Metode
pembinaan ibadah ialah cara yang digunakan dalam upaya mendidik, yang tentunya
remaja dalam hal ini merupakan peserta didik atau siswa-siswi. Kata metode di
sini diartikan secara luas, karena pembinaan adalah satu bentuk upaya mendidik,
maka metode yang dimaksud disini mencakup juga metode mengajar.[1]
Bentuk
metode pendidikan Islam menurut Qutbh “merupakan suatu metode yang khas dan
tersendiri baik dari segi alat-alat maupun dari segi tujuannya”.[2] Maka
dari itu pendidik yang bijaksana akan terus mencari berbagai metode yang lebih
efektif yang sesuai dengan norma Islam. Namun demikian bagaimana metode-metode
yang efektif dalam pembinaan ibadah.
Demikian
juga dengan orang tua, guru dan masyarakat, dalam membina ibadah terhadap seorang anak remaja
harus mempunyai metode yang tepat yang dapat mempengaruhi dan memantapkan pemahaman
remaja. Sehingga apa yang diharapkan oleh pendidik akan terwujud sebagai mana
yang di cita-citakan. Adapun metode-metode yang dapat digunakan dalam
pelaksanaan pembinaan ibadah shalat terhadap remaja adalah sebagai berikut:
1. Pembinaan
dengan Keteladanan
Keteladanan
dalam pendidikan merupakan bagian dari sejumlah metode paling ampuh dan
efektifitas dalam menyiapkan dan membentuk peserta didik secara moral,
spiritual dan sosial. Sebab seorang pendidik merupakan contoh yang ideal dalam
pandangan remaja karena setiap tingkah laku dan sopan santun akan ditiru dengan
sadar atau tidak bahkan semua keteladanan itu akan melekat pada diri dan
perasaannya, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan yang bersifat material,
indrawi maupun spiritual karena keteladanan merupakan faktor penentu baik
buruknya peserta didik.[3]
Anak-anak cenderung meneladani orang tuanya. Ini
diakui oleh semua pakar pendidikan, baik dari barat maupun dari timur. Dasarnya
ialah karena psikologis anak memang senang meniru, tidak saja yang baik, yang
jelek pun di tirunya.[4]
Anak memang senang kembali melakukan apa yang dilihatnya. Karena sifat anak
pada dasarnya memang suka mencontoh apa yang dilihat. Sifat anak didik itu di
akui dalam Islam. Umat Islam meneladani Nabi Muhammad Saw. Hal ini sebagaimana
sabda Rasulullah Saw, yaitu sebagai berikut:
صلوا كما رأيتموني أصلى
(البخارى)
Artinya: “Lakukanlah
shalat sebagaimana kamu melihat saya melakukan shalat”. (HR. Bukhari).[5]
Berdasarkan
hadis tersebut, dapat dipahami bahwa dalam melakukan ibadah shalat maka harus
meneladani sebagaimana Nabi Muhammad Saw shalat. Hal ini dikarenakan ibadah
shalat pada dasarnya tata cara pelaksanaannya adalah dari Nabi Saw dan Nabi
meneladani Al-Qur’an.
Berkenaan
dengan hadis di atas, dalam hadis yang lain Nabi Muhammad Saw menjelaskan bahwa
bentuk mentauladani Nabi adalah dengan menta’ati yang diperintahkannya, karena
dengan menta’ati Nabi Muhammad Saw maka akan memperoleh kenikmatan dan
kebahagiaan berupa Surga. Adapun hadis yang menjelaskan tentang permasalahan
tersenut yaitu:
كل أمتي يدخلون
الجنة إلا من أبى, قالوا: يارسول الله ومن يأبى, قال: من أطاعنى دخل الجنة ومن
عصانى فقد أبى (رواه البخارى)
Artinya:
“Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang enggan,” Para sahabat bertanya,
‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah
menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang
mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari).[6]
Demikian
juga yang terdapat dalam firman Allah Swt, yaitu:
وأقيموا الصلاة
واتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين (البقرة: ٤٣)
Artinya: “Dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk” (QS. Al-Baqarah:
43).
Banyak
contoh yang diberikan Nabi yang menjelaskan bahwa orang (dalam hal ini orang
tua) jangan hanya berbicara saja tapi juga memberikan contoh secara langsung
atau nyata kepada anak. Jadi, metode pendidikan Islam berpusat kepada
memberikan keteladanan itu sendiri yaitu orang tua, masyarakat dan semua pihak
yang turut bertanggung jawab terhadap pendidikan anak.
