Tuesday, October 17, 2017

Konsep Pendidikan Islam A. Hasan Bandung

A.    Biografi A. Hassan Bandung
Sekitar abad ke 5-6 M tahun yang lalu ada sekelompok penduduk Kairo yang berpengaruh, namun karena merasa kurang senang dengan rezim rajanya, akhirnya, mereka hijrah meninggalkan Mesir menuju India dengan kapal layar yang terbuat dari kayu. Setibanya di India, mereka digelar “Maricar” yang berarti kapal layar. Mereka bermukim di Kail Patnam[1] dengan berdagang. Melihat rupa dan bentuknya kemungkinan mereka berasal dari Parsi. Di antara nenek moyangnya, selain pedagang, juga terdapat ulama pujangga. Di sinilah asal keturunan nenek moyang A. Hassan.[2]
Ahmad Hassan lahir di Singapura pada tahun 1887. Ayahnya bernama Sinna Vappu Maricar[3] berasal dari India yang kemudian dikenal dengan nama Islamnya Ahmad. Ibunya bernama Muznah berasal dari Palekat, Madras.[4] Keduanya menikah di Surabaya kemudian menetap di Singapura.[5] Ahmad Hassan merupakan nama yang dipengaruhi oleh budaya Singapura. Nama aslinya adalah Hassan bin Ahmad, namun karena mengikuti kelaziman budaya Melayu yang meletakkan nama keluarga atau orang tua di depan nama asli, akhirnya nama Hassan bin Ahmad berubah menjadi Ahmad Hassan.
Ahmad menikahi Muznah di Surabaya ketika ia berdagang di kota tersebut, kemudian menetap di Singapura. Ahmad adalah seorang pengarang dalam bahasa Tamil dan pemimpin surat kabar “Nurul Islam” di Singapura. Ia suka berdebat dalam masalah bahasa dan agama serta mengadakan tanya jawab dalam surat kabarnya.[6]
A. Hassan menikah pada tahun 1911 M. dengan Maryam peranakan Melayu-Tamil di Singapura. Dari pernikahannya ini ia dikaruniai tujuh orang putra-putri; (1) Abdul Qadir,[7] (2) Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6) Muhammad Sa‘id, (7) Manshur.[8]
B.     Riwayat Pendidikan A. Hassan Bandung
A. Hassan belajar al-Qur’an pada umur sekitar tujuh tahun, kemudian masuk di Sekolah Melayu. Ayahnya sangat menekankan agar Hassan mendalami bahasa Arab, Inggris, Melayu dan Tamil di samping pelajaran-pelajaran lain.[9]
Guru-gurunya antara lain adalah H. Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib di Minto Road. Walaupun kedua gurunya ini bukanlah seorang alim besar namun untuk ukuran daerahnya keduanya cukup disegani dan dihormati. Kepada Muhammad Thaib, Hassan belajar nahwu dan sharaf, namun kira-kira empat bulan kemudian, ia merasa tidak memiliki kemajuan, karena hanya menghafal saja tanpa dimengerti, semangat belajarnya pun menurun. Dalam keadaan seperti itu, untunglah gurunya naik haji. Akhirnya, A. Hassan beralih belajar bahasa Arab kepada Said Abdullah al-Musawi sekitar kurang lebih tiga tahun. Selain itu, A. Hassan belajar kepada Syeikh Hassan al-Malabary dan Syeikh Ibrahim al-Hind. Semuanya ditempuh hingga kira-kira tahun 1910 M., ketika ia berumur 23 tahun. Walaupun pada masa ini A. Hassan belum memiliki pengetahuan yang luas tentang tafsīr, fiqh, farā‘id, manthiq, dan ilmu-ilmu lainnya, namun dengan ilmu alat yang ia miliki itulah yang kemudian mengantarkannya memperdalam pengetahuan dan pemahaman terhadap agama secara otodidak.[10]
Sekitar tahun 1912 M.-1913 M., Hassan bekerja sebagai dewan redaksi “Utusan Melayu” yang diterbitkan oleh Singapore Press, dalam surat kabar ini, Hassan banyak menulis tentang masalah agama seputar nasehat-nasehat, anjuran berbuat baik dan mencegah kejahatan yang kebanyakannya dalam bentuk syair. Ia pernah menulis, mengecam qadhi yang memeriksa perkara dalam ruang sidang dengan mengumpulkan tempat duduk antara pria dan wanita (ikhtilāth). Bahkan pernah dalam salah satu pidatonya mengecam kemunduran ummat Islam, sehingga karena sebab itu ia tidak diperkenankan menyampaikan pidato lagi.
