Rasulullah Saw tidak meninggalkan pesan kepada seorang juga dari
sahabatnya tentang siapa yang menjadi pemimpin atau memimpin kaum Muslimin
sepeninggalanya. Beliau membiarkan masalah kepemimpinan kaum Muslimin
berdasarkan hasil musyawarah di antara mereka sendiri. Ketika berita wafat Rasulullah tersiar, berkumpulah
golongan Muhajirin dan pihak Anshar di rumah Bani Sa’adah di Madinah. Mereka
bermaksud hendak membai’at seseoarang dari golongan mereka.
Proses pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq, sebagai
khalifah berlangsung dramatis. Setelah Rasulullah SAW wafat, kaum muslim di
Madinah, berusaha utuk mencari penggantinya. Ketika kaum muhajirin dan ansar
berkumpul di Saqifah bani Sa’idah terjadi perdebatan tentang calon khalifah.
Masing-masing mengajukan argumentasinya tentang siapa yang berhak sebagai
khalifah. Kaum anshar mencalonkan Said bin Ubaidillah, seorang pemuka dari suku
al-Khajraj sebagai pengganti nabi. Dalam kondisi tersebut Abu Bakar,
Umar, dan Abu Ubaidah bergegas menyampaikan pendirian kaum muhajirin, yaitu
agar menetapkan pemimpin dari kalangan Quraisy. Akan tetapi hal tersebut
mendapat perlawanan keras dari al-Hubab bin munzir (kaum Anshar). Di tengah
perdebatan tersebut Abu Bakar mengajukan dua calon khalifah yaitu Abu Ubaidah
bin Zahrah dan Umar bin Khattab, namun kedua tokoh ini menolak usulan tersebut.[1]
Pihak Muhajirin menghendaki dari golongan
Muhajirin dan pihak Anshar menghendaki pihaknya yang memimpin. Situasi yang
memanas inipun dapat diatasi oleh Abu Bakar, dengan cara Abu Bakar menyodorkan
dua orang calon khalifah untuk memilihnya yaitu Umar bin Khattab atau Abu Ubaidah
bin Jarrah. Namun keduanya justru menjabat tangan Abu Bakar dan mengucapkan
baiat memilih Abu Bakar, seraya umar berkata kepadanya: bukankah Nabi
telah menyuruhmu wahai Abu Bakar, agar mengimami kaum Muslimin dalam sholat? Engkaulah
Khalifah pengganti dan penerus beliau. Setelah itu kaum Muhajirin dan Anshar
berturut-turut membai’atnya. Bai’at As Saqifah ini dinamakan bai’at Al
Kahshshah, karena bai’at tersebut dilakukan sekelompok kecil dari Muslimin,
yakni mereka yang hadir di As Saqifah saja. Pada keesokan harinya duduklah Abu
Bakar di atas mimbar Masjid Nabawi dan sejumlah besar kaum Muslimin atau secara
umum kaum muslimin membai’atnya.[2]
Terpilihnya Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah dengan berbagai alasan
yaitu sebagai beriktut:
- Abu Bakar adalah suku Quraisy dan ahli nasab, yang merupakan keahlian yang sangat berguna pada masa itu.[3]
- Abu Bakar adalah sahabat Nabi yang pertama yang pertama yang sangat memahami jalan pikiran beliau, ia satu-satunya sahabat yang menemani Nabi Saw pada saat hijrah dari Makkah ke Madinah dan ketika bersembunyi di Gua Tsur, ia yang ditunjuk oleh Rasulullah Saw untuk mengimami shalat pada saat beliau sedang uzur, dan ia keturunan bangsawan, cerdas, dan berakhlak mulia.
- Beliau sangat dekat dengan Rasulullah SAW, baik dalam bidang agama maupun kekeluargaan. Beliau seorang dermawan yang mendermakan hartanya untuk kepentingan Islam.[4]
Hal ini menarik dari Abu Bakar, bahwa
pidato inaugurasi yang diucapkan sehari setelah pengangkatannya, menegaskan
totalitas kepribadian dan komitmen Abu Bakar terhadap nilai-nilai Islam dan
strategi meraih keberhasilan tertinggi bagi umat sepeninggal Rasulullah.
Dibawah ini adalah sebagaian kutipan dari pidato Abu Bakar yang terkenal itu :
Wahai manusia! Aku telah diangkat untuk
mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu.
Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutilah) aku,
tetapi jika berlaku salah, maka luruskanlah! Orang yang kamu anggap kuat, aku
pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak dari padanya. Sedangkan orang yang
kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya
kepadanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, namun bilamana aku tiada mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidaklah
perlu menaatiku.[5]
Dengan
demikia, terpilihnya Abu Bakar Ash-Shiddiq
telah membangun kembali kesadaran
dan tekad umat untuk bersatu melanjutkan tugas Nabi Muhamamd SAW. Proses
pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq, sebagai khalifah pertama, menunjukkan
betapa seriusnya masalah suksesi kepemimpinan dalam masyarakat Islam pada saat
itu, dikarenakan suku-suku Arab kepemimpinan mereka didasarkan pada sistem
senioritas dan prestasi, tidak diwariskan secara turun temurun.
[1]http://www.referensimakalah.com/2012/07/sejarah-pengangkatan-abu-bakar-sebagai-khalifah.
html, Diakses Tanggal 13 Agustus 2016.
[2]Tantang Ibrahim, Sejarah
Kebudayaan Isam, (Bandung:
Armico, 2009), hal. 57-58.
[3]Shaban, Sejarah Islam (600-750): Penafsiran
Baru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 25.
[4]Moh Fachruddin Fuad, Perkembangan
Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 77.
[5]Samsul Munir Amin, Sejarah
Peradapan Islam, (Jakarta:
Amzah, 2013), hal. 93-94.
No comments:
Post a Comment