BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu
kalam membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin
menyelami seluk beluk agamanya perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam
agama yang di anutnya. Seseorang yang telah memahami teologi dengan cara mempelajarinya
secara mendalam diharapkan bisa mendapatkan keyakinan dan pedoman yang kokoh
dalam beragama. Orang yang demikian tidak mudah diperdayakan oleh zaman yang
selalu berubah. Setiap gerak langkah, tindakan dan perbuatannya selalu
dilandaskan pada keyakinan yang dijadikan falsafah dalam hidupnya.
Mengkaji
ilmu teologi dalam Islam pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka
berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama alira teologi dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang dimiliki
setiap manusia, baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis yang
secara natural adalah distingtif. Oleh sebab itu, perbedaan kesimpulan antara
satu pemikiran dengan pemikiran lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu merupakan
suatu hal yang bersifat natural pula.
Dalam
kaitan ini, para sahabat dan tabi’in biasa berbeda pendapat dalam mengkaji
suatu masalah tertentu. Beberapa indikasi yang menjadi pemicu perbedaan
pendapat diantara mereka adalah terdapat beberapa sahabat yang mendengar
ketentuan hukum yang diputuskan oleh Nabi SAW, sementara yang lainnya tidak.
Sahabat yang tidak mendengar keputusan itu lalu mereka berijtihat. Dari sini
kemudian terjadi perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu ketentuan hukum.
Secara
teoritis, perbedaan demikian tampak melalui perbedaan aliran-aliran kalam yang
muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang
ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah,
keimanan kepada rasul, para malaikat, hari akhirat dan berbagai ajaran nabi
yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkan. Sedangkan persoalan
yang masih berpeluang untuk diperdebatkan misalnya tentang kekuasaan Allah dan
kehendak manusia, kedudukan wahyu, akal dan keadilan Tuhan. Perbedaan itu,
kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij,
Jabariyah, Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Oleh
karena demikian, penulis mencoba menjelaskan tentang sejarah dan perkembangan
teologi atau aliran kalam yang timbul dalam dunia Islam. Pembahasan mengenai
ini akan dimulai dari latar belakang, selanjutnya akan dibahas mengenai pokok
pembahasan tentang pengertian teologi dan sejarah aliaran-aliran ilmu kalam dan
lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengetian Teologi Islam (Ilmu Kalam)
Teologi
dari segi etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu “theologia” yang terdiri dari kata “theos” yang berarti tuhan atau dewa, dan
“logos” yang artinya ilmu. Sehingga
teologi adalah pengetahuan ketuhanan. Teologi merupakan disiplin ilmu yang
berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu
pengetahuan. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa teologi merupakan
penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional.[1]
Sedangkan menurut A. Hanafi mendefinisikan
bahwa teologi merupakan suatu ilmu yang membahas fakta-fakta dan gejala-gejala
agama dan hubungan-hubungan antara tuhan dan manusia.[2]
Sedangkan
menurut Muhammad Abduh menjelaskan bahwa pengertian teologi Islam adalah ilmu
yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya secara
rasional. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa “Tauhid adalah ilmu yang
membahas tentang wujud Allah, tentang sifat yang wajib tetap pada-Nya, sifat-sifat
yang boleh disifatkan kepada-Nya, sifat-sifat yang sama sekali wajib di
lenyapkan dari pada-Nya; juga membahas tentang Rasul-rasul Allah, meyakinkan
keyakinan mereka, meyakinkan apa yang ada pada diri mereka, apa yang boleh di
hubungkan kepada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkanya kepada diri
mereka”.[3]
Kalau
melihat definisi pertama dapat di pahami bahwa Muhammad Abduh lebih menekankan
pada Ilmu Tauhid/Teologi yaitu pembahasan tentang Allah dengan segala
sifat-Nya, Rasul dan segala sifat-Nya.
