A. Biografi A. Hassan Bandung
Sekitar abad
ke 5-6 M tahun yang lalu ada sekelompok penduduk Kairo yang berpengaruh, namun
karena merasa kurang senang dengan rezim rajanya, akhirnya, mereka hijrah
meninggalkan Mesir menuju India dengan kapal layar yang terbuat dari kayu.
Setibanya di India, mereka digelar “Maricar” yang berarti kapal layar.
Mereka bermukim di Kail Patnam[1]
dengan berdagang. Melihat rupa dan bentuknya kemungkinan mereka berasal dari
Parsi. Di antara nenek moyangnya, selain pedagang, juga terdapat ulama
pujangga. Di sinilah asal keturunan nenek moyang A. Hassan.[2]
Ahmad Hassan lahir di Singapura
pada tahun 1887. Ayahnya bernama Sinna Vappu Maricar[3] berasal dari India yang kemudian dikenal dengan
nama Islamnya Ahmad. Ibunya bernama Muznah berasal dari Palekat, Madras .[4] Keduanya menikah di Surabaya kemudian menetap di Singapura.[5] Ahmad Hassan merupakan nama yang dipengaruhi
oleh budaya Singapura. Nama aslinya adalah Hassan bin Ahmad, namun karena
mengikuti kelaziman budaya Melayu yang meletakkan nama keluarga atau orang tua
di depan nama asli, akhirnya nama Hassan bin Ahmad berubah menjadi Ahmad
Hassan.
Ahmad menikahi Muznah
di Surabaya ketika ia berdagang di kota
tersebut, kemudian menetap di Singapura. Ahmad adalah seorang pengarang dalam
bahasa Tamil dan pemimpin surat
kabar “Nurul Islam” di Singapura. Ia suka berdebat dalam masalah bahasa dan
agama serta mengadakan tanya jawab dalam surat
kabarnya.[6]
A. Hassan menikah pada
tahun 1911 M. dengan Maryam peranakan Melayu-Tamil di Singapura. Dari
pernikahannya ini ia dikaruniai tujuh orang putra-putri; (1) Abdul Qadir,[7]
(2) Jamilah, (3) Abdul Hakim, (4) Zulaikha, (5) Ahmad, (6) Muhammad Sa‘id, (7)
Manshur.[8]
B.
Riwayat Pendidikan A.
Hassan Bandung
A. Hassan belajar
al-Qur’an pada umur sekitar tujuh tahun, kemudian masuk di Sekolah Melayu.
Ayahnya sangat menekankan agar Hassan mendalami bahasa Arab, Inggris, Melayu
dan Tamil di samping pelajaran-pelajaran lain.[9]
Guru-gurunya antara
lain adalah H. Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib di Minto Road . Walaupun
kedua gurunya ini bukanlah seorang alim besar namun untuk ukuran daerahnya
keduanya cukup disegani dan dihormati. Kepada Muhammad Thaib, Hassan belajar nahwu
dan sharaf, namun kira-kira empat bulan kemudian, ia merasa tidak
memiliki kemajuan, karena hanya menghafal saja tanpa dimengerti, semangat
belajarnya pun menurun. Dalam keadaan seperti itu, untunglah gurunya naik haji.
Akhirnya, A. Hassan beralih belajar bahasa Arab kepada Said Abdullah al-Musawi
sekitar kurang lebih tiga tahun. Selain itu, A. Hassan belajar kepada Syeikh
Hassan al-Malabary dan Syeikh Ibrahim al-Hind. Semuanya ditempuh hingga
kira-kira tahun 1910 M., ketika ia berumur 23 tahun. Walaupun pada masa ini A.
Hassan belum memiliki pengetahuan yang luas tentang tafsīr, fiqh, farā‘id,
manthiq, dan ilmu-ilmu lainnya, namun dengan ilmu alat yang ia miliki
itulah yang kemudian mengantarkannya memperdalam pengetahuan dan pemahaman
terhadap agama secara otodidak.[10]
Sekitar tahun 1912
M.-1913 M., Hassan bekerja sebagai dewan redaksi “Utusan Melayu” yang
diterbitkan oleh Singapore Press, dalam surat kabar ini, Hassan banyak menulis
tentang masalah agama seputar nasehat-nasehat, anjuran berbuat baik dan
mencegah kejahatan yang kebanyakannya dalam bentuk syair. Ia pernah menulis,
mengecam qadhi yang memeriksa perkara dalam ruang sidang dengan mengumpulkan
tempat duduk antara pria dan wanita (ikhtilāth). Bahkan pernah dalam
salah satu pidatonya mengecam kemunduran ummat Islam, sehingga karena sebab itu
ia tidak diperkenankan menyampaikan pidato lagi.
