1.
Pengangkatan Abu Bakar Sebagai Khalifah
Proses pengangkatan Abu Bakar menjadi Khalifah dilakukan didalam satu musyawarah
atau pertemuan di Saqifah Bani Saidah (sebuah Balairung di kota Madinah).
Pertemuan tersebut diadakan oleh orang-orang Anshar dalam rangka memilih
seorang Khalifah sebagai pengganti Rasulullah SAW. Hal itu mereka lakukan
dikarenakan saat itu orang-orang Anshar dan muslimin lainnya berkeyakinan, bahwa
Rasulullah SAW tidak pernah menunjuk seseorang sebagai penggantinya.
Pada awalnya kaum Anshar akan mengangkat seseorang dari mereka, yaitu
Saad bin Ubadah untuk menduduki jabatan Khalifah. Namun setelah beberapa tokoh
Muhajirin menyusul datang dan ikut bermusyawarah, maka di antara orang-orang
Anshar ada yang bersikap agak lunak dan menyarankan agar dari Anshar diangkat
seorang Amir dan dari Muhajirin diangkat seorang Amir. Tapi, setelah Abu Bakar
berpidato dan menerangkan keutamaan Muhajirin untuk menduduki jabatan Khalifah,
maka akhirnya orang-orang Anshar menyadari hal tersebut dan menerima
saran-saran dari Abu Bakar. Selanjutnya Abu Bakar mengakhiri pidatonya dengan
sarannya, agar hadirin mengangkat salah satu dari sesepuh Muhajirin yang hadir
di pertemuan tersebut, yaitu Umar atau Abu Ubaidah Ibnul Jarrah.
Mendengar saran yang penuh dengan keikhlasan dari Abu Bakar tersebut,
Umar langsung menyahut: “Tidak, tidak mungkin saya diangkat sebagai pemimpin
satu kaum sedang dalam kaum itu ada engkau.” Yang dimaksud oleh Umar tersebut
adalah tidak ada orang yang lebih pantas untuk menduduki jabatan khalifah,
melebihi Abu Bakar. Memang keutamaan Abu Bakar bukan rahasia lagi bagi para
sahabat. Demikian di antara kata-kata Umar, selanjutnya seraya mengulurkan
tangannya beliau berkata kepada Abu Bakar : “Ulurkan tanganmu, untuk aku
bai’at.”
Setelah Umar membaiat Abu Bakar, hadirinpun segera berebut membaiat Abu
Bakar sebagai khalifah. Besoknya dimasjid Nabawi diadakan pembai’atan umum dan
berjalan dengan baik dan lancar, dan saat itu tidak ada satu orangpun yang
protes atau tidak menyetujui pembai’atan tersebut. Hal mana karena semua
sepakat, agar kekosongan pimpinan harus segera diisi. Bahkan pemakaman Nabi
terpaksa diundur, karena menunggu terpilihnya Khalifah.[1]
Dengan terpilihnya Abu Bakar secara
aklamasi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang baru, maka
persoalan krisis kepemimpinan sudah selesai. Namun tugas baru dan amat sulit
telah menantang di hadapannya. Selesai terpilih sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan, Abu Bakar berpidato sebentar menguraikan apa yang akan
dilakukannya kelak.
2.
Awal-awal Abu Bakar Sebagai Khalifah
Menurut Khalid Muhammad Khalid, ketika Abu Bakar telah terpilih sebagai khalifah
beliau merasa malu dan takut menuju ke mimbar Rasulullah, mimbar yang biasa
digunakan oleh Rasulullah SAW untuk menyerukan agama kebenaran. Abu Bakar
setelah menaiki dua tingkat beliaupun duduk, beliau tidak mau menaiki semua
anak tangga dalam mimbar tersebut karena beliau tidak mau duduk di mana
biasanya Rasulullah SAW duduk. Dan setelah berada di atas mimbar, beliau
menyeru kepada kaum muslimin “wahai semua yang hadir, Aku ditunjuk untuk
memimpin kalian padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian, jika aku
berlaku baik, bantulah aku dan jika aku berlaku buruk, luruskanlah aku.
Ketahuilah! Orang lemah di tengah-tengah kalian adalah orang kuat bagiku,
hingga aku ambilkan haknya. Ketahuilah! Orang kuat di tengah-tengah kalian
adalah orang lemah bagiku, hingga aku ambilkan hak orang lain darinya. Taatilah
aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan jika aku durhaka, kalian
tidak wajib taat padaku!”
Adapun yang membuat situasi ini lebih elegan adalah penyampaian pidato
tidak melenceng sesaatpun dan sedikitpun dari apa yang ia sampaikan. Dengan
kata-kata yang agung ini, Abu Bakar meletakkan serangkaian tanggung jawab
seorang pemimpin terpercaya dalam lingkup tanggung jawab dan kejujuran,
sekaligus mengungkap esensi setiap kekuasaan yang baik.[2]
Pidato tersebut menggambarkan kepribadian sosok
Khalifah Abu Bakar dan kejujuran serta ketulusannya sebagai seorang pemimpin
umat yang sangat demokratis. Beliau merasa bahwa tugas yang diembannya tidak
akan berjalan dengan baik kalau tidak mendapatkan dukungan dan kerja sama dari
para sahabatnya. Karena itu, ia menginginkan agar masyarakat ikut serta
mengontrol perjalanan kepemimpinannya agar pelaksanaan pemerintahan berjalan
dengan baik. Itulah tipe seorang pemimpin yang sangat demokratis, la tidak gila
jabatan dan juga tidak gila kedudukan, jabatan dan harta.