Adapun
dalam lingkungan masyarakat, yang menjadi teladan adalah para pemimpin
masyarakat, para da’i serta orang sukses lainnya. Konsep ini jelas di ajarkan
oleh Rasulullah Saw. Teladan untuk para
guru adalah Rasulullah Saw, guru tidak boleh mengambil tokoh yang diteladani
selain Rasulullah, sebab Rasulullah Saw adalah teladan yang terbaik untuk
dicontoh dan diikuti jejek kehidupannya.
Meskipun
peserta didik berpotensi besar untuk meraih sifat-sifat baik dan menerima
dasar-dasar pendidikan yang mulia, ia akan jauh dari kenyataan yang positif dan
terpuji jika kedua matanya melihat langsung pendidiknya yang tidak bermoral.
Dalam
metode teladan ini dapat diterapkan dalam tiga aspek, yaitu pembinaan akidah,
ibadah dan akhlak. Karena bila guru karyawan dan semua unsur yang terkait
dengan lembaga pendidikan tersebut telah melaksanakan aturan maka para siswa
akan meniru untuk melakukannya. Memang yang mudah bagi pendidik adalah
mengajarkan berbagai teori pendidikan kepada peserta didik, sedang yang sulit bagi
peserta didik adalah mempraktekkan teori tersebut. Jika orang yang mengajar dan
mendidiknya tidak pernah melakukannya atau perbuatannya berbeda dengan
ucapannya maka peserta didik tidak akan dapat melaksanakan perintah dengan
baik, atau bahkan sama sekali tidak melakukannya. Contohnya, sekolah memberikan
aturan untuk selalu membaca al-Qur’an, shalat dhuha, shalat dzuhur berjama’ah
atau aturan kesopanan. Tetapi kenyataannya guru dan karyawan tidak dapat
melaksanakannya tetapi hanya memerintah peserta didik saja maka mereka akan
enggan melakukannya. Karena itulah pendidikan yang ideal adalah yang diiringi
keteladanan yang baik karena merupakan salah satu faktor terpenting yang akan
mempengaruhi hati dan jiwa peserta didik. Sehingga sejak dini peserta didik dididik
dengan aqidah, ibadah, berakhlak dan bertingkah laku berdasarkan ajaran agama Islam.
Dengan
demikian seorang pendidik berkewajiban mencurahkan kasih sayang dalam kehidupan
sehari-hari kepada peserta didik juga berkewajiban berdakwah dan memberikan pendidikan
yang baik agar peserta didik dapat tumbuh dan berkembang di atas aturan ajaran
Islam, berakidah yang tanpa disertai syirik, beribadah hanya karena Allah dan
berakhlaqul karimah.
2. Pembinaan
dengan Adat Kebiasaan
Metode
pembiasaan ini merupakan suatu metode yang dapat menyikapi makna dari suatu
peristiwa yang dikaji secara berulang-ulang supaya ingatan anak lebih kuat
dalam mengingat dengan apa-apa yang diberikan oleh otang tua atau seorang
pendidik.[7] Metode
ini adalah salah satu yang digunakan oleh Rasulullah Saw dalam mendidik
sahabatnya yaitu dengan memberikan latihan-latihan atau pembiasaan sehingga
kebiasaan mereka terbina dengan akhlak-akhlak yang baik.
Metode
Pembiasaan ini sangat tepat digunakan pada anak sebagai mana pesan Rasulullah
Swt agar melatih dan membiasakan remaja untuk melaksanakan ibadah ketika mereka
berusia tujuh tahun dan memukulnya (tanpa cedera/bekas) ketika mereka berumur
sepuluh tahun atau lebih apabila mereka tidak mengerjakannya.[8]
Dalam pelaksanaan metode ini diperlukan pengertian, kesabaran, dan ketelatenan
orang tua dan pendidik terhadap anak atau peserta didiknya.
Diantara
masalah-masalah yang diakui dan diterapkan dalam syariat Islam adalah bahwa
pada awal penciptaan-Nya seorang anak itu dalam keadaan suci dan bertauhid
murni, beragama lurus dan beriman kepada Allah Swt. Dari sinilah peran
pembiasaan, pengajaran, pendidikan dalam menumbuhkan dan menggiring peserta
didik kedalam pembinaan keimanan, ketaatan beribadah, akhlak mulia, keutamaan
jiwa dan untuk melakukan syariat yang hanif (lurus).