A.
Hassan sangat dikenal di Indonesia, Selain dikenal sebagai ulama terkemuka di Indonesia, nama A Hassan juga
tersohor sampai ke Malaysia dan Singapura, karena nama besar Pesantren Persis
yang didirikannya terkenal sampai ke sana. Bahkan buku-buku agama yang
ditulisnya kerap jadi rujukan di negeri jiran tersebut. A Hassan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat tajam
dan kritis terutama dalam cara memahami nas (teks) Al-qur’an maupun Hadits yang cenderung literalis. Walaupun dikenal sebagai pemuka dan
guru besar Persatuan Islam (PERSIS) pendapat dan sikapnya terhadap takhayul, bid’ah dan churafat (TBC) bisa dikatakan sama persis dengan Muhammadiyah. Oleh
karena itu, ada pula sebagian besar warga persyarikatan Muhammadiyah mengutip
pendapat dari A Hassan, karena dianggap jelas dan tidak bertele-tele.
Keahliannya dalam bidang Hadits, Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqih, Ilmu Kalam dan
Mantiq, menjadikannya sebagai rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam
dalam berbagai masalah. Koleksi bukunya sangat banyak yang selalu dibaca,
diteliti, bahkan mungkin dihafal olehnya.
A Hassan juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai prinsip berdiri tegak di
atas kaki sendiri yang merupakan hasil pendidikan langsung dari orang tuanya.
Artinya tidak pernah mengharapkan bantuan orang lain dan selalu berusaha dengan
tangan sendiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini sebagaimana terlihat dimana pada tahun 1921 M., A. Hassan berangkat ke Surabaya (Jawa Timur)
untuk berdagang dan mengurus toko milik Abdul Lathif pamannya, namun sebelum A.
Hassan berangkat, pamannya berpesan agar sesampainya nanti di Surabaya ia tidak
bergaul dengan seseorang yang bernama Faqih Hasyim[11]
karena dianggap sesat dan berfaham Wahhabi.[12]
Berawal dari
pertemuannya dengan Abdul Wahhab Hasbullah[13]
yang kemudian mengajukan pertanyaan kepadanya mengenai hukum membaca ushalliy[14]
sebelum takbirat al-ihrām. Sesuai dengan pengetahuannya ketika itu, A.
Hassan menjawab bahwa hukumnya “sunnah”. Ketika ditanyakan lagi mengenai alasan
hukumnya, ia menjawab bahwa soal alasannya dengan mudah dapat diperoleh dari
kitab manapun juga. Namun dari pertemuan ini, ia heran, mengapa soal semudah
itu yang dipertanyakan kepadanya. Setelah menceritakan perbedaan-perbedaan
antara Kaum Tua dan Kaum Muda, Abdul Wahhab Hasbullah meminta agar A. Hassan
memberikan alasan sunnatnya membaca ushalliy dari al-Qur‘an dan Hadis,
karena menurut Kaum Muda, agama hanyalah apa yang dikatakan Allah dan
Rasul-Nya. A. Hassan kemudian
berjanji akan memeriksa dan menyelidiki masalah itu. Tetapi sesuatu yang
berkembang menjadi keyakinan dihatinya bahwa agama hanyalah apa yang dikatakan
oleh Allah dan Rasul-Nya. Keesokan harinya A. Hassan mulai memeriksa kitab Shahīh
al-Bukhāriy dan Shahīh Muslim, dan mencari ayat-ayat al-Qur‘an
mengenai alasan sunnatnya ushalliy namun ia tidak menemukannya,
pendiriannya membenarkan Kaum Muda akhirnya bertambah tebal.[15]
Maksud awalnya hendak berdagang kemudian berubah, bahkan kemudian A. Hassan
bergaul rapat dengan Faqih Hasyim salah seorang pentolan Kaum Muda di Surabaya
itu. Pada tahun 1924 M., A. Hassan berangkat ke Bandung untuk mempelajari
pertenunan, di sinilah ia berkenalan dengan tokoh pendiri organisasi PERSIS
(Persatuan Islam), yang kemudian A. Hassan diangkat menjadi guru Persatuan
Islam.[16]
C.
