Wednesday, October 25, 2017

Tujuan Berjilbab dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

Penggunaan jilbab dikhususkan untuk wanita dan tidak untuk laki-laki, karena wanita pada umumnya menjadi pusat perhatian dan target laki-laki. Karena itu untuk menjaga kehormatan dan kemuliaannya, wanita tidak boleh keluar rumah dengan memakai pakaian terbuka, atau berjalan dengan langkah yang genit.
Wanita akan dihormati dan disegani jika tingkah lakunya sopan dan santun serta tidak menunjukkan sikap manja. Perintah Islam kepada wanita untuk mengenakan jilbab dan menghiasi diri dengan akhlak mulia sedikit pun tidak mengurangi kehormatan dan harga dirinya. Akan tetapi ketentuan ini sangat sesuai dan selaras dengan falsafah Islam tentang wanita. Menghormati wanita hanya bisa dilakukan dengan memberi hak-haknya yang sesuai dengan tabiat dan fitrahnya dan menjaga nama baiknya. Islam selalu berusaha menjauhkan wanita, yang paling mulia sekalipun, dari hal-hal yang menyebabkan kehinaannya atau merusak nama baiknya. Karena pengaruh daya tarik seksual pada laki-laki dan wanita akan semakin menguat seiring dengan semakin seringnya mereka berbaur dan beradu pandang.
Semakin banyak faktor yang mendukung timbulnya daya tarik tersebut, semakin besar pula kemungkinan timbulnya nafsu binatang yang ada pada keduanya. Seperti keluarnya wanita ke jalan raya dengan memakai pakaian yang ketat, tipis, dan memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh, serta dengan wajah yang dihiasi dengan hiasan yang menarik perhatian. Kemudian dia berbaur dengan lakilaki di pasar-pasar dan tempat-tempat perbelanjaan, perkantoran dan perusahaan dengan suaranya yang manja dan menimbulkan fitnah. Akhirnya banyak orang di sekitarnya mabuk kepayang, terjerumus ke dalam lembah kehinaan, dan tunduk pada bisikan hawa nafsu tanpa peduli lagi pada ketentuan agama atau normanorma masyarakat.[1]
Hal-hal seperti itulah yang sebenarnya menjatuhkan harga diri dan kehormatan wanita, dan menjadikannya pusat lingkaran setan yang akan membawa dampak buruk bagi dirinya dan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Karena itulah Islam menyuruh wanita untuk menggunakan jilbab yang menutup seluruh tubuhnya di manapun mereka berada, hal ini dimaksudkan agar harga dirinya tetap selalu terjaga dan tidak menjadi sumber fitnah dan keburukan bagi orang lain.
Tujuan berbusana dalam Islam ada dua: pertama untuk menutup aurat, dan kedua untuk berhias. Karena itulah Allah Swt memberi anugerah kepada manusia pakaian dan perhiasan yang telah disediakan dengan pengelolaannya. Dengan demikian, maka pakaian itu memiliki empat tujuan, yaitu:
1.      Melindungi Aurat
2.      Melindungi tubuh dari panas dan dingin
3.      Menjaga dan melindungi kesucian, kehormatan, dan kemuliaan sebagai seorang perempuan
4.      Untuk menjaga identitas sebagai perempuan muslimah yang membedakan dengan perempuan lain.[2]

Faktor-faktor yang menyebabkan di antara mereka berjilbab dan sebagian lagi tidak belum memakai jilbab. Sebenarnya pokok yang menyebabkan keduanya itu adalah faktor ”keimanan.” Iman/ aqidah mereka satu sama lain saling berbeda sehingga menimbulkan perbedaan dalam bersikap dan bertingkah laku.
1.      Faktor-faktor yang menyebabkan berjilbab/ berkerudung:
a.       Karena didasari oleh ilmu, iman, dan takwanya
b.      Karena hendak menonjolkan eksistensi dan perbedaan dirinya dengan maksud riya
c.       Karena ditimpa suatu peristiwa yang menyentuh hati
d.      Karena adanya faktor lingkungan, kebudayaan, dan pendidikan yang diterimanya.
e.       Karena pengaruh tekanan dari pihak tertentu.

