A.
Pengertian Interaksi Sosial
Salah
satu sifat manusia adalah sebagai makhluk sosial disamping sebagai makhluk
individual. Sebagai makhluk individual manusia mempunyai hubungan dengan
dirinya sendiri, sedangkan sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan
untuk mengadakan hubungan dengan orang lain, manusia mempunyai dorongan sosial.
Dengan adanya dorongan atau motif sosial maka manusia akan mencari orang lain
untuk mengadakan hubungan atau untuk mengadakan interaksi. Dengan demikian maka
akan terjadilah interaksi antara manusia satu dengan yang lain, dan yang
demikian disebut dengan interaksi sosial.
Interaksi
sosial ialah hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu
satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat
adanya hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat antara
individu dengan individu, individu dengan kelompok atau kelompok dengan
kelompok.[1] Interaksi social dapatjuga diartikan
sebagai suatu bentuk hubungan antara dua orang atau lebih, dimana tingkah
laku seseorang diubah oleh tingkah laku yang lain.[2] Terdapat sejumlah ahli yang mendefinisikan pengertian
interaksi sosial dengan pandangan masing-masing. Berikut ini pengertian Interaksi sosial menurut para ahli:
- Menurut Shaw
Interaksi sosial adalah suatu
pertukaran antar pribadi yang masing-masing orang menunjukkan perilakunya satu sama
lain dalam kehadiran mereka, dan perilaku mempengaruhi satu sama lain. Thibaut
dan Kelley menjelaskan bahwa interaksi sosial sebagai peristiwa
saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama,
mereka menciptakan suatu hasil satu sam lain atau berkomunikasi satu sama lain.
Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu
lain.
- Menurut Bonner
Interaksi sosial merupakan suatu
hubungan antara dua orang atau lebih individu, dimana kelakuan individu
mempengaruhi, mengubah atau mempengaruhi individu lain atau sebaliknya.
Interaksi sosial merupakan dasar
proses sosial yang terjadi karena adanya hubungan-hubungan sosial yang dinamis
mencakup hubungan antarindividu, antarkelompok, atau antara individu dan
kelompok
- Kimball Young & Raymond W. Mack
Interaksi sosial adalah hubungan
sosial yang dinamis dan menyangkut hubungan antar individu, antara individu
dengan kelompok, maupun antara kelompok dengan kelompok lainnya.[3]
Dari pengertian interaksi
sosial menurut beberapa
ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial adalah hubungan
timbal balik anatara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang
terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif. Jadi jelas bahwa dalam
proses interaksi itu terdapat tindakan saling pengaruh mempengaruhi antara satu
individu dengan individu lainnya, sehingga timbullah kemungkinan-kemungkinan
untuk saling mengubah atau memperbaiki perilaku masing masing secara timbal
balik.
Terjadinya
interaksi sosial sebagaimana dimaksud, karena adanya saling mengerti tentang
maksud dan tujuan masing-masing pihak dalam suatu hubungan sosial. Menurut
Roucek dan Warren, interaksi adalah salah satu masalah pokok karena ia
merupakan dasar segala proses sosial. Interaksi merupakan proses timbal balik,
di mana satu kelompok dipengaruhi tingkah laku reaktif pihak lain dengan
demikian ia mempengaruhi tingkah laku orang lain. Orang mempengaruhi tingkah
laku orang lain melalui kontak. Kontak ini mungkin berlangsung
melalui fisik, seperti dalam obrolan, yang di dalam obrolan tersebut terjadi proses
mendengarkan, melakukan gerakan pada beberapa bagian badan, melihat dan
lain-lain lagi, atau secara tidak langsung melalui tulisan, atau dengan cara
berhubungan dari jauh. Misalnya melalui telepon atau dengan saling memberikan
isyarat atau kode satu sama lain.[4]
Dengan
demikian, interaksi sosial akan terjadi jika sudah memenuhi kedua syarat yang
telah dijelaskan di atas yaitu kontak sosial dan komunikasi. Adanya kontak
sosial dan komunikasi yang baik hendaknya dapat menciptakan interaksi sosial
yang baik pula. Diharapkan tiap-tiap individu lebih memperhatikan dan
mempertimbangkan dengan baik ketika akan melakukan kontak sosial dan
komunikasi, karena itu akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya sebuah
interaksi sosial, dan akan membawa dampak positif dan negatif sesuai dengan
cara mereka melakukan kedua syarat interaksi sosial tersebut.