Menurut
pendapat Murthadha Murthahhari menjelaskab bahwa Untuk mendefinisikan ilmu
kalam, maka cukup dengan mengatakan, “Ilmu kalam merupakan sebuah ilmu yang
mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam (Ushuluddin).
Ilmu kalam mengidentifikasikan akidah-akidah pokok dan berupaya membuktikan
keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap akidah-akidah pokok tersebut”.[4]
Ilmu
kalam disebut juga dengan ilmu tauhid karena membahas tentang keesaan Allah
Swt. Secara objektif, ilmu kalam sama dengan ilmu tauhid, tetapi argumentasi
ilmu kalam lebih dikonsentrasikan pada penguasaan logika. Oleh sebeb itu,
teolog membedakan antara ilmu kalam dengan ilmu tauhid.
Jadi,
apabila memperhatikan definisi ilmu kalam di atas, dapat disimpulkan bahwa
pengertian ilmu kalam itu adalah ilmu yang membahas atau ilmu yang mengandung
tentang berbagai masalah-masalah kebutuhan dengan menggunakan argumentasi
logika atau filsafat.
B.
Sejarah Munculnya Aliran Teologi Islam (Aliran Kalam)
Pada masa
Nabi Saw dan Khulafaurrasyidin, umat Islam bersatu, mereka satu akidah, satu
syariah dan satu akhlakul karimah. Kalau mereka ada perselisihan pendapat dapat
di atasi dengan wahyu dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Awal mula
adanya perselisihan dipicu oleh Abdullah bin Saba’ (seorang Yahudi) pada masa
pemerintahan Usman bin Affan dan berlanjut pada masa khalifah Ali bin Abi
Thalib. Awal mula timbulnya gejala timbulnya aliran-aliran adalah sejah ke
khalifahan Usman bin Affan (khalifah ke 3 setelah wafatnya Rasulullah Saw).
Pada masa itu, dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan kelompok yang mengarah
terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Kemudian
digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu perpecahan di tubuh umat
Islam terus berlanjut.[5]
Sesuai
dengan pendapat di atas, dalam sumber yang lain dijelaskan bahwa pada zaman
Rasulullah Saw sampai masa pemerintahan Usman bin Affan (644-656 M) problem
teologis di kalangan umat Islam belum muncul. Problema itu baru timbul di zaman
pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661 M) dengan munculnya kelompok Khawarij,
pendukung Ali yang memisahkan diri karena tidak setuju dengan sikap Ali yang
menerima tahkim (arbitrase) dalam
menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam pada
waktu perang Shiffin.[6]
Persoalan
politik merupakan alasan pertama munculnya persoalan teologi dalam Islam.
Khawarij berpendapat, tahkim adalah penyelesaian masalah yang tidak didasarkan
kepada Al-Qur’an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan orang yang tidak
memutuskan hukum dengan Al-Qur’an adalah kafir. Dengan demikian orang yang
melakukan tahkim dan menerimanya adalah kafir. Argumen mereka sebenarnya sangat
sederhana, Ali, Mu’awiyah dan pendukung-pendukung mereka semuanya kafir karena
mereka “murtakib al Kabirah” atau
pendosa besar.