Sekilas tentang organisasi PERSIS
Selama ini, jika
berbicara mengenai organisasi massa Islam, kita lebih mengenal ormas
Muhammadiyah atau Nahdhatul Ulama (NU). Wajar memang, karena dua ormas itu
memang boleh dikata diklaim sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia. Padahal, selain dua ormas itu, masih
banyak ormas-ormas lain yang juga eksis dan memiliki anggota yang cukup banyak
dan besar. Di kawasan Bandung Jawa
Barat, masyarakat setempat barangkali lebih mengenal organisasi Persatuan Islam
(atau disingkat Persis) dibandingkan dengan ormas-ormas yang lain. Itulah sebabnya
Persis memiliki kantor pusat di kota Bandung.
Persis merupakan sebuah organisasi Islam di
Indonesia yang secara umum didirikan pada 12 September 1923 M[17]. PERSIS berdiri di Bandung, tepatnya di salah satu gang
kecil yang bernama Pakgade, digang ini banyak berkumpul para saudagar, yang
saat itu disebut Urang Pasar, yaitu tepatnya pada tanggal 12 September 1923 M
berdiri pada hari Rabu 1 Safar 1342 H.[18]
Organisasi ini didirikan oleh
sekelompok umat Islam Bandung yang berminat dalam pendidikan dan aktivitas
keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.
Berbekal dari
kesamaan visi dan kegiatan dakwah maka selanjutnya didirkanlah Persis dengan
tujuan untuk memberikan pemahaman Islam sesuai dengan asli yang dibawa oleh
Rasulullah SAW (puritan). Dalam kedudukan hal ini, Persis menempatkan posisi
pandang yang berbeda dari pemahaman mayoritas kaum muslim Indonesia yang
cenderung tradisional dengan percampuran budaya lokal serta taklid buta.
Melalui Persis, para tokoh pendiri dan dakwahnya berusaha untuk mengorisinilkan
ajaran Islam yang bersumber pada Al Quran dan Hadits.
Dalam
perkembangannya, Persis menjadi lebih dikenal sebagai ormas yang anti TBC
(Takhayul, Bid’ah & Churofat) dan ajaran percampuran Islam dengan tradisi
lokal yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Sejarah panjang Persis
tidak bisa lepas dari peran dan eksistensi salah seorang ulama punggawa Hadits
di Indonesia yang bernama Ahmad Hassan. Melalui Hassan yang lebih dikenal
dengan Hassan Bandung (karena lama di Bandung) atau Hassan Bangil karena
mendirikan pondok pesantren di Bangil Jawa Timur[19]
inilah secara tidak langsung Persis dikenal luas di Indonesia. Sebagaimana
diketahui, A Hassan adalah seorang ulama yang tidak hanya pandai dalam
berceramah namun juga sangat mumpuni dalam menulis. Tarjamah Bulughul Maram yang
menjadi kitab hadits terjemah rujukan di Indonesia telah dicetak berulang-ulang
dan dikenal di seluruh Indonesia bahkan sampai ke Malaysia, Singapura, dan
Brunei Darussalam. Dia juga merupakan rekan debat seimbang bagi Soekarno yang
mengusung konsep ideologi nasionalisme marhaenisme.
Sebagai sebuah organisasi dakwah dan
pendidikan Islam, Persis tidak pernah terjun langsung dalam kancah politik
sebagaimana halnya NU yang pernah ‘basah’ pada awal mula berdirinya Republik
Indonesia. Persis lebih berorientasi dan lebih fokus terhadap dakwah dalam
menegakkan ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat, syirik,
dan bid’ah[20]
yang telah banyak menyebar di kalangan awam orang Islam, khusunya di Indonesia.