2.      Faktor-faktor yang menyebabkan tidak/ belum berjilbab/ berkerudung
a.       Karena kemunafikannya
b.      Karena kebodohannya
c.     Karena penuh dosa dan maksiat yang telah mendarah daging, baik hal itu disadari maupun tidak disadarinya
d.      Karena faktor lingkungan, kebudayaan, pendidikan yang mempengaruhinya
e.       Karena pengaruh tekanan dari pihak tertentu.[3]

Dengan demikian jilbab yang merupakan bagian dari busana muslimah secara garis besar juga berfungsi sebagai:
  1. Pembeda
Jilbab akan membedakan seorang wanita yang memiliki kehormatan dari yang lainnya.[4] Wanita berbusana muslimah harus menjadi contoh kepada setiap wanita baik yang berjilbab atau tidak. Setiap gaya jalinan jilbab yang dicirikan harus sesuai, cantik, dan memenuhi tuntutan baik untuk pertemuan atau kerja, jalan-jalan, atau bersantai. Apabila wanita berjilbab mengenakan jilbab dengan betul dan sesuai dengan tempatnya, hal itu sangat diharapkan menjadi tindakan dakwah untuk mengajak wanita lain agar berjilbab sepertinya.[5]
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa setiap yang ditampilkan oleh wanita yang berbusana muslimah pada umumnya akan menjadi contoh segelintir wanita yang mungkin kurang pengetahuan tentang keterampilan berjilbab, termasuk pengetahuan dan keterampilan cara menjalin dan modifikasi gaya jilbab. Mereka belajar dari apa yang mereka lihat.
Jika setiap wanita berjilbab bersikap prihatin tentang pemakaian jilbab dan tahu peran dakwah yang dijalankan melalui tampil berjilbab, sudah pasti lebih banyak lagi wanita yang belum berjilbab timbul keinginannya untuk berbusana muslimah. Mereka merasa bukan saja dapat memenuhi kewajiban agama, melainkan juga bangga karena digolongkan dalam kumpulan wanita yang menampilkan imej wanita berjilbab yang sopan dan anggun.
  1. Pembentuk Perilaku
Fungsi busana muslimah sebagai pembentuk perilaku dimaksudkan bahwa busana muslimah bisa mengarahkan tingkah laku orang yang memakainya. Adapun busana muslimah yang dikenakan karena kesadaran iman, akan mampu mengontrol setiap sikap dan tindakan yang menjurus kepada maksiat. Dan karena tingkah laku maksiat ini, maka akan terbentuk tingkah laku yang penuh ketaatan terhadap nilai-nilai Islam. Dalam berkerudung harus benar-benar rapat, jangan sampai terjulur meskipun hanya sehelai rambut, baik di depan, di dekat telinga, maupun di belakang. Kita benar-benar memperhatikan kepada siapakah perhiasan boleh diperlihatkan.
Wanita muslimah yang benar-benar dituntut oleh keimanannya dan menerima pendidikan Islam yang logis tidak mengenakan jilbab hanya sebagai suatu kebiasaan atau tradisi yang diwariskan dari ibu atau nenek mereka, seperti pria dan wanita yang berusaha menjelaskan tanpa bukti-bukti yang logis. Wanita muslimah mengenakan jilbab berdasarkan keyakinannya bahwa ini perintah dari Allah, yang menunjukkan perlindungan bagi wanita muslimah, untuk menjadikannya memiliki ciri yang berbeda dan menjauhkannya dari imoralitas dan dosa. Karena itu ia menerimanya dengan sukarela dan dengan kepatuhan yang kuat.[6]
  1. Pembentuk Emosi
Dalam aspek emosional, busana muslimah bisa menumbuhkan rasa cinta dan benci, marah atau sayang, suka ataupun tidak suka. Dia akan lebih mudah menumbuhkan perasaan yang positif terhadap sesamanya bila dibandingkan dengan yang tidak memakai jilbab.
Dengan demikian seorang wanita yang mengenakan busana muslimah akan merasakan ketenangan di dalam hatinya. Hal ini dikarenakan:
a.        Sudah menjalankan syari’ah Islam yang telah dibebankan kepadanya.
b.      Merasa aman dan tentram dari gangguan orang-orang jahil dan orang-orang yang suka memfitnah.
c.       Akan bisa menjaga emosinya apabila akan melakukan perbuatan keji, seperti: mencuri, berbicara kotor, berbohong dan lain sebagainya.