Pembiasaan
merupakan metode yang penting untuk pembinaan ibadah remaja atau peserta didik.
Peserta didik atau remaja dapat menurut dan taat kepada peraturan dengan jalan
membiasakannya dengan perbuatan-perbuatan yang baik. Pembiasaan yang baik
artinya menanamkan kebiasaan kepada peserta didik yang akan terus berakar
sampai hari tuanya. Walaupun menanamkan kebiasaan kepada peserta didik adalah
sukar dan kadang memakan waktu yang lama, akan tetapi segala sesuatu yang telah
menjadi kebiasaan sukar pula diubah. Maka dari itu lebih baik peserta didik
dijaga supaya mempunyai kebiasaan yang baik dari pada terlanjur memiliki
kebiasaan yang buruk.[9]
Dengan
demikian masa remaja bukan masa pembebanan atau menanggung kewajiban, tetapi
merupakan masa persiapan, latihan dan pembiasaan. Karena itu menurut Muhammad
Nur Abdul Hafid mengatakan bahwa “peserta didik harus dilatih dan dibiasakan
melaksanakan ibadah sebagai bekal mereka ketika sudah dewasa.”[10]
Di mana ketika mereka sudah mendapatkan kewajiban dalam beribadah, sehingga
pelaksanaan ibadah yang diwajibkan oleh Allah Swt bukan menjadi beban yang
memberatkan bagi kehidupan mereka sehari-hari bahkan setiap jenis ibadah apapun
dinilai sangat mudah pelaksanaannya dan mempunyai nilai kenikmatan tersendiri.
Metode ini juga dapat digunakan dalam pembinaan akhlak. Melalui pembiasaan
berakhlak baik dengan Allah, diri sendiri, orang tua, guru, teman, dan
lingkungan. Pembiasaan ini diharapkan semasa hidupnya remaja akan memiliki
akhlaqul-karimah.
3. Pembinaan
dengan Nasihat
Diantara
metode dan cara-cara mendidik yang efektif di dalam upaya membentuk keimanan
peserta didik yaitu dengan nasihat. Sebab nasihat berperan dalam menjelaskan
kepada peserta didik tentang segala hakikat, menghiasinya dengan moral mulia,
dan mengajarinya tentang prinsip-prinsip Islam.[11]
Karena di dalam jiwa terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh kata-kata yang
didengar. Dengan cara memberikan nasihat sehingga seseorang remaja akan
melakukan ibadah yang benar menurut aturan yang telah digariskan. Dalam hal ini
sebagai mana yang dilakukan oleh Lukmanul Hakim, ketika memberikan nasihat
kepada anaknya yang termaktub dalam Al-Qur’an surat Lukman ayat: 17-18 sebagai
berikut:
يبني أقم الصلوة
وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصبر على ماأصابك إن ذلك من عزم الأمور. ولا تصعر
خدك للناس ولا تمش فى الأرض مرحا إن الله لايحب كل مختال فخور (لقمان: ١٧-١٨)
Artinya: “Hai anakku,
Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah Swt). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan keadaan angkuh. Sesungguhnya
Allah Swt tidak menyukai kepada semua (orang-orang) yang sombong lagi
membanggakan diri”. (QS. Lukman: 17-18)
Ayat
di atas merupakan salah satu metode pembinaan ibadah pada seseorang, dengan
nasihat di harapkan seseorang remaja akan terbimbing untuk melakukan suatu
perbuatan yang baik. Dengan demikian metode nasihat merupakan salah satu metode
yang diterapkan oleh Al-Qur’an dalam pembinaan ibadah terhadap anak. Melalui
nasihat dapat di sadarkan seseorang akan pentingnya beribadah dalam kehidupan
sehari-hari. Sehubungan dengan hal tersebut, Abdurrahman an-Nahlawy
mengemukakan bahwa “metode nasehat penting dalam pendidikan, pembinaan ibadah, keimanan,
pembentukan moral remaja yakni pendidikan dengan memberikan nasihat, sebab
nasihat ini dapat membuka mata hati anak-anak pada hakikatnya sesuatu dan
dengan mendorongnya menuju situasi yang luhur dan dapat menghiasinya dengan
akhlak yang baik dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam termasuk dalam
hal beribadah kepada Allah Swt.[12]
Pembawaan
itu biasanya tidak tetap, dan oleh karena itu kata-kata harus diulang-ulangi.