Interaksi
sosial sebagai syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Apabila dua
orang bertemu, saat itulah interaksi dimulai. Pada saat itu mereka saling
menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi.
Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk dari interaksi sosial.
Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok
tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi
anggota-anggotanya. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok terjadi antara
kelompok lazim juga terjadi di dalam masyarakat. Apabila terjadi pertentangan
antara kepentingan-kepentingan orang perorangan dengan kepentingan-kepentingan
kelompok maka akan sangat terlihat dampaknya.[5]
Dengan
demikian interaksi sosial adalah hubungan timbal balik (berupa) tindakan antara
individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan
kelompok yang saling mempengaruhi satu sama lain dan mempunyai suatu tujuan,
baik itu berupa tindakan yang mengarah pada hal positif maupun negatif.
B. Kerukunan Antar Umat Beragama
Kata kerukunan berasal dari bahasa Arab “ruknun” (rukun) kata jamaknya adalah “arkan” yang berarti asas, dasar atau pondasi
(arti generiknya). Dalam bahasa Indonesia arti rukun ialah:
- Rukun (nominal), berarti: Sesuatu yang harus di
penuhi untuk sahnya pekerjaan, seperti tidak sahnya manusia dalam
sembahyang yang tidak cukup syarat, dan rukunya asas, yang berarti dasar
atau sendi: semuanya terlaksana dengan baik tidak menyimpang dari rukunnya
agama.
- Rukun (ajektif) berarti: Baik dan damai tidak
bertentangan: hendaknya kita hidup rukun dengan tetangga, bersatu hati,
sepakat. Merukunkan berarti: (1) mendamaikan; (2) menjadikan bersatu hati.
Kerukunan: (1) perihal hidup rukun; (2) rasa rukun; kesepakatan: kerukunan
hidup bersama.[6]
Kerukunan berarti sepakat dalam perbedaan-perbedaan
yang ada dan menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai titik tolak untuk
membina kehidupan sosial yang saling pengertian serta menerima dengan ketulusan
hati yang penuh ke ikhlasan. Kerukunan
merupakan kondisi dan proses tercipta dan terpeliharannya pola-pola interaksi
yang beragam diantara unit-unit (unsure/sub sistem) yang otonom. Kerukunan mencerminkan
hubungan timbal balik yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling
mempercayai, saling menghormati dan menghargai, serta sikap saling memaknai
kebersamaan.[7]
Dalam pengertian sehari-hari kata rukun dan
kerukununan adalah damai dan perdamaian. Dengan pengertian ini jelas, bahwa
kata kerukunan hanya dipergunakan dan berlaku dalam dunia pergaulan. Kerukunan
antar umat beragama bukan berarti merelatifir agama-agama yang ada dan melebur
kepada satu totalitas (sinkretisme agama) dengan menjadikan agama-agama yang
ada itu sebagai mazhab dari agama totalitas itu, melainkan sebagai cara atau
sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak
seagama atau antara golongan umat beragama dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan.[8] Jadi dapat disimpulkan bahwa kerukunan
ialah hidup damai dan tentram saling toleransi antara masyarakat yang beragama
sama maupun berbeda, kesediaan mereka untuk menerima adanya perbedaan keyakinan
dengan orang atau kelompok lain, membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran
yang diyakini oleh masing-masing masyarakat dan kemampuan untuk menerima
perbedaan.
Di Indonesia kerukunan
merupakan salah satu pilar penting dalam memelihara persatuan rakyat dan bangsa
Indonesia. Tanpa terwujudnya kerukunan diantara berbagai suku, Agama, Ras dan
antar Golongan bangsa Indonesia akan mudah terancam oleh perpecahan dengan
segala akibatnya yang tidak diinginkan.