A. Hassan sangat dikenal di Indonesia, Selain dikenal sebagai ulama terkemuka di Indonesia, nama A Hassan juga tersohor sampai ke Malaysia dan Singapura, karena nama besar Pesantren Persis yang didirikannya terkenal sampai ke sana. Bahkan buku-buku agama yang ditulisnya kerap jadi rujukan di negeri jiran tersebut. A Hassan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat tajam dan kritis terutama dalam cara memahami nas (teks) Al-qur’an maupun Hadits yang cenderung literalis. Walaupun dikenal sebagai pemuka dan guru besar Persatuan Islam (PERSIS) pendapat dan sikapnya terhadap takhayul, bid’ah dan churafat (TBC) bisa dikatakan sama persis dengan Muhammadiyah. Oleh karena itu, ada pula sebagian besar warga persyarikatan Muhammadiyah mengutip pendapat dari A Hassan, karena dianggap jelas dan tidak bertele-tele.
Keahliannya dalam bidang Hadits, Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqih, Ilmu Kalam dan Mantiq, menjadikannya sebagai rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam dalam berbagai masalah. Koleksi bukunya sangat banyak yang selalu dibaca, diteliti, bahkan mungkin dihafal olehnya.
A Hassan juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai prinsip berdiri tegak di atas kaki sendiri yang merupakan hasil pendidikan langsung dari orang tuanya. Artinya tidak pernah mengharapkan bantuan orang lain dan selalu berusaha dengan tangan sendiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini sebagaimana terlihat dimana pada tahun 1921 M., A. Hassan berangkat ke Surabaya (Jawa Timur) untuk berdagang dan mengurus toko milik Abdul Lathif pamannya, namun sebelum A. Hassan berangkat, pamannya berpesan agar sesampainya nanti di Surabaya ia tidak bergaul dengan seseorang yang bernama Faqih Hasyim[11] karena dianggap sesat dan berfaham Wahhabi.[12]
Berawal dari pertemuannya dengan Abdul Wahhab Hasbullah[13] yang kemudian mengajukan pertanyaan kepadanya mengenai hukum membaca ushalliy[14] sebelum takbirat al-ihrām. Sesuai dengan pengetahuannya ketika itu, A. Hassan menjawab bahwa hukumnya “sunnah”. Ketika ditanyakan lagi mengenai alasan hukumnya, ia menjawab bahwa soal alasannya dengan mudah dapat diperoleh dari kitab manapun juga. Namun dari pertemuan ini, ia heran, mengapa soal semudah itu yang dipertanyakan kepadanya. Setelah menceritakan perbedaan-perbedaan antara Kaum Tua dan Kaum Muda, Abdul Wahhab Hasbullah meminta agar A. Hassan memberikan alasan sunnatnya membaca ushalliy dari al-Qur‘an dan Hadis, karena menurut Kaum Muda, agama hanyalah apa yang dikatakan Allah dan Rasul-Nya. A. Hassan kemudian berjanji akan memeriksa dan menyelidiki masalah itu. Tetapi sesuatu yang berkembang menjadi keyakinan dihatinya bahwa agama hanyalah apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya. Keesokan harinya A. Hassan mulai memeriksa kitab Shahīh al-Bukhāriy dan Shahīh Muslim, dan mencari ayat-ayat al-Qur‘an mengenai alasan sunnatnya ushalliy namun ia tidak menemukannya, pendiriannya membenarkan Kaum Muda akhirnya bertambah tebal.[15]
Maksud awalnya hendak berdagang kemudian berubah, bahkan kemudian A. Hassan bergaul rapat dengan Faqih Hasyim salah seorang pentolan Kaum Muda di Surabaya itu. Pada tahun 1924 M., A. Hassan berangkat ke Bandung untuk mempelajari pertenunan, di sinilah ia berkenalan dengan tokoh pendiri organisasi PERSIS (Persatuan Islam), yang kemudian A. Hassan diangkat menjadi guru Persatuan Islam.[16]
C.   Sekilas tentang organisasi PERSIS
Selama ini, jika berbicara mengenai organisasi massa Islam, kita lebih mengenal ormas Muhammadiyah atau Nahdhatul Ulama (NU). Wajar memang, karena dua ormas itu memang boleh dikata diklaim sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia. Padahal, selain dua ormas itu, masih banyak ormas-ormas lain yang juga eksis dan memiliki anggota yang cukup banyak dan besar. Di kawasan Bandung  Jawa Barat, masyarakat setempat barangkali lebih mengenal organisasi Persatuan Islam (atau disingkat Persis) dibandingkan dengan ormas-ormas yang lain. Itulah sebabnya Persis memiliki kantor pusat di kota Bandung.
