BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Allah Swt telah memerintahkan
kepada semua orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan yang mukallaf (orang
yang telah baligh, berakal) untuk mengerjakan shalat lima waktu sehari semalam
sebagai wujud nyata dari pengamalan rukun Islam yang kedua. Perintah ini
termaktub dalam firman Allah Swt, yaitu:
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan rukuklah beserta orang-orang
yang rukuk”. (Q.S. Al-Baqarah: 43)
Shalat bukan saja sebagai salah
satu unsur dari ajaran Islam, tetapi shalat juga mempunyai posisi pokok,
kedudukannya dapat dikatakan sebagai “tiang agama”. Karena shalat adalah tempat
bertumpu bagi amalan-amalan yang lain, dengan shalat amalan keagamaan seseorang
dapat dinilai baik atau buruk. Jika shalat seseorang itu rusak maka rusaklah
seluruh amalannya, juga sebaliknya jika shalatnya itu baik maka baik pula
seluruh amalannya.
Begitu pentingnya shalat,
sehingga perintah untuk mengerjakan shalat tidak terbatas pada saat badan sehat
saja, situasi aman dan saat mukim (tidak sedang bepergian), tetapi shalat juga
diperintahkan dalam setiap keadaan seorang muslim sakit, perang ataupun
bepergian. Dalam keadaan bagaimanapun seorang muslim tetap dituntut untuk
mengerjakan shalat. Hanya dalam keadaan tertentu saja, diberi
keringanan-keringanan dalam melaksanakannya (rukshah), seperti
diperbolehkannya meringkas (qashar), mengumpulkan (jama’) dan
keringanan-keringanan yang lain. Dan dalam kondisi-kondisi tertentu di mana
seseorang mengalami kesulitan, seperti karena sakit sehingga orang itu ia tidak
dapat berdiri, maka diperbolehkan baginya shalat dengan duduk. Jika tidak dapat
dengan duduk, ia boleh melakukannya sambil berbaring dan di waktu rukuk dan sujud
cukup dengan memberi isyarat, seperti menundukkan kepala, dengan kedipan mata.
Dasar hukum atas adanya rukhshah (keringanan) tersebut termaktub
firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 103, yaitu:
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan
shalat (mu), ingatlah Allah di
waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka
dirikanlah shalat (sebagaimana
biasa)”. Q.S. An-Nisa’: 103)
Seiring dengan perkembangan
zaman yang juga berpengaruh dalam problematika kehidupan manusia, maka perihal
shalat pun tidak lepas dari berbagai problematika, yaitu adanya dispensasi
shalat untuk orang yang sudah meninggal dunia, sementara semasa hidupnya sering
meninggalkan shalat baik disengaja ataupun tidak. Demikian juga bagi orang yang
masih mempunyai tanggungan hutang shalat, ada keringanan untuk mengqadha atau membayar
fidyah. Hal seperti ini juga terjadi dalam sebagian masyarakat Gampong Cot
Monraya Kecamatan Blang Bintang Kabupaten Aceh Besar, di mana ada sebagian
masyarakat yang membayarkan fidyah sebagai ganti dari hutang shalat yang masih
dimiliki oleh salah satu keluarganya (ayah/ibunya atau suami/isteri) yang telah
meninggal dunia.
Alasan konkrit sebagian
masyarakat dalam melakukan pembayar fidyah atas shalat, karena anggota keluarga
mereka yang telah meninggal dunia masih mempunyai tanggungan hutang shalat
semasa hidupnya. Sehingga si mayit mempunyai tanggungan meninggalkan shalat
sampai meninggal dunia dan hal ini dihitung sebagai hutang yang harus dilunasi.
Untuk menjaga kesempurnaan ibadah si mayit maka keluarga si mayit membayarkan
sejumlah fidyah sebagai ganti shalat yang ditinggalkannya dan diberikan kepada
fakir miskin.
Namun permasalahan membayar fidyah
sebagai pengganti shalat ini menjadi perdebatan, karena baik firman Allah Swt dalam
kitab suci al-Qur’an maupun hadits Rasulullah Saw tidak secara detail menjelaskan
tentang hal ini. Al-Qur’an sendiri hanya memberikan penjelasan mengenai
keringanan-keringanan shalat bagi orang yang mengalami kesulitan melakukan
shalat dikarenakan sakit. Sedangkan dalam hadits dijelaskan tentang adanya
penggantian shalat atau mengqadha shalat yang disebabkan karena lalai atau
tertidur.