Dalam
perkembangan selanjutnya Khawarij tidak hanya memandang orang yang tidak
menghukumkan sesuatu dengan Al-Qur’an sebagai kafir, tetapi setiap muslim yang
melakukan dosa besar bagi mereka adalah kafir. Pendapat ini mendapat reaksi
keras dari kaum muslimin lain sehingga muncul aliran baru yang dikenal dengan
nama Murji’ah. Menurut pendapat aliran ini, muslim yang berbuat dosa besar
tidak kafir, ia tetap mukmin. Masalah dosa besar yang dilakukannya terserah
Allah, diampuni atau tidak. Belakangan lahir aliran baru lagi, Mu’tazilah yang
berpendapat muslim yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir, tapi
menempati posisi di antara keduanya (al
manzilah bain al manzilatain). Masuknya filsafat Yunani dan pemikiran
rasional ke dunia Islam pada abad kedua Hijriah membawa pengaruh besar terhadap
perkembangan pemikiran teologis di kalangan umat Islam. Mu’tazilah
mengembangkan pemikirannya secara rasional dengan menempatkan akal di tempat
yang tinggi sehingga banyak produk pemikirannya tidak sejalan dengan pendapat
kaum tradisional. Pertentangan pendapat di antara dua kelompok inipun terjadi
dan mencapai puncaknya ketika Al-Makmun (813-833 M), khalifah ketujuh dinasti
Abbasiyah menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan memaksakan
paham Mu’tazilah kepada kaum muslimin. Sebagai penganut dan pendukung aliran
Mu’tazilah Khalifah Al-Makmun memandang perlu untuk memberikan pelajaran
terhadap kelompok Ahli Hadis karena keteguhan mereka untuk mempertahankan bahwa
Al-Qur’an bukanlah “diciptakan” (makhluq) yang semakin merajalela, khususnya di
Baghdad. Berbagai kerusuhan sosial yang timbul di Baghdad antara kelompok ahli
hadis dan orang-orang Syi’ah tentu meresahkan keamanan di ibukota tersebut.
Sebagai seorang khalifah yang berupaya mendapatkan dukungan kaum Syi’ah tidak
mengherankan kalau ia menunjukkan sikap bermusuhan terhadap ahli hadis. Al-Qur’an
sebagai topik kontroversial mungkin lebih merupakan alasan yang diciptakan guna
memberikan perlawanan terhadap tokoh-tokoh ahli hadis. Sebaliknya kaum ahli
hadis yang semula mendapatkan banyak kesulitan dengan adanya mihnah kini
mendapat angin, walaupun tidak berarti bahwa mereka menggantikan posisi lawan
mereka yang berpengaruh sebelumnya. Reaksi keras kaum tradisional menentang Mu’tazilah,
pada akhirnya berwujud dalam bentuk sebuah aliran teologi yang dikenal dengan
nama Ahlussunnah waljamaah, dengan tokoh utamanya Abu al Hasan Ali al Asy’ari
dan abu Mansur al Maaturidi.[7]
Terkecuali
beberapa aliran teologi sebagaimana disebutkan di atas, ada lagi beberapa
aliran teologi dalam Islam seperti Syiah, Qadariyah dan Jabariyah. Aliran
Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah adalah aliran yang berkembang pada masa
lampau. Sekarang yang dianut mayoritas umat Islam adalah aliran Ahlus Sunnah
wal Jamaah yang dalam soal iman menganut paham moderat Murji’ah. Tetapi,
pemikiran rasional Eropa yang berasal dari Islam abad kedua belas itu masuk
kembali ke dunia Islam abad kesembilan belas dan kedua puluh, dan menghidupkan
kembali pemikiran rasional Mu’tazilah masa silam. Dalam pada itu, kaum Syi’ah
dari sejak semula tetap menganut aliran rasional dan filosofis Mu’tazilah.
C.
Aliran-aliran Teologi dalam Islam (Aliran Kalam)
- Khawarij
Golongan ini pada mulanya muncul bukan karena persoalan
aqidah, melainkan persoalan politik dimana terjadi peperangan antara mu’awiyah
bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib. Saat perang berkecamuk, seseorang
mengangkat Al-Qur’an dengan pedangnya untuk mengadakan tahkim
(arbitrase) yaitu mengangkat seorang hakim yang bertujuan mengadakan
perundingan untuk mengakhiri perang.
Sebagian orang dari barisan Ali menerima tahkim tersebut
dan sebagian lainnya tidak, kemudian memilih keluar dari barisan karena kecewa
karena Ali menerima tahkim tersebut. Kata Khawarij berasal dari bahasa
Arab yang berarti keluar. Nama itu dberikan kepada mereka, karena mereka keluar
dari barisan Ali.[8]
Dalam perkembangan selanjutnya, persoalan politik ini
melebar ke arah persoalan aqidah dimana kaum khawarij meyakini hal-hal sebagai
berikut:
a.