Beberapa tokoh yang dikenal di Indonesia
yang lahir dari rahim pendidikan di Persis, selain Ustadz Ahmad Hassan antara
lain adalah Muhammad Isa Anshary (seorang politikus Masyumi sekaligus pejuang
Indonesia) dan Mohammad Natsir (Salah seorang pendiri Masyumi sekaligus mantan
Perdana Menteri Indonesia yang dikenal sampai ke dunia internasional. Juga
merupakan pendiri Dewan Dakwah Islam Indonesia yang banyak menyalurkan beasiswa
kepada ribuan masyarakat Indonesia untuk belajar dan mempelajari Islam di luar
negeri).
D.
Pemikiran A Hassan Bandung
Seorang tokoh pemikir, seperti halnya A. Hassan, pasti memiliki latar
belakang yang mempengaruhi corak berfikirnya, baik itu keluarga, pendidikan,
pergaulan serta setting sosial yang melingkupi sehingga membentuk
karakter berfikirnya.
Pada abad kedelapan belas, penolakan terhadap taklid dan perhatian terhadap
studi Hadis sedang berkembang, yang dipelopori oleh Syah Waliyyullah
al-Dahlawiy di India dan Muhammad al-Syaukani di Yaman. Pada abad kesembilan
belas muncullah gerakan Ahli-Hadis di India, yang dalam masalah-masalah hukum,
Ahli-Hadis mengkombinasikan penolakan terhadap taklid dalam tradisi pemikiran
al-Dahlawiy dan al-Syaukani dengan tekstualitas pemahaman yang merupakan
gagasan pemikiran Zhahiriy. Seperti orang Zhahiriy, Ahli-Hadis cenderung
tekstual dalam memahami al-Qur‘an dan Hadis, di samping itu mereka sepenuhnya
menolak kewenangan ijmak, kecuali ijmak sahabat. Dari sisi karakternya, antara
gerakan Ahli-Hadis di India dan gerakan Wahhabiy di Arab adalah sama, hanya
saja dalam pertumbuhannya berjalan masing-masing.[21]
Keluarga A. Hassan adalah keluarga yang berasal dari India. Ayahnya, Ahmad,
dikenal sebagai sarjana Tamil yang memiliki karakter keras tidak membenarkan ushalliy,
tahlilan, talqin, dan lain sebagainya, sebagaimana faham Ahli-Hadis dan
Wahhabiy pada umumnya. Demikian pula beberapa orang India di Singapura, seperti
Thalib Rajab Ali, Abdul Rahman, Jailani, yang juga dikenal sebagai orang-orang
yang berfaham Wahhabiy.[22]
A. Hassan adalah seorang sosok yang otodidak, karena pendidikan formal yang
dilaluinya hanya di Sekolah Melayu. Walaupun demikian,
ia menguasai bahasa Arab, Inggris, Tamil, dan Melayu yang dapat digunakan
olehnya dalam pengembaraan intelektualnya. Pada masa itu, ia telah membaca
majalah Al-Manār yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha di Mesir,
majalah Al-Imām yang diterbitkan oleh ulama-ulama Kaum Muda di
Minangkabau. Selain itu, A. Hassan telah mengkaji kitab Al-Kafa‘ah karya
Ahmad al-Syurkati, Bidāyat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, Zād
al-Ma‘ād karya Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Nayl al-Awthār karya
Muhammad Ali al-Syawkāniy, dan Subul al-Salām karya al-Shan‘āniy.
Semua bacaan-bacaan itu, cukup mempengaruhi corak berfikirnya.[23]
Pergaulan A. Hassan
pun cukup luas, di antara sahabat-sahabatnya adalah Faqih Hasyim, Ahmad
Syurkatiy,[24]
H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, Mas Mansur,[25]
H. Munawar Chalil, Soekarno, Muhammad Maksum, Mahmud Aziz, dan lain-lain.
Pada tahun 1929 M.
muncul pula majalah “Pembela Islam” di Bandung yang dipimpin oleh A.
