Dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 Th. 2007 kompetensi kepribadian
guru atau dosen mencakup lima kompetensi, yaitu kepribadian yang mantap dan
stabil, dewasa, arif, berwibawa, dan berakhlak mulia.[1]
Kompetensi
kepribadian yang mantap dan stabil adalah bertindak sesuai dengan norma hukum,
bertindak sesuai dengan norma sosial, sebagai guru atau dosen dan memiliki
konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma. Kompetensi kepribadian
yang dewasa memiliki indikator: menampilkan kemandirian dalam bertindak
sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru atau dosen.
Subkompetensi kepribadian yang arif memiliki indikator: menampilkan tindakan
yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta
menunjukkan keterbukaan dalam berfikir dan bertindak. Kompetensi kepribadian
yang berwibawa memiliki indikator: memiliki perilaku yang berpengaruh
positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani.
Kompetensi
akhlak mulia dan dapat menjadi teladan memiliki indikator: bertindak
sesuai dengan norma agama (iman dan takwa, jujur, ikhlas, suka menolong),
dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik. Kepribadian guru atau
dosen akan sangat mewarnai kinerjanya dalam mengelola kelas dan berinteraksi
dengan siswa.
Menurut
Muhammad Athiyah al-Abrasyi sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata berpendapat,
bahwa seorang pendidik harus memiliki sifat sebagai berikut:
- Mempunyai
watak yang kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik.
- Adanya
komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik
- Memerhatikan
kemampuan dan kondisi peserta didiknya
- Mengetahui
kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik saja
- Mempunyai
sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan
- Ikhlas
dalam menjalankan aktivitasnya,tidak menuntut hal-hal yang diluar kewajibannya
- Dalam
mengajar selalu mengaitkan materi yang diajarkan dengan materi lainnya
- Memberi
bekal kepada peserta didik dengan bekal ilmu yang dibutuhkan masa depan
- Sehat jasmani da rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung jawab, dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matanng untuk menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.[2]
Dalam
sejarah pendidikan Islam profesi guru memiliki beberapa sebutan seperti Al-Qari (qur’an reader), yakni
mereka yang ahli membaca dan mengajarkan al-Qur’an, Al-Muaddib (private
teacher) yakni guru khusus bagi anak-anak khalifah atau para
pembesar yang lain atau al-qos (story teller) yakni mereka yang
profesinya menceritakan kisah-kisah masa lalu. Seiring dengan lahirnya lembaga
pendidikan “madrasah”, guru sering disebut al-ustadz atau al-mudaris sedangkan
asisten guru disebut al-mu’id, adapun istilah syeikh lebih sering
dipakai untuk menyebut seorang yang tua atau alim dalam hal agama atau sebagian juga sering disebut dalam
dunia tasawuf. [3]
Terkait
dengan penjelasan di atas, Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Abuddin
Nata melihat konsep etika pendidik sebagai berikut:
- Menerima
segala problema peserta didik dengan hati dan sikap yang terbuka dan tabah
- Bersikap
penyantun dan penyayang
- Menjaga
kewibawaan dan kehormatannya dalam bertindak
- Menghindari
dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama
- Bersikap
rendah hati
- Bersikap
lemah lembut
- Meninggalkan
sifat marah
- Memperbaiki
sikap peserta didik didiknya dan bersikap lemah lembut terhadap peserta
didik yang kurang lancar bicaranya
- Meninggalkan
sifat yang menakutkan pada peserta didik menerima kebenaran yang
diajukan oleh peserta didik
- Menjadikan kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walau kebenaran itu berasal dari peserta didik.[4]
Dalam
pendidikan Islam, seorang pendidik hendaknya memiliki karakteristik yang
dan membedakannya dari yang lain. Dengan karakteristiknya, menjadi ciri dan sifat
yang akan menyatu dalam seluruh totalitas kepribadiannya. Totalitas tersebut
kemudian akan teraktualisasi melalui seluruh perkataan dan perbuatannya.
