A.
Latar
Belakang Masalah
Mampu mengambil keputusan
dengan baik adalah pembebasan diri yang sangat tepat di dalam kehidupan ini,
tidak dapat di pungkiri bahwa manusia hidup tidak terhindar dari masalah dan
mereka di tuntut untuk menyelesaikannya. Pada sisi lain, adanya kesulitan dalam
mengambil keputusan merupakan hal yang wajar bahkan bisa menimbulkan
kesukaran-kesukaran terhadap keputusan itu sendiri yang menyangkut seluruh
aspek kehidupan.
Merupakan sifat kodrati manusia
jika seseorang tidak dapat hidup secara individual karena manusia adalah
makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Dalam
agama Islam telah diajarkan bahwa menyelesaikan permasalahan tidak harus dengan
emosi atau atas kehendak sendiri melainkan dengan jalan musyawarah (syura). Dengan bermusyawarah manusia
akan dapat bertukar fikiran dan saling berargumen untuk mencari solusi yang
tepat dan membawa maslahat bagi semua orang.
Islam telah menganjurkan
musyawarah dan memerintahkannya dalam ayat dalam al-Qur'an, musyawarah
menjadikan suatu hal terpuji dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat,
negara dan menjadi elemen penting dalam kehidupan umat, musyawarah disebutkan
dalam sifat-sifat dasar orang-orang beriman di mana keIslaman dan keimanan mereka
tidak sempurna kecuali dengan musyawarah, ini disebutkan dalam surat khusus,
yaitu surat as-syuara, Allah Swt berfirman sebagai berikut:
Artinya: "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka." (QS al-Syura: 38).
Lewat
ayat ini, Allah Swt mengingatkan bahwa musyawarah adalah sesuatu yang setara
dengan ibadah ritual. Bahkan Allah lalu menyematkan musyawarah dalam
perintah-Nya yang menyebutkan hal-hal wajib: shalat, musyawarah, dan infak.
Berdasarkan
penjelasan ini, maka dapat kita simpulkan bahwa sebuah masyarakat yang
mengabaikan musyawarah sebagai landasan hidup, tidak dapat disebut sebagai
masyarakat yang sempurna keimanannya kepada Allah. Sebagaimana dapat pula dapat
dikatakan bahwa sebuah masyarakat yang mengabaikan prinsip musyawarah, tidak
dapat disebut sebagai masyarakat muslim yang seutuhnya.
Dalam
agama Islam, musyawarah adalah sebuah landasan hidup yang harus dipegang teguh
baik oleh para pemimpin maupun oleh rakyat jelata. Para pemimpin memiliki
tanggung jawab untuk menerapkan musyawarah dalam kebijakan politik,
pemerintahan, hukum, dan berbagai hal yang berhubungan dengan masyarakat luas.
Sementara rakyat memiliki tanggung jawab untuk menjadikan musyawarah sebagai
wahana penyampaian aspirasi mereka kepada penguasa.
Dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat ataupun bangsa, musyawarah sangat diperlukan. Musyawarah
memiliki posisi mendalam dalam kehidupan masyarakat Islam. Bukan hanya dalam
sistem politik pemerintahan, tetapi juga merupakan karakter dasar seluruh
masyarakat.
Musyawarah telah menjadi wacana yang sangat
menarik untuk terus dikupas dan dikembangkan pengkajiannya. Karena persoalan musyawarah
secara tekstual merupakan fakta wahyu (firman Allah Swt) yang tersurat dan bisa
menjadi ajaran dalam kehidupan kita. Di dalam setiap perkembangan umat manusia,
musyawarah senantiasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan ditengah
perkembangan kehidupan umat manusia.[1]
Al-Qur’an tidak merinci atau meletakkan pola dan
bentuk musyawarah tertentu. Paling tidak, yang dapat disimpulkan dari teks-teks
Al-Qur’an adalah bahwa Islam menuntut adanya keterlibatan masyarakat dalam
urusan yang berkaitan dengan mereka. Perincian keterlibatan, pola dan caranya
diserahkan kepada masing-masing masyarakat, karena satu masyarakat dapat
berbeda dengan masyarakat yang lain. Bahkan masyarakat tertentu dapat mempunyai
pandangan yang berbeda dari suatu masa ke masa yang lain.