Hassan,[26]
yang sempat membangkitkan suasana pemeriksaan dan pengkajian terhadap Hadis di
Nusantara pada masanya, bahkan pengaruhnya hingga saat ini masih dapat
dirasakan. Syafiq A. Mughni menyatakan bahwa dalam fase pergolakan antara pro
dan kontra-mazhab itu, A. Hassan tampil memainkan peran yang sebaik-baiknya. Kebebasan
untuk memahami ajaran agama tanpa terikat oleh suatu mazhab seperti yang
ditekankan oleh A. Hassan diharapkan mengurangi satu di antara sekian banyak
kendala bagi kemajuan ummat akibat belenggu taklid-mazhab yang telah menjadi
tradisi sejak berabad-abad yang lampau. Ajakan A. Hassan untuk merujuk langsung
terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah mengantarkan usaha untuk meminati ilmu-ilmu
alat yang terkait dengan kedua sumber ajaran Islam tersebut, khususnya Ilmu
Hadis dan Ushul Fiqh, yang pada masa itu masih bersifat “elitis”, dengan kata
lain, A. Hassan telah memberikan dorongan bagi kebebasan dan pendalaman studi
Islam.[27]
Jika di analisis dari
pemikiran A. Hassan, umat Islam khususnya kaum intelektual diharapkan berpikir dan mengkaji setiap permasalah sesuai dengan apa
yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits, karena hal ini akan melahirkan
peserta didik yang tumbuh dan berkembang dalam mencari kebenaran melalui kajian
sendiri, bukan hanya patuh dan menjalankan apa yang sudah ditemukan oleh para
imam mazhab.
Pemikiran A.Hassan
Dalam prinsip ijtihad, menekankan bahwa ijtihad harus merujuk pada Al-Qur'an
dan Hadits yang shahih saja. Implikasinya adalah terpinggirkannya fatwa para
kiyai, terutama karena tidak diketahui rujukan nasnya atau bertentangan dengan nas.
Kalaupun ada ulama yang dijadikan rujukan itu lebih karena pendapatnya dianggap
sesuai dengan nas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Konsekuensi dari daya
kritisnya A. Hassan
sangat menentang taklid (mengikuti pendapat tanpa mengetahui alasannya atau dalil)
secara mutlak. Tetapi memperkenankan Ittiba' yaitu mengikuti suatu pendapat
yang jelas dalilnya dan diakui kebenarannya. Dalam beristimbath, A Hassan lebih
memegang lafaz (kata) yang lebih jelas (zahir) dalam menyimpulkan hukum. A
Hassan berpegang teguh pada zahir nas dan menolak takwil.[28]
Pemikiran A. Hassan terhadap metode pendidikan adalah dengan mengembangkan
metode diskusi. Bahkan pada tahun 1927 dia dan beberapa kawan-kawannya yang
tergabung dalam organisasi Persis mendirikan sekolah khusus diskusi bagi
lulusan pendidikan menengah yang ingin mendalami Islam secara sungguh-sungguh.
Adapun yang bertindak sebagai guru diskusi ini adalah A. Hassan sendiri,
walaupun ia adalah guru diskusi, akan tetapi ia mengakui bahwa ia banyak
belajar dari forum dialog interaktif agama tersebut yang kemudian mendorongnya
untuk lebih mendalami Islam.[29]
Pemikiran murni A. Hassan dalam konteks pemikiran keagamaan di Indonesia
berkisar dalam hal: seorang yang datang menghadiri acara yang di dalamnya
terdapat bid'ah adalah haram, kecuali jika kedatangannya itu untuk mengubah
bid'ah tersebut dengan tangan atau ucapan. A. Hassan juga menolak bacaan Ushalli
ketika memulai sembahyang, dan juga menolak membaca "wabihamdih"
dalam tasbih ruku' dan sujud, bacaan Sayyidina dalam shalawat
tasyahud dan do'a qunut selain qunud nazhilah, karena
masing-masing itu tidak memiliki keterangan agama yang jelas, dan oleh karena
itu haram dikerjakan.[30]
Disamping itu menurut A. Hassan mengharamkan talqin mayid yang baru di
tanam dalam kubur, jamuan makan dan tahlil di rumah keluarga kematian, membaca
maulid sambil berdiri dan pesta bulan ketujuh bagi wanita yang sedang hamil,
karena itu semua adalah perbuatan bid'ah.[31]
Dari beberapa pemikiran di atas dapat dipahami bahwa pemikiran A. Hassan
merupakan respon pribadinya terhadap problematika umat Islam di tanah air. Dan
pada tahun 1940 M., A. Hassan pindah ke Bangil, Jawa Timur, dan mendirikan
Pesantren Persatuan Islam Bangil, ia tetap mengajar dan menulis di majalah Himāyat
al-Islām (حِمَايَةُ
الإِسْلاَمِ) yang
diterbitkannya hingga wafat pada 10 Nopember 1958 M. dan dimakamkan di
Pekuburan Segok, Bangil.