Bahwa Saidina Ali, Khalifah
Ustman dan orang-orang yang melakukan tahkim, yakni Amr bin al-‘Ash dan Abu
Musa al-Asy’ari adalah orang-orang kafir. Demikian juga orang yang menerima
keputusan tahkim itu. Juga para peserta yang ikut dalam perang Jamal melawan
Saidina Ali, seperti Siti Aisyah, Thalhah dan Zubeir.
b.
Semua orang muslim yang
melakukan dosa besar adalah kafir yang kekal dalam neraka jika tidak bertobat
sebelum mati.
c.
Wajib memisahkan diri dari
khalifah atau sulthan yang zalim. Dan khalifah itu boleh dilantik dari orang yang
bukan keturunan Quraisy.[9]
- Murji’ah
Seperti halnya kaum khawarij, golongan ini pada
mulanya muncul karena persoalan politik.
Sebagaimana disebutkan tentang peristiwa tahkim antara kelompok Mu’awiyah dan kelompok Ali,
kelompok Ali terbelah dua, sebagian mendukung Ali yang kemudian memunculkan
kelompok syi’ah dan sebagian menentangnya yang kemudian memunculkan
kelompok Khawarij. Kedua kelompok ini sama-sama menentang dan mengkafirkan
Mu’awiyah, hanya dengan motifnya yang berbeda.
Dalam suasana pertentangan serupa inilah, timbul suatu
golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek
kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan itu. Bagi
mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat
dipercaya dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak
mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah, dan memandang lebih
baik menunda penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di depan Tuhan.[10]
Nama murji’ah sendiri berasal dari kata arja’a yang berarti menunda.[11]
Pada umumnya kaum murjiah dapat dibagi dalam dua
golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam
neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang
dilakukannya, dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena
itu tidak akan masuk neraka sama sekali. Sedangkan golongan yang ekstrim
berpendapat bahwa orang islam yang percaya pada Tuhan dan menyatakan kekufuran
secara lisan tidaklah mennjadi kafir, karena iman dan kafir tempatnya hanya
dalam hati, bukan dalam bagian yang lain dari tubuh manusia.[12]
- Jabariyah
Paham ini diajarkan dan dikembangkan oleh Jaham bin
Safwan yang memperoleh banyak pengikut, sehingga ajaran ini juga dikenal dengan
madzhab Jahamiyah. Golongan ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai
ikhtiar atau pilihan dan kebebasan dalam menentukan nasib dan perbuatannya
dalam kehidupan di dunia ini. Segala sesuatu telah digariskan Allah atasnya
sejak zaman azali.[13]
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengadung arti memaksa. Dalam istilah
inggris paham ini disebut fatalism atau predestination. Perbuatan-perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh kada dan kadar Tuhan.[14]
Adapun pendapat yang lain dari golongan ini antara lain
:
a.
Pengggunaan takwil, artinya Allah tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk. Dan
karena itu ia menakwilkan sifat-sifat Allah yang ada persamaannya dengan sifat
manusia.
b.
Surga dan neraka tidak
kekal, akan datang suatu masa yang padanya surga
dan neraka akan fana dengan segala isinya dan yang tinggal kekal hanya Allah
saja. Selain dari Allah, semuanya akan binasa.
c.
Iman, Iman itu adalah makrifah atau pengakuan hati saja akan wujud Allah
dan kerasulan Muhammad SAW, Ucapan lisan dan perbuatan anggota badan yang lain
tidak termasuk dalam iman.
d.
Makrifat iman itu wajib
berdasarkan akal sebelum turunnya wahyu dan kedatangan rasul.[15]
- Qadariyah
Pemuka mazhab ini adalah Ghailan al-Dimasqi,
Golongan ini disebut Qadariyah adalah karena pendapatnya tentang kedudukan
manusia diatas bumi. Golongan ini mengatakan bahwa manusia mempunyai iradah yang
bebas dan kuasa penuh dalam menentukan
amal perbuatan yang dilakukan dan karenanya ia bertanggung jawab atas segala
perbuatan yang dilakukan. Jika amalnya baik, balasannya juga baik, dan jika
buruk, maka balasannya juga buruk. Artinya nasib manusia ditentukan oleh
manusia sendiri dan Tuhan tidak ada kuasa campur tangan dalam hal tersebut.
