Dalam proses implementasi pelaksanaan syari'at Islam dapat berjalan dan mencapai hasil
maksimal di Aceh. Maka, pembangunan pendidikan yang berbasis syari'at Islam menjadi penting dan patut
diutamakan dan mendapat prioritas untuk difikirkan dan dijalankan oleh semua
pihak, baik oleh pemerintah maupun masyarakat secara luas. Sebagai bentuk
partisipasi dan tanggung jawab moral dimaksud sudah sepatutnya pemerintah Aceh
dan seluruh masyarakatnya untuk memikirkan, membenah, memperbaiki dan melakukan
perubahan secara total dan menyeluruh terhadap paradigma dan sistem pendidikan
di negeri ini yang masih jauh dari nilai-nilai syariat Islam. Tidak ada kata
terlambat jika pemerintah dan masyarakat mau melakukan perubahan dalam sistem
pendidikan di Aceh dengan sistem pendidikan yang berbasis syari'at Islam.
Pembangunan pendidikan di Aceh yang dilakukan oleh pemerintah Aceh mesti
terpusatkan pada tiga lingkungan pusat pendidikan (tri pusat pendidikan)
yaitu: lingkungan keluarga (pendidikan informal), lingkungan sekolah
(pendidikan formal), dan lingkungan masyarakat (non formal).[1]
Otoritas dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam konteks otonomi daerah di bidang
pendidikan yaitu mendinamisasi percepatan pengembangan sarana pendidikan
formal, pendidikan non formal, pendidikan informal, pendidikan usia dini,
pendidikan jarak jauh dan pendidikan berbasis masyarakat.[2]
Keluarga adalah unit dasar dan unsur terpenting dalam masyarakat, yang
dengan itu kekuatan-kekuatan yang tertib dalam komunitas dirancang dalam
masyarakat. Dalam pandangan antropologi keluarga adalah suatu kesatuan sosial
terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh
kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat dan sebagainya.
Keluarga dikatakan sebagai lingkungan pendidikan pertama karena setiap anak
dilahirkan ditengah-tengah keluarga dan mendapat pendidikan yang pertama di
dalam keluarga.
Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama. Pembinaan
kepribadian, penguasaan dasar-dasar tsaqafah Islam dilakukan melalui pengalaman dan
pendidikan sehari-hari, serta dipengaruhi oleh sumber belajar yang ada di
keluarga, utamanya orang tua. Hampir lebih dari seperempat umur seorang anak
itu dihabiskan bersama keluarga dan merupakan durasi waktu yang cukup lama.
Itulah sebabnya pendidikan keluarga perlu diberikan perhatian serius karena
merupakan muara utama bagi keberhasilan pembangunan pendidikan. Oleh karena itu
pemerintah Aceh melalui Qanun Nomor 11 Tahun 2002 pasal 4 ayat 2 menjelaskan bahwa “setiap keluarga atau
orang tua bertanggung jawab menanamkan aqidah kepada anak-anak dan anggota
keluarga yang berada di bawah tanggung jawabnya”.[3]
Selanjutnya lingkungan sekolah, pendidikan di sekolah tidak kalah pentingnya dari pendidikan
keluarga. Mengingat pendidikan sekolah yang bersifat formal tentunya memiliki
dimensi yang berbeda dengan pendidikan dalam keluarga dan masyarakat. Di
sekolah aktifitas pendidikan berlansung dalam suatu institusi resmi yang
dikelola dengan sistem yang baik dan profesional. Sejalan dengan semangat
otonomi khusus Aceh, maka otonomi dalam hal pendidikan seyogyanya mendapatkan
tempat yang luas untuk dilaksanakan. Terutama yang berkaitan lansung dengan
aspek pelaksanaan syariat Islam, harusnya memungkinkan sekolah-sekolah di Aceh
mulai diperkenalkan dan diterapkan syari'at Islam dengan lebih mengedepankan pembinaan dari pada hukuman.[4]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada BAB IX Pasal 17 ayat 1 sampai dengan 3. Kurikulum dan sistem pendidikan di
sekolah-sekolah yang ada di Aceh mengacu pada kurikulum dan sistem pendidikan
Nasional, hal ini terdapat dalam Qanun Nomor 5 tahun 2008 BAB III pasal 5
ayat 2 menyebutkan bahwa yang menjadi sistem pendidikan di Aceh adalah tetap
mengacu pada sistem pendidikan Nasional, namun yang menjadi penekanan adalah
pendidikan di Aceh harus didasarkan pada nilai-nilai Islami. Dengan adanya
peraturan pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.[5] Perhatian
pemerintah Aceh sekarang harus terfokus bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai
keislaman dalam kurikulum yang telah ada. Sehingga dapat meningkatkan ketaqwaan
para peserta didik.