Persis merupakan sebuah organisasi Islam di Indonesia yang secara umum didirikan pada 12 September 1923 M[17]. PERSIS berdiri di Bandung, tepatnya di salah satu gang kecil yang bernama Pakgade, digang ini banyak berkumpul para saudagar, yang saat itu disebut Urang Pasar, yaitu tepatnya pada tanggal 12 September 1923 M berdiri pada hari Rabu 1 Safar 1342 H.[18] Organisasi ini didirikan oleh sekelompok umat Islam Bandung yang berminat dalam pendidikan dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.
Berbekal dari kesamaan visi dan kegiatan dakwah maka selanjutnya didirkanlah Persis dengan tujuan untuk memberikan pemahaman Islam sesuai dengan asli yang dibawa oleh Rasulullah SAW (puritan). Dalam kedudukan hal ini, Persis menempatkan posisi pandang yang berbeda dari pemahaman mayoritas kaum muslim Indonesia yang cenderung tradisional dengan percampuran budaya lokal serta taklid buta. Melalui Persis, para tokoh pendiri dan dakwahnya berusaha untuk mengorisinilkan ajaran Islam yang bersumber pada Al Quran dan Hadits.
Dalam perkembangannya, Persis menjadi lebih dikenal sebagai ormas yang anti TBC (Takhayul, Bid’ah & Churofat) dan ajaran percampuran Islam dengan tradisi lokal yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Sejarah panjang Persis tidak bisa lepas dari peran dan eksistensi salah seorang ulama punggawa Hadits di Indonesia yang bernama Ahmad Hassan. Melalui Hassan yang lebih dikenal dengan Hassan Bandung (karena lama di Bandung) atau Hassan Bangil karena mendirikan pondok pesantren di Bangil Jawa Timur[19] inilah secara tidak langsung Persis dikenal luas di Indonesia. Sebagaimana diketahui, A Hassan adalah seorang ulama yang tidak hanya pandai dalam berceramah namun juga sangat mumpuni dalam menulis. Tarjamah Bulughul Maram yang menjadi kitab hadits terjemah rujukan di Indonesia telah dicetak berulang-ulang dan dikenal di seluruh Indonesia bahkan sampai ke Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Dia juga merupakan rekan debat seimbang bagi Soekarno yang mengusung konsep ideologi nasionalisme marhaenisme.
Sebagai sebuah organisasi dakwah dan pendidikan Islam, Persis tidak pernah terjun langsung dalam kancah politik sebagaimana halnya NU yang pernah ‘basah’ pada awal mula berdirinya Republik Indonesia. Persis lebih berorientasi dan lebih fokus terhadap dakwah dalam menegakkan ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat, syirik, dan bid’ah[20] yang telah banyak menyebar di kalangan awam orang Islam, khusunya di Indonesia.
Beberapa tokoh yang dikenal di Indonesia yang lahir dari rahim pendidikan di Persis, selain Ustadz Ahmad Hassan antara lain adalah Muhammad Isa Anshary (seorang politikus Masyumi sekaligus pejuang Indonesia) dan Mohammad Natsir (Salah seorang pendiri Masyumi sekaligus mantan Perdana Menteri Indonesia yang dikenal sampai ke dunia internasional. Juga merupakan pendiri Dewan Dakwah Islam Indonesia yang banyak menyalurkan beasiswa kepada ribuan masyarakat Indonesia untuk belajar dan mempelajari Islam di luar negeri).