Dari madrasah A.
Hassan, muncul Abdul Qadir Hassan sebagai pewaris keilmuannya, dilanjutkan oleh
kedua cucunya, Ghazie Abdul Qadir Hassan,[32]
Hud Abdullah Musa, Luthfie ‘Abdullah Ismail,[33]
selain itu murid-murid Abdul Qadir yang mewarisi keilmuannya antara lain; Aliga
Ramli,[34]
Ahmad Husnan,[35]
Muhammad Haqqiy,[36]
dan masih banyak yang lain.
E.
Karya-karya yang
dihasilkan
A. Hassan adalah salah seorang
tokoh pemikir yang produktif menuliskan ide-idenya baik di majalah-majalah
maupun dalam bentuk buku. Karya-karya tulisnya, antara lain:
a.
Dalam bidang Al-Qur‘an dan Tafsir:
- Tafsir Al-Furqan.
- Tafsir Al-Hidayah.
- Tafsir Surah Yasin.
- dan Kitab Tajwid.
b.
Dalam bidang Hadis, Fiqh, dan Ushul Fiqh:
- Soal Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama.
- Risalah Kudung.
- Pengajaran
Shalat.
- Risalah
Al-Fatihah.
- Risalah Haji.
- Risalah Zakat.
- Risalah Ijma‘.
- Risalah Qiyas.
- Risalah
Madzhab.
- Risalah Taqlid.
- Al-Jawahir.
- Al-Burhan.
- Risalah
Jum‘at.
- Hafalan.
- Tarjamah
Bulug al-Maram.
- Muqaddimah
Ilmu Hadis dan Ushul Fiqh.
- Ringkasan
Islam, dan
- Al-Fara‘idh.
c. Dalam bidang Akhlaq:
- Hai Cucuku.
- Hai Putraku.
- Hai Putriku.
- Kesopanan
Tinggi Secara Islam.
d. Dalam bidang Kristologi:
- Ketuhanan
Yesus.
- Dosa-dosa
Yesus.
- Bibel Lawan
Bibel.
- Benarkah Isa Disalib?.
- Isa dan Agamanya.
e. Dalam bidang Aqidah, Pemikiran Islam, dan Umum:
- Islam dan
Kebangsaan.
- Pemerintahan
Cara Islam.
- Adakah Tuhan?.
- Membudakkan
Pengertian Islam.
- What is
Islam?.
- ABC Politik.
- Merebut
Kekuasaan.
- Risalah
Ahmadiyah.
- Topeng Dajjal.
- Al-Tauhid.
- Al-Iman.
- Hikmat dan
Kilat.
- An-Nubuwwah.
- Al-‘Aqa’id.
- al-Munazharah.
- Is Muhammad a
True Prophet?
f. Dalam bidang Sejarah:
- Al-Mukhtar.
- Sejarah Isra‘
Mi’raj.
g.
Dalam bidang Bahasa dan Kata Hikmat:
- Kamus Rampaian.
- Kamus
Persamaan.
- Syair.
- First Step
Before Learning English.
- Al-Hikam.
- Special
Dictionary.
- Al-Nahwu.
- Kitab Tashrif.
- Kamus Al-Bayan.
PENUTUP
A. Hassan memiliki karakter pemikir
pembaharu (mujaddid) yang banyak menentang praktik keagamaan tradisional. Melihat
apa yang dibaca serta gagasan dan pemikirannya, jelas sekali bahwa A.Hassan
dipengaruhi oleh pemikiran gerakan salafi. Yang dimaksud dengan gerakan salafi
adalah gerakan dan pemikiran yang menyandarkan seluruh gagasannya pada Alquran
dan Hadis atau disebut dengan ahlul hadis. A. Hassan sebagai pioner Persis
menganggap bahwa ulama tradisional telah meninggalkan Alquran dan Hadis dan
telah melakukan penafsiran-penafsiran dan penentuan hukum secara tidak benar.