Kerukunan antar agama merupakan salah satu pilar
utama dalam memelihara persatuan bangsa dan kedaulatan negara Republik
Indonesia. Kerukunan sering diartikan sebagai kondisi hidup dan kehidupan yang
mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat menghormati,
harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai dengan ajaran agama dan
kepribadian pancasila.[9]
Kerukunan antar umat beragama adalah suatu kondisi
sosial di mana semua golongan agama bisa hidup berdampingan bersama-sama tanpa
mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.
Dengan demikian kerukunan merupakan jalan hidup manusia yang memiliki
bagian-bagian dan tujuan tertentu yang harus dijaga bersama-sama, saling tolong
menolong, toleransi, tidak saling bermusuhan, saling menjaga satu sama lain.
C. Teori Interaksi
Simbolik dan Teori Konflik
- Teori Interaksi Simbolik
Interaksi
berarti pengaruh timbal balik, saling mempengaruhi satu sama lain.[10]
Sedangkan simbolik dalam kamus bahasa Indonesia berarti perlambangan, dan dalam
bahasa Inggris disebut symbolic yang
dalam Kamus Ilmiah berarti perlambangan, gaya bahasa yang melukiskan suatu
benda dengan mempergunakan benda-benda lain sebagai simbol atau pelambang. Interaksi adalah istilah dan garapan sosiologi; sedangkan simbolik
adalah garapan komunikologi atau ilmu komunikasi. Kontribusi utama sosiologi
pada perkembangan ilmu psikologi sosial yang melahirkan perspektif interaksi
simbolik.
Simbol merupakan esensi dari teori interaksionisme
simbolik. Teori ini menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi.
Teori Interaksi Simbolik merupakan sebuah kerangka referensi untuk memahami
bagaimana manusia, bersama dengan manusia lainnya, menciptakan dunia simbolik
dan bagaimana dunia ini, dan bagaimana nantinya simbol tersebut membentuk
perilaku manusia. Teori ini juga membentuk sebuah jembatan antara teori yang
berfokus pada individu-individu dan teori yang berfokus pada kekuatan sosial.[11] Interaksionisme simbolik
adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas
perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi.
Interaksionisme
simbolik adalah nama yang diberikan kepada salah satu teori tindakan yang
paling terkenal. Melalui interaksionisme simboliklah pernyataan-pernyataan
seperti “definisi situasi”, “realitas dimata pemiliknya”, dan “jika orang
mendefinisikan situasi itu nyata, maka nyatalah situasi itu dalam
konsekuensinya”, menjadi paling relevan. Meski agak berlebihan, nama interaksionisme simbolik itu
jelas menunjukkan jenis-jenis aktifitas manusia yang unsur-unsurnya memandang
penting untuk memusatkan perhatian dalam rangka memahami kehidupan sosial.[12]
Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk
pada “karakter interaksi khusus yang berlangsung
antar manusia.” Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain
tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon
aktor baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu didasarkan atas makna
penilaian tersebut. Oleh karenanya, interaksi manusia dijembatani oleh
penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang
lain. Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa,
berpikir, mengelompokkan, dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan
situasi di mana dan ke arah mana tindakannya.[13]
Teori interaksionisme simbolik sangat menekankan
arti pentingnya “proses mental” atau proses berpikir bagi manusia sebelum
mereka bertindak. Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus respon,
melainkan stimulus proses berpikir respons. Jadi, terdapat variabel antara atau
variabel yang menjembatani antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental
atau proses berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Teori
interaksionisme simbolik memandang bahwa arti/makna muncul dari proses
interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda tumbuh dari
cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang tersebut.
Teori interaksionisme simbolik mempelajari sifat
interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis sosial manusia. Bagi
perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan,
menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan
bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan struktur yang ada di luar dirinya. Interaksilah yang dianggap
variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat.
Esensi interaksionisme simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas
manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif
ini berupaya untuk memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Teori
ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang
memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan
mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.
Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas
objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan perspektif ini, sebagaimana
ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan
dan menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan
kehidupan kelompok.[14]
Menurut teoritisi perspektif ini, kehidupan sosial
adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Penganut interaksionisme
simbolik berpandangan bahwa perilaku manusia adalah produk dari interpretasi
mereka atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu
dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori
struktural.