Dalam hal ini, Abdurrahman An-Nahlawi menyarankan, agar pendidik (guru atau
dosen) dapat melaksanakan tugasnya dengan baik hendaknya guru atau dosen
memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
- Mempunyai
watak dan sifat rabbaniyyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku
dan pola pikirnya
- Bersifat
ikhlas melaksanakan tugasnya sebagai pendidik semata-mata untuk mencari
keridhaan Allah dan menegakkan kebenaran
- Bersifat
sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan kepada peserta didik
- Jujur
dalam menyampaikan apa yang diketahuinya
- Senantiasa
membekali diri dengan ilmu, kesediaan diri untuk terus mendalami dan
mengkajinya lebih lanjut
- Mampu
menggunakan metode mengajar secara bervariasi. Sesuai dengan
prinsip-prinsip penggunaan metode pendidikan
- Mampu
mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan proporsional
- Mengetahui kehidupan psikis peserta didik.[5]
Dengan
bekal kepribadian sebagaimana dicirikan dalam indikator kemampuan di atas,
seorang guru atau dosen akan benar-benar mampu menjadi figur sebagaimana
dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagai guru pertama dalam Islam. Beliau
telah memberikan contoh teladan yang baik kepada segenap umatnya dengan
keberhasilan menciptakan kader-kader atau generasi Islam yang mempunyai komitmen
dan setiap sikap dan perbuatan mereka selalu berlandaskan pada ajaran
sebagaimana yang sudah diajarkan oleh rasulullah SAW. Keikhlasan,
kejujuran, kelapangan Beliau telah teruji sepanjang zaman dan menggerakkan
manusia berkomitmen mengikuti beliau. Sifat tawadhu’ yang selalu mengiringi
langkah beliau semakin mengokohkan kewibawaan beliau sebagai guru dan
pemimpin dan atas kemuliaan Beliau pulalah Allah SWT mengajarkan untuk meneladani
keseluruhan pribadi Beliau. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 21, yaitu:
(الاحزاب: ٢١)
Artinya: Sungguh
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan yang banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)
Merujuk
hal di atas, setiap tingkah laku guru atau dosen menjadi teladan bagi anak didiknya
baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Di lingkungan sekolah di
samping guru atau dosen berperilaku baik, guru atau dosen juga harus bisa
menjaga kehidupan sosialnya dalam berinteraksi dengan masyarakat. Dengan
kata lain seluruh taampilan guru atau dosen baik dalam keluarganya
sendiri, sekolah, lingkungan kampus maupun masyarakat adalah refleksi dari kepribadiannya.
Kepribadian
guru atau dosen sangat ditentukan oleh akhlak yang dimilikinya, karena seluruh
tingkah laku atau akhlak guru atau dosen akan diperhatikan oleh anak didiknya
dan ini sangat berpengaruh terhadap kewibawaan seorang guru atau dosen.
Oleh karena itu seorang guru atau dosen harus mempunyai akhlak yang
baik. Karakteristik kepribadian guru atau dosen perspektif pendidikan
Islam, antara lain sebagai berikut:
- Konsep
rabbani
Tingkah
laku dan pola pikir guru atau dosen bersifat Rabbani, yakni guru bersandar kepada
Rabb dengan menaatinya.[6]
Tanpa sifat ini guru tidak mungkin akan dapat mewujudkan tujuan
pendidikan Islam. Seorang guru harus meningkatkan wawasan, pengetahuan,
sebagai penerapan langsung sifat rabbani yang ada pada dirinya itu. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an
surat Ali Imran ayat 79, yaitu:
(ال عمران: ٧٩)
Artinya: Tidak mungkin bagi
seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta Hikmah dan kenabian,
kemudian Dia berkata kepada manusia: "Jadilah kamu penyembahku,
bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Jadilah
kamu menjadi orang-orang rabbani,
karena kamu mengajarkan Al-kitab
dan karena kamu mempelajarinya. (QS. Ali Imran: 79)
- Sifat-sifat
Nabi Muhammad SAW
Muhammad
yang insan kamil berakhlak Qur’an, patut disebut guru terbaik sepanjang
masa. Mencontohkan para guru generasi sepeninggalnya untuk mencontoh
tata cara mengajar beliau dan karakteristik guru beliau.
Sebagaimana
sifat wajib beliau (yang terdiri dari Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathanah),
maka setidaknya guru atau dosen juga mempunyai sifat-sifat tersebut. Shiddiq
(jujur). Kejujuran Nabi Muhammad SAW telah terkenal dalam riwayat. Bahkan,
ketika belum diangkat menjadi Nabi. Sehingga beliau diberi gelar al-Amin.[7]
Kejujuran tidak terbatas pada perkataan saja. Perbuatan juga bagian darinya.
Guru harus bertindak jujur. Walau pahit sekalipun, Lawannya Kidzib (berbohong).