Kemudian pendidikan dilingkungan masyarakat, Masyarakat adalah kumpulan
individu dan kelompok yang diikat oleh satu kesatuan negara, kebudayaan dan
agama. Dalam pengertian yang luas termasuk segala jalinan hubungan timbal
balik, kepentingan bersama, adat kebiasaan, pola-pola, teknik-teknik, sistem
hidup, undang-undang, institusi dan segala segi dan fenomena yang dirangkum
oleh masyarakat.[6]
Zakiah Daradjat
memberikan definisi masyarakat adalah kumpulan individu dan kelompok yang
diikat dalam kesatuan negara, kebudayaan dan agama yang memiliki cita-cita,
peraturan-peraturan dan sistem kekuasaan tertentu.[7]
Dengan demikian, jelas bahwa masyarakat merupakan kelompok sosial terbesar
dalam suatu negara, seperti masyarakat Aceh adalah kelompok besar yang hidup
didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Lingkungan masyarakat sebagai pusat pendidikan merupakan lingkungan
terakhir bagi anak untuk mendapatkan pendidikan dengan berbagai jenis
pengalaman dan pengetahuan. Dengan kata lain situasi masyarakat membawa
pengaruh besar terhadap keberhasilan pendidikan anak diluar rumah tangga dan
sekolah. dalam masyarakat terdapat lingkungan sebaya, yang memberi dampak yang
sangat besar terhadap perilaku anak termasuk juga proses pendidikan. Seorang
anak yang membolos dari sekolah, terbengkalai, bahkan terjerumus ke jurang
kehancuran seperti terlibat narkoba, perampokan dan perjudian semua itu
tergantung pada lingkungan teman sebayanya di masyarakat.
Dalam konteks Aceh, diperlukan materi pendidikan dalam tiga lingkungan
yang telah disebutkan di atas. Sehingga pendidikan terarah dan sesuai dengan
pelaksanaan syari’at Islam. Mengingat tema umum dari tulisan ini adalah
pendidikan di daerah syari’at Islam, maka materi pendidikan adalah dengan
berpedoman kepada Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002
tentang pelaksanaan syari’at Islam di bidang sqidah, ibadah dan syi'ar Islam. Oleh karena itu, materi
utama pendidikan di daerah Aceh adalah meliputi ketiga bidang tersebut, dengan
memuat beberapa hal yang bersifat pendidikan akhlak dalam masyarakat dan
lain-lain.
Materi pendidikan dalam keluarga, sekolah, masyarakat itu meliputi
masalah keimanan (aqidah), Keislaman (syari'ah) dan ihsan (akhlak). Ketiga materi pendidikan di atas merupakan
inti ajaran pokok dalam Islam. Aqidah adalah bersifat ittiqad berarti
mengajarkan keesaan Allah yang mengatur alam ini. Syari'ah adalah berhubungan dengan alam lahir
dalam rangka menaati semua peraturan dan hukum Allah guna mengatur kehidupan manusia.