Mengikat diri dengan fakta ulama dan
pakar-pakar masa lampau, bahkan pendapat para sahabat Nabi dalam persoalan musyawarah
atau pandangan dan pengalaman masyarakat lain, serta membatasi diri dengan istilah
dan pengertian tertentu bukanlah sesuatu yang tepat atau masih perlu
dipertimbang ulang pendapat tersebut baik ditinjau dari segi logika maupun
pandangan agama. Memang setiap masyarakat di setiap masa memiliki budaya dan
kondisi yang khas, sehingga wajar jika masing-masing mempunyai pandangan dan
jalan yang berbeda dalam memahami pengertian musyawarah.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas,
penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh lagi mengenai musyawarah dalam
kaitannya dengan pendidikan Islam. Maka dalam hal ini, penulis merumuskannya
dalam bentuk karya ilmiah dengan judul:
“Konsep Musyawarah Dalam Perspektif Pendidikan Islam”
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalah
yang telah penulis uraikan di atas, maka dalam penulisan ini diperlukan adanya beberapa
rumusan masalah terhadap permasalah tersebut. Adapun yang menjadi rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apa landasan
musyawarah dalam Islam?
2. Bagaimana
konsep musyawarah dalam Islam?
3. Nilai-nilai
pendidikan Islam apa saja yang terkandung dalam musyawarah?
C. Tujuan
dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian dalam karya
ilmiah ini merupakan target yang hendak dicapai melalui serangkaian aktivitas
penelitian, karena segala yang diusahakan pasti mempunyai tujuan tertentu yang
sesuai dengan permasalahannya. Serta konsep dan berpijak pada rumusan masalah
yang telah disebutkan, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui landasan musyawarah dalam Islam
2. Untuk
mengetahui konsep musyawarah dalam Islam
3. Untuk
mengetahui nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam musyawarah
Adapun manfaat atau kegunaan
penelitian ini bagi semua pihak, khususnya seluruh praktisi pendidikan yaitu
sebagai berikut:
1. Secara
Teoritis;
Menambah
khasanah keilmuan mengenai konsep musyawarah dalam perspektif pendidikan Islam
2. Secara
Praktis
a. Bagi
penulis untuk memperoleh data guna memenuhi kewajiban akhir dalam penulisan
skripsi guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh.
b. Untuk
menambah pengetahuan dan cakrawala berpikir bagi penulis sendiri dan pembaca,
khususnya mahasiswa Fakultas Tarbiyah Universitas Serambi Mekkah mengenai
konsep musyawarah dalam perspektif pendidikan Islam.
D. Penjelasan
Istilah
Untuk mendapatkan gambaran yang
jelas tentang arah penulisan skripsi
ini, terlebih dahulu dijelaskan kata kunci yang terdapat dalam pembahasan ini, yaitu:
- Konsep
Konsep
berarti suatu pemikiran, pendapat atau gambaran jiwa. Sedangkan konsepsi
berarti pengertian, pendapat atau paham, rancangan yang telah ada dalam
pikiran.[2]
Konsep juga dapat berarti sesuatu konsep yaitu proses mental yang menguatkan
atau kemampuan menyusun kembali dalam memadukan data yang di serap.[3] Berdasarkan
beberapa definisi tersebut, dapat dipahami bahwa konsep adalah pendapat yang
terbentuk dalam fikiran ataupun melalui karya-karya Ilmiah.
- Musyawarah
Pengertian musyawarah adalah pembahasan bersama dengan maksud
mencapai keputusan atas penyelesaian masalah; perundingan; perembukan.[4] Dari
pengertian itu dapat disimpulkan, syura artinya memusyawarahkan
perbedaan-perbedaan pendapat atas sesuatu untuk melahirkan kebaikan dan
kebenaran yang ada di dalamnya.
- Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah sebagai
usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya
insani yang ada padanya menuju manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan
norma Islam.[5] Ahmad D.
Marimba menjelaskan bahwa Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani
berdasarkan hukum-hukum agama Islam munuju terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam.[6]
Dengan demikian, pendidikan
Islam merupakan proses kependidikan merupakan rangkaian usaha membimbing,
mengarahkan potensi hidup manusia, berupa kemampuan belajar. Sehingga terjadi
perubahan di dalam kehidupan pribadinya sebagai mahluk individual dan mahluk
sosial serta dalam hubungannya dengan sekitar di mana ia hidup. Proses tersebut
senantiasa di landasi oleh nilai-nilai ideal Islam yang melahirkan norma-norma
syari’ah dan akhlakul karimah untuk
mempersiapkan kehidupan dunia akhirat.
E. Metode
Penelitian
Ketepatan menggunakan
metode dalam penelitian adalah syarat utama dalam menggunakan data. Apabila
seseorang mengadakan penelitian kurang tepat metode penelitiannya, maka akan
mengalami kesulitan, bahkan tidak akan menghasilkan hasil yang baik sesuai yang
diharapkan.
1.
Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian kepustakaan (Library
Research) dan kualitatif. Menurut Lexy J. Moleong menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan penelitian kualitatif tampaknya diartikan
sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.[7]
Atas dasar itu penelitian ini menggunakan pula jenis penelitian intelektual
para pakar Islam dalam memaknai atau mengulas tentang musyawarah dalam tinjauan
Islam. Analisis ini akan digunakan dalam usaha mencari dan mengumpulkan data,
menyusun, menggunakan serta menafsirkan data yang sudah ada. Berdasarkan hal
itu, maka penelitian ini hendak menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti
terhadap suatu obyek penelitian, yaitu berkaitan dengan konsep musyawarah dalam
perspektif pendidikan Islam menurut referensi-referensi yang membahas masalah
tersebut.
