Penggunaan jilbab dikhususkan
untuk wanita dan tidak untuk laki-laki, karena wanita pada umumnya menjadi
pusat perhatian dan target laki-laki. Karena itu untuk menjaga kehormatan dan
kemuliaannya, wanita tidak boleh keluar rumah dengan memakai pakaian terbuka,
atau berjalan dengan langkah yang genit.
Wanita akan dihormati dan
disegani jika tingkah lakunya sopan dan santun serta tidak menunjukkan sikap
manja. Perintah Islam kepada wanita untuk mengenakan jilbab dan menghiasi diri
dengan akhlak mulia sedikit pun tidak mengurangi kehormatan dan harga dirinya.
Akan tetapi ketentuan ini sangat sesuai dan selaras dengan falsafah Islam
tentang wanita. Menghormati wanita hanya bisa dilakukan dengan memberi
hak-haknya yang sesuai dengan tabiat dan fitrahnya dan menjaga nama baiknya.
Islam selalu berusaha menjauhkan wanita, yang paling mulia sekalipun, dari
hal-hal yang menyebabkan kehinaannya atau merusak nama baiknya. Karena pengaruh
daya tarik seksual pada laki-laki dan wanita akan semakin menguat seiring
dengan semakin seringnya mereka berbaur dan beradu pandang.
Semakin banyak faktor yang
mendukung timbulnya daya tarik tersebut, semakin besar pula kemungkinan
timbulnya nafsu binatang yang ada pada keduanya. Seperti keluarnya wanita ke
jalan raya dengan memakai pakaian yang ketat, tipis, dan memperlihatkan
lekuk-lekuk tubuh, serta dengan wajah yang dihiasi dengan hiasan yang menarik
perhatian. Kemudian dia berbaur dengan lakilaki di pasar-pasar dan
tempat-tempat perbelanjaan, perkantoran dan perusahaan dengan suaranya yang
manja dan menimbulkan fitnah. Akhirnya banyak orang di sekitarnya mabuk
kepayang, terjerumus ke dalam lembah kehinaan, dan tunduk pada bisikan hawa
nafsu tanpa peduli lagi pada ketentuan agama atau normanorma masyarakat.[1]
Hal-hal seperti itulah yang
sebenarnya menjatuhkan harga diri dan kehormatan wanita, dan menjadikannya
pusat lingkaran setan yang akan membawa dampak buruk bagi dirinya dan bagi
orang-orang yang ada di sekitarnya. Karena itulah Islam menyuruh wanita untuk
menggunakan jilbab yang menutup seluruh tubuhnya di manapun mereka berada, hal
ini dimaksudkan agar harga dirinya tetap selalu terjaga dan tidak menjadi
sumber fitnah dan keburukan bagi orang lain.
Tujuan berbusana dalam Islam
ada dua: pertama untuk menutup aurat, dan kedua untuk berhias.
Karena itulah Allah Swt memberi anugerah kepada manusia pakaian dan perhiasan
yang telah disediakan dengan pengelolaannya. Dengan demikian, maka pakaian itu
memiliki empat tujuan, yaitu:
1.
Melindungi Aurat
2.
Melindungi tubuh dari panas dan dingin
3.
Menjaga dan melindungi kesucian, kehormatan, dan
kemuliaan sebagai seorang perempuan
4.
Untuk menjaga identitas sebagai perempuan muslimah yang
membedakan dengan perempuan lain.[2]
Faktor-faktor yang menyebabkan
di antara mereka berjilbab dan sebagian lagi tidak belum memakai jilbab.
Sebenarnya pokok yang menyebabkan keduanya itu adalah faktor ”keimanan.” Iman/
aqidah mereka satu sama lain saling berbeda sehingga menimbulkan perbedaan
dalam bersikap dan bertingkah laku.
1.
Faktor-faktor yang menyebabkan berjilbab/ berkerudung:
a.
Karena didasari oleh ilmu, iman, dan takwanya
b.
Karena hendak menonjolkan eksistensi dan perbedaan
dirinya dengan maksud riya
c.
Karena ditimpa suatu peristiwa yang menyentuh hati
d.
Karena adanya faktor lingkungan, kebudayaan, dan
pendidikan yang diterimanya.
e.
Karena pengaruh tekanan dari pihak tertentu.
2.
Faktor-faktor yang menyebabkan tidak/ belum berjilbab/
berkerudung
a.
Karena kemunafikannya
b.
Karena kebodohannya
c. Karena penuh dosa dan maksiat yang telah mendarah
daging, baik hal itu disadari maupun tidak disadarinya
d.