Dari Atha’ bin Sa’ib, ia berkata, “Ketika Abu Bakar diangkat menjadi
khalifah, esok harinya ia berangkat ke pasar sambil memikul kain di pundaknya
untuk berdagang. Lantas ia berjumpa dengan Umar bin Abu Ubaidah, keduanya
bertanya, ‘Mau kemana engkau wahai khalifah Rasulullah? ‘Ke pasar,’ jawab Abu
Bakar. Keduanya bertanya lagi,’ Apa yang engkau kerjakan, padahal engkau telah
menjadi pemimpin kaum muslimin? Abu Bakar menjawab ‘Dari mana aku dapat memberi
makan keluargaku? ‘Keduanya berkata lagi, ‘Pulanglah, nanti kami akan
menetapkan jatah untukmu”.[3]
Dari hal itu dapat dimengerti, bawah ketika Abu Bakar diangkat menjadi seorang
khalifah, sebagai pimpinan kaum muslimin sebagai pengganti Rasulullah SAW,
beliau tidak meminta gaji sedikitpun.
3.
Penaklukan-penaklukan pada Masa Abu Bakar
Pada awal tahun ke-13, Khalifah Abu Bakar telah memparesiapkan empat
angkatan bersenjata. Masing-masing dipimpin oleh seorang panglima dan
dikirimkan ke wilayah-wilayah tertentu dari negeri Syam. Angkatan bersenjata
ini ialah:
a.
Pasukan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menaklukkan
Homs
b.
Pasukan Yazid bin Abu Sufyan untuk menaklukkan Damaskus
c.
Pasukan Syurahbil bin Hasanah untuk menaklukan lembah
Yordania
d.
Pasukan Amru bin Ash untuk menaklukan Palestina.[4]
Abu Bakar juga mempersiapkan pasukan Khalid bin Sa’id sebagai pasukan
cadangan. Seluruh pasukan berangkat untuk menghadapi pasukan Romawi di tanah
Syam. Sementara itu, pasukan Romawi menyusun satu strategi berupa diversifikasi
tentara ke dalam empat divisi besar untuk menghadapi empat divisi pasukan
muslimin. Tentu saja hal ini menghambat pergerakan pasukan Islam, karena jumlah
pasukan Romawi lebih besar hingga mencapa 240.000 prajurit, sementara pasukan
muslimin hanya 27.000 pejuang.
Berbagai pertempuran berlangsung antara kaum muslimin dan romawi di
berbagai front, di antaranya yang paling terkenal adalah Perang Yarmuk yang
terjadi pada bulan Jumadal Akhirah tahun ke-13 H. Akhirnya Allah Swt menetapkan
kemenangan bagi kaum muslimin dengan bergugurannya prajurit Romawi di tanah
peperangan. Gugurnya beberapa tentara yang dibelenggu dengan rantai sudah cukup
untuk menjatuhkan seluruh pasukan dan situasi berakhir dengan kekalahan telak
bagi pasukan Romawi dan kemenangan bagi kaum muslimin di bawah pimpinan Khalid
bin Walid. Lebih dari 100.000 prajurit Romawi tewas, sementara pihak muslimin
hanya 3000 prajurit yang gugur.[5]
4.
Penghimpunan Al-Qur’an Al-Karim
Sejarah penulisan dan penghimpunan al-Qur’an dapat dibagi secara metodologi
sejarah menjadi tiga periode. Yaitu pereode pertama pada masa Nabi SAW, pereode
kedua pada masa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan pereode ketiga pada masa Utsman bin
Affan, Periode kedua
terjadi pada masa kekhalifahan Abu Bakar, yaitu tahun ke-12 H. Yang melatar
belakangi prakarsa pada peiode kedua ini adalah terbunuhnya sejumlah qurra’
dalam peperangan Yamamah. Di antara mereka terdapat nama Slaim Maula Abi
Hudzaifah, salah seorang yang dinyatakan Nabi boleh diambil ilmu-ilmu al-Qur’an
darinya.