2. Metode
Pengumpulan Data
a. Data
Primer yaitu data yang langsung dari sumber pertama mengenai masalah yang
diungkap secara sederhana disebut data asli.[8]
Data yang dimaksud yaitu al-Qur’an sebagai sumber utama dan pertama dalam Islam
dan al-Hadis Rasulullah Saw sebagai sumber hukum Islam yang kedua khususnya ayat
al-Qur’an atau Hadist yang berkaitan langsung dengan pembahasan musyawarah.
Data ini menjadi pegangan pokok atau landasan utama untuk menjadi rujukan dalam
mengkaji masalah yang diteliti.
b. Data
Sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber lain selain sumber primer. Data
sekunder ini dimaksudkan untuk mendukung dan melengkapi data primer. Data yang
dimaksud yaitu yang relevan dengan tema skripsi ini, di antaranya adalah kitab/buku-buku,
skripsi, tesis, buletin/jurnal dan lain-lain. Data sekunder ini sifatnya
sebagai pelengkap untuk memperkuat landasan teori yang utamanya ditempatkan untuk
menyokong atau mendukung sumber primer.
3. Metode
Analisis Data
Sifat penelitian ini adalah deskriptif
analisis, yaitu pemaparan apa adanya terdapat apa yang dimaksud oleh suatu
teks dengan cara memfrasekan dengan bahasa peneliti. Berarti memaparkan apa
adanya fakta dari suatu objek tanpa mengurangi, menyalahkan bahkan menambahi.
Hanya dianalisis sesuai dengan bahasa peneliti sendiri. Data atau keterangan
tentang konsep yang akan dibahas dan diteliti yang diperoleh melalui teknik
pengumpulan data, dikumpulkan kemudian dianalisa dengan mempergunakan teknik
atau metode deduktif yang digunakan untuk menganalisis tentang landasan teori,
yaitu analisis suatu permasalahan yang berasal dari generalisasi yang bersifat
umum kemudian ditarik pada fakta yang bersifat khusus atau yang kongkrit
terjadi.[9]
Selanjutnya metode induktif digunakan untuk menganalisis tentang permasalahan
yang akan diteliti yaitu dengan menganalisis masalah yang bersifat khusus,
kemudian diarahkan pada penarikan kesimpulan yang bersifat umum.[10]
Senada dengan pendapat di atas,
Moleong menjelaskan bahwa deduksi, yaitu upaya untuk memperoleh kaidah-kaidah
yang bersifat khusus melalui penalaran dan penganalisaan. Induksi, yaitu upaya
memperoleh kaidah-kaidah yang bersifat umum melalui penalaran dan penganalisaan
terhadap kaidah-kaidah yang bersifat khusus dan komparasi adalah upaya
membandingkan beberapa keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh
untuk mendapatkan argumentasi yang lebih kuat serta mampu memberikan kejelasan
yang layak untuk dijadikan pegangan dalam penelitian ini.[11]
Menurut Winarno Surakhmad
menjelaskan bahwa metode komparasi yaitu suatu metode yang membandingkan antara
pendapat yang satu dengan yang lain untuk memperoleh suatu kesimpulan dalam
meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang
diselidiki atau dibandingkan dengan masalah tersebut.[12]
Metode ini diaplikasikan dengan cara mengkaji tentang konsep musyawarah dalam
perspektif pendidikan Islam.
[1]Thaha Idris, Demokrasi
Religius, (Bandung: Teraju, 2005), hal. 14.
[2]W.J.S
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hal.
204.
[3]Hasan
Shadili, Ensiklopedi Indonesia,
(Jakarta: Van Hoeve, 1983), hal. 1857.
[4]Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), hal. 768.
[5]Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu
Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hal. 20.
[6]Ahmad D
Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:
Al-Maarif, 1974), hal. 23.
[7]Lexy J.
Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 2.
[8]Winarno Surahmad, Pengantar
Penelitian-Penelitian Ilmiah, Dasar Metoda Teknik, (Bandung: Tarsito,
1989), hal. 134.
[9]Bekker
Anton, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta:
Ghaila Indonesia, 1984), hal. 56.
[10]M.
Arifin, Ilmu Perbandingan Pendidikan, (Jakarta: Golden Terayon Press,
1986), hal. 41.
[11]Lexy
J. Moleong, Metodologi…,
hal. 190.
[12]Winarno Surakhmad, Pengantar…, hal. 143.
No comments:
Post a Comment