D.    Pemikiran A Hassan Bandung
Seorang tokoh pemikir, seperti halnya A. Hassan, pasti memiliki latar belakang yang mempengaruhi corak berfikirnya, baik itu keluarga, pendidikan, pergaulan serta setting sosial yang melingkupi sehingga membentuk karakter berfikirnya.
Pada abad kedelapan belas, penolakan terhadap taklid dan perhatian terhadap studi Hadis sedang berkembang, yang dipelopori oleh Syah Waliyyullah al-Dahlawiy di India dan Muhammad al-Syaukani di Yaman. Pada abad kesembilan belas muncullah gerakan Ahli-Hadis di India, yang dalam masalah-masalah hukum, Ahli-Hadis mengkombinasikan penolakan terhadap taklid dalam tradisi pemikiran al-Dahlawiy dan al-Syaukani dengan tekstualitas pemahaman yang merupakan gagasan pemikiran Zhahiriy. Seperti orang Zhahiriy, Ahli-Hadis cenderung tekstual dalam memahami al-Qur‘an dan Hadis, di samping itu mereka sepenuhnya menolak kewenangan ijmak, kecuali ijmak sahabat. Dari sisi karakternya, antara gerakan Ahli-Hadis di India dan gerakan Wahhabiy di Arab adalah sama, hanya saja dalam pertumbuhannya berjalan masing-masing.[21]
Keluarga A. Hassan adalah keluarga yang berasal dari India. Ayahnya, Ahmad, dikenal sebagai sarjana Tamil yang memiliki karakter keras tidak membenarkan ushalliy, tahlilan, talqin, dan lain sebagainya, sebagaimana faham Ahli-Hadis dan Wahhabiy pada umumnya. Demikian pula beberapa orang India di Singapura, seperti Thalib Rajab Ali, Abdul Rahman, Jailani, yang juga dikenal sebagai orang-orang yang berfaham Wahhabiy.[22]
A. Hassan adalah seorang sosok yang otodidak, karena pendidikan formal yang dilaluinya hanya di Sekolah Melayu. Walaupun demikian, ia menguasai bahasa Arab, Inggris, Tamil, dan Melayu yang dapat digunakan olehnya dalam pengembaraan intelektualnya. Pada masa itu, ia telah membaca majalah Al-Manār yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha di Mesir, majalah Al-Imām yang diterbitkan oleh ulama-ulama Kaum Muda di Minangkabau. Selain itu, A. Hassan telah mengkaji kitab Al-Kafa‘ah karya Ahmad al-Syurkati, Bidāyat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Zād al-Ma‘ād karya Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Nayl al-Awthār karya Muhammad Ali al-Syawkāniy, dan Subul al-Salām karya al-Shan‘āniy. Semua bacaan-bacaan itu, cukup mempengaruhi corak berfikirnya.[23]
Pergaulan A. Hassan pun cukup luas, di antara sahabat-sahabatnya adalah Faqih Hasyim, Ahmad Syurkatiy,[24] H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, Mas Mansur,[25] H. Munawar Chalil, Soekarno, Muhammad Maksum, Mahmud Aziz, dan lain-lain.
Pada tahun 1929 M. muncul pula majalah “Pembela Islam” di Bandung yang dipimpin oleh A. Hassan,[26] yang sempat membangkitkan suasana pemeriksaan dan pengkajian terhadap Hadis di Nusantara pada masanya, bahkan pengaruhnya hingga saat ini masih dapat dirasakan. Syafiq A. Mughni menyatakan bahwa dalam fase pergolakan antara pro dan kontra-mazhab itu, A. Hassan tampil memainkan peran yang sebaik-baiknya. Kebebasan untuk memahami ajaran agama tanpa terikat oleh suatu mazhab seperti yang ditekankan oleh A. Hassan diharapkan mengurangi satu di antara sekian banyak kendala bagi kemajuan ummat akibat belenggu taklid-mazhab yang telah menjadi tradisi sejak berabad-abad yang lampau. Ajakan A. Hassan untuk merujuk langsung terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah mengantarkan usaha untuk meminati ilmu-ilmu alat yang terkait dengan kedua sumber ajaran Islam tersebut, khususnya Ilmu Hadis dan Ushul Fiqh, yang pada masa itu masih bersifat “elitis”, dengan kata lain, A. Hassan telah memberikan dorongan bagi kebebasan dan pendalaman studi Islam.[27]
Jika di analisis dari pemikiran A. Hassan, umat Islam khususnya kaum intelektual diharapkan berpikir dan mengkaji setiap permasalah sesuai dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits, karena hal ini akan melahirkan peserta didik yang tumbuh dan berkembang dalam mencari kebenaran melalui kajian sendiri, bukan hanya patuh dan menjalankan apa yang sudah ditemukan oleh para imam mazhab.