Dengan demikian, ssensi
dari interaksi simbolik yakni adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas
manusia yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Paham
interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif
dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Paham interaksionisme
simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual. Semua
interaksi antar individu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Di setiap lingkungan memiliki kontrak
khusus yang terbentuk karena budaya masyarakat yang ada mengenai pemahaman
interaksi pada suatu simbol. Yang mana pemahaman simbol itu terbentuk karena
adanya interaksi sosial dan budaya dari suatu tempat tertentu.
- Interaksi Konflik
Konflik
atau conflictus berasal dari bahasa Latin
yang berarti pertentangan[15] merupakan perwujudan
dan atau pelaksanaan beraneka pertentangan antara dua pihak yang dapat
merupakan dua orang bahkan golongan besar seperti negara. Konflik adalah
gejala-gejala sosial yang ada dalam setiap masyarakat. Konflik melekat dengan
masyarakat, dimana konflik itu selalu ada selama masyarakat itu ada sehingga
tidaklah mungkin menghapus konflik seperti yang menjadi angan-angan para
diktator; sebaliknya tidaklah mungkin konsensus dipertahankan terus menerus
sekalipun dengan cara-cara kekerasan yang juga merupakan keinginan para
penguasa otoriter.
Konflik
juga menunjukkankan pada hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau
kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik mempunyai
dampak yang sangat besar bagi masyarakat karena konflik yang berlangsung terus
menerus akan menjurus ke arah disintegrasi sosial. Sedangkan yang di maksud
dengan Teori Konflik itu sendiri adalah teori yang memandang bahwa perubahan
sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan,
tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang
berbeda dengan kondisi semula.[16]
Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana- sarana produksi sebagai unsur pokok
pemisahan kelas dalam masyarakat.
Teori
konflik berkembang sebagai counter terhadap fungsional struktural. Teori ini
menganggap bahwa masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok dan golongan yang
berbeda kepentingan. Konflik ini diharapkan mampu memperteguh identitas.
Sehingga dalam teori konflik dibutuhkan katup pengaman untuk mengamankan
konflik tersebut.
Pada saat
itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan
perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia
menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia
hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin
sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial
hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam
proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu
eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa
menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan
antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial
besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah
sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada
beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis
dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat
mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian
dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam
masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam
masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau
ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi,
koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan
mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini
menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan
subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori
konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan
sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam
masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat
perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun
pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan
bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan
sehingga terciptalah suatu konsensus.
Berdasarkan teori konflik Marx, yang mana dikatakan
bahwa di dalam suatu masyarakat dapat dijumpai hal yang dianggap baik oleh
suatu golongan atau kelompok, tetapi bersifat relatif, yang berarti kebaikan
itu belum tentu baik pula di mata masyarakat lain (golongan atau kelompok
lain). Manusia cenderung untuk berusaha mendapatkan hal-hal yang dianggap baik
(menurut hemat mereka sendiri) tadi. Karena itulah bisa menimbulkan persaingan
antara individu satu dengan individu yang lain atau kelompok yang satu dengan
kelompok lain, yang mencakup suatu proses untuk mendapatkan kekayaan, kekuasaan,
atau kedudukan. Dan biasanya suatu yang dianggap baik ini adalah sesuatu yang
menyangkut kepentingan kelompok yang berkuasa (atau bisa dikatakan kelompok
yang dominan). Marx menganggap bahwa proses pertikaian ini adalah proses
pertentangan kelas.[17]
Agama menjadi salah satu faktor penyebab
terjadinya disintegrasi. Marx mengatakan bahwa analisis konflik menggarisbawahi
peran agama dalam menciptakan ketidaksetaraan dalam masyarakat. Namun, sesuai
dengan ketentuan hak asasi, agama adalah sebuah kebebasan bagi pemeluknya untuk
menentukan keyakinan dan kepercayaannya. Berbicara mengenai HAM, berarti
membicarakan hal yang terkait dengan kebutuhan biologis (sandang, papan,
pangan) dan juga terpenuhinya kebutuhan mental spiritual (rohani), yaitu
kepercayaan atau agama.