Karena faktor lingkungan, kebudayaan, pendidikan yang
mempengaruhinya
e.
Karena pengaruh tekanan dari pihak tertentu.[3]
Dengan demikian jilbab yang
merupakan bagian dari busana muslimah secara garis besar juga berfungsi
sebagai:
- Pembeda
Jilbab akan membedakan seorang
wanita yang memiliki kehormatan dari yang lainnya.[4]
Wanita berbusana muslimah harus menjadi contoh kepada setiap wanita baik yang
berjilbab atau tidak. Setiap gaya jalinan jilbab yang dicirikan harus sesuai,
cantik, dan memenuhi tuntutan baik untuk pertemuan atau kerja, jalan-jalan,
atau bersantai. Apabila wanita berjilbab mengenakan jilbab dengan betul dan
sesuai dengan tempatnya, hal itu sangat diharapkan menjadi tindakan dakwah
untuk mengajak wanita lain agar berjilbab sepertinya.[5]
Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa setiap yang ditampilkan oleh wanita yang berbusana muslimah pada umumnya akan
menjadi contoh segelintir wanita yang mungkin kurang pengetahuan tentang
keterampilan berjilbab, termasuk pengetahuan dan keterampilan cara menjalin dan
modifikasi gaya jilbab. Mereka belajar dari apa yang mereka lihat.
Jika setiap wanita berjilbab
bersikap prihatin tentang pemakaian jilbab dan tahu peran dakwah yang
dijalankan melalui tampil berjilbab, sudah pasti lebih banyak lagi wanita yang
belum berjilbab timbul keinginannya untuk berbusana muslimah. Mereka merasa
bukan saja dapat memenuhi kewajiban agama, melainkan juga bangga karena
digolongkan dalam kumpulan wanita yang menampilkan imej wanita berjilbab yang
sopan dan anggun.
- Pembentuk Perilaku
Fungsi busana muslimah sebagai
pembentuk perilaku dimaksudkan bahwa busana muslimah bisa mengarahkan tingkah
laku orang yang memakainya. Adapun busana muslimah yang dikenakan karena
kesadaran iman, akan mampu mengontrol setiap sikap dan tindakan yang menjurus
kepada maksiat. Dan karena tingkah laku maksiat ini, maka akan terbentuk
tingkah laku yang penuh ketaatan terhadap nilai-nilai Islam. Dalam berkerudung
harus benar-benar rapat, jangan sampai terjulur meskipun hanya sehelai rambut,
baik di depan, di dekat telinga, maupun di belakang. Kita benar-benar
memperhatikan kepada siapakah perhiasan boleh diperlihatkan.
Wanita muslimah yang
benar-benar dituntut oleh keimanannya dan menerima pendidikan Islam yang logis
tidak mengenakan jilbab hanya sebagai suatu kebiasaan atau tradisi yang
diwariskan dari ibu atau nenek mereka, seperti pria dan wanita yang berusaha
menjelaskan tanpa bukti-bukti yang logis. Wanita muslimah mengenakan jilbab
berdasarkan keyakinannya bahwa ini perintah dari Allah, yang menunjukkan
perlindungan bagi wanita muslimah, untuk menjadikannya memiliki ciri yang
berbeda dan menjauhkannya dari imoralitas dan dosa. Karena itu ia menerimanya
dengan sukarela dan dengan kepatuhan yang kuat.[6]
- Pembentuk Emosi
Dalam aspek emosional, busana
muslimah bisa menumbuhkan rasa cinta dan benci, marah atau sayang, suka ataupun
tidak suka. Dia akan lebih mudah menumbuhkan perasaan yang positif terhadap
sesamanya bila dibandingkan dengan yang tidak memakai jilbab.
Dengan demikian seorang wanita
yang mengenakan busana muslimah akan merasakan ketenangan di dalam hatinya. Hal
ini dikarenakan:
a. Sudah
menjalankan syari’ah Islam yang telah dibebankan kepadanya.
b. Merasa
aman dan tentram dari gangguan orang-orang jahil dan orang-orang yang suka
memfitnah.
c. Akan bisa menjaga emosinya apabila
akan melakukan perbuatan keji, seperti: mencuri, berbicara kotor, berbohong dan
lain sebagainya.
Dari ketiga fungsi jilbab di
atas (pembeda, perilaku, dan emosi) itu semuanya saling berhubungan dan saling
melengkapi satu sama lain. Jilbab sebagai fungsi yang pertama agar menjaga
kehormatan seorang muslimah dalam arti tidak melanggar perintah Allah Swt.