Pemikiran A.Hassan Dalam prinsip ijtihad, menekankan bahwa ijtihad harus merujuk pada Al-Qur'an dan Hadits yang shahih saja. Implikasinya adalah terpinggirkannya fatwa para kiyai, terutama karena tidak diketahui rujukan nasnya atau bertentangan dengan nas. Kalaupun ada ulama yang dijadikan rujukan itu lebih karena pendapatnya dianggap sesuai dengan nas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Konsekuensi dari daya kritisnya A. Hassan sangat menentang taklid (mengikuti pendapat tanpa mengetahui alasannya atau dalil) secara mutlak. Tetapi memperkenankan Ittiba' yaitu mengikuti suatu pendapat yang jelas dalilnya dan diakui kebenarannya. Dalam beristimbath, A Hassan lebih memegang lafaz (kata) yang lebih jelas (zahir) dalam menyimpulkan hukum. A Hassan berpegang teguh pada zahir nas dan menolak takwil.[28]
Pemikiran A. Hassan terhadap metode pendidikan adalah dengan mengembangkan metode diskusi. Bahkan pada tahun 1927 dia dan beberapa kawan-kawannya yang tergabung dalam organisasi Persis mendirikan sekolah khusus diskusi bagi lulusan pendidikan menengah yang ingin mendalami Islam secara sungguh-sungguh. Adapun yang bertindak sebagai guru diskusi ini adalah A. Hassan sendiri, walaupun ia adalah guru diskusi, akan tetapi ia mengakui bahwa ia banyak belajar dari forum dialog interaktif agama tersebut yang kemudian mendorongnya untuk lebih mendalami Islam.[29]
Pemikiran murni A. Hassan dalam konteks pemikiran keagamaan di Indonesia berkisar dalam hal: seorang yang datang menghadiri acara yang di dalamnya terdapat bid'ah adalah haram, kecuali jika kedatangannya itu untuk mengubah bid'ah tersebut dengan tangan atau ucapan. A. Hassan juga menolak bacaan Ushalli ketika memulai sembahyang, dan juga menolak membaca "wabihamdih" dalam tasbih ruku' dan sujud, bacaan Sayyidina dalam shalawat tasyahud dan do'a qunut selain qunud nazhilah, karena masing-masing itu tidak memiliki keterangan agama yang jelas, dan oleh karena itu haram dikerjakan.[30]

Disamping itu menurut A. Hassan mengharamkan talqin mayid yang baru di tanam dalam kubur, jamuan makan dan tahlil di rumah keluarga kematian, membaca maulid sambil berdiri dan pesta bulan ketujuh bagi wanita yang sedang hamil, karena itu semua adalah perbuatan bid'ah.[31]
Dari beberapa pemikiran di atas dapat dipahami bahwa pemikiran A. Hassan merupakan respon pribadinya terhadap problematika umat Islam di tanah air. Dan pada tahun 1940 M., A. Hassan pindah ke Bangil, Jawa Timur, dan mendirikan Pesantren Persatuan Islam Bangil, ia tetap mengajar dan menulis di majalah Himāyat al-Islām (حِمَايَةُ الإِسْلاَمِ) yang diterbitkannya hingga wafat pada 10 Nopember 1958 M. dan dimakamkan di Pekuburan Segok, Bangil.