Berkaitan dengan inilah yang
penulis akan bahas menjadi sebuah karya ilmiyah dalam bentuk skripsi tentang boleh
atau tidaknya membayarkan fidyah atas hutang shalat yang masih ditanggung oleh
salah satu keluarga yang telah meninggal dunia dengan studi kasus masyarakat Aceh
Besar, dengan judul: Persepsi Masyarakat
Aceh Besar Terhadap Fidyah Shalat.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di
atas, maka dapat penulis rumuskan beberapa
pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini, yaitu:
- Bagaimana kedudukan hukum
Islam terhadap membayar fidyah
shalat seperti yang di praktikkan oleh masyarakat Aceh Besar?
- Bagaimana tata cara membayar fidyah shalat
oleh masyarakat Aceh Besar?
- Bagaimana tanggapan masyarakat Aceh Besar terhadap fidyah shalat?
C. Penjelasan Istilah
Agar
terhindar dari kesalahan pembaca dalam memahami judul ini, penulis memberikan
penjelasan atas beberapa istilah yang terdapat dalam judul. Dengan penjelasan
ini diharapkan adanya kesamaan makna dan pemahaman antara penulis dan pembaca
dalam memahami topik penelitian. Istilah-istilah yang akan penulis jelaskan
adalah:
1. Persepsi
Menurut
pendapat Kartini Kartono persepsi adalah pengamatan secara global, belum
disertai kesadaran, sedang subyek dan obyeknya belum terbedakan satu dari yang
lainnya (baru ada proses memiliki tanggapan).[1] Sedangkan
menurut Bimo Walgito persepsi adalah pengorganisasian, penginterpretasian
terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan
aktivitas yang integrated dalam diri.[2] Dan
menurut pendapat Jalaluddin Rakhmat persepsi adalah pengalaman tentang obyek,
peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafsirkan pesan.[3]
Dengan
demikian dari pengertian-pengertian persepsi di satas dapat disimpulkan bahwa
persepsi adalah proses pengorganisasian dan proses
penafsiran/penginterpretasian seseorang terhadap stimulasi yang dipengaruhi
oleh berbagai pengetahuan, keinginan dan pengalaman yang relevan terhadap
stimulasi yang dipengaruhi perilaku manusia dalam menentukan tujuan hidupnya.
2. Masyarakat
Masyarakat
adalah sekumpulan orang yang hidup bersama pada suatu tempat atau wilayah dng
ikatan aturan tertentu.[4] Masyarakat
berasal dari bahasa Arab yaitu syaraka atau musyarak yang berarti ikut serta, berpartisipasi atau berkawan.
Sedangkan dalam bahasa inggris di pakai istilah society yang bisa dikatakan
bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu
hubungan social dan mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan identitas.[5] Pendapat
lain menjelaskan bahwa masyarakat adalah sebagai kombinasi sistem dan unit
sosial yang melakukan fungsi sosial utama sesuai dengan kebutuhan orang-orang
pada tingkatan lokal.[6] Sedangkan
masyarakat yang penulis maksudkan dalam pembahasan ini adalah sekelompok
manusia yang tergabung dari beberapa keluarga yang berdomisili disuatu tempat
dan memiliki suatu pandangan yang berbeda terhadap keadaan lingkungan
sekitarnya.
3. Fidyah
Shalat
Pengertian fidyah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah denda yang harus
dibayar oleh seseorang (biasanya dengan bahan makanan pokok seperti beras dan sebagainya)
karena meninggalkan shalat (atau puasa) yang disebabkan oleh penyakit menahun, penyakit tua, dan
sebagainya.[7] Fidyah ( فدية ) atau
fidaa ( فدى ) atau fida‘ ( فداء ) adalah satu makna, yang artinya, apabila dia
memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan menyelamatkannya.[8]
Jadi, fidyah artinya tebusan atau penebusan, yakni sesuatu yang dikerjakan atau
yang dikeluarkan sebagai penggati atau penebus dari suatu kesalahan. Adapun pengertian shalat menurut bahasa
adalah berdo'a, sedangkan menurut syari'at adalah sejumlah perkataan dan
perbuatan tertentu yang diawali dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam.[9]
Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah, dikenal dengan istilah “ith’am”, yang artinya memberi makan.