Kesalahan dalam penggunaan dasar hukum Islam tersebut telah mengakibatkan
banyaknya praktik keagamaan yang mengandung bid’ah dan mulhidah (sesat),
khususnya dalam amal ibadah.
Bagi A.Hassan, Alquran dan Hadis
merupakan pijakan cara beragama Islam yang kaffah, sempurna. Dalam kedua sumber
hukum tersebut juga tersimpan seluruh aturan agama yang terkait dengan konsep
muamalah dan jinayah. Sehingga Alquran dan Hadis merupakan sebuah paketan
konstitusi dari Tuhan yang siap digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat.
|
Diantara pemikiran A.
Hassan dalam bidang pendidikan adalah dengan adanya pendidikan yang
membebaskan, menganjurkan untuk berijtihad. Adapun metode pendidikan yang bisa
digunakan adalah diskusi dan polemik agama. Hal ini sebagaimana yang telah ia
contohkan ketika mendirikan sekolah khusus diskusi bagi lulusan pendidikan
menengah pada tahun 1927.
B.
Saran-saran
Bagi para pembaca
atau stakeholder khususnya di perguruan tinggi atau di dayah-dayah, hendaknya memberikan
ruang gerak bagi para mahasiswa dan santrinya untuk berpikir kritis terhadap
suatu problematika, tidak dibatasi dengan satu mazhab saja.
DAFTAR PUSTAKA
A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998.
Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati:
Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia, Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1999
http://artikel.pelajar-islam.or.id,
di akses pada 14 November 2012.
Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Menyoal
Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Cet. 1 Bandung: Mizan, 2000
M. Yunan Yusuf, et. al., Ensiklopedi
Muhammadiyah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005
Shalahuddin Hamid & Iskandar Ahza, 100
Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Cet. 1, Jakarta: Intimedia
Ciptanusantara, 2003
Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam
Radikal, Cet. II; Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1994.
Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusan
Ajaran dan Upaya Aktualisasi, Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Tamar Jaya, “Riwayat Hidup A. Hassan”, dalam A.
Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2001
Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan
Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, Cet. I; Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1996.
Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan judul Persatuan
Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, Cet. I, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996
[1] Kail artinya Kairo dan Patnam artinya Kota atau Bandar; salah satu pusat kota
di India
[2] A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1998 M.), hal. 228.
[3] Dalam masyarakat India, mereka yang ilmu agamanya mendalam digelar
sebagai Pandit, sebagaimana halnya di kalangan masyarakat Bugis digelar sebagai
Pandrita atau ‘Ulama.
[4] Syafiq A. Mughni,
Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, (Cet. II; Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1994 M), hal. 11.
[6] Ibid., hal. 11.
[7] Abdul Qadir Hassan (w. 25 Agustus 1984 M.), yang merupakan pelanjut
A. Hassan, aktif menulis dalam bidang Tafsīr, Hadīs, Ilmu Hadīs, dan Ushūl
Fiqh, di antara karya tulisnya adalah Kata Berjawab, Ilmu
Mushthalah Hadits, Qāmūs Al-Qur‘an, Ushūl Fiqh, Tafsīr Ahkām, Cara Berdiri
I‘tidal, dan masih banyak lagi yang lain. Putra Abdul Qadir Hassan, antara
lain adalah Prof. Dr. Ir. Zuhal Abdul Qadir yang pernah menjabat sebagai
Menteri Riset & Teknologi masa Presiden Habibie; putranya yang kedua adalah
Ghāzie Abdul Qadir rahimahullah
[8] Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung…,
hal. 12.
[9] Lihat tulisan Tamar Jaya, “Riwayat Hidup
A. Hassan”, dalam A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: CV.
Penerbit Diponegoro, 2001 M), hal. 709.
[10] Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung…, hal. 13.
[13] Salah seorang tokoh pendiri NU, wafat
Tahun 1971 M.
[15] Ibid., hal. 16.
[16] Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform in
Twentieth Century Indonesia, diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin dan Afandi
Mochtar dengan judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX,
(Cet. I; Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 1996 M.), hal. 24.
[21] Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, Menyoal Relevansi
Sunnah dalam Islam Modern, Cet. 1 (Bandung :
Mizan, 2000 ), hal. 37-61.
[22] Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung…, hal. 20.