Selain hal tersebut diatas, golongan ini
juga mengatakan hal-hal sebagai berikut :
a. Menafikan
sifat-sifat Allah, karena menurutnya sifat itu identik dengan dzat, bukan
sesuatu yang berbeda dengan dzat.
b. Menafikan
bahwa al-Qur’an itu qadim
- Mu’tazilah
Penulis Islam klasik, seperti syarastani, al-baghdadi,
ar-Razi, ibn Khilikan dan lain-lain menyatakan bahwa golongan mu’tazilah lahir
dari majlis pengajian Hasan al-bashri di Bashrah. Beliau ini seorang pemuka
tabiin yang terkenal dan merupakan seorang imam dan guru yang mengajar agama di
Masjid Agung Bashrah pada waktu itu. Nama mu’tazilah diberikan pertama kali
pada Washil bin ‘Ata pada saat terjadi dialog tentang nasib orang mukmin yang
melakukan dosa besar, apakah masuk neraka atau tetap dalam surga.[17]
Golongan ini mempunyai lima ajaran, yang terkenal dengan
istilah lima prinsip (أصول الخمسة), yaitu :
a.
Tauhid (Keesaan Tuhan), yakni
pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, seperti yang telah digariskan
dalam kalimah tauhid.
b.
Al-‘Adlu (keadilan Tuhan),
yakni Allah wajib membalas orang mukmin yang taqwa dengan memasukkan mereka ke
dalam surga dan wajib memasukkan orang kafir ke dalam neraka.
c.
Al-Manzilah bain al-Manzilatain (suatu tempat antara dua tempat), yakni pelaku dosa besar bukan
orang mukmin yang mutlak dan juga bukan orang kafir yang mutlak.
d.
Al-Wa’du wa al-wa’id (janji
baik dan janji buruk), yakni Allah wajib memberikan pahala kepada orang mukmin
yang taat dan memberikan balasan siksa kepada orang mukmin yang durhaka.
Golongan mu’tazilah menolak adanya syafaat yang diberikan kepada orang mukmin
yang durhaka.
e.
Amar makruf dan nahi munkar,
yakni menyuruh yang makruf dan melarang yang mungkar.[18]
- Ahli Sunnah Dan Jama’ah
Adapun yang dimaksud dengan al-sunnah (السنة) ialah :
- Jalan. Artinya Ahlussunnah (أهل السنة ) adalah golongan yang mengikuti jalan para sahabat dan tabiin dalam masalah yang berkaitan dengan akidah, seperti bersikap “ menyerahkan makna atau maksud ayat-ayat mutasyabihat ( متشابهات ) kepada Allah tanpa menakwilkan kepada makna atau maksud lain dari pengertian lahirnya”.
- Hadis Nabi. Yakni golongan yang berpegang kepada hadis yang sahih.