Dari ketiga fungsi jilbab di atas (pembeda, perilaku, dan emosi) itu semuanya saling berhubungan dan saling melengkapi satu sama lain. Jilbab sebagai fungsi yang pertama agar menjaga kehormatan seorang muslimah dalam arti tidak melanggar perintah Allah Swt. Bagaimanapun terhormatnya dan sopan tingkah laku seorang muslimah kalau tidak mampu mengontrol emosinya, maka semua itu tidak berarti. Menutup aurat dan sopan diperlukan agar identitas sebagai perempuan baik-baik menjadi jelas bahwa busana muslimah menjaga kehormatan, tingkah laku yang sopan dan iman yang kuat, serta mampu mengontrol emosi, sekaligus perlu dimiliki oleh perempuan muslimah.
Jilbab dalam ajaran Islam merupakan suatu aturan atau ketentuan yang universal dan fundamental untuk mencabut akar-akar kemerosotan moral, dengan menutup pintu pergaulan bebas. Sangat berbeda dengan peradaban Barat yang mengutamakan kelezatan dan kesenangan pada masa lajang, dan memandang pernikahan sebagai penjara dan keterikatan.
Jilbab sesuai makna harfiahnya, adalah pemisah, dalam pergaulan antara laki-laki dan wanita. Tanpa adanya pemisah ini, akan sukarlah mengendalikan luapan nafsu syahwat yang merupakan naluri yang sangat kuat dan dominan. Jiwa manusia ini betul-betul mudah goyah dan berubah. Sebagaimana manusia tidak pernah puas dengan kelezatan pemuasan hawa nafsu. Laki-laki tidak pernah puas memandang paras muka yang cantik dan molek. Wanita juga tidak pernah puas memamerkan kecantikannya untuk menarik perhatian laki-laki. Pergaulan bebas dan seksual di Barat banyak melahirkan penderita-penderita penyakit jiwa.
Islam mewajibkan setiap muslim baik pria maupun wanita, untuk menuntut ilmu, dan tidak berpangku tangan. Sudah jelas bahwa jilbab sama sekali bukan penyebab kebobrokan masyarakat. Yang benar adalah yang sebaliknya, kebobrokan masyarakat berakar dan tumbuh di dalam lingkungan pergaulan tanpa jilbab.[7]
Berkenaan dengan ini, ada satu pertanyaan yang perlu dijawab. Dikatakan bahwa ajaran-ajaran Islam tidak dibangun berdasarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi, mengapa kewajiban memakai jilbab ini hanya dibebankan kepada kaum wanita. Jawabnya adalah wanita yang merupakan simbol keindahan. Sudah sepatutnya perintah ini ditujukan kepada wanita, bukan kepada laki-laki. Lagi pula, perintah ini bukan tertuju untuk laki-laki, kenyataannya mereka lebih lengkap berpakaian dari pada wanita. Hal ini tidak aneh, mengingat kecenderungan laki-laki bukanlah pamer tubuh, melainkan memandang (tubuh) lawan jenisnya Sebaliknya, kaum wanita cenderung untuk mempertunjukkan kecantikannya dan lebih tidak acuh dalam memandang tubuh lawan jenisnya. Akibatnya, kaum wanita cenderung berlomba-lomba memamerkan dirinya.
Dengan demikian, berpakaian Islami bagi wanita akan lebih terhormat dan terpandang. Mereka akan terjaga dari gangguan orang-orang usil. Bahkan pakaian lengkap, selalu mengesankan wanita yang mulia dan terhormat. Sebaliknya, wanita berpakaian terbuka, mengesankan panggilan kepada lawan jenisnya. Dengan memakai jilbab tidak berarti wanita dilarang dan dibatasi aktivitas sosialnya.




[1]Fada Abdul Razzak, Bangga Menjadi Muslimah, (Jogyakarta, Think, 2005), hal. 215.

[2]Muhammad Muhyidin, Membelah lautan…, hal. 259.

[3]Kusumayadi Mulhandy, Enam Pulu Satu Tanya Jawab Tentang Jilbab, (Yogyakarta, Semesta, 2006), hal. 27.

[4]Amani Zakariya Ar-Ramadi, Alhamdulilah Putriku Berjilbab, (Solo, Zam-zam, 2010),     hal: 21

[5]Yasmin Siddik, Tampil Gaya Dengan Jilbab, (Jakarta: Agro Media Pustaka, 2007), hal. 12.

[6]Muhammad Ali Al- Hasyimi, Muslimah Ideal, (Yogyakarta, Mitra Pustaka, 2000), hal. 65.

[7]Husein Shahab, Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As- Sunnah, (Bandung,: Mizan Pustaka. 2008), hal. 29.

No comments:

Post a Comment