Akhlak adalah suatu amalan dan penyempurnaan.[8]
Materi diatas harus menjadi pondasi dalam pembangunan pendidikan di Aceh,
karena jika pondasi-pondasi yang ada dalam materi pendidikan diajarkan di semua
lingkungan bahkan sebelum anak lahir. Maka, ketika anak menjelang dewasa hasil
dari pembelajaran materi ini akan menjadi pondasi yang tidak tergoyahkan yang
tertanam dalam diri anak, sebagai contoh, keimanan yang tertanam dengan kuat
yang terdapat semenjak dalam keluarga, maka seorang anak tidak akan mudah
terpengaruh dengan ajakan-ajakan aliran-aliran sesat dan menyesatkan yang sedang berkembang.
Demikian juga dengan busana atau pakaian dan lain sebagainya.
1. Bidang
Aqidah
Aqidah merupakan kepercayaan kepada Allah, berbicara masalah aqidah juga
berbicara tentang rukun Iman seseorang yaitu: percaya pada keesaan Allah,
kebenaran al-Qur’an, kerasulan Muhammad Saw, para malikat, hari kiamat, qada dan qadar dari Allah. Sementara
dalam qanun nomor 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syari’at Islam dalam bidang
aqidah bertujuan untuk
memelihara keimanan dan ketakwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran
sesat.
2. Materi
Ibadah
Ibadah adalah kegiatan keagamaan yang berbentuk penghambaan diri kepada
Allah baik yang dilakukan bentuk ritual ibadah seperti shalat, puasa, haji,
membayar zakat dan lain-lain, dan juga yang tidak berbentuk ritual ibadah
seperti menjenguk orang sakit, memberi dan menjawab salam, membuang duri di
jalan dan lain-lain. Hal tersebut merupakan materi pendidikan ibadah yang sudah
harus diberikan dan ditanamkan sejak dini dalam kehidupan masyarakat Aceh, untuk menyukseskan pembangunan di bidang pendidikan di Aceh.
3. Materi
Syi'ar Islam
Syi'ar Islam adalah bentuk kegiatan yang
dilakukan untuk menghidupkan dan menyemarakkan syi'ar yang bertujuan untuk menciptakan
suasana linkungan masyarakat yang Islami. Bidang syi'ar Islam ini merupakan bentuk kegiatan
menyemarakkan, maka hal yang
perlu dilakukan dalam masyarakat adalah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pada
hari-hari besar Islam seperti nuzulul Qur'an,
Maulid Nabi Saw, Halal bi halal serta
menghidupkan budaya-budaya Islami. Dari kegiatan-kegiatan ini diharapkan dapat
meningkatkan keimanan dan ketakwaan masyarakat serta dapat menghindari anggota
masyarakat dari pengaruh aliran sesat.
4. Materi Akhlak
Akhlak adalah etika, pembahasannya berkenaan dengan tata cara pergaulan
dalam masyarakat seperti pergaulan orang tua dengan anak-anak, suami istri,
orang yang lebih tua dengan yang lebih muda dan lain sebagainya. Dalam Islam
masalah akhlak ini sudah diatur sedemikian rupa. Dalam kehidupan masyarakat Aceh bidang ahklak juga sudah tersusun
dengan baik, hal ini dapat dilihat dari cara bertingkah laku, bergaul bahkan
dalam penggunaan bahasa yang baik.
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, hal-hal lain yang juga
harus dijadikan materi pendidikan dalam masyarakat di Aceh adalah menyangkut
dengan silaturrahmi dn tenggang rasa antar warga masyarakat pengajaran untuk
hidup cinta damai, dan materi-materi lain yang sangat luas dlam masyarakat.