Agama terkait dengan keyakinan, yang mana
keyakinan ini sangat dijunjung tinggi dan dijaga oleh penganutnya. Seseorang
dijadikan pemeluk agama yang sama dengan orang tuanya sejak lahir. Sosialisasi[18] terhadap
agama mencakup nilai-nilai, aturan, tata cara, upacara/ritual dan sebagainya
yang harus dituruti. Dalam kelompok agama tersebut, kesucian agama dipegang
oleh suatu kekuasaan otoritas yang dimiliki oleh pemuka-pemuka agama (ulama
atau paus), yang terkadang perkataan (fatwa) dari para pemuka agama ini tidak
terbantahkan dan diikuti oleh semua penganutnya. Selain itu adanya perkawinan
antara agama dengan negara sehingga agama memiliki kekuasaan yang besar
(contohnya pada negara-negara yang memiliki agama mayoritas, seperti Indonesia.
Atau daerah yang memiliki agama mayoritas, seperti Islam di Aceh atau Kristen
di Papua).
Penanaman tentang agama ini dimulai sejak lahir
dan anak-anak, melalui jalur sistem pendidikan nasional. Norma dan aturan agama
tersebut sudah menjadi hal yang lumrah dalam pola pikir masyarakat umumnya. Hal inilah kemudian yang
dapat memicu konflik apabila sedikit saja ada gerakan yang menentang arus dari
norma dan aturan-aturan tersebut. Konflik ini kemudian mengarah kepada tindakan
kekerasan kepada kelompok-kelompok tertentu yang dianggap menyimpang atau
melanggar norma agama yang telah berlaku di suatu masyarakat.
Pengaruh dominasi juga menjadi penting dalam
masalah ini. Terkadang di suatu daerah yang bermayoritas memeluk agama tertentu
akan menekan kelompok minoritas yang memeluk agama lain. Ketentuan
perundang-undangan dan aturan serta norma dilandaskan pada ketentuan dan norma
agama yang dominan di daerah itu. Contohnya di Aceh yang menerapkan hukum
Islam. Kemudian, tekanan terhadap kaum minoritas ini juga mengungkung kebebasan
mereka untuk menjalankan ibadah. Kelompok yang memeluk agama mayoritas merasa
terganggu apabila ada kelompok minoritas yang menjalankan ibadah menurut agama
dan kepercayaan mereka, apalagi berencana untuk membangun tempat ibadah.
Situasi seperti ini juga dapat menyulut tindak kekerasan, contohnya pengrusakan
rumah ibadah
(gereja) di Kecamatan Gunung Meriah
Kabupaten Aceh Singkil,
pada tanggal 13 Oktober 2015.
Konflik
merupakan bagian dari dinamika sosial yang lumrah di setiap interkasi sosial
dalam tatanan pergaulan keseharian masyarakat. Konflik dapat berperan sebagai
pemicu proses menuju penciptaan keseimbangan sosial. Bahkan apabila konflik
dapat dikelola dengan baik dapat juga dipakai sebagai perekat dalam kehidupan
masyarakat. Konflik dalam masyarakat dapat membawa keadaan yang baik karena
mendorong perubahan masyarakat, tetapi juga keadaan yang buruk apabila
berkelanjutan tanpa mencari solusi yang dianggap bermanfaat bagi semua
pihak. Karena itu harus
dicari penyebab konflik tetapi juga bagaimana cara mengatasinya.[19]
Tumbuhnya
tatatertib sosial atau sistem nilai yang disepakati bersama oleh para anggota
masyarakat, sama sekali tidak berarti lenyapnya konflik. Sebaliknya, tumbuhnya
tatatertib itu justru mencerminkan adanya konflik yang bersifat potensial di
dalam setiap masyarakat. Oleh karena itu apabila berbicara tentang stabilitas
atau instabilitas suatu sistem sosial, maka yang dimaksudkan sesungguhnya
adalah derajat keberhasilan atau kegagalan suatu tertib normatif dalam mengatur
kepentingan yang saling bertentangan.