Dari madrasah A. Hassan, muncul Abdul Qadir Hassan sebagai pewaris keilmuannya, dilanjutkan oleh kedua cucunya, Ghazie Abdul Qadir Hassan,[32] Hud Abdullah Musa,  Luthfie ‘Abdullah Ismail,[33] selain itu murid-murid Abdul Qadir yang mewarisi keilmuannya antara lain; Aliga Ramli,[34] Ahmad Husnan,[35] Muhammad Haqqiy,[36] dan masih banyak yang lain.
E.     Karya-karya yang dihasilkan
A. Hassan adalah salah seorang tokoh pemikir yang produktif menuliskan ide-idenya baik di majalah-majalah maupun dalam bentuk buku. Karya-karya tulisnya, antara lain:
a.       Dalam bidang Al-Qur‘an dan Tafsir:
  1. Tafsir Al-Furqan.
  2. Tafsir Al-Hidayah.
  3. Tafsir Surah Yasin.
  4. dan Kitab Tajwid.
b.      Dalam bidang Hadis, Fiqh, dan Ushul Fiqh:
  1. Soal Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama.
  2. Risalah Kudung.
  3. Pengajaran Shalat.
  4. Risalah Al-Fatihah.
  5. Risalah Haji.
  6. Risalah Zakat.
  7. Risalah Ijma‘.
  8. Risalah Qiyas.
  9. Risalah Madzhab.
  10. Risalah Taqlid.
  11. Al-Jawahir.
  12. Al-Burhan.
  13. Risalah Jum‘at.
  14. Hafalan.
  15. Tarjamah Bulug al-Maram.
  16. Muqaddimah Ilmu Hadis dan Ushul Fiqh.
  17. Ringkasan Islam, dan
  18. Al-Fara‘idh.
c.       Dalam bidang Akhlaq:
  1. Hai Cucuku.
  2. Hai Putraku.
  3. Hai Putriku.
  4. Kesopanan Tinggi Secara Islam.
d.      Dalam bidang Kristologi:
  1. Ketuhanan Yesus.
  2. Dosa-dosa Yesus.
  3. Bibel Lawan Bibel.
  4. Benarkah Isa Disalib?.
  5. Isa dan Agamanya.
e.       Dalam bidang Aqidah, Pemikiran Islam, dan Umum:
  1. Islam dan Kebangsaan.
  2. Pemerintahan Cara Islam.
  3. Adakah Tuhan?.
  4. Membudakkan Pengertian Islam.
  5. What is Islam?.
  6. ABC Politik.
  7. Merebut Kekuasaan.
  8. Risalah Ahmadiyah.
  9. Topeng Dajjal.
  10. Al-Tauhid.
  11. Al-Iman.
  12. Hikmat dan Kilat.
  13. An-Nubuwwah.
  14. Al-‘Aqa’id.
  15. al-Munazharah.
  16. Is Muhammad a True Prophet?
f.       Dalam bidang Sejarah:
  1. Al-Mukhtar.
  2. Sejarah Isra‘ Mi’raj.
g.      Dalam bidang Bahasa dan Kata Hikmat:
  1. Kamus Rampaian.
  2. Kamus Persamaan.
  3. Syair.
  4. First Step Before Learning English.
  5. Al-Hikam.
  6. Special Dictionary.
  7. Al-Nahwu.
  8. Kitab Tashrif.
  9.  Kamus Al-Bayan.
PENUTUP
A. Hassan memiliki karakter pemikir pembaharu (mujaddid) yang banyak menentang praktik keagamaan tradisional. Melihat apa yang dibaca serta gagasan dan pemikirannya, jelas sekali bahwa A.Hassan dipengaruhi oleh pemikiran gerakan salafi. Yang dimaksud dengan gerakan salafi adalah gerakan dan pemikiran yang menyandarkan seluruh gagasannya pada Alquran dan Hadis atau disebut dengan ahlul hadis. A. Hassan sebagai pioner Persis menganggap bahwa ulama tradisional telah meninggalkan Alquran dan Hadis dan telah melakukan penafsiran-penafsiran dan penentuan hukum secara tidak benar. Kesalahan dalam penggunaan dasar hukum Islam tersebut telah mengakibatkan banyaknya praktik keagamaan yang mengandung bid’ah dan mulhidah (sesat), khususnya dalam amal ibadah.