Nasihat yang berpengaruh yaitu yang dilakukan secara terus menerus, karena akan
membuka jalan perasaan secara langsung. Dengan demikian seseorang remaja akan
tergerak untuk melakukan hal-hal yang disarankan oleh pendidik.[13]
Oleh sebab itu metode ini dapat digunakan dalam pembinaan Ibadah.
Berdasarkan
penjelasan di atas menunjukan bahwa nasihat merupakan salah satu metode
yang baik dalam pembinaan ibadah. Dengan memberikan
nasihat atau bimbingan yang baik sehingga seseorang remaja bisa mempraktekkan
ibadah yang telah diajarkan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
4. Pembinaan
dengan Pengawasan
Maksud
pembinaan yang disertai pengawasan yaitu mendampingi peserta didik dalam upaya
membentuk akidah dan moral, dan mengawasinya dalam melaksanakan ibadah serta
mempersiapkannya secara psikis dan sosial, menanyakan secara terus menerus
tentang keadaannya. Baik dalam hal pendidikan jasmani maupun rohani. Metode ini
termasuk dasar terkuat dalam mewujudkan manusia yang seimbang, yang dapat
menjalankan kewajiban–kewajibannya di dalam kehidupan ini. Dari sinilah ia akan
menjadi seseorang muslim yang hakiki, akan menjadi pondasi dan pembinaan
peraturan Islam. Sebagai prasyarat terwujudnya kejayaan Islam dan untuk
tegaknya dakwah Islamiyah sehingga umat Islam akan loyal terhadap kebudayaan,
kedudukan dan peranannya.[14]
Islam
dengan prinsipnya-prinsipnya yang universal dan dengan peraturan-peraturannya
orang tua, lembaga pendidikan untuk selalu mengawasi dan mengontrol peserta
didik mereka dalam setiap segi kehidupan, dan pada setiap aspek kependidikan.
Dengan demikian metode ini dapat diterapkan dalam pembinaan akidah, akhlak dan
ibadah.
5. Pembinaan
dengan Ganjaran dan Hukuman
Maksud
dari ganjaran ini adalah sebagai pendorong dan penghargaan kepada peserta
didik, bukan merupakan sesuatu yang diharap-harapkan oleh mereka. Karena jika
terjadi hal yang demikian maka tujuan pendidikan akan mengalami kegagalan.
Sebagaimana pendapat Abu Ahmadi Bahwa memberi ganjaran seorang guru haruslah
hati-hati. Hadiah ini jangan sekali-sekali menjadi upah.
Hadiah
ini bersifat ekstra atau pemberian yang tidak diharapkan. Hadiah itu bisa dikategorikan
menjadi dua macam yaitu:
a)
Hadiah yang berbentuk penghargaan yang
bersifat kebendaan
b)
Hadiah yang bersifat non benda atau
materi namun berbentuk pujian, sanjungan
kepercayaan dan lain-lain.[15]
Di
samping pembalasan terhadap tingkah laku atau perbuatan anak yang berbentuk
ganjaran perlu juga adanya hukuman atau sanksi. Karena setiap manusia
diciptakan dalam sifat dan watak yang berbedabeda. Maka dari itu perlu adanya
sanksi ketika peserta didik melanggar aturan-aturan yang ada. Tujuan hukum ini
tidaklah hanyalah untuk mencegah banyaknya pelanggaran. Jadi secara mutlak
metode hukuman tidak dapat semena-mena dilakukan sesuai dengan sejauh mana
sikap dan tingkah laku peserta didik. Lebih tepatnya metode ini diterapkan
dalam pembinaan ibadah.
Pembinaan
ibadah terhadap anak dalam lingkungan keluarga juga dapat dilakukan orang tua
melalui metode hukuman. Maksudnya mendidik dengan memberi hukuman apabila tidak
melakukan perintah atau anjuran orang tua yang bersifat kebajikan. Menghukum dilakukan
dengan tujuan mendidik sebatas tidak menyakiti atau merusak fisik anak.