[23] Ibid.,
[24] Ahmad Syurkati (1874-1943), adalah
pendiri organisasi Al-Irsyad. Untuk mengkaji lebih jauh tentang sepak
terjangnya dapat dilihat dalam, Bisri Affandi, Syaikh Ahmad Syurkati:
Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia, (Cet. I; Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1999). A. Hassan mengakui bahwa Ahmad Syurkati adalah salah seorang
gurunya.
[25] KH. Mas Mansur (1896-1946) adalah penulis
buku Hadits Nabawiyah yang berisi tentang tanya jawab ucapan Nabi dan
pencetus Majlis Tarjih Muhammadiyah. Ia juga merupakan salah seorang murid
Syeikh al-Muhaddits Mahfuzh al-Tirmisi. Lihat, M. Yunan Yusuf, et. al.,
Ensiklopedi Muhammadiyah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal.
223.
[26] Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar dengan
judul Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, Cet. I
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996 M.), hal. 24.
[27] Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam:
Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001 M.), hal. 139.
[29] Shalahuddin Hamid & Iskandar Ahza, 100
Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Intimedia
Ciptanusantara, 2003), hal. 345.
[32] Cucu A. Hassan, Lahir Tahun 1947 dan
wafat pada 2002, S1 di Universitas Islam Madinah dan S2-S3 Takhassus Hadits di
Darul Hadits al-Hasaniyah University Rabat, Maroko, tulisan-tulisannya mengenai
kajian Hadis masih tersebar di Majalah Al-Muslimun. Salah seorang putranya
bernama Hifzhie sedang menimba ilmu di Al-Azhar University, Mesir.
[33] Cucu A. Hassan, lahir pada Tahun 1949,
Alumnus International Islamic Call Institute Tripoli, Libya. Ia cukup produktif
dalam menuliskan hasil kajiannya terhadap Hadis, di antaranya adalah Fiqh
al-‘Ibādāt wa al-Mu’āmalāt, yang terdiri dari kurang lebih dua jilid
besar. Sebagian yang lain masih tersebar di Majalah Al-Muslimun, dan ada pula
yang masih berbentuk naskah. Sekarang ia masih memimpin Pesantren Persis
Bangil, di antara aktifitasnya yang lain adalah mengisi kajian Hadis di
Singapura, Malaysia, dan menghadiri pertemuan-pertemuan international.
[34] Lahir di Sumenep (Jawa Timur) pada Tahun
1942, Alumnus Universitas Al-Imām Muhammad ibn Saūd Riyādh. Di antara buku yang disusun
olehnya, yang telah diterbitkan adalah Sifat dan Kaifiyat Qiyamul Lail,
selain itu tulisannya tersebar di majalah Al-Muslimun, khususnya dalam kajian
Tafsir dan Ilmu Tafsir.
[35] Ahmad Husnan, putra Imam Kurmen, lahir di
Desa Wangen, Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah pada Tahun 1940, pendidikan
dilaluinya pada PGAP IV Negeri Solo; PGAA Muhammadiyah Padangsidempuan
Tapanuli, Sumatera Utara; dan Mu‘allimin Muhammadiyah Payakumbuh, Sumatera
Barat. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Pesantren Persis Bangil di bawah
pimpinan Abdul Qadir Hassan, lulus dari Pesantren ia melanjutkan studinya ke
Fakultas Syari‘ah Universitas Islam Madinah. Selesai di Madinah ia terus
melanjutkan studinya ke Cairo, Mesir. Sekarang aktif mengajar dan menulis di
Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Jawa Tengah. Di antara karya tulisnya adalah Gerakan
Ingkar Sunnah dan Jawabannya, Kritik Hadis Cendekiawan Dijawab Santri,
Keputusan Al-Qur‘an Digugat, Kajian Hadis Metode Takhrīj, Meluruskan
Pemikiran Pakar Muslim, Ilmiah Intelektual dalam Sorotan, dan lain-lain.
[36] Murid Abdul Qadir Hassan, mengajar kajian
Hadis di Jakarta (Tanah Abang). Putranya, Ivy Azizi sedang menimba ilmu pada
Kulliyat Da‘wah al-Ālamiyah, Tripoli, Libya dan Azmi Haqqiy pada Jurusan Tafsir
Hadits, Fakultas Usuluddin, International Islamic University, Islamabad,
Pakistan.
No comments:
Post a Comment