Bagi A.Hassan, Alquran dan Hadis merupakan pijakan cara beragama Islam yang kaffah, sempurna. Dalam kedua sumber hukum tersebut juga tersimpan seluruh aturan agama yang terkait dengan konsep muamalah dan jinayah. Sehingga Alquran dan Hadis merupakan sebuah paketan konstitusi dari Tuhan yang siap digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat.
20
 
Diantara pemikiran A. Hassan dalam bidang pendidikan adalah dengan adanya pendidikan yang membebaskan, menganjurkan untuk berijtihad. Adapun metode pendidikan yang bisa digunakan adalah diskusi dan polemik agama. Hal ini sebagaimana yang telah ia contohkan ketika mendirikan sekolah khusus diskusi bagi lulusan pendidikan menengah pada tahun 1927.

B.     Saran-saran
Bagi para pembaca atau stakeholder khususnya di perguruan tinggi atau di dayah-dayah, hendaknya memberikan ruang gerak bagi para mahasiswa dan santrinya untuk berpikir kritis terhadap suatu problematika, tidak dibatasi dengan satu mazhab saja.



DAFTAR PUSTAKA
A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998.
Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati: Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999
http://artikel.pelajar-islam.or.id, di akses  pada 14 November 2012.
Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Cet. 1 Bandung: Mizan, 2000
M. Yunan Yusuf, et. al., Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005
Shalahuddin Hamid & Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Cet. 1, Jakarta: Intimedia Ciptanusantara, 2003
Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, Cet. II; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1994.
Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Tamar Jaya, “Riwayat Hidup A. Hassan”, dalam A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001
Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, Cet. I, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996


[1] Kail artinya Kairo dan Patnam artinya Kota atau Bandar; salah satu pusat kota di India
[2] A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998 M.), hal. 228.
[3] Dalam masyarakat India, mereka yang ilmu agamanya mendalam digelar sebagai Pandit, sebagaimana halnya di kalangan masyarakat Bugis digelar sebagai Pandrita atau ‘Ulama.
[4] Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, (Cet. II; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1994 M), hal. 11.
[5] Ibid., hal. 13.
[6] Ibid.,  hal. 11.
[7] Abdul Qadir Hassan (w. 25 Agustus 1984 M.), yang merupakan pelanjut A. Hassan, aktif menulis dalam bidang Tafsīr, Hadīs, Ilmu Hadīs, dan Ushūl Fiqh, di antara karya tulisnya adalah Kata Berjawab, Ilmu Mushthalah Hadits, Qāmūs Al-Qur‘an, Ushūl Fiqh, Tafsīr Ahkām, Cara Berdiri I‘tidal, dan masih banyak lagi yang lain. Putra Abdul Qadir Hassan, antara lain adalah Prof. Dr. Ir. Zuhal Abdul Qadir yang pernah menjabat sebagai Menteri Riset & Teknologi masa Presiden Habibie; putranya yang kedua adalah Ghāzie Abdul Qadir rahimahullah
[8] Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung…, hal. 12.
[9] Lihat tulisan Tamar Jaya, “Riwayat Hidup A. Hassan”, dalam A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001 M), hal. 709.
[10] Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung…, hal. 13.
[11] Faqih Hasyim adalah salah seorang murid Dr. H. Abdul Karim Amrullah.
[12] Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung..., hal. 14-15.
[13] Salah seorang tokoh pendiri NU, wafat Tahun 1971 M.
[14] Ushalliy adalah niat untuk setiapkali shalat yang dilafazhkan sebelum takbirat al-ihrām.
[15] Ibid., hal. 16.
[16] Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, (Cet. I; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996 M.), hal. 24.
[17] Rafiq Abbas,Disertasi: Ijtihad Persatuan Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2010, hal. 29.
[18] K. H,M. Isa Anshori, Menifes Perjuangan Persaatuan Islam, (Bandung: Pasifik,1958), hal. 6.
[19] Rafiq Abbas, Ijtihad Persatuan ..., hal. 37.
[20] Ibid., hal. 39.
[21] Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Cet. 1 (Bandung: Mizan, 2000 ), hal. 37-61.
[22] Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung…, hal. 20.