Islam
sangat menganjurkan kepada orang tua agar mendidik anak secara bertahap hingga
bisa mendatangkan manfaat. Metode ini adalah cara terakhir yang dilakukan saat
sarana lain tidak bisa mencapai tujuan. Saat itu, boleh menggunakan metode
penjatuhan sangsi. Dalam hal ini bukan berarti orang tua selalu berfikir
bagaimana memberi sangsi kepada anaknya, tetapi ia harus berfikir bagaimana
pertama kali untuk mengarahkan anak-anak mereka dengan metode dan pengarahan
yang baik serta mengajak mereka kepada nilai-nilai mulia dengan penuh
kesabaran. Hal ini sesuai dengan perintah Nabi Muhammad Saw dalam sebuah
haditsnya:
عن عمرو بن
شعيب, عن ابيه, عن جده قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مروا أولادكم بالصلاة
وهم ابناء سبع سنين, واضربوهم عليها وهم ابناء عشر, وفرقوا بينهم فى المضاجع (رواه
ابو داود)
Artinya: Dari Umar bin Syuaib,
dari bapaknya, ia berkata Rasulullah Saw, bersabda: ”Suruhlah anak-anakmu
shalat waktu berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jika meninggalkannya di
waktu berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud).[16]
Dari
hadits tersebut, dapat di pahami bahwa Islam memerintahkan kepada orang tua
untuk menyuruh anaknya untuk shalat ketika ia sudah berumur tujuh tahun, hal
ini dimaksudkan agar anak terbiasa dengan shalat semenjak ia masih kecil (belum
baliq) dan perintah untuk mengerjakan shalat harus lebih tegas lagi
diperintahkan kepada anak ketika ia sudah berumur sepuluh tahun namun belum
melaksanakan shalat. Ketegasan tersebut yaitu dengan memberi hukuman baik
hukuman fisik maupun hukuman mental agar anak mengerjakan shalat dengan rutin
ketika ia sudah berumur sepuluh tahun.
Penjelasan
tersebut menunjukkan bahwa hukuman dianggap sebagai salah satu metode dalam
pendidikan Islam, sehingga Nabi Muhammad Saw menyuruh umat Islam agar memukul
anaknya apabila berumur sepuluh tahun jika belum mau melaksanakan shalat.
Dalam
memberikah hukuman, syarat pelaksanaan hukuman terhadap anak ada suatu batasan,
baik dari segi umur maupun hukumannya atau pukulan yang dilaksanakannya. Di
samping itu juga diberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan ibadah
(shalat) supaya pukulan dapat ditiadakan.
Agama
Islam memberi arahan dalam memberi hukuman (terhadap anak) agar memperhatikan
hal-hal sebagaimana dikemukakan oleh Heri Jauhari dalam bukunya Fiqh
Pendidikan, yaitu:
- Jangan memberi hukuman ketika marah. Karena pemberian hukuman ketika marah akan lebih bersifat emosional yang dipengaruhi nafsu syaitan.
- Jangan sampai menyakiti perasaan dan harga diri anak atau orang yang kita hukum.
- Jangan sampai merendahkan derajat dan martabat orang yang bersangkutan, misalnya dengan menghina atau mencaci maki di dapat orang lain.
- Jangan menyakiti secara fisik, misalnya menampar mukanya atau menarik kerah bajunya, dan sebagainya.
- Bertujuan mengubah perilakunya yang kurang atau tidak baik. Menghukum karena anak berperilaku tidak baik.[17]
[1]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam,
(Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999), hal. 131.
[2]M. Quthb, Sistem Pendidikan Islam, Terj.
Al-Ma'arif, (Bandung:
Al-Ma'arif, 1993), hal. 18.
[3]Nasih Ulwan, Kaidah-kaidah Dasar, (Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1992), hal. 1.
[4]Abdurrahman An-Nahlawy, Prinsip-prinsip
dalam Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1992), hal. 64.
[5]Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Juz. II, (Kairo: Darul Mutabi’aby, t. t), hal. 123.
[6]Imam Bukhari, Shahih…, hal. 123.
[7]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan..., hal. 143.
[8]Heri
Jauhari Muchtar, Fiqih Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), hal. 19.
[9]Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan
Praktis, (Bandung: Rosda Remaja Rosda Karya, 2003), hal. 177.
[10]Muhammad Nur Abdul Hafid, Mendidik Anak Usia 2
Tahun Hingga Baligh Versi Rasulullah Bidang Aqidah Dan Ibadah, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), hal. 125.
[11]Nasih
Ulwan, Kaidah-kaidah Dasar…,
hal. 65.
[12] M. Arif, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta; Bumi Aksara, 1993),
hal. 79.
[13]Muhammad
Quthb, Sistem Pendidikan…, hal.334.
[14]Nasih
Ulwan, Kaidah-kaidah Dasar…,
hal. 128.
[15]Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 53-54.
[16]Imam
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz I, (Bandung: Dahlan, t.t), hal. 133.
[17]Heri
Jauhari Muchtar, Fiqih Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995),
hal. 22.
No comments:
Post a Comment