D. Konflik dalam
Kehidupan Sosial
Manusia
adalah makhluk berkeinginan untuk selalu hidup dengan orang lain dan karena
itu, manusia juga disebut sosial animal yang mempunyai naluri untuk senantiasa
hidup bersama.[20] Predikat-predikat yang dilekatkan pada diri manusia oleh para ahli
seperti tersebut diatas sesungguhnya hendak menggambarkan bahwa manusia adalah
makhluk sosial, makhluk yang senantiasa membutuhkan orang lain, niscaya manusia
tidak akan mampu menjalani kehidupannya dipermukaan bumi.
Kebutuhan
manusia untuk senantiasa bergaul dengan makhluk (manusia) lainnya, selain untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang memang tidak mampu ia penuhi sendiri misalnya,
makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain juga dalam rangka mengembangkan
potensi-potensi dasar yang dibawa sejak lahir. Potensi-potensi dasar itu,
misalnya, bakat, daya kreasi, daya inovasi, akan berkembang melalui
interaksi dengan orang lain.[21]
Keharusan bagi manusia untuk saling bergaul karena eksistensi dirinya sebagai
makhluk yang tidak sempurna bukan berarti bebas dari masalah-masalah. Dalam
pergaulan antara sesama manusia sering muncul konflik yang menyebabkan ketidak
harmonisan interaksi tersebut. Bahkan, konflik itu dapat menyebabkan
kegoncangan dan keprihatinan masyarakat secara terus menerus.
Hassan
Shadily, dalam bukunya Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, mengartikan
konflik sosial sebagai proses yang menunjukkan pengaruh menentang antara
perseorangan atau golongan dalam mengejar tujuan yang sama.[22]
Pengertian yang dikemukakan Hassan Shadliy tersebut menggambarkan adanya dua
pihak yang saling menentang (kontra), baik perseorangan maupun kelompok dalam
mengejar tujuan yang sama. Timbulnya persaingan atau kontra menurut pengertian
ini lebih disebabkan karena tujuan yang hendak dicapai masing-masing pihak
sama. Sehingga mereka berebut peluang untuk meraih tujuan itu.
Termasuk
pula dalam pengertian ini adalah adanya keinginan untuk menjadi pengatur atau
pemegang kendali dalam mengatur kehidupan bersama. Sebab mereka beranggapan
bahwa dengan memegang kendali kehidupan bersama, akan memberi peluang untuk
menetapkan prinsip-prinsip yang dianutnya.[23]
Adanya kesamaan tujuan untuk menjadi pemegang kendali masyarakat dapat menjadi
penyebab timbulnya konflik sosial. Apalagi bila di antara kelompok pesaing itu
ada yang sangat berambisi untuk menyingkirkan saingan-saingannya.
Bertolak
dari asumsi di atas, maka sesungguhnya adanya sejumlah perbedaan dalam
kehidupan sosial merupakan suatu hal yang wajar dan tidak perlu menjadi
penyebab timbulnya konflik. Sebab dalam menata kehidupan bermasyarakat
diperlukan sejumlah teori dan cara yang boleh jadi di antara teori dan
cara-cara itu saling berbeda. Tetapi justru perbedaan itu memperkaya dinamika
kehidupan masyarakat.
Konflik muncul dalam setiap identitas stratifikasi
sosial dan setiap stratifikasi adalah posisi yang pantas di perjuangkan oleh
manusia dan kelompoknya.[24] Konflik yang dilatarbelakangi oleh
perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan
tersebut di antaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan,
adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan ciri-ciri individual
dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap
masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik
antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik akan hilang
bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada
faktor penyebab konflik, di antaranya karena perbedaan latar belakang
kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Perbedaan
kepentingan antara individu atau kelompok, serta perubahan-perubahan nilai yang
cepat dan mendadak dalam masyarakat.[25]
Selanjutnya jika dikaitkan konflik sosial tersebut
dengan agama, maka konflik sosial
keagamaan bisa diartikan sebagai pertikaian antar beragama, baik antar sesama
penganut agama itu sendiri maupun antar agama satu dengan agama lainnya. Rumusan
ini masih dianggap umum. Hal ini dikarenakan definisi konflik sosial keagamaan
tidak hanya dilatarbelakangi oleh motif ekonomi, politik, dan kekuasaan. Berbagai
tindakan protes atau kekerasan terkait konflik sosial keagamaan banyak berasal
dari sumber kultural dan ideologis agama itu sendiri dan lebih bersifat
ekspresif atau simbolik; misalnya sebagai ekpresi dari apa yang dipahami suatu
komunitas agama sebagai “ketaatan” terhadap ajaran agama atau sebagai simbol
solidaritas terhadap komunitas. Artinya, setiap konflik sosial keagamaan
memiliki bentuk kekhasannya masing-masing. Suatu bentuk konflik keagamaan
muncul pada waktu dan lokasi tertentu, sementara bentuk lainnya terjadi pada
waktu dan tempat yang lain.[26]
Dengan
demikian, terjadinya konflik sosial ada beberapa macam, mulai dari segi keyakinan, ekonomi, budaya dan pendidikan.
