masih sangat kental menjaga dan melestarikan nilai-nilai adat istiadat yang
berkembang dalam masyarakat. Salah satunya adalah dalam bidang peumanoe pucoek ketika proses pesta perkawinan,
prosesi tersebut boleh dikatakan menjadi suatu hal yang sangat penting dan
mesti dilakukan oleh setiap masyarakat yang mengadakan pesta perkawinan (walimatul ‘usry). Namun ketika konflik
melanda Aceh, banyak hal yang berkaitan dengan adat istiadat sudah ditinggalkan
oleh masyarakat. Alasannya karena keadaan yang tidak memungkin dan
pelaksanaannyapun tidak akan berjalan dengan baik dan maksimal karena
masyarakat pada umumnya berada dalam ketakutan.
Selanjutnya,
konflik Aceh berakhir dengan terjadinya gempa bumi dan musibah tsunami yang
melanda Aceh pada tahun 2004 yang silam, juga ikut mempengaruhi budaya dan adat
istiadat masyarakat Aceh, termasuk dalam hal prosesi adat perkawinan yang sudah
kurang maksimal dalam memenuhi tuntunan adat yang sebenarnya. Keadaan tersebut
lebih dipengaruhi oleh masuknya budaya-budaya luar yang mempengaruhi budaya
lokal, sehingga masyarakat Aceh pada umumnya meninggalkan budaya-budaya sendiri
dan mengikuti budaya luar. Sehingga sampai saat ini, terlihat masyarakat Aceh
sudah mulai kehilangan jati dirinya dengan tidak terlalu mempraktekkan budaya
lokal, termasuk sudah berkurangnya mempraktekkan prosesi peumanoe pucoek dalam adat perkawiinan.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa tradisi peumanoe pucoek dalam masyarakat Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet
Utara Kabupaten Aceh Selatan sudah mulai melemah pelaksanaannya, sekalipun ada
dilakukan namun tidak sempurna sebagaimana ketentuan yang sebenarnya, bahkan
ada masyarakat yang memang tidak melaksanakan sama sekali tradisi peumanoe pucoek tersebut. Terjadinya hal
tersebut juga tidak terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi sebagaimana
telah dijelaskan di atas.
[1]Hasil Wawancara
dengan Miswardi, (Anggota Tuha Peut Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 11 September 2014.
[2]Hasil Wawancara
dengan Abdul Gani, (Keuchik Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara Kabupaten
Aceh Selatan), Tanggal 10 September 2014.
[3]Hasil Wawancara
dengan Arifin, (Wakil Ketua I Tuha Peut Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 12 September 2014.
[4]Hasil Wawancara
dengan Sayuna Hamidi, (Sekretaris Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara
Kabupaten Aceh Selatan), Tanggal 17 September 2014.
[5]Hasil Wawancara
dengan Abdul Gani, (Keuchik Gampong Pulo Ie I Kecamatan Kluet Utara Kabupaten
Aceh Selatan), Tanggal 10 September 2014.
No comments:
Post a Comment