Sedangkan yang dimaksud dengan jamaah
(جماعة
)yang dikaitkan dengan sunah adalah karena mereka dalam berdalil dan berhujah
mempergunakan Kitab Allah, Sunah Rasul, ijma (إجماع) dan qias (قياس). Mereka memandang empat landasan ini
sebagai asas syariat Islam.[19]
Sunnah dalam term ini berarti Hadis. Sebagai
diterangkan Ahmad Amin, Ahli Sunnah dan Jama’ah, berlainan dengan kaum
Mu’tazilah percaya pada dan menerima hadis-hadis sahih tanpa memilih dan tanpa
interpretasi. Dan Jama’ah berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang
diberikan Sadr al-Syari’ah al-Mahbubi yaitu ‘ammah al- muslimin
(umumnya umat Islam) dan al-jama’ah al kasir wa al sawad al-a’zam
(jumlah besar dan khalayak ramai).[20]
Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah mendapat pengaruh besar
dalam kalangan umat Islam setelah Abu Hasan al-Asy’ari bergabung
dengannya.Sebelum itu beliau adalah penganut Mazhab Mu’tazilah dan murid Abu
Ali al-Jabaiy, seorang pemuka Mu’tazilah yang terkenal pada waktu itu. Banyak
riwayat yang menyebutkan sebab keluarnya dari paham Mu’tazilah dan yang paling
masyhur adalah karena suatu diskusi yang terjadi dengan gurunya dan al-Asy’ari
tidak merasa puas dengan jawaban gurunya. Sejak saat itu al-Asy’ari menyatakan
keluar dari golongan Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru yang identik dengan
namanya yaitu al-Asy’ari yang sekarang kita kenal dengan aliran Ahlussunah wal
Jamaah.
Aliran Asy’ariyah cepat berkembang pada masa
pemerintahan Nizhom al-Mulk, sedangkan aliran mu’tazilah mengalami
kemunduran. Dengan demikian paham-paham Asy’ariyah mulai tersebar luas bukan di
daerah kekuasaan saljuk saja, tetapi di dunia Islam lainnya.
BAB III
KESIMPULAN
Teologi (Theos=Tuhan dan Logos=Ilmu) merupakan rangkaian
ilmu tentang Tuhan atau keTuhanan. Istilah teologi lebih sering dipakai oleh
penulis-penulis barat, oleh penulis-penulis Islam sendiri teologi mempunyai
kesamaan dengan ilmu Kalam. Awal mula lahirnya ilmu kalam menumbuhkan beberapa
aliran teologi sebagai akibat dari persoalan politik yang muncul pada saat
pengangkatan Ali bin Abi Thalib menggantikan Usman bin Affan sebagai khalifah.
Pada perkembangannya aliran-aliran teologi tersebut hanya beberapa yang
bertahan sampai sekarang seiring dengan perkembangan pemikirannya
masing-masing.
Aliran-aliran utama dalam teologi Islam (aliran kalam) di
antaranya adalah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariah
dan Maturidiyah (Ahli Sunnah wal Jama’ah) yang masing-masing mempunyai
beberapa kesamaan dan perbedaan terhadap pemikiran-pemikiran paham mereka.
[1]Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalan, (Bandung: Pustaka
Setia, 2006), hal. 14.
[2]A. Hanafi, Pengantar Teologi
Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna Baru,
2003), hal. 1.
[3]Muhammad Abduh, Risalah Tauhid,
(Terj), Firdaus A.N, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 36.
[4]Murthadha Murthahhari, Mengenal
Ilmu Kalam: Cara Menembus Kebuntutan Berfikir, (Jakarta: Zahra-IKAPI,
2002), hal. 25.
[5] Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-Aliran/Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press,
1986), hal. 6.
[6] http://
makalahmajannaii. blogspot. com/ 2012/05/ pengertian- studi- teologi- islam.
html, Diakses Tanggal. 16 September 2012.
[7] Ibid.
[8]Harun Nasution, Teologi Islam…, hal. 13.
[9]Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997 ), hal. 96.
[10]Harun Nasution, Teologi Islam…, hal. 24.
[11]Ahmad Amin, Fajrul Islam, (Kairo:
Maktabah An-Nahdah,1965), hal. 279.
[12]Harun Nasution, Teologi Islam…, hal. 26-28.
[13]Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu…, hal.21.
[14]Harun Nasution, Teologi Islam…, hal. 33.
[15]Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu…, hal. 23-24.
[17]Ibid., hal. 98-99.
[18]Ibid., hal. 101-109.
[19]Ibid., hal. 111.
[20]Harun Nasution, Teologi Islam…, hal. 65.
Thanks For Sharing, Interesting Article ^_^
ReplyDeleteVisit >>> Website