Amanah
(dapat dipercaya), al-amin sebagai bukti Muhammad SAW dapat dipercaya
oleh kaumnya. Cirinya bertanggung jawab atas apa yang diterimanya. Bukan
sebaliknya mengingkari dari amanah berupa wahyu yang disampaikan melalui
malaikat Jibril. Tepat bila menjadi guru dianggap sebagi amanah
kepercayaan membimbing anak didik. Masyarakat akan lebih menempatkan
anak-anaknya kepada orang yang bersifat amanah dan diakui kepercayaannya.
Tabligh
(menyampaikan). Dalam menyampaikan wahyu Allah SWT tentunya banyak
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang harus diterima beliau
dibutuhkan kesabaran, ketabahan dan keteguhan hati.
Fathanah
(cerdas), rasul memiliki kecerdasan yang luar biasa, ahli strategi
perang, ekonom ulung, pemimpin yang menyejukkan. Hakim yang cerdas, guru
yang memahami karakter siswanya (para sahabatnya). Bukan sebaliknya baladah
(bodoh). Guru juga harus mempunyai kompetensi, wawasan yang luas
tanpa membedakan ilmu surga atau neraka, tak mengenal dikotomik ilmu.
- Lemah
lembut, pemaaf dan suka bermusyawarah
Betapa
Rasulullah menganjurkan para sahabatnya untuk bermmusyawarah mencari
mufakat. Rasulullah SAW sendiri di beberapa kesempatan menyempatkan berdiskusi
memecahkan strategi perang dengan sahabatnya yang mempunyai wawasan
lain. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159, yaitu:
(ال عمران: ١٥٩)
Artinya: Maka berkat rahmat Allah engkau Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya
engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekitarmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun untuk
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sungguh Allah mencintai orang yang bertawakkal. (QS. Ali Imran: 159)
- Berwibawa
Firman
Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya ayat 81, yaitu:
(الانبيآء:
٨١)
Artinya: Dan (Kami
tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang
berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami beri Berkah padanya.
Dan Kami Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Anbiya’: 81)
- Adil
dan Taqwa
Serangkaian
dua kata yang erat dan saling berhubungan. Guru bersifat adil tidak
membedakan murid satu dengan lainnya. Bila terjadi kecemburuan sosial
akan merusak keharmonisan antar siswa. Dan keadilan membawa pada ketaqwaan
dan bekal yang terbaik adalah taqwa. Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an
surat Al-Maidah ayat 8, yaitu:
(المآئدة: ٨)
Artinya: Wahai orang-orang
yang beriman! jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah,
(ketika) menjadi saksi dengan adil. dan janganlah kebencianmu terhadap
suatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
Sungguh Allah Maha teliti apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 8)
- Mengajak
kebaikan
Firman
Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ali Imran: 104, yaitu:
(ال عمران: ١٠٤)
Artinya: Dan
hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma'ruf
dan mencegah dari (perbuatan) yang
munkar; dan merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran: 104)
Sifat
dan kemampuan yang diharuskan kepada pendidik Islam sebagaimana dirumuskan
di atas, hanyalah sebagian dari sekian banyak sifat dan kemampuan yang harus
dimiliki agar fungsi dan peranan pendidik Islam dalam proses pendidikan Islam
dapat berjalan sesuai dengan tuntunan dan tuntutan ajaran Islam serta perkembangan
ilmu pengetahuan, khususnya dunia kependidikan Islam.[8]
Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa kompetensi
kepribadian yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yaitu berdasarkan
konsep rabbani dengan mencontoh sifat-sifat Nabi Muhammad SAW, lemah
lembut, pemaaf dan suka bermusyawarah, harus berwibawa, adil dan taqwa serta
selalu dalam mengajak kebaikan.
[1]Sudarman
Danim, Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru (Tilikan Indonesia dan
Mancanegara), (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 23.
[2]Abuddin
Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 169.
[3]M. Nuryadin Edy Purnama, Kompetensi Guru dalam
Ranah Pendidikan Islam, dalam http://elearningsmkn1trucuk.com/2009/07/23/kompetensi-guru-dalam-pendidikan-Islam.
Diakses 11 Januari 2015.
[4]Abuddin
Nata, Ilmu Pendidikan Islam…,
hal. 168.
[5]Sudiyono,
Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 131.
[6]Sudiyono,
Ilmu Pendidikan…, hal.
131.
[7]Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, (Jakarta: Gema Insani, 2001),
hal. 371.
[8]Ahmad
Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hal.
38.
No comments:
Post a Comment