Materi-materi ini dapat disajikan kepada masyarakat dalam bentuk pemberian
materi lansung melalui pengajian-pengajian yang diselenggarakan dalam
masyarakat, maupun dalam bentuk contoh teladan yang di aplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Merujuk kepada buku pedoman pelaksanaan sistem pendidikan Islami pada
sekolah dan madrasah di Aceh, kerangkan normatif pendidikan Islami di Aceh
intinya menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Aceh harus mengandung
dua warna yakni warna kebangsaan dan warna keacehan. Warna kebangsaan merujuk
kepada Aceh sebagai bagian integral dari NKRI yang memiliki kewajiban untuk
menjalankan amanah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003,
adapun warna keacehan merujuk kepada Aceh sebagai daerah yang tidak dapat
dipisahkan dari sistem nilai Islami, yakni nilai yang berakar kepada ajaran
Islam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketentuan normatif
penyelenggaraan pendidikan di Aceh secara tegas mengamanahkan untuk
dilaksanakannya sistem pendidikan Islami di seluruh jenjang pendidikan di Aceh.
Dukungan substansi mata pelajaran dalam pembentukan budaya Islami pada
sekolah unggulan di Aceh bersandarkan pada tujuan dan arahan pendidikan
menengah sebagaimana termaktub dalam Qanun No. 5 tahun 2008 Pasal 27 ayat 2 dan ayat 3 menegaskan bahwa pendidikan
menengah bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan
peserta didik sesuai dengan nilai-nilai Islam yang diperlukan untuk memasuki
pasar kerja, mempersiapkan diri melanjutkan ke pendidikan tinggi/dayah dan
pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan menengah (Sekolah Unggulan) diarahkan
agar peserta didik muslim mampu membaca al-Qur’an dan menulis Arab Melayu.
Dengan berpijak kepada tujuan dan arahan tersebut dikembangkan kurikulum
pendidikan di masing-masing sekolah jenjang SMA/MA di Aceh. Kurikulum yang
dikembangkan di sekolah unggulan objek penelitian berpijak kepada ketentuan Qanun No. 5 Tahun 2008 Bab VIII
Pasal 35 di antaranya mengungkapkan hal-hal sebagai berikut:
1
Kurikulum yang digunakan pada setiap jenis dan
jenjang pendidikan sesuai dengan standar isi nasional dan muatan lokal yang
dilaksanakan secara Islami;
2
Kurikulum yang dilaksanakan secara Islami
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah seluruh proses pembelajaran yang
dilaksanakan di sekolah;
3
Kurikulum sekolah/madrasah yang termasuk dalam
sekolah unggulan penelitian ini yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) wajib
memuat mata pelajaran:
a
Aqidah;
b
Fiqh;
c
Al-Qur’an dan Hadits;
d
Akhlaq dan Budi Pekerti;
e
Pendidikan Kewarganegaraan;
f
Matematika/berhitung;
g
Ilmu Pengetahuan Alam;
h
Ilmu Pengetahuan Sosial;
i
Pendidikan Keterampilan, Teknologi Informasi dan
Komunikasi;
j
Bahasa dan Sastra Indonesia;
k
Seni dan Budaya;
l
Bahasa Inggris; m. Bahasa Arab;
m
Pendidikan Jasmani dan Olahraga.
4
Kurikulum sekolah/madrasah pada semua jenis dan
jenjang pendidikan yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat menambah muatan
lokal sesuai dengan kebutuhan daerah.[9]
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, di masing-masing sekolah unggulan yang menjadi objek
penelitian ini dibentuk Tim Pengembang Kurikulum (TPK). Upaya pengembangan kurikulum berbasis pendidikan nilai kesantunan
dan budaya sekolah yang Islami dapat dimulai sejak sekolah menyusun analisis
konteks. Dalam melakukan analisis ketercapaian atas delapan Standar Nasional
Pendidikan (SNP) yakni Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan,
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Pengelolaan, Standar Sarana
dan Prasarana, Standar Pembiayaan, dan Standar Penilaian yang termaktub dalam
dokumen analisis konteks. Sekolah dapat
menjelaskan tingkat ketercapaian kedelapan standar tersebut dan kaitannya dengan implementasi
pendidikan nilai. Selanjutnya
sekolah dapat merancang upaya pengembangan standar tersebut dalam kaitannya
dengan operasionalisasi pendidikan nilai yang sudah dan akan dilakukan.
No comments:
Post a Comment