Adapun fidyah yang akan dibahas di sini ialah sesuatu yang harus diberikan
kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan
shalat dan orang yang meninggalkan shalat tersebut juga sudah meninggal dunia.
D. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Pada
hakikatnya setiap usaha yang dilakukan secara sengaja, pasti mempunyai maksud
dan tujuannya. Seandainya maksud dan tujuan dari usaha itu masih kabur maka
besar kemungkinan akan mempersukarkan pelaksanaannya. Untuk menghindari hal
yang demikian, maka perlu penulis menjelaskan tujuan penelitian ini dan
merupakan motivasi untuk membahasnya. Adapun tujuan tersebut yaitu:
1. Untuk
mengetahui kedudukan hukum Islam terhadap membayar fidyah shalat seperti yang di praktikkan oleh
masyarakat Aceh Besar
2. Untuk
mengetahui tata cara membayar
fidyah shalat oleh masyarakat Aceh Besar
3. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat Aceh Besar terhadap
fidyah shalat
Sedangkan
kegunaan atau manfaat yang diharapkan dari penyusunan karya ilmiyah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Diharapkan dapat berguna dalam menambah
wawasan dan hasanah keilmuan bagi penyusun khususnya dan bagi masyarakat Aceh
Besar pada umumnya.
2.
Diharapkan dapat memberikan sumbangan
pengetahuan kepada para praktisi hukum, khususnya masyarakat awam tentang hukum
pembayaran fidyah karena meninggalkan shalat.
E. Sistematika
Penulisan
Skripsi
ini tersusun dalam lima bab, masing-masing bab membahas persoalan
masing-masing, akan tetapi antara bab satu dengan bab berikutnya saling
berkaitan. Dapatlah dikatakan bab satu merupakan serangkaian dari bab-bab
berikutnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Pada bab ini
akan dijelaskan tentang latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan dan
kegunaan, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II Tinjauan Umum Tentang Shalat, Fidyah dan
Fidyah Shalat. Pada bab ini akan membahas teori tentang
shalat, bab ini meliputi pengertian shalat dan dasar hukum shalat, rukhsah
shalat bagi orang sakit dan hukum meninggalkan shalat. Juga membahas tentang fidyah
yang meliputi : pengertian fidyah dan dasar hukum fidyah, faktor penyebab
fidyah dan pendapat ulama. Selain itu secara khusus juga membahas tentang
fidyah shalat.
Bab III Metodologi Penelitian. Dalam bab ini penulis akan
membahas tentang pendekatan dan jenis penelitian, lokasi
dan subjek penelitian, metode dan teknik pengumpulan data, teknik pengolahan
dan analisis data serta pedoman penulisan skripsi.
Bab IV Pembayaran Fidyah Meninggalkan Shalat
di Aceh Besar. Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian, kedudukan
hukum Islam terhadap membayar
fidyah shalat, tanggapan masyarakat Aceh Besar terhadap fidyah
shalat, tata cara membayar fidyah shalat oleh masyarakat Aceh Besar dan pembahasan hasil penelitian.
Bab V merupakan kesimpulan
akhir bab dan beberapa catatan kritis berupa kesimpulan dan saran-saran mengenai
pembayaran fidyah shalat yang dipraktikkan ditengah-tengah masyarakat Aceh
khususnya di Aceh Besar.
[4]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal.
924.
[5]Rohadi
Abdul Fatah, Sosiologi Agama, (Jakarta: Kencana Mas Publishing House,
2004), hal. 23.
[6]F.
Ellen Netting, Dkk, Praktek Makro Pekerjaan Sosial, (Bandung: 2001), hal. 18.
[8]Abu Sulaiman Aris Sugiyantoro, http://almanhaj.or.id/content/3146/slash/0/fidyah-di-dalam-puasa/,
Diakses Tanggal 09 Februari 2015.
[9]Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah Khusus
Pria, (Jakarta: Almahiro, 2007), hal. 155.
No comments:
Post a Comment