Bagaimanapun terhormatnya dan sopan tingkah laku seorang muslimah kalau tidak
mampu mengontrol emosinya, maka semua itu tidak berarti. Menutup aurat dan
sopan diperlukan agar identitas sebagai perempuan baik-baik menjadi jelas bahwa
busana muslimah menjaga kehormatan, tingkah laku yang sopan dan iman yang kuat,
serta mampu mengontrol emosi, sekaligus perlu dimiliki oleh perempuan muslimah.
Jilbab dalam ajaran Islam merupakan suatu aturan atau ketentuan yang universal dan
fundamental untuk mencabut akar-akar kemerosotan moral, dengan menutup pintu
pergaulan bebas. Sangat berbeda dengan peradaban Barat yang mengutamakan
kelezatan dan kesenangan pada masa lajang, dan memandang pernikahan sebagai
penjara dan keterikatan.
Jilbab sesuai makna harfiahnya,
adalah pemisah, dalam pergaulan antara laki-laki dan wanita. Tanpa
adanya pemisah ini, akan sukarlah mengendalikan luapan nafsu syahwat yang
merupakan naluri yang sangat kuat dan dominan. Jiwa manusia ini betul-betul
mudah goyah dan berubah. Sebagaimana manusia tidak pernah puas dengan kelezatan
pemuasan hawa nafsu. Laki-laki tidak pernah puas memandang paras muka yang
cantik dan molek. Wanita juga tidak pernah puas memamerkan kecantikannya untuk
menarik perhatian laki-laki. Pergaulan bebas dan seksual di Barat banyak
melahirkan penderita-penderita penyakit jiwa.
Islam mewajibkan setiap muslim
baik pria maupun wanita, untuk menuntut ilmu, dan tidak berpangku tangan. Sudah
jelas bahwa jilbab sama sekali bukan penyebab kebobrokan masyarakat. Yang benar
adalah yang sebaliknya, kebobrokan masyarakat berakar dan tumbuh di dalam
lingkungan pergaulan tanpa jilbab.[7]
Berkenaan dengan ini, ada satu
pertanyaan yang perlu dijawab. Dikatakan bahwa ajaran-ajaran Islam tidak
dibangun berdasarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi, mengapa
kewajiban memakai jilbab ini hanya dibebankan kepada kaum wanita. Jawabnya
adalah wanita yang merupakan simbol keindahan. Sudah sepatutnya perintah ini
ditujukan kepada wanita, bukan kepada laki-laki. Lagi pula, perintah ini bukan
tertuju untuk laki-laki, kenyataannya mereka lebih lengkap berpakaian dari pada
wanita. Hal ini tidak aneh, mengingat kecenderungan laki-laki bukanlah pamer
tubuh, melainkan memandang (tubuh) lawan jenisnya Sebaliknya, kaum wanita
cenderung untuk mempertunjukkan kecantikannya dan lebih tidak acuh dalam
memandang tubuh lawan jenisnya. Akibatnya, kaum wanita cenderung berlomba-lomba
memamerkan dirinya.
Dengan demikian, berpakaian
Islami bagi wanita akan lebih terhormat dan terpandang. Mereka akan terjaga
dari gangguan orang-orang usil. Bahkan pakaian lengkap, selalu mengesankan wanita
yang mulia dan terhormat. Sebaliknya, wanita berpakaian terbuka, mengesankan
panggilan kepada lawan jenisnya. Dengan memakai jilbab tidak berarti wanita
dilarang dan dibatasi aktivitas sosialnya.
[1]Fada Abdul
Razzak, Bangga Menjadi Muslimah, (Jogyakarta, Think, 2005), hal. 215.
[2]Muhammad Muhyidin, Membelah lautan…, hal. 259.
[3]Kusumayadi Mulhandy, Enam Pulu Satu Tanya Jawab
Tentang Jilbab, (Yogyakarta,
Semesta, 2006), hal. 27.
[4]Amani
Zakariya Ar-Ramadi, Alhamdulilah Putriku Berjilbab, (Solo, Zam-zam,
2010), hal: 21
[5]Yasmin
Siddik, Tampil Gaya Dengan Jilbab, (Jakarta: Agro Media Pustaka, 2007),
hal. 12.
[6]Muhammad
Ali Al- Hasyimi, Muslimah Ideal, (Yogyakarta,
Mitra Pustaka, 2000), hal. 65.
[7]Husein Shahab, Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-
Sunnah, (Bandung,: Mizan Pustaka. 2008), hal. 29.
No comments:
Post a Comment