Lapangan musyawarah (obyek) musyawarah (فِي
الْأَمْرِ) adalah segala masalah yang belum terdapat
petunjuk agama secara jelas dan pasti sekaligus berkaitan dengan
kehidupan duniawi. Sebagaimana telah disebutkan
pada pembahasan sebelumnya bahwa dalam
al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menggunakan akar kata musyawarah, untuk
memahami lapangan musyawarah.
Pertama, al-Baqarah (2:233). Ayat
ini sebagai petunjuk agar persoalan-persoalan rumah tangga dimusyawarahkan bersama antara suami dan istri. Ayat lainnya adalah
dalam surat as-Syura (42:38) yang menjelaskan tentang keadaan
kaum muslim Madinah yang
bersedia membela Nabi Muhammad
Saw sebagai hasil kesepakatan dari
proses musyawarah. Dalam ayat itu, musyawarah sudah menjadi tradisi masyarakat
dalam memutuskan segala perkara mereka. Dalam soal amr atau urusan, di
temukan adanya urusan yang hanya menjadi wewenang Allah Swt semata. Terlihat dalam jawaban Allah Swt
mengenai ruh (al-Isra’: 85), datangnya kiamat (an-Nazi’at: 42) demikian juga mengenai taubat (Ali-Imran: 128).[1]
Dengan
demikian, menurut Quraish Shihab bahwa
persoalan-persoalan yang telah ada petunjuknya dari Allah Swt secara tegas dan jelas. Maka persoalan
tersebut bukan lagi masuk dalam kategori yang di musyawarahkan. Musyawarah
hanya dilakukan dalam hal-hal yang belum ditentukan petunjuknya secara
pasti serta dalam
perkara-perkara kehidupan duniawi.[2]
Jika dikaitkan dengan cita-cita politik
yang telah dikemukakan, maka objek musyawarah mencakup masalah:
1. Pembinaan
sistem politik
2. Pengembangan
dan pemantapan agama Islam dalam
kehidupan masyarakat dan Negara
Terkait
dengan individu-individu yang bisa
dan layak diajak musyawarah sebagaimana yang tersirat dalam surat
asy-Syuara: 38, bahwa setiap
persoalan yang dipecahkan secara kolektif
kolegial akan memberikan manfaat dan kemaslahatan yang luas. Bahkan Islam
sebagai agama rahmatan lil alamin tidak
membatasi keterlibatan non Islam dalam menyumbangkan sarannya untuk memecahkan
masalah yang sifatnya bukan bagian pokok dari ajaran Islam. Namun demikian, dalam
konteks persoalan-persoalan yang berkaitan dengan urusan publik, apa yang
dilakukan Rasulullah Saw cukup beragam. Sekali waktu beliau pernah memilih
orang-orang tertentu yang dianggap cakap untuk menangani suatu permasalahan yang dihadapi. Terkadang melibatkan para pemuka masyarakat,
bahkan menanyakan kepada semua unsur yang terlibat di masyarakat.
Dalam bermusyawarah, setiap orang harus
menjunjung tinggi etika, menghargai pendapat orang lain, mengakui kelemahan
diri sendiri dan mengakui kelebihan orang lain. Di samping itu yang paling
penting, peserta musyawarah harus mampu menahan diri dari ingin menang sendiri.
Sebab dalam musyawarah tidak ada yang kalah dan menang. Kemenangan akan diraih
ketika keputusan terbaik telah dihasilkan. Karena itu, hendaknya setiap
pimpinan senantiasa menjadikan musyawarah sebagai forum untuk memperjuangkan
nilai-nilai agama demi kemaslahatan bersama.[4]
Ulil amri merupakan orang yang diperintahkan untuk ditaati. Kata Amr di sini berkaitan
dengan Amr yang disebutkan dalam al-Qur’an surat as-Syura
ayat 38 (persoalan atau urusan mereka, merekalah yang memusyawarahkan),
tentunya tidak mudah melibatkan seluruh anggota masyarakat dalam
musyawarah itu, tetapi keterlibatan mereka dapat diwujudkan atau
dihadirkan melalui orang-orang tertentu yang mewakili mereka.
Bertolak dari eksistensi musyawarah
sebagai metode pembinaan hukum dan dari kenyataan sejarah, maka dapat dikatakan
bahwa perintah tersebut (musyawarah) juga ditujukan kepada ulil amri, yang mana mereka tidak hanya wajib bermusyawarah tetapi
juga menyelesaikan perselisihan.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan
musyawarah mengandung hikmah agar pemimpin umat Islam, lebih-lebih ulil amri, tidak boleh meninggalkan
musyawarah, karena di dalam musyawarah mereka dapat memperoleh pandangan dan
keinginan dari masyarakat. Pada sisi lain, musyawarah mangandung makna
penghargaan tokoh- tokoh dan pemimpin masyarakat sehingga mereka dapat
berpartisipasi dalam urusan dan kepentingan bersama.