Abu Bakar memerintahkan untuk mengumpulkan al-Qur’an. Dalam shahih
Bukhari diriwayatkan bahwa setelah perang Yamamah, Umar bin Khaththab pernah
mengisyaratkan kepada Abu Bakar agar melakukan penghimpunan al-Qur’an. Abu
Bakar sementara waktu belum melakukannya, namun Umar terus mendesaknya berulang
kali, hingga Allah SWT melapangkan dada Abu Bakar. Beliaupun memanggil
Zaid bin Tsabit, kedia Zaid datang di tempat itu hadir pula Umar, Abu Bakar
mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya engkau adalah pemuda yang cerdik, kami tidak
pernah menuduhmu sesuatupun dan engkau dahulu penulis wahyu Rasulullah, maka
periksalah al-Qur’an yang ada sekarang ini, dan himpunkanlah”. Zaid
menceritakan dirinya: “Kemudian saya memeriksa al-Qur’an dan mengumpulkannya
dari pelepah-pelepah kurma, pecahan-pecahan tulang dan hafalan-hafalan orang
lain”. Setelah terkumpul, al-Qur’an tersebut dipegang Abu Bakar sampai beliau
wafat. Kemudian dipegang oleh Umar bin Khaththab dan dilanjutkan oleh Hafshah
binti Umar.
Kaum muslimin sepakat atas hasil usaha Abu Bakar ini, dan
menggolongkannya termasuk amal kebajikan beliau. Ali bin Abi Thalib mengatakan:
“Orang yang terbanyak kebajikannya terhadap mushaf adalah Abu Bakar, beliaulah
yang pertama menghimpun Kitab Allah SWT”.[6] Seorang
orientalis Inggris (William Muir) berkata “Sebenarnya di dunia ini tidak ada
satu pun kitab selain al-Qur’an yang selama dua belas abad lengkap dengan
teksnya yang mencapai tingkat kejernihan dan penuh ketelitian”.[7]
Dapat dipahami bahwa selama peperangan riddah, banyak dari penghafal
al-Qur’an yang gugur. Karena orang-orang ini merupakan penghafal bagian-bagian
al-Qur’an, Umar cemas jika bertambah lagi angka kematian, yang berarti beberapa
bagian lagi dari al-Qur’an akan musnah. Karena itu menasehati Abu Bakar untuk
membuat suatu “kumpulan” al-Qur’an kemudian ia memberikan persetujuan dan
menugaskan Zaid ibn Tsabit karena beliau paling bagus hafalannya. Zaid sangat
berhati-hati dalam menghimpun ayat-ayat al-Qur’an, sekalipun dia sendiri hafal
seluruh al-Qur’an. Zaid tidak mau menerima tulisan ayat-ayat al-Qur’an, kecuali
kalau disaksikan dengan dua orang saksi yang adil bahwa ayat itu benar-benar
ditulis di hadapan nabi atas perintahnya atau petunjuknya. Tugas menghimpun ayat-ayat al-Qur’an itu dapat
dilaksanakan oleh Zaid dalam waktu kurang lebih satu tahun yakni di antara
sesudah terjadinya perang Yamamah dan sebelum wafat Abu Bakar Ash-Shiddiq. Para
ahli sejarah menyebutkan bahwa pengupulan al-Qur’an ini termasuk salah satu
jasa besar dari Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Dengan demikian, maka pemerintahan Abu Bakar
Ash-Shiddiq mempunyai jati diri sendiri serta pembentukannya yang sempurna,
mencakup kebesaran jiwa yang sungguh luar biasa, bahkan sangat menakjubkan.
Kita sudah melihat betapa tingginya kesadaran Abu Bakar Ash-Shiddiq terhadap
prinsip-prinsip yang berpedoman pada al-Qur'an sehingga ia dapat memastikan
untuk menanamkan pada dirinya batas antara kebenaran untuk kebenaran dengan
kebohongan untuk kebenaran. Prinsip-prinsip dalam Islam, dilukiskan Abu Bakar
Ash-Shiddiq dengan mendorong kaum Muslimin memerangi orang-orang yang ingin
menghancurkan Islam seperti halnya orang-orang murtad, orang-orang yang enggan
membayar zakat, dan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai nabi. Oleh karena
itu Abu Bakar Ash-Shiddiq melaksanakan perang Riddah untuk menyelamatkan Islam
dari kehancuran. Perjuangan Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak hanya sampai di situ,
ia juga melakukan berbagai peperangan demi kemajuan Islam. Bahkan ia tidak
hanya mengorbankan jiwanya, hartanyapun ia korbankan demi Islam. Sampai pada
akhir menjelang wafatnya pun peperangan belum terselesaikan, akan tetapi ia
sempat memilih Umar bin Khatab sebagai penggantinya dengan meminta persetujuan
dari kalangan para sahabat.
[1]http://www.albayyinat.net/bakrt.html, Diakses Tanggal
10 Juni 2016.
[3]Shalahuddin Mahmud As-Sa’id, 10 Sahabat Yang Dijamin Surga, (Solo:
Al-Qowam, 2012), hal. 46.
[4]http://artikelberserakan.
blogspot. co.id/ 2015/04/ normal-0-false-false-false-en-us-x-none. html,
Diakses Tanggal 10 Juni 2016.
[5]Shalahuddin
Mahmud As-Sa’id, 10 Sahabat…, hal. 63.
[6] http://ahlulhadist. wordpress. com/2007/10/16/
penulisan- dan- penghimpunan- al-quran/, Diakses Tanggal 10 Juni 2016.
[7]Shalahuddin Mahmud As-Sa’id, 10 Sahabat…, hal. 68.
No comments:
Post a Comment