Namun, untuk lebih jelas, penyebab atau latar belakang terjadiya konflik sosial
ada empat macam, yaitu perbedaan individu, perbedaan latar belakang keyakinan dan kebudayaan, perbedaan
kepentingan, perubahan nilai, serta rendahnya tingkat penegakan hukum.
Perbedaan individu dapat berupa perbedaan perasaan, pendirian atau pendapat.
Perbedaan inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik sosial.
E. Kajian Terdahulu
Peneliti
membandingkan dengan hasil penelitian orang lain yang peneliti peroleh dari
beberapa penelitian terdahulu tentang kerukunan antar agama. Adapun penelitian
terdahulu yang dianggap cukup relevan dengan penelitian ini di antaranya:
Adapun penelitian terdahulu yang dianggap cukup relevan dengan penelitian
ini diantaranya:
- Penelitian yang dilakukan oleh Muhajir Al-Fairusy dalam Jurnal Al-Ijtima’i (Internasional Journal of Government and Social Sciences, FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Vol. 1, No. 1 2015) dengan judul penelitiannya, “Model Konsensus dan Rekonsiliasi Konflik Antar-Umat Beragama di Aceh Singkil”. Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa peran dan pengaruh kesadaran akan klan dan etnik begitu besar, dalam upaya rekonsiliasi konflik atas nama agama, guna menjaga keseimbangan sosial antar manusia di wilayah multikultural seperti Aceh Singkil. Di sisi lain, Syari’at Islam di Aceh, dengan mengkonsumsi wacana toleransi, tampak mulai ikut memunculkan sisi kemanusiaan dalam menangani beberapa kasus intoleransi yang dapat muncul kapan saja di perbatasan Aceh.
- Penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah (Mahasiswa Program Studi Komunikasi Islam, Pascasarjana UIN Sumatera Utara) dalam Jurnal Al-Balagh: Jurnal Komunikasi Islam Vol. 2, No. 2, 2017. Penelitian tersebut berjudul: “Strategi Komunikasi Organisasi Humas Dalam Menyelesaikan Konflik Antar Umat Beragama (Studi Pada Kantor Bupati Aceh Singkil)”. Hasil dari kajian ini adalah bahwa strategi komunikasi organisasi yang dilakukan Humas kantor Bupati Aceh Singkil dalam mengatasi konflik antar umat beragama dengan melakukan komunikasi horizontal mengalir antara para anggota-anggota organisasi/para pegawai yang berada dalam level hirarki yang sama. Sedangkan strategi komunikasi yang dilakukan Humas kantor Bupati Aceh Singkil dalam menyelesaikan konflik antar umat bergama dengan strategi komunikasi melalui konsiliasi, Strategi komunikasi melalui negoisasi atau musyawarah dan Strategi komunikasi melalui mediasi. Sedangkan efektifitas strategi komunikasi organisasi yang dilakukan Humas kantor Bupati Aceh Singkil dalam mengatasi konflik antar umat beragama adalah komunikasi formal seperti komunikasi dengan menggunakan teknologi komunikasi sebagai saluran komunikasi, serta saluran komunikasi informal seperti berbicara secara langsung dalam mendapatkan informasi atau memberikan informasi. Pelaksanaan aktivitas ini menumbuhkan keinginan untuk berpartisipasi yang lebih besar dalam diri para pemimpin dan pegawai terhadap organisasi. Dengan beberapa faktor pendukung: kerjasama antar organisasi, alat komunikasi dan fasilitas transportasi, serta beberapa faktor penghambatnya: kurang disiplin, lemahnya kualitas skill, tempat lokasi, perbedaan tingkat pendidikan, dan perbedaan bahasa.
- Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Sahlan dalam Jurnal Substantia, Vol. 16, No. 1, April 2014 (Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry, Banda Aceh), dengan judul: “Pola Interaksi Interkomunal Umat Beragama di Kota Banda Aceh”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pola interaksi interkomunal umat beragama di Kota Banda Aceh lebih sering terjadi dalam bentuk keseharian dibanding asosiasional. Bentuk interaksi keseharian sebagaimana telah diuraikan dalam bab pembahasan hasil penelitian adalah interaksi yang terjadi dalam bentuk sehari-hari di tingkat gampong atau dusun seperti saling berkunjung pada hari-hari besar agama, saling berkunjung ketika salah satu keluarga tetangga berbeda agama dan etnis ditimpa musibah, sakit atau meninggal dunia, dan menghadiri pesta perkawinan. Kegiatan sehari-hari seperti itu relatif sering terjadi pada tingkat gampong bahkan dusun sehingga dengan pola interaksi seperti itu hubungan warga interkomunal baik berbeda keyakinan maupun berbeda etnis berlangsung dengan sangat baik. Namun, interaksi yang bersifat asosional atau berbasis organisasi, baik organisasi profesi, sosial dan politik, persentasenya sangat sedikit bahkan hampir tidak ditemukan di Kota Banda Aceh.
Dari tiga
penelitian sebagaimana yang disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa antara
penelitian terdahulu dengan penelitian yang peneliti lakukan tentu memiliki
persamaan dan perbedaan. Sisi persamaan dapat diketahui dari sisi sama-sama
mengkaji masalah penyelesaian konflik antar umat beragama. Namun
penelitian-penelitian di atas lebih kepada mediasi pihak pemerintah dan pendekatan-pendekatan
norma-norma tertentu. Adapun kajian ini, peneliti lebih memfokuskan pada kajian
interaksi kemasyarakatan antar umat beragama pasca terjadinya konflik sosial di Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil. Selain itu, belum ada peneliti-peneliti
sebelumnya yang memfokuskan pada spesifik kajian tersebut.
[1]Bimo Walgito, Psikologi Social, (Jogjakarta: Andi,
2003), hal. 65.
[2]Ahmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Prenada Media
Grup, 2006), hal. 130
[4]Abdulsyani, Sosiologi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hal. 153-154
[5]Elly M. Setiadi, Kama A. Hakam, Ridwan Effendi, Ilmu Sosial
dan Budaya Dasar, (Bandung: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 92-94
[6]Imam Syaukani, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-Undangan
Kerukunan Umat Beragama (Jakarta: Puslitbang, 2008), hal. 5
[7]Ridwan Lubis, Cetak Biru Peran
Agama, (Jakarta: Puslitbang, 2005), hal. 7-8
[8]Said Agil Munawar, Fikih
Hubungan Antar Umat Beragama, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hal. 4-5.
[9]Depag RI, Bingkai Teologi
Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, (Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, 1997),
hal. 8 dan 20.
[10]Risa Agustin, Kamus Ilmiah…, hal. 486.
[17]Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi: Tentang Pribadi dalam
Masyarakat, (Jakarta: Gahlia Indonesia, 1982), hal. 7
[19]Judistira K Garna, Ilmu-ilmu
Sosial; Dasar, Konsep, Posisi,
(Bandung: Program
Pascasarjana Unpad, 1996), hal. 66.
[24]Novri Susan, Pengantar
Sosiologi Konflik, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hal. 28.
[25]Novri Susan, Pengantar
Sosiologi…, hal. 30.
[26]Adon Nasrullah Jamaludin, Agama
& Konflik Sosial, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hal. 132.
No comments:
Post a Comment