Esensi musyawarah merupakan suatu pemberian kesempatan kepada setiap anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan hak untuk berpartisipasi
dalam pembuatan keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturan hukum ataupun kebijaksanaan
politik. Ini bisa dipahami dari ungkapan yang digunakan yakni syawir,
bentuk imperatif dari kata kerja syâwara-yusyâwiru, yang
berimplikasi agar pemimpin masyarakat meminta pendapat dari mereka yang
mempunyai kepentingan pada masalah yang dihadapi. Apabila pendapat yang
berkembang dalam musyawarah itu sepakat, maka keputusan yang diambil oleh
pimpinan adalah pendapat yang disepakati.
Kandungan lain dari esensi
musyawarah berkenaan dengan moral
kepimimpinan yang diperlukan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi umat
dan tokoh-tokohnya. Sifat-sifat yang dimaksud adalah lemah lembut dan tidak
menyakiti hati orang lain dengan perkataan atau perbuatan, serta memberi
kemudahan dan ketentraman kepada masyarakat. Sifat-sifat ini merupakan faktor
subjektif yang dimiliki seorang pemimpin yang dapat mendorong orang lain ikut
berpartisipasi dalam musyawarah.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa
musyawarah merupakan suatu perkara yang teramat penting dalam kehidupan bersama. Meskipun
begitu, yang terpenting
adalah metode pengambilan keputusan dalam hal terjadinya perbedaan dan
perselisihan pendapat.
Pada sisi lain kenyataan menunjukkan pula
bahwa musyawarah tidak hanya dipergunakan sejalan dengan ajaran agama, bahkan
sering digunakan untuk kepentingan penguasa untuk kejayaan dan kelestarian
kekuasaan mereka. Musyawarah seperti ini telah menyimpang dari
tujuan yang hendak dicapai, yakni kebenaran atau pendapat yang lebih dekat
kepada kebenaran dan kebaikan bersama. Ini berarti diperlukan sebuah prinsip
yang dapat menghindarkan penggunaan musyawarah sebagai panggung legalisasi
kepentingan sepihak.
Ketentuan
dan kewajiban bermusyawarah di atas berimplikasi
pada perlunya pelembagaan musyawarah. Hal ini terlihat dalam sejarah, baik pada
masa Rasulullah Saw maupun khulafaurrasyidin.
Meskipun tidak disebutkan secara resmi, namun keberadaan tokoh sahabat yang
mendampingi Rasulullah Saw dan para khalifah
sebagai mitra tetap atau tidak tetap yang dimintai pendapatnya merupakan
indikator pelembagaan musyawarah dalam sistem politik.[5]
Persoalan yang dimusyawarahkan barangkali
merupakan urusan pribadi, namun boleh jadi urusan masyarakat umum. berkaitan
dengan ayat-ayat musyawarah Nabi Saw diperintahkan bermusyawarah dengan “mereka”.
Tentu saja mereka yang dipimpin oleh Nabi Muhammad Saw, yakni yang disebut umat atau anggota masyarakat.
Sedangkan ayat lain menyatakan وامرهم شورى
بينهم ini
berarti yang dimusyawarah adalah persoalan yang khusus berkaitan dengan
masyarakat sebagai unit. Tetapi sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad
Saw dan para sahabanya, tidak tertutup kemungkinan memperluas jangkauan
pengertiannya sehingga mencakup persoalan individu sebagai anggota masyarakat.
Dalam konteks memusyawarahkan persoalan-persoalan
masyarakat, praktik yang dilakukan Nabi Muhammad Saw cukup beragam. Terkadang beliau memilih
orang tertentu yang dianggap cakap untuk bidang yang dimusyawarahkan, terkadang
juga melibatkan pemuka-pemuka masyarakat, bahkan menanyakan kepada
semua yang terlibat dalam masalah yang dihadapi.
Sebagian orang-orang yang mempunyai
pengaruh di tengah-tengah masyarakat,
sehingga kecenderungan mereka kepada satu pendapat atau keputusan mereka dapat
mengantarkan masyarakat pada hal yang sama, sebagai orang yang menjadi rujukan masyarakat untuk
kebutuhan dan kepentingan umum mereka, yang mencakup pemimpin formal maupun non formal, sipil maupun
militer serta kelompok ahli
dan para teknokrat dalam berbagai bidang dan disiplin ilmu.[6]
Dengan demikian, dapat diketahui
bahwa ahl al-Syura merupakan istilah umum yang kepada mereka
para penguasa dapat meminta pertimbangan dan saran. Jika demikian, tidak perlu ditetapkan
secara rinci dan ketat sifat-sifat mereka, tergantung pada persolan apa yang sedang dimusyawarahkan.
[1]M. Quraish
Shihab, Wawasan Al- Qur’an,
(Bandung: Mizan, 1996), hal. 468.
[2]M. Quraish Shihab, Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 244-247.
[3]http://
berandaintelektual. blogspo. com/ 2013/ 04/
musyawarah-dalam-perspektif-al-quran. html. Diakses Tanggal 09 Juli 2015.
[4]http://muhammadiyahsurabaya.blogspot.com/2011/02/musyawarah-dalam-perspektif-al-quran.html,
Diakses pada 10 November 2012.
[5]Lajanah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Etika
Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an Tematik),
(Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI: 2009), hal. 223-225
[6]M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an…, hal. 471-473.
No comments:
Post a Comment