[23] Ibid.,
[24] Ahmad Syurkati (1874-1943), adalah pendiri organisasi Al-Irsyad. Untuk mengkaji lebih jauh tentang sepak terjangnya dapat dilihat dalam, Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati: Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999). A. Hassan mengakui bahwa Ahmad Syurkati adalah salah seorang gurunya.
[25] KH. Mas Mansur (1896-1946) adalah penulis buku Hadits Nabawiyah yang berisi tentang tanya jawab ucapan Nabi dan pencetus Majlis Tarjih Muhammadiyah. Ia juga merupakan salah seorang murid Syeikh al-Muhaddits Mahfuzh al-Tirmisi. Lihat, M. Yunan Yusuf, et. al., Ensiklopedi Muhammadiyah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 223.
[26] Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, Cet. I (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996 M.), hal. 24.
[27] Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001 M.), hal. 139.
[28] http://artikel.pelajar-islam.or.id, di akses  pada 14 November 2012.
[29] Shalahuddin Hamid & Iskandar Ahza, 100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Intimedia Ciptanusantara, 2003), hal. 345.
[30] Ibid., hal. 347.
[31] Ibid.
[32] Cucu A. Hassan, Lahir Tahun 1947 dan wafat pada 2002, S1 di Universitas Islam Madinah dan S2-S3 Takhassus Hadits di Darul Hadits al-Hasaniyah University Rabat, Maroko, tulisan-tulisannya mengenai kajian Hadis masih tersebar di Majalah Al-Muslimun. Salah seorang putranya bernama Hifzhie sedang menimba ilmu di Al-Azhar University, Mesir.
[33] Cucu A. Hassan, lahir pada Tahun 1949, Alumnus International Islamic Call Institute Tripoli, Libya. Ia cukup produktif dalam menuliskan hasil kajiannya terhadap Hadis, di antaranya adalah Fiqh al-‘Ibādāt wa al-Mu’āmalāt, yang terdiri dari kurang lebih dua jilid besar. Sebagian yang lain masih tersebar di Majalah Al-Muslimun, dan ada pula yang masih berbentuk naskah. Sekarang ia masih memimpin Pesantren Persis Bangil, di antara aktifitasnya yang lain adalah mengisi kajian Hadis di Singapura, Malaysia, dan menghadiri pertemuan-pertemuan international.
[34] Lahir di Sumenep (Jawa Timur) pada Tahun 1942, Alumnus Universitas Al-Imām Muhammad ibn Saūd Riyādh. Di antara buku yang disusun olehnya, yang telah diterbitkan adalah Sifat dan Kaifiyat Qiyamul Lail, selain itu tulisannya tersebar di majalah Al-Muslimun, khususnya dalam kajian Tafsir dan Ilmu Tafsir.
[35] Ahmad Husnan, putra Imam Kurmen, lahir di Desa Wangen, Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah pada Tahun 1940, pendidikan dilaluinya pada PGAP IV Negeri Solo; PGAA Muhammadiyah Padangsidempuan Tapanuli, Sumatera Utara; dan Mu‘allimin Muhammadiyah Payakumbuh, Sumatera Barat. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Pesantren Persis Bangil di bawah pimpinan Abdul Qadir Hassan, lulus dari Pesantren ia melanjutkan studinya ke Fakultas Syari‘ah Universitas Islam Madinah. Selesai di Madinah ia terus melanjutkan studinya ke Cairo, Mesir. Sekarang aktif mengajar dan menulis di Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Jawa Tengah. Di antara karya tulisnya adalah Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya, Kritik Hadis Cendekiawan Dijawab Santri, Keputusan Al-Qur‘an Digugat, Kajian Hadis Metode Takhrīj, Meluruskan Pemikiran Pakar Muslim, Ilmiah Intelektual dalam Sorotan, dan lain-lain.
[36] Murid Abdul Qadir Hassan, mengajar kajian Hadis di Jakarta (Tanah Abang). Putranya, Ivy Azizi sedang menimba ilmu pada Kulliyat Da‘wah al-Ālamiyah, Tripoli, Libya dan Azmi Haqqiy pada Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Usuluddin, International Islamic University, Islamabad, Pakistan.

No comments:

Post a Comment